6.Langkah Binal

Aku tak menyangka sedikit pun kalau kedatanganku di rumah orang tua Nur disambut dengan ramah sekali. Pada waktu aku nikah siri dengan Nur, ayah Nur memang hadir. Berarti mereka sudah merestui pernikahanku dengan Nuryati, meski baru sebatas nikah siri. Dan menurut agamaku, Nuryati sudah menjadi istriku. Istri kedua.

Tadinya kupikir orang tua Nur cuma terpaksa menjadi wali ketika aku menikah siri dengan Nur. Ternyata tidak. Terlebih setelah Mbak Tina menjelaskan betyapa aku sudah memberikan rumah untuk Nur. Rumah yang hanya bisa dimiliki oleh golongan menengah ke atas, karena rumah itu bukan rumah asal-asalan.

Ayah Nur, yang pensiunan kepala SMA itu sempat juga membahas kenapa Nur seolah melarikan diri dari Tegal dahulu. Rupanya dahulu Nur mau dijodohkan dengan pemilik pabrik the, tapi Nur tidak mau, kemudian diam-diam melarikan diri ke Bandung dan berjumpa denganku.

Sebenarnya Nur juga pernah bercerita soal itu. Bahkan Nur pernah berkata, “Contohnya ya Mbak Tina itu. Karena mengikuti kehendak orang tua, mau saja ia nikah dengan lelaki yang dijodohkan untuknya. Buktinya sekarang rumah tangga mereka hancur kan Mas.”

Di rumah mertuaku, aku bisa menilai bahwa Nur itu berasal dari keluarga berpendidikan. Aku bisa menilainya dari cara ayah Nur bercerita, penuh dengan tutur kata yang enak didengar. Berbobot pula.

Ibu Nur juga pensiunan guru SMP. Bahkan kudengar dulunya ia guru bahasa Inggris.

Jadi, meski keadaan mereka sederhana, mereka bukan sosok yang tanpa pendidikan. Ayah Nur, misalnya, pastilah minimal seorang sarjana. Ibunya juga. CUma kehidupan guru memang sering menyedihkan. Jarang sekali kulihat guru yang kaya di masa tuanya.

Mbak Tina juga mengenalkan adik bungsunya yang bernama Ita. Cantik sekali Ita yang baru duduk di kelas tiga SMA itu.

“Nanti kalau udah lulus SMAnya, kuliah di Bandung aja ya,” kataku kepada adik bungsu Nur yang bernama Ita itu, “Biar Mbak Nur ada temannya.”

“Iya Mas,” sahut Ita dengan anggukan sopan. Gila, cantik benar Ita itu. Kayaknya dijadikan artis juga bisa. Tapi emangnya hidup senang itu harus jadi artis saja? Masih sangat banyak jalan lain untuk mendapatkan penghasilan yang layak.

Malamnya Mbak Tina mengajakku jalan-jalan ke pantai. Aku iyakan saja. Dan di PAI (Pantai Alam Indah) itu aku sempat berkata, “Mulai saat ini kehidupan Mbak dan anak Mbak akan menjadi tanggung jawabku. Yang penting harus bisa merahasiakannya pada Nur, ya.”

“Iya, makasih Yad,” sahut Mbak Tina sambil menggenggam pergelangan tanganku.
Mbak Tina bukan cuma mengurus surat cerainya di Tegal.Tapi juga mencarikan lima orang calon pegawai (jaman sekarang jarang orang yang mau disebut pembantu), yang seorang untuk di rumah Nur, yang empat orang untuk dikerjakan di kantin wisma kos.

Dan Mbak Tina berhasil mendapatkannya. Malah ia sempat bilang, “Di sini sih jangankan lima orang. Limapuluh orang juga bisa kucarikan. Asalkan gajinya bagus saja.”

Maka pada waktu pulang ke Bandung, mobilku jadi penuh juga. Mbak Tina duduk di sampingku, sementara kelima wanita muda itu berjejalan di belakang. Soalnya mobilku bukan kendaraan niaga.

Tapi bisa jugalah kuatur semua itu.

Setibanya di Bandung, kuturunkan dulu seorang calon pegawai di rumah Nur. Yang empat orang kubawa pulang ke wisma kos.
Istriku senang sekali kelihatannya, karena aku pulang dengan membawa empat orang wanita muda untuk dijadikan pegawainya. Dalam perjalanan pulang ke rumah di kompleks wisma kos itu, aku sudah mewanti-wanti kepada keempat wanita muda itu, agar jangan sekali-sekali bicara soal Mbak Tina kepada istriku. Mereka, yang semua janda muda itu, mengerti dan berjanji takkan bilang-bilang soal Mbak Tina, Nuryati dan segala latar belakang yang membuatku bisa mendapatkan mereka.

“Kalau masih kurang bisa kita ambil lagi ke Tegal,” kataku waktu istriku sudah menempatkan keempat orang calon pegawainya itu.

“Iya, kalau mau serius, memang masih kurang sekali, Bang,” sahut istriku, “Aku malah sedang merencanakan untuk merekrut duapuluh orang tamatan SMP, lima orang tamatan SMA. Kalau ngambil dari yayasan suka kacau, kita bisa jadi bahan permainan yayasan aja nantinya. Makanya aku bermaksud mau pasang iklan.”

“Gak usah pasang iklan. Aku bisa ambil lagi dari Tegal. Mau limapuluh orang juga bisa.

Tapi lihat dulu yang empat orang itu seperti apa kerjanya. Kalau bagus kerjanya, baru kita ambil lagi dari Tegal.”

“Gak bisa lewat telepon aja Bang?”

“Aku memang mau telepon dulu ke teman yang ada di Tegal. Tapi kalau sudah ada orang-orang yang akan kerja di sini, harus aku sendiri yang menjemputnya. Maklum jaman sekarang sering terfjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Orang tua mereka cemas kalau melepaskan anak-anak mereka begitu saja. Harus jelas dulu dengan siapa mereka pergi. Gitu.”

“Oh, gitu ya Bang. Ya udah…nanti jangan sekaligus duapuluh orang. Ambil lima-lima orang aja secara bertahap. Biar gampang melatihnya. Kalau sekaligus banyak, pusing aku ngasih trainingnya nanti.”

“Bagusnya bikin pakaian seragam buat semua pegawai yang kerja di sini.”

“Udah…lagi pesan Bang. Warnanya pink untuk pegawai wanita. Hitam untuk pegawai pria. Udah dibikinin logo WKA segala. Di sekeliling logo WKA itu ada tulisan Wisma Kos Anugerah.”

“Mmm…istriku memang pintar ! Senang aku mendengarnya. Pokoknya semua urusan wisma kos harus ditangani secara profesional. Ohya…rumah lama kita sekarang sudah rata dengan tanah. Bahkan mulai dibikin pondasi ceker ayam…jadinya sembiloan ruko kan Bang ya?”

“Iya. Kalau ruko-rukonya udah terjual semua kelak, duitnya mau dipakai untuk apa?”

“Simpan aja dulu di bank. Pelan-pelan kita pikirin nanti untuk apa-apanya.”

“Bagus,” kataku sambil mencium pipi istriku.

Namun aku tiba-tiba jadi ingat pada percakapanku dengan Mbak Lies di Kalimantan tempo hari :

“Kok aneh, kamu bisa tertarik pada bisnis batubara yang bikin kita jadi cumang-cemong gini, Yad?”

“Cumang-cemong tapi duitnya lumayan. Mbak tau gak? Hasil penjualan hotel mewah pemberian Mbak itu, sekarang hanya duapuluh persen dari asetku.”

“Hah?! Masa sih?” Mbak Lies tampak kaget benar.

“Lihat aja di laporan bulanan dari bank nanti. Sudah berkembang empat ratus persen Mbak. Dalam tempo yang cuma setahun lebih kan? Belum lagi terhitung wisma kos itu. Dan nanti ada aset lain lagi. Rumah lama akan dirobohkan dalam seminggu ini. Rumah dan tanah di sebelahnya sudah kubeli, juga mau dirobohkan. Lalu akan dibangun sembilan ruko, tiga lantai semua. Untuk dijual semuanya. Bahkan masih ada lagi, aku sudah beli rumah puri, tiga rumah kembar dalam satu kompleks. Sekarang sudah dikontrak oleh orang asing. Nilai kontrak selama tiga tahun jauh lebih tinggi daripada harga belinya, Mbak.”

“Wow ! Luar biasa ! Syukurlah…berarti pemberianku dikembangkan. Tidak dihancurkan.”

“Jangan samakan aku dengan Bang Yana, Mbak. Buatku, pemberian Mbak itu takkan habis dimakan tujuh turunan. Soal pertambangan batubara, aku datang ke lokasi tambang itu cuma sekali-sekali aja Mbak. Kan aku sudah nyimpan orang-orangku di tambang. Kan seorang pemimpin yang punya leadership tak perlu mengerjakan sendiri semua urusan perusahaannya. Dia boleh main golf atau jalan-jalan ke luar negri, sementara perusahaannya jalan terus. Yang penting, aku harus menempatkan the right man on the right place. Itu aja awalnya.”

Ya…aku masih ingat semuanya itu. Aku memang petualang sex. Tapi kalau sudah terjun ke dunia bisnis, segala sisi kukerjakan secara profesional. Dan tampaknya doktrinku kepada istriku sudah mulai kelihatan hasilnya. Ia sudah melupakan toko-tokoan, yang hasilnya tak seberapa. Lalu mulai memikirkan pengembangan wisma kos itu.

Seperti yang ia katakan berikutnya, “Kita di sini cuma menjaring penghuni dari kelas menengah ke atas, Bang. Aku malah sedang memikirkan kos-kosan sederhana di tempat lain, untuk kelas menengah ke bawah.”

“Lalu siapa yang ngurusnya nanti? Di sini aja kamu udah keteteran, makanya aku bawa orang-orang dari Jateng juga.”

“Uni Erna yang ngurus. Masa sih Abang gak kasihan sama dia? Abang kan udah jauh berhubungan dengannya.”

Aku terhenyak. Lalu mengangguk-angguk, “Ya udah. Nanti kalau ruko-ruko itu sudah terjual habis, cari tanah di daerah yang dekat kampus. Masuk ke dalam gang juga gakpapa. Bangun rumah kos-kosan yang sederhana. Duit penjualan ruko-ruko itu pakai untuk membiayai semuanya.”

“Jadi Abang setuju?” Istriku memelukku erat-erat, “Abang memang suamiku yang sangat bijaksana. Aku sering memikirkan Uni lho Bang. Kasian kalau dia dibiarkan terus di Jakarta dan…”

“…Aku sering ketemuan dengannya,” kataku menyela, “Aku yakin dia takkan kekurangan. Karena setiap bulan selalu kutransfer uang secukupnya.”

“Kok Abang gak pernah laporan soal itu?”

“Kan sekarang aku laporkan semuanya. Lebih baik terlambat daripada tidak kan?”

“Terus…apa lagi yang belum Abang laporkan?”

“Gak ada,” kataku dengan sikap meyakinkan. Padahal banyak…banyak sekali yang tidak kulaporkan padanya. Bahkan tidak juga kubuat tulisan di [DS] ini, karena para [DS]er bisa bingung kalau kuceritakan semua. Sedangkan sekarang istriku gak bisa buka [DS]. Jadi yang kutuliskan di sini pun takkan bisa ia pantau. Xixixixiiii……

Tapi pada suatu hari kutemukan sebuah flashdisk tergeletak di kolong meja komputerku. Aku heran, karena aku selalu memakai external hardisk yang 1 Tb ke atas. Tak pernah pakai flashdisk. Lalu punya siapa flashdisk itu?

Dengan perasaan heran kubuka isi flashdisk itu dio komputerku. Ternyata catatan harian istriku, yang belum pernah kubaca.

Isinya…………………………………………………………………………………………………..
Aku jadi sibuk sekali memperhatikan barang-barang yang sedang dimuat ke atas truk untuk diangkut ke rumah di wisma kos itu. Herman lebih sibuk lagi, karena ia selalu memperhatikan cara memuat dan membongkar barang-barang itu, jangan sampai ada yang rusak di jalan. Tiap kali truk berangkat meninggalkan rumah yang akan dibongkar itu, Herman selalu ikut dalam truk itu. Sementara suamiku malah terbang ke Kalimantan dan entah kapan pulangnya.

Dan…baru saja dua hari dibuat sibuk seperti itu, hasrat birahiku justru menagih-nagih lagi dengan kuatnya. Entahlah, belakangan ini aku jadi seperti wanita haus sex. Dua hari saja tidak mendapatkan terjangan lelaki, rasanya seperti sudah dua bulan tidak mendapatkannya.

Dan anehnya, kalau hasratku sedang menagih-nagih begini, ada saja jalan untuk meredakannya.

Sore menjelang malam itu aku baru saja selesai mandi di rumah dalam kompleks wisma kos (karena rumah lama sudah hampir kosong). Lalu mengenakan kimono putih yang terbuat dari bahan handuk. Pas keluar dari kamar mandi, bel berdering. Meski masih memakai kimono, aku bergegas menuju pintu depan.

Seorang cowok 16 tahunan berdiri di depan, berperawakan tinggi langsing, berkulit putih bersih, mengenakan kaus abu-abu dan celana training berwarna hitam. Sepintas pun tampak bahwa ia berdarah campuran dengan orang asing. Rupanya ia salah seorang penghuni wisma kosku, bernama Jonathan, yang suka kupanggil Jon saja. Aku memang sudah hafal semua nama penghuni wisma kos, karena sebulan sekali suka diadakan acara ramah-tamah di aula yang dibangun terpisah dari ketiga wisma itu.

“Jon…” sapaku ramah.

“Selamat malam Tante…” sahut anak muda itu sopan.

“Ayo masuk Jon,” ajakku, ” Tapi maaf, aku masih pake kimono gini ya, baru selesai mandi.”

“Gakpapa Tante,” sahut Jonathan sambil masuk ke ruang tamu. Lalu duduk di sofa.

Sebenarnya aku tahu bahwa diam-diam Jonathan suka mencuri-curi pandang ke arah pahaku kalau kebetulan aku duduk sambil bertumpang kaki. Maklum dia kan masih ABG. Tapi aku tak pernah memikirkannya. Karena seperti kata suamiku, “Jangan campur adukkan urusan bisnis dengan urusan pribadi.”

Jadi urusanku dengan semua penghuni wisma kosku semata-mata urusan bisnis. Tapi malam itu hasratku menagih-nagih terus, sehingga pikiranku jadi lain dari biasanya.

“Tante, aku mau bayar uang kos,” kata Jonathan setelah aku duduk di depannya, “Tapi…apa boleh kalau aku bayar dua tahun sekaligus?”

“Ya boleh lah…malah bagus. Daripada bulanan kan lebih bagus begitu,” sahutku ramah. Memang aku pernah mendengar bahwa Jonathan itu anak pengusaha besar di Surabaya. Maka transfer uang dari orang tuanya pun pasti gede terus.

“Ini Tante, tadi siang mamie datang dan ngasih cek ini buat bayar uang kos selama dua tahun. Biar tenang aku belajar di sini, katanya.” Jonathan menyerahkan selembar cek tertanggal untuk besok.

Kubaca nominal yang tertera di cek itu. Pas untuk pembayaran kos selama dua tahun. Tapi Jonathan pasti tidak tahu bahwa aku sedang memikirkan dirinya, lebih dari sekadar penghuni wisma kos. Bahwa aku teringat kata-kata suamiku, “Yang penting yakinkan dulu bahwa lelaki itu bersih dari penyakit kelamin. Sesekali boleh saja, asalkan semuanya dicatat dengan sejujurnya. Jangan ada yang dirahasiakan sedikit pun.”

Lalu kataku, “Wah, ini pertama kalinya penghuni wisma kos membayar dua tahun sekaligus. Nanti aku kasih bonus ya,”

“Bonusnya apa Tante?” Jonathan menatapku.

“Maunya apa?”

Jonathan malah bengong, seperti bingung menjawab.

“Tunggu sebentar ya,” kataku sambil berdiri, lalu melangkah ke arah pintu depan. Kututup dan kukuncikan pintu itu. Kain gordin di belakang jendela kaca pun kututupkan, kemudian melangkah ke dalam kamar untuk menyimpan cek itu di laci lemariku, karena nominalnya tidak sedikit. Lalu kusemprot mulutku dengan pengharum nafas. Kusemprot juga bagian-bagian khususku dengan parfum dan kupanggil Jonathan dari ambang pintu kamarku, “Jon…!”

“Iya Tante,” sahut Jon sambil bangkit dari sofa dan menghampiriku.

Kupegang pergelangan tangannya dan kuraih ke dalam kamarku, “Sini dulu…soalnya ini rahasia banget, Jon.”

Jonathan tampak canggung setelah berada di dalam kamarku.

“Sini, duduk dulu,” kataku sambil menunjuk sofa yang berada di dalam kamarku.

Jonathan duduk di sofa itu. Aku pun lalu duduk di sampingnya, dengan posisi duduk sedemikian rupa, sehingga paha mulusku terbuka lebar lewat belahan kimonoku.

“Aku mau tanya dulu,” kataku sambil mengelus pahaku sendiri, “paha saya ini bagus gak?”

“Ba…bagus Tante…putih dan mu…mulus,” sahut Jonathan tergagap.

“Kamu pernah main sama cewek?”

“Main? Main apa Tante? Olahraga?”

Setengah berbisik aku tanya lagi, “Pernah bersetubuh sama cewek?”

“Aaah..belum pernah Tante.”

“Bohong ah…”

“Sungguh Tante. Aku berani disumpah apa pun. Betul-betul belum pernah.”

“Tapi nonton videonya sih sering kan?”

“Gak sering juga, cuma pernah beberapa kali. Aku malah suka menghindari nonton yang gituan.”

“Kenapa?”

“Udahnya suka tersiksa, Tante.”

“Kamu suka sama pahaku ini ?” tanyaku lagi sambil mengelus-elus pahaku sendiri.

“Mmm…jujur….suka banget….”

“Pengen nyentuh gak?”

“Pengen juga ya kutahan-tahan lah. Gak berani sembarangan sama Tante.”

“Peganglah…” kataku sambil menarik tangan Jonathan sampai menempel di pahaku.

“Hehehee…ini bonusnya, Tante?”

“Iya…tapi ini baru awalnya…”

“Awalnya?” Jonathan tampak kebingungan.

Meski agak ragu, tanganku mulai merayapi bagian di bawah perut Jonathan yang masih tertutupi celana trainingnya. Hmm…ternyata sudah ada yang tegang di balik celana training itu.

Maka bisikku, “Kamu mau nyobain bersetubuh?”

“Sa…sama Tante?”

“Iya. Kan itu bonusnya. Tapi kamu harus janji dulu…”

“Janji apa Tante?”

“Janji akan merahasiakan kepada siapa pun.”

“Iya Tante. Aku janji takkan cerita kepada siapa pun. Janji Tante,” kata Jonathan sambil mengangkat dua jarinya.

“Aku belum pernah ngasih bonus apa pun pada penghuni lain lho,” kataku sambil menyelinapkan tanganku ke dalam lingkaran karet celana training Jonathan, “Ini khusus buat kamu aja Jon. Wow…punyamu udah ngaceng gini ya?”

“Iii…iya Tante…soalnya Tante merangsang banget malam ini…”

Mendengar “Tante merangsang banget” itu, aku jadi semakin ingin merangsangnya. Lalu kulepaskan tali kimonoku, sambil berkata, “Lihat dulu baik-baik ya.” Lalu kulepaskan kimonoku, sehingga aku cuma tinggal bercelana dalam tipis transparan saja, karena saat itu aku tidak mengenakan bra.

Jonathan melotot seperti tak berkedip memandang tubuhku yang hampir telanjang ini. Dan aku semakin bergairah. Terlebih setelah mengingat kata orang-orang, bahwa wanita yang melahap “daun muda” akan awet muda, katanya. Terlebih lagi kalau minum air mani bujangnya. Itu kata orang-orang. Benar tidaknya aku tidak tahu.

“Buka dong pakaiannya…semuanya,” kataku sambil duduk di sofa.

“Semuanya Tante?” Jonathan mnanggalkan baju kausnya dan tampak ragu menanggalkan celana trainingnya.

“Ya iyalah,” sahutku, “kan bagian yang paling penting masih tertutup celana panjang dan celana dalam. Gimana mau main sama aku?”

Meski tampak bingung, diturutinya juga saranku. Dilepaskannya celana trainingnya. Tapi celana dalamnya masih melekat di tubuhnya. Lalu ia menghampiriku dengan senyum malu-malu.

Aku lalu sadar bahwa cowok yang masih ABG seperti Jonathan, jelas harus diserang duluan. Aku tak boleh berdiam pasif. Maka aku menyambutnya dengan rangkulan hangat dan beberapa kecupan di pipinya. “Kenapa ininya gak dilepaskan sekalian?” cetusku sambil menarik celana dalam Jonathan sampai terlepas dari kakinya.

Jonathan diam saja, seperti menunggu aksiku.

Sebenarnya aku terkejut setelah melihat batang kemaluan Jonathan yang sudah ngaceng sekali itu. Masalahnya ia baru 16 tahun, tapi batang kemaluannya sudah melebihi ukuran penis orang dewasa. Apakah karena Jonathan selalu terjaga gizi makanannya sejak bayi? Ataukah karena ia memiliki darah bule dari ibunya? Entahlah.

Yang jelas, setelah celana dalamku kulepaskan, pandangan Jonathan langsung tertuju ke arah kemaluanku yang jembutnya senantiasa kucukur bersih ini.

“Pernah megang kemaluan cewek?” kataku sambil duduk mengangkang di atas sofa.

“Belum,” Jonathan menggeleng.

“Peganglah sekarang,” kataku sambil meraih tangan Jonathan sampai menempel di kemaluanku.

Tapi tangannya diam saja, tidak bergerak.

“Kok diem?”

“Anu…kalau boleh aku pengen jilatin seperti di film yang pernah aku tonton. Boleh gak, Tante?”

“Boleh,” kataku sambil merentangkan kedua pahaku lebar-lebar, “Jilatin deh sepuasmu.”

Karena saat itu aku duduk di sofa sambil merentangkan kedua pahaku lebar-lebar, Jonathan duduk di karpet, mendekatkan wajahnya ke kemaluanku.

“Kalau ada yang salah tolong benerin, ya Tante,” ucap Jonathan sambil menjulurkan lidahnya, menyentuh bibir besar kemaluanku. Lalu menjilatinya dengan bersemangat.

“Ininya nih yang harus sering dijilatin,” kataku sambil menunjuk kelentitku.

Jonathan pun mengikuti petunjukku. Dijilatinya kelentitku dengan lahapnya, sehingga aku mulai terpejam-pejam saking nikmatnya.

Aku pun mulai menceracau, “Iya…iya…jilatin terus Jon…iya…iya….oooh…jilatin terus Jooon….iya…iya…”

Tapi makin lama makin jelas kudengar. Bahwa nafas Jonathan semakin tak beraturan. Maka dengan lembut kudorong kepalanya, “Sudah Jon…yok pindah ke sana,” kataku sambil menunjuk ke arah tempat tidurku.

Aku duluan merebahkan diri, terlentang di atas tempat tidurku, tentu dalam keadaan telanjang bulat. Jonathan yang sudah telanjang pula naik ke atas tempat tidurku dengan agak ragu-ragu. Padahal ketika kupegang batang kemaluannya, ternyata sudah keras sekali.

Maka dengan penuh gairah kupegang batang kemaluan Jonathan yang masih sangat remaja itu, lalu kuletakkan moncongnya tepat di tengah mulut kemaluanku.

“Iya…dorong Jon…” kataku sambil tetap memegang batang kemaluan Jonathan agar jangan meleset arahnya nanti.

Lalu terasa moncong penis Jonathan mendesak mulut kemaluanku dengan kuatrnya. Kuarahkan terus. Dan blessss…akhirnya masuk lebih dari separoh bagian penis Jonathan, karena dibantu oleh lendir libidoku bercampur dengan air liur Jonathan tadi.

“Nah…sekarang entotin deh,” bisikku sambil memeluk pinggang cowok remaja itu.

“I…iya Tante…mm…kalau salah tolong benerin ya …”

Bukan “pelajaran” yang sulit sekadar memaju-mundurkan batang kemaluan, seperti gerakan pompa di bengkel-bengkel. Maju, mundur…maju, mundur….

Dalam tempo singkat saja Jonathan sudah pandai mengentotku. Bahkan dengan terengah-engah ia berkata, “Dududuuuuh…enak sekali Tante….geli-geli enak gini ya Tante…”

“Iya…bonusnya istimewa kan?”

“Iya Tante..adududuhh…oooh…enak Tante….ooooh…entot terus kayak gini Tante?”

“Iya..entot terus sampai kamu ngecrot nanti.”

Sambil menyeringaio dan terpejam-pejam, Jonathan menyetubuhiku, makin lama makin sempurna gerakannya.

Tapi hanya belasan menit ia mampu bertahan. Lalu ia tersengal dan merintih, “Tanteee…oooo….ooooooh……”

Ia berkelojotan dalam dekapanku. Pada saat yang sama kurasakan moncong penisnya menyemprot-nyemprotkan cairan kental dan hangatnya di dalam lubang kemaluanku. Banyak sekali air maninya, sampai terasa meluap ke lubang anusku dan mengalir ke kain seprai.

“Jadi lemes Tante…” kata Jonathan tanpa mencabut batang kemaluannya dari dalam vaginaku.

“Iya,” sahutku sambil mendekap pinggangnya erat-erat, “Biarin aja direndam dulu. Nanti juga ngaceng lagi.”

Aku bicara sambil menggoyang-goyang pinggulku, perlahan-lahan, agar jangan sampai penis Jonathan terlepas dari jepitan liang kewanitaanku. Iya, aku menggoyang-goyang pinggulku sambil berusaha untuk tetap menjepit batang kemaluan Jonathan.

“Remas-remas deh tetekku…tapi jangan terlalu kuat ya,” kataku.

Jonathan manut saja.

Diremasnya payudaraku, sementara kurasakan penisnya mulai membesar lagi di dalam liang kemaluanku. Cowok seremaja Jonathan pasti gampang dibangkitkan lagi kejantanannya.

“Nah…sekarang boleh digerakin lagi, udah ngaceng lagi tuh,” kataku.

“Entotin lagi, Tante?”

“Iya…ayolah…” kataku sambil menggoyang-goyang pinggulku.

Jonathan mulai mengayun kembali batang kemaluannya yang sudah tegang lagi itu. Kusambut dengan dekapan hangat dan goyang pinggulku sebinal mungkin, sehingga terasa batang kemaluan Jonathan terus-terusan bergesekan dengan kelentitku. Ini yang kuinginkan dengan menggoyang pinggulku.Karena setiap kali bersetubuh, tiada yang paling nikmat bagiku selain pergesekan penis dengan clitorisku.

“Duuuh…Tante…makin lama makin enak, Tante….aaaahhh….enak banget Tante…” cetus Jonathan dengan genjotan yang makin lama makin mantap.

Kali ini cukup lama ia menyetubuhiku. Setelah lebih dari setengah jam Jonathan mengenjotku untuk kedua kalinya, aku mulai merasakan mau mencapai orgasme. Maka aku pun mempergila ayunan pinggulku, meliuk-liuk dan menghentak-hentak, sampai akhirnya kurasakan puncak kenikmatanku tiba.

Ooooh…ini nikmat sekali.

Sesaat kemudian, Jonathan pun mendesakkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya, sambil meringis dan menahan nafasnya. Lalu ia mendengus…uuuuggghhh….dan terasa moncong penisnya menembak-nembakkan air maninya lagi di dalam lubang kemaluanku. Kutanggapi dengan pelukan di lehernya dan ciuman mesra di bibirnya.

Lalu kubiarkan batang kemaluan Jonathan melemah dan mengecil, sampai akhirnya terlepas dari cengkraman liang surgawiku.

“Ingat…jangan bilang-bilang sama orang lain ya. Ini rahasia kita berdua saja,” bisikku di telinga Jonathan.

“Iya Tante. Percaya deh, aku biaswa pegang teguh perjanjian,” sahut Jonathan sambil tersenyum, “Tapi kalau saya kepengen lagi besok-besok gimana?”

“Gampang, asalkan Oom lagi gak ada, nyelinap aja ke sini. Kan kelihatan, kalau jipnya ada di depan, berarti Oom sedang ada di rumah.”

“Iya Tante. Makasih.”

Harusnya aku puas, karena sudah disetubuhi oleh cowok yang benar-benar masih ABG. Dua kali pula ia menyetubuhiku tadi. Tapi kenapa setelah Jonathan pergi, hasratku menagih-nagih lagi?

Apakah aku sudah menjadi perempuan hyper sex? Kenapa hasrat birahiku malah terasa lebih hebat daripada sebelum disetubuhi oleh Jonmathan tadi?

Ada apa sebenarnya dengan diriku ini?

Kulihat jam dinding di ruang makan menunjukkan jam sepuluh malam. Aku berpikir beberapa saat. Sampai akhirnya kutelepon Herman :

“Man lagi ngapain?” tanyaku di mic handphoneku.

Terdengar suara Herman menyahut, “Baru selesai muat barang yang terakhir Bu. Sudah habis semua barang-barang dari rumah ini. Sekarang saya baru mau mandi.”

“Ya udah mandi yang bersih sana. Terus cepetan ke sini ya.”

“Baik Bu.”

Dan aku resah sendiri menunggu Herman datang. Resah sekali, karena aku horny terus. Dan aku yakin Herman lah yang bisa meredakan gejolak birahiku ini.

Hampir jam sebelas malam Herman baru datang. Tampak rambutrnya kelimis, mungkin karena baru habis mandi.

“Kenapa lama banget, Man?” tanyaku bernada protes.

“Kan saya naik angkot Bu. Gak bisa cepat seperti bawa mobil sendiri.”

“Ya udah…sini…” kuraih pergelangan tangan Herman dan kuajak masuk ke dalam kamarku.

Setgelah kami berdua berada di dalam kamar, kututup dan kukuncikan pintu kamarku. Kataku, “Sejak kamu baru datang dari Kalimantan itu, kita gak pernah main lagi kan?”

“Heheheee…iya Bu. Kan kitanya juga jadi sibuk bongkar muat barang-barang.”

“Sekarang udah selesai semua kan?”

“Udah Bu. Tadi sudah dibilangin ke satpam yang jaga di depan, supaya kalau truk itu datang, barangnya ditumpuk di dalam kantor security aja. Besok pagi, baru diangkut ke sini.”

AKu mengangguk. Dan tanpa basa-basi lagi kutarik ritsleting celana denim Herman, lalu kuselinapkan tanganku ke balik celana dalamnya, “Aku lagi kepengen banget, Man. Mmmm…kontolmu langsung ngaceng gini ya? Hihihi…tokcer banget. Begitu disentuh langsung ngaceng.”

“Iya Bu,” sahut Herman sambil menurunkan celana denim hitamnya, “Sebenarnya saya dari tadi sore juga lagi kepengen banget. Tapi saya kan gak berani ngajak Ibu. Takut dianggap lancang.”

“Jadi kamu seneng kupanggil sekarang?”

“Seneng banget Bu….heheheee…” Herman melemparkan celana denimnya di atas karpet, kemudian menanggalkan baju kausnya yang berwarna hitam juga. Belakangan Herman jadi pandai mematut-matut dirinya. Dandanannya tidak norak seperti dulu lagi.

Ketika tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuh Herman, aku justru sudah telanjang bulat dan duduk di atas tempat tidur yang kain seprainya sudah diganti dengan yang baru. Beberapa saat yang lalu, banyak sekali air mani Jonathan yang mengalir ke kain sepraiku. Sehingga aku harus memasukkan kain seprai itu ke dalam mesin cuciku. Lalu menggantinya dengan kainseprai dan sarung bantal baru. Aku pun sudah menyemprotkan parfum di kainseprai dan bantal-bantalku. Maka pastilah penciuman Herman merasa kamarku harum sekali.

Meski belum dua jam aku baru disetubuhi dua kali oleh Jonathan, sikapku seolah belum diapa-apakan pada malam itu. Ketika Herman menghampiriku, langsung kutarik pergelangan tangannya. Dan kutarik celana dalamnya, sehingga penis perkasaa itu tampak lagi di mataku…tampak demikian tegangnya sampai agak mengacung ke atas.

Lalu tanpa canggung lagi kuraih Herman sampai terjerembab ke atas tubuhku. Saat itulah aku berkata padanya, “Kamu sangat memuaskan Man. Yang tempo hari, terasa-rasa sampai keesokan harinya.”

“Masa sih Bu? Saya lebih dari itu. Tiap ingat apa yang pernah kita lakukan, punya saya langsung berdiri seperti sekarang ini…” kata Herman sambil merayapkan tangannya ke arah kemaluanku. Kubiarkan ia menggerayangi kemaluanku sepuasnya. Bahkan ketika ia menyelinapkan jemarinya ke dalam liang kemaluanku, cepat kubalas dengan remasan-remasan lembut pada batang kemaluannya yang hangat dan sudah ngaceng berat itu.

Tapi kepala Herman turun dan turun terus, sehingga batang kemaluannya lepas dari genggamanku, sementara mulut Herman sudah menempel di permukaan kemaluanku. Lalu ia mulai menjilati kemaluanku dengan lahapnya.

Apa yang Herman lakukan itu rasanya pas benar waktunya, waktu di mana aku membutuhkan lelaki yang benar-benar jantan. Dan Herman memiliki beberapa hal yang kusukai. Bahwa tubuhnya tinggi tegap, sehingga orang yang belum mengenalnya akan menyangkanya seorang tentara. Ia juga memiliki alat kejantanan yang mampu membuatku terbeliak-beliak tempo hari. Dan yang paling kusukai pada dirinya, adalah bahwa ia tetap hormat padaku, terutama jika ada orang lain di dekat kami.

“Ayo…masukin aja Man…aku udah kangen berat neh,” kataku sambil menarik bahunya agar naik ke atas tubuhku.

Dan manakala Herman sudah mulai mengarahkan moncong penisnya ke mulut vaginaku, spontan saja kurenggangkan sepasang pahaku selebar mungkin, seolah mempersilakan kepada penis Herman untuk menjelajahi lubang surgawiku.

Dan ketika penis Herman menerobos liang vaginaku sedikit demi sedikit, oooh, entah kenapa….ini terasa sekali nikmatnya. Nikmat yang membuatku ketagihan, nikmat yang membuatku ingin dan ingin dan ingin disetubuhi terus menerus oleh lelaki bernama Herman itu. Karena aku merasa dan berkesimpulan, inilah penetrasi yang paling berkualitas bagiku. Bukan dari penis lelaki-lelaki ganteng – tampan dan terhormat seperti yang kerap kurasakan dari teman-teman suamiku.

Aku harus mengakuinya bahwa sosok Herman yang sederhana ternyata menyimpan sesuatu yang paling hangat di dalam dirinya.

Lalu aku tak mau menyia-nyiakan semuanya ini. Kupeluk leher Herman erat-erat sambil menggoyang-goyangkan pinggulku seedan dan sebinal mungkin.

“Ayo Man…entot segila mungkin Maaaan…aku lagi kangen berat sama kamu Maaaan….oooo….ooooh…ini enak sekali Maaaan….ayooo Maaaan…. ooooh….ooooh…”

Dan batang kemaluan herman terasa sekali menyeruduk-nyeruduk liang meqiku sampai ke dasar-dasarnya…terasa moncongnya seperti menonjok-nonjok dasar liang vaginaku yang paling dalam…ooo, ini nikmat sekali ! Membuatku terengah, terbeliak dan tergetar hebat.

Gila…lelaki lain tak sedahsyat ini nikmatnya. Apalagi kalau dibandingkan dengan Jonathan tadi…sungguh Herman ini jauh lebih berkualitas. Sehingga cumas belasan menit saja ia mengentotku, terasa aku sudah berada di puncak kenikmatanku yang paling tinggi. Puncak kenikmatan yang membuatku menahan napas, dengan sekujur tubuh mengejang kuat-kuat…lalu aku merasa seperti melesat ke langit…langit ke tujuh, langit surga dunia…aaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh….benar-benar nikmat genjotan penis Herman ini. Yang membuat liang kemaluanku berkejut-kejut di alam yang terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Pada waktu sudah berkelojotan lalu menggeliat nikmat dalam orgasme, batang kemaluan perkasa itu masih mantap mengentotku. Maju mundur dan maju mundur terus…menyeruduk-nyeruduk dasar liang kemaluanku terus. Aduhai nikmatnya si Herman ini ! Cuma membuatku lemas beberapa detik…lalu aku jadi horny lagi…mengimbangi pergerakan penis anak buah suamiku itu.

O, suamiku tercinta…ampuni istrimu ini…karena alam baru yang kau bentangkan untukku, membuat diriku jadi jauh berbeda dengan dahulu. Sekarang aku jadi sering ketagihan, tak kuasa menahan diri dan sering digoda nafsu birahiku…nafsu yang membuatku ingin merasakan nikmatnya gesekan penis lelaki. Lagipula bukankah kau sudah mengijinkanku untuk bersetubuh dengan Herman ini? Kepuasan ini memang kudapatkan dari si Herman. Tapi cintaku tetap untukmu Bang Yadi tercinta !

Setelah membaca catatan harian istriku itu, aku termangu sendiri di depan layar monitorku. Memang istriku tidak terlalu melanggar hanya skandal dengan anak ingusan bernama Jonathan itu yang kuanggap suatu pelangaran. Tapi kalau dipikir, bukankah pelanggaranku jauh lebih berat lagi? Tak adakah ruang maaf sedikit pun kalau istriku melakukan hal yang sama? Bukankah sermuanya itu terjadi karena aku sendiri yang memperkenalkan alam baru itu, kemudian istriku menghayatinya…lalu melakukan apa yang dilamunkannya?

Untuk meredakan kekesalanku, aku menghidupkan mesin mobilku. Lalu bergerak meninggalkan rumahku.

Tadinya aku mau menemui rekan bisnisku yang baru datang dari Pangkalpinang. Tapi baru saja mobilku keluar dari pintu gerbang kompleks wisma kos, hpku berdering. Kulihat sebentar siapa yang menelepon itu?

Hmm…Mbak Tiara rupanya. Langsung saja kubuka percakapan dengannya, “Hallo Mbak Tiara…apa kabar?”

“Baik-baik saja, Mas. Ohya…tadi saya lewat bekas rumah saya…kok jadinya dibongkar rumahnya ya?”

“Iya Mbak. Rumahku juga dibongkar kan?”

“Emangnya mau dibikin apa Mas?”

“Mau dibikin ruko-ruko Mbak.”

“Terus…Mas Yadi sendiri tinggal di mana sekarang?”

“Di rumah yang lain Mbak.”

“Duuuh yang banyak duit enak aja ya pindah rumah sana-sini….”

“Ah, Mbak bisa aja.”

“Terus…Mas lupa ya sama saya?”

“Ya gaklah. Cuma saya lagi bolak-balik ke Kalimantan, Mbak.”

“Saya kangen Mas….pengen ketemuan sama Mas…”

“Emang Mbak lagi di mana sekarang?”

“Lagi di Lembang Mas. Abis menghadiri pernikahan famili tadi. Ini juga masih nongkrong di tempat resepsinya.”

“Sama siapa Mbak di situ?”

“Sendirian aja. Suami saya lagi kurang sehat sih.”

“Ya udah, saya ke situ sekarang ya. Di mana posisi tepatnya?”

“Jangan langsung ke sini Mas. Takut keliatan famili, nanti jadi gossip. Saya turun aja ke Bandung. Mas tunggu di belokan ke arah Geger Kalong aja ya.”

“Boleh, itu lebih bagus. Mbak pake baju apa?”

“Hihihi…saya lagi pakai kebaya Mas. Jangan diketawain ya.”

“Ohya? Saya malah penasaran dengarnya. Pengen lihat Mbak Tiara dalam pakaian tradisional. Pasti malah seksi…jadi pengen nelanjangin pelan-pelan……hehehehe…”

“Mmm…Mas Yadi bisa aja. Oke saya mau nyegat angkot nih. Mas tunggu di tempat yang saya sebutkan tadi ya..”

“Oke Mbak.”

Kujalankan mobilku dengan kecepatan biasa-biasa saja. Karena tempat menunggu Mbak Tiara tidak jauh. Sepuluh menit kemudian aku sudah tiba di tempat yang diinginkan untuk menunggu Mbak Tiara.

Justru di tempat itu aku agak kesal menunggunya. Karena setelah parkir lebih dari seperempat jam, Mbak Tiara belum muncul juga.

Pada saat menunggu itulah mendadak timbul ingatanku pada Joseph. Lalu aku meneleponnya, “Jos ! Ada yang asyik-asyik neh,” kataku sambil tersenyum-senyum sendiri di dalam mobilku.

“Woman?”

“Iya. Kamu kan suka yang setengah baya. Ini ada…seksi deh pokoknya.”

“Widow or cheating wife?”

“Cheating wife.”

“Sekarang?”

“Iya. Tapi aku masih bingung mau diajak ke mana.”

“Bawa ke hotel aja, biar gak ribet,” kata Joseph yang lalu menyebutkan nama sebuah hotel.

Lalu aku dan Joseph berunding singkat di hp kami.
Setelah hubungan telepon diputuskan, aku masih menunggu belasan menit….sampai akhirnya seorang wanita setengah baya berperawakan tinggi sexy muncul dalam pakaian kebaya merah dengan kain songket yang mengkilap. Wow, Mbak Tiara tampak anggun sekali dalam pakaian tradisional itu.

“Mmm…cantik sekali Mbak siang ini ya?” sapaku sambil membuka pintu mobilku yang depan kiri. Mbak Tiara tersenyum mendengar pujian itu. Lalu kubantu ia naik ke dalam mobilku yang lumayan tinggi, sambil curi kesempatan untuk memegang bokongnya. Masih tetap padat bokong gede itu !

“Rambutnya dibleach pula…mulai gaul nih Mbak Tiara,” kataku setelah berada di belakang setirku.

“Ah, iseng aja Mas…ikut-ikutan musim,” sahut Mbak Tiara sambil menepuk-nepuk pahaku yang terbuka, karena saat itu aku cuma mengenakan celana pendek berwarna putih, dengan baju kaus berwarna hitam.

“Mas…” kata Mbak Tiara lagi, “saya mau kerja dong di perusahaan Mas. Di rumah terus, lama-lama jadi jenuh.”

“Lho…gimana mau kerja di kota ini? Mbak kan udah tinggal di Sukabumi.”

“Biarin, saya mau cari kos-kosan aja di tempat yang dekat kantor Mas Yadi, kalau saya diterima kerja di perusahaan Mas.”

“Emang suami Mbak bakal ngasih ijin gitu?”

“Udah diijinin Mas. Dia malah bilang, percuma punya ijazah es-satu kalau gak dimanfaatkan.”

“Mbak alumnus dari fakultas apa?”

“Fakultas ekonomi, jurusan manajemen, Mas.”

Aku agak kaget mendengar pengakuan Mbak Tiara itu. Karena aku memang sedang membutuhkan tenaga lulusan FE, khususnya yang jurusan managemen.

“Yakin Mbak mau kerja?”

“Yakin Mas. Ngandelin pensiun suami doang, gak cukup untuk hidup dua minggu tuh.”

“Ya udah. Bawa aja ijazah asli, cukup diperlihatkan ke bagian personalia nanti. Paling juga difotocopy di kantor. Besoknya Mbak udah bisa mulai kerja.”

“Serius Mas?”

“Serius. Tapi harus bawa ijin suami dan fotocopy KTP suami-istri. Itu aja.”

“Gak usah pake kelakuan baik dan sebagainya?”

“Gak usah. Kan Mbak dikasih prioritas dari saya.”

“Kantornya di jalan apa Mas?”

Kuberikan secarik kartu namaku sambil berkata, “Di situ ada alamat kantor dan alamat rumahku. Alamat kantor di Banjarmasin juga ada.”

“Makasih Mas.”

Terdengar bunyi kling dari hpku. Ada bbm dari Joseph. Bunyinya, “Udah dapet. Kamar 212 di lantai 2. Aku udah nunggu di kamar itu.”

Kubalas singkat, “Oke. Ini OTW ke hotel.” Lalu kusimpan lagi hpku di saku celana pendekku, tanpa menarik perhatian Mbak Tiara.

Setibanya di hotel, aku langsung mengajak Mbak Tiara ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar 212 yang tidak dikunci pintunya, karena Joseph sudah ada di dalam kamar itu.

Mbak Tiara tampak agak kaget karena melihat ada orang lain di dalam kamar itu.Tapi aku cepat menutupkan pintu dan menguncikannya, lalu memegang pinggang Mbak Tiara sambil berkata, “Mbak…kenalin nih sahabat saya, Joseph namanya.”

Mbak Tiara memandang ke arah Joseph dan menerima jabatan tangannya dengan agak malu-malu. Biarlah dia naksir sendiri betapa tampannya sahabatku itu.

Lalu Joseph duduk di sofa dan pura-pura asyik bbman.

Sementara aku mengajak Mbak Tiara masuk ke kamar mandi. Di situlah aku berusaha menanggalkan kebaya dan kain songketnya.

“Mas…itu nanti temennya gimana?” Mbak Tiara tampak ragu, tapi tak menolak ketika kulepaskan kebayanya, juga waktu kain songketnya kulepaskan.

“Biar aja. Dia takkan ganggu kita kok. Dia itu sahabat saya yang paling dekat di kota ini,” kataku setelah tinggal celana dalam dan beha saja yang masih melekat di tubuh Mbak Tiara..

“Kalau dia terangsang lihat kita gimana?”

“Kasih aja,” sahutku, “Mbak belum pernah merasakan dithreesome kan?”

“Haaa…?”

“Enak lho Mbak disetubuhi sama dua lelaki…jauh lebih seru daripada yang biasa.”

“Mas….”

“Tapi kalau dia ngiler dan Mbak gak mau digituin, pegangin aja kontolnya…lalu kocok sama tangan Mbak sampai ngecrot…”

“Ah…masa gitu?”

“Ya kalau Mbak gak keberatan, kasih aja ininya,” kataku sambil menepuk kemaluan Mbak Tiara yang masih tertutup celana dalam.

Mbak Tiara juga tak menolak ketika aku menanggalkan behanya.

Kemudian kuraih pergelangan tangannya, kuajak keluar dari kamar mandi. Meski agak berat mengajaknya keluar, akhirnya Mbak Tiara melangkahkan kakinya juga, mengikuti langkahku sambil menutupi payudaranya dengan sepasang tangannya.

“Jos, aku mau ML dulu sama Mbak seksi ini ya,” kataku setelah mengajak Mbak Tiara naik ke atas tempat tidur.

“Hmm? Iya…lanjut deh…” sahut Joseph yang tetap pura-pura asyik dengan hpnya sambil duduk di sofa.

Meski Mbak Tiara masih tampak ragu, aku tahu benar bagaimana caranya supaya Mbak Tiara lupa segalanya. Awalnya dengan menjilati pentil payudaranya sambil sesekali mengisapnya.

Walaupun sesekali Mbak Tiara melirik ke arah Joseph, lama kelamaan ia memejamkan matanya dan membiarkan semuanya terjadi. Terlebih setelah aku menarik celana dalamnya, lalu dengan lahap kujilati kemaluannya yang jembutnya sudah tercukur habis itu. Ia pun mulai menggelinjang-gelinjang sambil mengusap-usap rambutku.

Bahkan pada satu saat ia seolah lupa pada kehadiran Joseph, mungkin karena ia sudah berada di puncak nafsu birahinya. Dan berkata, “Mas…masukin aja Mas….”

Aku pun tak mau berlama-lama lagi menjilati kemaluan Mbak Tiara, karena aku ingin agar Joseph segera menghampiriku. Lalu kulepaskan semua yang melekat di badanku. Dan kuangsurkan batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini ke mulut vagina Mbak Tiara. Lalu kudorong sekuatnya dan….blessss….melesak sedikit demi sedikit.

Mbak Tiara menyambut penetrasi ini dengan pelukan hangat dan sepasang kaki yang direwnggangkan selebar mungkin.

Lalu mulailah aku mengenjot liang kemaluan wanita berperawakan tinggi, berbokong besar dan berpayudara lumayan gede itu.

Pada saat itulah Joseph menghampiri kami. Berdiri di dekat tempat tidur sambil bertanya padaku, seolah-olah minta izin, “Boleh nonton di sini?”

Mbak Tiara tersipu, seperti malu-malu. Tapi aku menjawabnya, “Nontonlah. Tapi jangan curang…kami telanjang, masa kamu berpakaian lengkap gitu? Harus telanjang juga dong, biar adil…”

Semuanya itu cuma sandiwara, agar Mbak Tiara tidak mengira bahwa semuanya ini sudah direncanakan tadi.

Mbak Tiara bahkan seperti makin asyik menikmati entotanku. Ia mendesah-desah erotis, sementara Joseph sudah menanggalkan segala yang melekat di tubuhnya, lalu duduk di pinggiran tempat tidur, dengan kaki terjuntai ke lantai, tapi penisnya berada tak jauh dari tangan Mbak Tiara. Maka sambil mengentot Mbak Tiara, masih sempat kupindahkan letak tangan wanita itu dari kasur ke…penis Joseph !

Mbak Tiara agak terkejut. Tapi tanganku tetap memegang tangannya yanbg sudah menempel di penis Joseph yang tampak sudah tegang itu. “Pegangin aja Mbak…kasihan sahabatku ini….biar ikutan merasakan enaknya…”

Lalu kulihat Mbak Tiara memandang Joseph, dengan senyum malu-malu, namun tangannya mulai menggenggam batang kemaluan Joseph.

“Nah…gitu dong….biar kita bertiga kompak semuanya !” kataku sambil mengangkat tubuhku agar memberi ruang pada Joseph untuk saling pandang dengan Mbat Tiara seleluasa mungkin. Bahkan Joseph bisa menghilangkan kepenasaranannya untuk menyentuh buah dada Mbak Tiara yang bentuknya merangsang itu

“Boleh ngemut payudaranya?” tanya Joseph padaku, seolah-olah minta izin.

“Iya…emutlah…biar tambah asyik,” sahutku yang masih gencar mengentot Mbak Tiara, dengan badanmenjauh dari dada Mbak Tiara, ditahan oleh kedua tanganku yang menekan kasur.

Mbak Tiara tahu bahwa pentil payudaranya sudah diemut oleh Joseph. Dan ketika kuperhatikan, ternyata tangannya pun mulai meremas-remas batang kemaluan Joseph ! Ini suatu pertanda bahwa Mbak Tiara sudah menerima kehadiran Joseph sebagai bagian dari permainan yang syur ini.
Untuk semakin meyakinkan bahwa Mbak Tiara siap dithreesome, aku hentikan dulu enjotan batang kemaluanku, lalu bertanya kepada wanita itu, “Boleh kan sahabatku gantikan aku dulu?”

“Kan…kan Mas belum keluar…” sahut Mbak Tiara sambil menatapku, lalu menataop Joseph juga.

“Gakpapa. Kasian kan dia udah kepengen dari tadi…boleh ya?”

Akhirnya Mbak Tiara mengangguk dengan senyum. Pastilah ia mau, karena sahabatku itu tampan sekali.

Demi persahabatanku dengan Joseph, kucabut batang kemaluanku sambil menepuk bahui Joseph. Lalu kataku, “Ayo Jos…gantian main…”

“Oke Yad,” Joseph mengangguk dengan sorot ceria. Lalu ia merayap ke atas perut Mbak Tiara sambil memegangi batang kemaluannya.

Sesaat kemudian kulihat batang kemaluan Joseph sudah melesak masuk ke dalam liang kemaluan Mbak Tiara. Lalu ia mulai mengayun batang kemaluannya dengan gerakan perlahan…makin lama makin cepat….dan akhirnya ia benar-benar menyetubuhi Mbak Tiara.

AKu senang menyaksikan semuanya itu. Bahkan pikirku, kelak kalau Mbak Tiara ingin kugauli, sementara aku sedang kurang berhasrat, kan bisa diwakili oleh Joseph dulu.

Tampaknya takkan sulit mengatur selanjutnya. Karena kulihat Mbak Tiara mulai menyambut ciuman Joseph, sementara pinggulnya pun mulai bergoyang-goyang ketika Joseph mulai mantap menggerakkan batang kemaluannya.

Bahkan kulihat Mbak Tiara mulai merengkuh leher Joseph ke dalam pelukannya. Berarti ia sudah benar-benar enjoy kini….
Yeaaaaaaaa…..makin lama Mbak Tiara makin susah menyembunyikan perasaannya. Bahwa dia sangat menikmati indahnya digauli oleh dua lelaki. Ia tidak malu-malu lagi menciumi pipi dan bibir Joseph ketika ia sedang digenjot ganas-ganasnya oleh sahabatku yang senantiasa kompak denganku itu.

Bahkan ketika Joseph baru belasan menit menyetubuhinya, wanita itu melotot seperti melihat hantu di siang bolong. Lalu terpejam, menggeliat dan mengejang….mengelojot sambil menghela nafas panjang…pertanda sedang mencapai puncak orgasmenya.

Joseph melirik padaku sambil mengedipkan sebelah matanya. Mungkin memberitahuku bahwa Mbak Tiara sudah orga.

Dan aku menjawabnya dengan, “Lanjutkan aja sampai finish etape pertama !”

Joseph mengacungkan jempolnya sambil mengayun batang kemaluannya dengan gerakan dipoercepat, sehingga bunyi-bunyi unik terbit dari kemaluan Mbak Tiara, “Crek…crok…crek….cok…crok…crek…crok…crek…crok…” seperti bunyi cairan dikocok-kocok. Pasti karena liang kewanitaan Mbak Tiara sudah dibanjiri lendir kenikmatannya.

Dan aku malah berpikir bahwa kelak kalau Mbak Tiara benar-benar sudah bekerja di periusahaanku, pasti sering ia mengalami hal yang seperti ini. Bisa saja ia “kutugaskan” ke satu tempat pertemuan, lalu aku dan Joseph datang untuk menthreesomenya. Bahkan bisa saja aku membawa teman lebih dari seorang, seolah-olah party di suatu tempat yang aman dan nyaman kelak.

Kalau ia sudah menjadi pegawaiku, jam kerja juga bisa kugunakan untuk party seperti itu.
Mbak Tiara sendiri akhirnya mengakui bahwa apa yang kami lakukan jauh lebih dahsyat daripada yang biasa-biasa saja. Masalahnya setelah Joseph ejakulasi, aku maju…melanjutkan “sisa pekerjaan” yang belum selesai tadi. Dan setelah aku ejakulasi, Joseph maju lagi….sampai ejakulasi kedua kalinya. Dan aku menggantikan posisinya, sampai ejakulasi kedua kalinya. Lalu Joseph lagi dan aku lagi.

Begitulah….ketika hari mulai gelap, Mbak Tiara sudah enam kali disetubuhi. Aku tiga kali, Joseph tiga kali.

Sempat juga ada call dari suami Mbak Tiara. Mungkin menanyakan kenapa belum pulang ke Sukabumi. Dan kudengar Mbak Tiara mengutarakan alasannya. Bahwa ia sedang berjuang untuk memperolah pekerjaan di Bandung. Dan mungkin ia akan menginap di rumah temannya di Bandung. Titik. Lalu Mbak Tiara menyimpan handphonenya di dalam tas kecilnya.
Aku merasa persahabatanku dengan Joseph makin lama makin kompak dan solid. Rahasiaku sudah menjadi rahasia Joseph, sebaliknya pun begitu, rahasia Joseph sudah menjadi rahasiaku. Tentu saja rahasia-rahasia Joseph itu takkan kutulis di sini.

Apakah teman-temanku cuma sebatas mantan seangkatan di SMA? Tentu tidak. Mereka hanya sebagian kecil dari deretan teman-temanku. Hanya saja dengan merekalah aku sering melakukan petualangan sex. Dan tulisanku di [DS] ini memang fokus ke arah sex.

Di kartu namaku memang tiada gelar apa pun yang kusertakan. Untuk apa? Untuk gaya-gayaan? Gak ah. Aku kan seorang wiraswasta. Bukan pegawai negeri. Gelar dan ijazahku tidak ada sangkut pautnya dengan penghasilanku. Karena itu sangat jarang orang yang mengetahui latar belakang pendidikanku.

Joseph juga tak pernah bicara soal pendidikan akademisnya. Karena ia juga seorang pengusaha, meski mungkin usahanya tidak sebesar usahaku. Ia bahkan pernah berkata, “Menempelkan gelar di depan dan belakang nama kita, malah bikin kita gak bebas.”

Lalu, entah apa yang menyebabkan Joseph begitu percayanya padaku, sehingga dalam soal yang sangat penting itu ia mempercayakannya padaku. Soal penting apa?

Inilah kisahnya :
Pada suatu hari Joseph datang ke kantorku. Tidak seperti biasanya, kali ini ia mengajakku berbicara serius:

“Yad…aku bisa titip adikku biar kerja di sini gak?”

“Adik? Sejak kapan kamu punya adik?”

“Punya Yad. Cuma adikku tinggal di Nederland. Tapi sebulan lagi dia akan pindah ke Indonesia, orang tuaku menitipkannya padaku.”

“Ntar dulu…adikmu itu cowok apa cewek?”

“Cewek. Umurnya sekitar duapuluh dua tahun. Dia itu tadinya bermasalah di Nederland. Sempat masuk rumah sakit rehabilitasi pemakai narkoba segala. Tapi sekarang sudah benar-benar sembuh. Makanya orang tuaku bermaksud memindahkannya ke sini, supaya tidak larut dalam narkoba lagi.”

“Di sini juga banyak pengedar narkoba, Jos.”

“Tapi relatif masih bisa kita awasi. Di sini kan dia gak punya teman. Dia itu jadi pemakai narkoba sejak putus cintanya dengan cowok di sana. Jadi narkoba itu seolah pelarian patah hatinya gitu. Tapi kata ibuku, sekarang dia sudah tobat. Makanya aku mau carikan kerja, biar ada kegiatan yang positif di sini.”

Aku cuma mengangguk-angguk sambil memperhatikan wajah Joseph yang tampak kusut begitu.

“Bisa kan kamu tempatkan dia di perusahaanmu?” tanyanya.

“Mau ditempatkan di sini apa di Kalimantan?” aku balik bertanya.

“Ya di sinilah…supaya kita bisa jadi pagarnya.”

“Dia lancar berbahasa Indonesia?”

“Ya iyalah. Ayahku kan orang Indonesia. Ibuku doang yang orang Nederland.”

“Lalu…dia harus ditempatkan di bagian apa ya?”

“Terserah kamu. Pokoknya aku percayakan dia padamu Yad. Yang penting dia jangan sampai terjerumus ke dunia narkoba lagi.”

“Pendidikan terakhirnya apa?”

“Dia udah lulus akademi…semacam D3 kalau di sini sih.”

“D3 di bidang apa?”

“Tata boga. Harusnya sih dia kerja di restoran. Tapi adikku itu bisa cepat adaptasi dengan pekerjaan apa pun.”

“Ya udah. Nanti kalau sudah datang, ajak aja ke sini. Mungkin aku harus interview dulu, supaya aku tau di bagian apa dia itu cocoknya.”

“Terima kasih sebelumn ya, Yad. Jujur, di antara teman-temanku, hanya kamu yang aku bisa percaya seratus persen. Ohya, ini foto-fotonya,” kata Joseph sambil

mengeluarkan handphonenya. Lalu mengotak-atik handphone itu sesaat.

Lalu diperlihatkannya foto-foto adiknya itu.

“Wooow !” seruku waktu memperhatikan foto-foto itu, “Adikmu cantik sekali, Jos !”

“Iya sih. Mirip Manohara ya?”

“Aaah…kurasa cantikan adikmu, Jos,” sahutku sejujurnya. Karena kalau melihat dari fotonya sih, adik Joseph itu dijadikan artis juga pasti bisa.

“Dengar Yad…aku sih udah sampai berpikir sejauh mungkin. Seandainya kalian nanti ada hubungan juga, aku takkan marah. Bahkan seandainya dia dijadikan istri rahasiamu juga, aku takkan keberatan. Yang penting jangan sakiti hatinya. Itu saja.”

“Gila kamu Jos !” seruku sambil menepuk lutut sahabatku, “Masa kamu tawarin dia jadi istri simpananku?”

“Pola pikirku realistis, Yad. Kamu kan sudah punya istri. Lalu kalau ada hubungan dengan adikku nanti, gimana? Nikah secara resmi gak bisa kalau gak ada izin istrimu kan? Tapi itu semua cuma berandai-andai. Pokoknya aku sudah memperhitungkan segala kemungkinan setelah dia datang nanti.”

“Ohya…siapa nama adikmu itu?”

“Anna….lengkapnya sih Anna Karina. Kan ayahku yang kasih nama. Makanya gak mau kasih nama yang terlalu kebarat-baratan.”

Percakapanku dengan Joseph berlangsung lama. Intinya dia memasrahkan adiknya pada perusahaanku atau untuk pribadiku juga. Dan aku yakin pendiriannya itu berdasarkan keadaanku juga. Kalau aku orang miskin, tentu dia takkan mau membahasnya seperti itu. Mungkin dia percaya bahwa di bawah lindunganku, adiknya takkan hidup kekurangan. Memang realistis juga sih. Daripada membiarkan adiknya bergaul dengan cowok sembarangan, mending jadi istri simpananku? Dan… apakah sudah saatnya aku mempunyai istri lagi? Bukankah diam-diam aku sudah punya Nuryati dan Yona yang sangat kukasihi itu? Apakah aku merasa kurang dengan dua istri itu? Entahlah. Setelah aku berpikir lebih jauh lagi, akhirnya aku bertekad : What ever will be, will be. Apa yang akan terjadi, terjadilah.
Sebulan kemudian, Joseph benar-benar membawa adiknya ke kantorku. Dan aku dibuat terpaku melihat gadis bergaun terusan putih polos itu, adik Joseph itu, karena ternyata ia lebih cantik daripada di foto-fotonya. Memang ada garis kemiripan antara Joseph dengan adiknya itu. Tapi Joseph hanya tampangnya saja yang keindo-indoan, sementara kulitnya sama saja denganku, berwarna sawo matang. Sedangkan adiknya itu? Seolah asli bule, meski ayahnya orang Indonesia. Ya, adik Joseph itu berkulit putih benar. Putih dan halus, tidak seperti perempuan bule lain, yang banyak bintik-bintik coklat di permukaan yang kasar. Adik Joseph itu bukan cuma putih, tapi kulitnya juga halus dan mengkilap saking licinnya.

Tadinya kukira adik Joseph yang bernama Anna itu akan bersikap sebagaimana biasanya orang-orang bule, karena ia lahir dan dibesarkan di Nederland. Tapi entah karena ayahnya orang Indonesia, yang mengutamakan kesopanan, entah dibriefing dulu oleh Joseph…entahlah. Yang jelas, sikapnya begitu sopan dan lembut, membuatku semakin kagum padanya.

Joseph hanya mengantarkan adiknya, dudukj pun tidak di kantorku, lalu berpamitan, “Yad, aku hanya mengantar adikku. Soal dia mau ditempatkan di mana, aku takkan ikut campur. So, aku mau pulang duluan ya. Soalnya Mila minta diantar ke rumah sakit. Tantenya dirawat.”

“Sebentar Jos,” kataku sambil memegang pergelangan tangan Joseph dan mengajaknya keluar, sementara adiknya kuminta menunggu sebentar. Setelah berada di luar, setengah berbisik aku berkata, “Jos…adikmu itu cantik benar.”

“Iyalah. Ibuku juga bekas gadis model waktu mudanya.”

“Oke Jos,” aku mengangguk, “Mudah-mudahan aja adikmu bisa cepat adaptasi di sini.”

Setelah Joseph berangkat, aku masuk lagi ke ruang kerjaku dan menyapa Anna dalam bahasa Belanda sebisa-bisanya, “Kan sprekenin het Indonesisch?”

Anna terkejut dan berkata, “Meneer spreken nederlands taal?”

“Hahaha … nee .. nee … Ik kan alleen maar een beetje !”

“Oh, saya kira Boss suka bicara dalam bahasa Belanda.”

“Mmm…lebih baik kita bicara di restoran aja yuk. Ini kebetulan jam makan siang. Ayo ikut saya,” ajakku dengan ramah.

Tak lama kemudian Anna sudah berada di dalam jipku, yang kujalankan ke arah resto kaliber internasional dan paling bergengsi di kotaku.

“Di Amsterdam siapa yang ngajar Anna berbahasa Indonesia?” tanyaku di belakang setir jipku.

“Papi dan Mami tiap hari ngomong Indonesia. So saya juga harus ikut menguasai bahasa Indonesia. Karena kami semua warganegara Indonesia. Tapi…saya baru sekarang masuk Indonesia lagi. Saya lahir di Jakarta, tapi sejak bayi saya dibawa ke Nederland, karena Papi dapat kerja di Den Haag. Kalau Joseph kan tinggal di rumah adiknya Papi di sini,” sahut Anna dengan logat yang terasa asing, tapi bahasa Indonesianya tiada yang salah menurutku.

“Hawa Indonesia panas kan?”

“Waktu di Jakarta betul panas. Tapi di sini tidak terlalu panas.”

“Mmmm…Joseph ngomong apa saja sebelum mengantarkan Anna ke kantor tadi?”

“Tidak banyak. Hanya bilang harus sopan, harus mau ditempatkan di bagian apa saja dan….”

“Dan apa?”

“Mmm…gimana ya? Dia seperti menjodohkan saya dengan Boss.”

“Panggil aku Abang aja. Gak usah boss-bossan.”

“Iya. Bang…Abang….artinya broer kah?”

“Iya, panggilan untuk laki-laki yang lebih tua.”

Di resto bertaraf internasional itu beberapa pasang mata tertuju ke arah Anna, dengan sorot kagum. Mungkin mereka sangka yang bersamaku ini seorang artis, karena Anna memang cantik sekali.

Tapi Anna tampak tidak sok cantik. Kata-kata orang ada benarnya. Bahwa cewek yang cantiknya nanggung, justru suka lebih belagu daripada cewek yang bener-bener cantik.

“Jadi Joseph berniat menjodohkan kita, begitu?” tanyaku.

“Iya,” Anna mengangguk dengan senyum. O, manisnya senyum itu.

“Lalu pendirian Anna sendiri gimana?”

Anna menatapku dengan senyum manis lagi. Lalu berkata, “Saya memang dibesarkan di Eropa. Tapi Papi mendidik saya dengan cara Timur. Karena itu, saya sudah dibiasakan untuk mengikuti jalan pikiran orang-orang yang lebih tua.”

“Jadi artinya…?”

“Abang sendiri gimana? Apakah setuju pada keinginan kakak saya itu?”

Kupegang tangan Anna yang terletak di atas meja makan sambil berkata, “Anna…laki-laki mana yang menolak dijodohkan dengan gadis secantik Anna? Tapi Joseph juga sudah kasitau bahwa saya sudah punya istri kan?”

“Iya. Semuanya sudah diceritakan di rumah kakak saya kemaren.”

“Apakah status saya yang sudah beristri ini tidak dianggap rintangan?”

“Itu kan urusan Abang. Kalau Abang setuju pada usul Joseph, berarti Abang sudah siap mengatur semuanya.”

“Oke, saya tanya sekali lagi, apakah Anna setuju pada saran Joseph?”

“Kok Abang tanya lagi. Masa Abang tidak bisa mengambil kesimpulan dari kata-kata saya tadi.”

Aku ketawa kecil. Lalu memegang tangan Anna lagi sambil mendesaknya, “Saya ingin jawaban to the point. Supaya semuanya jelas. Setuju pada saran Joseph?”

Dengan senyum manis lagi Anna mengangguk sambil balik meremas tanganku.

“Dank u God,” kataku penuh semangat, “God maakt me gelukkig nu !” (Terima kasih Tuhan. Tuhan membuatku bahagia sekarang).”

Seperti kaget mendengarku bicara bahasa Belanda lagi, Anna mengguncang tanganku yang sedang digenggamnya sambil bertanya dalam bahasa Belanda juga, “Wil je echt het gevoel nu gelukkig?” (Apakah anda benar-benar merasa senang sekarang?)

Kujawab dengan anggukan.

Dan aku teringat lagi kata-kata almarhum guru spiritualku di pantai selatan itu, “Mulai tahun ini Nak Yadi akan mendapatkan jatah perempuan yang banyak sekali.”

Dan saat itu aku bertanya, “Jatah apa jodoh, Bah?”

Ulama yang mirip Pak Raden (karena kumisnya tebal sekali) itu menjawab singkat, “Jatah !”

Aku sulit mempercayai hal-hal yang berbau mistik. Tapi ucapan almarhum itu sudah kubuktikan kebenarannya. Bahwa sejak tahun itu diriku seolah dibanjiri perempuan demi perempuan. Sehingga aku tak perlu berjuang keras untuk mendapatkannya.

Dan kini, seorang gadis indo yang begitu cantik dan menawan, telah menyatakan siap untuk menjadi jodohku.

Beberapa saat kemudian, ketika Anna sudah duduk di sampingku di dalam jip yang sedang kujalankan menuju ke lkompleks perumahan paling elit di kotaku, secara jujur aku berkata, “Bermimpi pun tidak kalau saya akan merasakan kebahagiaan sehebat ini sekarang.”

“Dan saya senang kalau saya bisa membahagiakan hati Abang,” sahut Anna dengan kepala disandarkan ke bahuku.

“Tapi kenapa Anna bisa secepat itu menerima saya?”

“Tidak cepat Bang. Sebelum saya terbang ke Indonesia, Joseph sudah mengirimkan foto-foto Abang lewat chat di handphone kami. Saya juga sudah mendengar hal-hal mengenai pribadi Abang dari Joseph. Kebetulan Papi dan Mami juga setuju kalau saya dijodohkan dengan Abang.”

“Hah?! Jadi sudah sejauh itu kalian merundingkan diriku?”

“Iya Bang. Biar abang tau, Mami dan Papi juga dahulu dijodohkan oleh orang tua mereka. Ternyata sampai sekarang mereka hidup bahagia.”

Aku cuma terlongong di belakang setirku. Semua yang Anna katakan masih terasa aneh bagiku.

Tapi Anna lalu menjelaskan lagi, “Budaya orang Belanda jauh beda dengan orang Amerika, Bang. Katakanlah orang Belanda itu masih feodal. Tapi memang begitulah kenyataannya. Maka pernikahan Papi dan Mami pun bukan dimulai dengan pergaulan anak-anak muda.”

Beberapa saat kemudian, aku sudah berada di depan sebuah rumah di kompleks perumahan yang paling elit di kotaku. Rumah itu lebih luas dan megah kalau dibandingkan dengan rumah yang sudah kuberikan kepada Nur. Terus terang, aku membeli rumah ini dari hasil profit batubara pada gebrakan pertama. Sengaja kusimpan terpisah uangnya. Dan kubelikan rumah itu, untuk mengabadikan hasil perjuangan awalku di Kalimantan. Tadinya pun rumah itu takkan kujual, melainkan untuk kupakai sendiri. Karena itu sedikit demi sedikit perabotannya kulengkapi.

Pada saat aku mengajak Anna ke rumah itu, perabotannya sudah lengkap semua.

“Ini rumah Abang?” tanya Anna waktu sudah berada di teras rumah itu.

“Iya,” sahutku sambil membuka pintu depan.

Setelah berada di ruang tamu, Anna menyapukan pandangan ke sekitarnya. “Besar juga rumah ini ya? Tapi kelihatannya seperti belum pernah ditempati.”

“Kalau Anna mau, Anna bisa tinggal di sini,” kataku.

“Sendirian?”

“Nanti saya carikan pembantu rumah tangga, paling sedikit dua orang. Yang satu untuk bagian cleaning service, termasuk cuci dan setrika pakaian, yang satu lagi untuk tukang masak.”

“Terus?” Anna duduk di sofa ruang tamu.

Aku pun lalu duduk di sampingnya, “Terus saya akan sering menginap di sini. Kalau tidak bisa malam, ya siangnya saya bisa berada di sini.”

“Abang serius?”

“Sangat serius, honey,” kataku, untuk pertama kalinya memanggil honey padanya.

“Mmm…status saya nanti gimana? Jadi pegawai di perusahaan Abang atau…”

“Jangan pikirkan status dulu, supaya pikiran kita tetap jernih. Yang pasti, saya takkan menempatkan Anna di perusahaan saya. Kalau Anna mau, nanti saya buatkan sebuah restoran, lalu Anna kembangkan hasil pendidikan di Nederland dahulu. Di kota ini banyak orang yang suka masakan berbau internasional.”

“Wow…berarti Joseph sudah bicara banyak dengan Abang. Terima kasih Bang. Memiliki sebuah restoran, memang sudah jadi obsesi saya sejak remaja dulu.”

“Anna tak usah bekerja sendiri nanti. Biar kita cari chef yang sudah pengalaman di resto-resto atau hotel-hotel bertaraf internasional. Anna cukup mengawasi dan mengelolanya saja.”

“Mengelola? Apa arti mengelola Bang?”

“Mmm…dalam bahasa inggris mengelola itu artinya manage. Dalam bahasa Belanda mungkin disebut beheren…”

“Hihihihi…Abang kok banyak tau bahasa Belanda? Padahal waktu ngambil gelar master bukan di Belanda kan? Dari mana Abang belajar bahasa Belanda?”

“Saya punya ibu tiri yang sejak bayi dijadikan anak angkat keluarga Belanda. Dari dia saya banyak belajar bahasa Belanda.”

“Sekarang stiefmoeder itu masih ada?”

“Masih. Dia belum tua-tua benar. Baru empatpuluh tahunan gitu.”

“Kapan-kapan ketemukan saya dengan dia ya Bang.”

“Iya.”

Tiba-tiba handphoneku berdering. Joseph yang meneleponku. Lalu:

“Hallo Jos !”

“Sorry mengganggu nih…gak lagi sibuk kan?”

“Gak Jos. Lagi santai benar. Lagi ngobrol sama Anna.”

“Ohya? Jadinya gimana? Apakah dia diterima di perusahaanmu?”

“Gak. Dia kuterima di hatiku. Bukan di perusahaan.”

“Hahahaa…syukurlah. Atur-atur aja gimana baiknya. Pokoknya aku percaya penuh padamu, Yad.”

“Iya. Terimakasih atas kepercayaanmu….kepercayaan yang membuatku bahagia saat ini, Jos.”

Setelah hubungan telepon ditutup, aku menggapaikan tangan pada Anna dan menepuk pahaku sendiri, “Sini…duduk di sini…”

Dengan senyum manis Anna duduk di atas kedua pahaku. Bahkan sambil mendekatkan bibirnya ke bibirku. Lalu kami berciuman dengan mesranya.

“Bang…nanti Abang jangan kecewa ya…karena saya tidak virgin lagi,” kata Anna setelah ciuman kami terlepas.

“Gak apa-apa. Yang penting bisa setia gak nanti?”

“Bang,” Anna menatapku dengan sorot tajam, lalu melanjutkannya dalam bahasa Belanda, yang artinya kira-kira seperti ini :”Jangan anggap saya ini perempuan murahan. Saya memang tidak virgin lagi. Tapi kalau Abang percaya, saya baru tiga kali melakukannya dengan lelaki Norwegia sialan itu. Setelah dia menghilang, saya tidak pernah melakukannya lagi dengan siapa pun. Jadi Abang tak usah meragukan kesetiaan saya.”

“Iya, saya percaya, honey.”

“Lalu…” lanjutku, “apa yang boleh saya lakukan padamu?”

Sebagai jawaban, Anna merangkul leherku sambil berkata, “U beleefd … Ik hou van uw wegen.” (anda sopan, saya suka cara anda)

Kucolek-colek bibir Anna yang sensual itu, “Apakah tidak terlalu cepat kalau kita melakukan sejauh mungkin saat ini?”

Anna menggigit daun telingaku perlahan. Dan berbisik, “Saya sudah menjadi milik Abang. Doe wat je wilt…” (lakukanlah apa yang anda inginkan)

Aku menunjuk ke pintu kamar depan yang masih tertutup sambil berkata, “Lebih nyaman kita pindah ke sana, honey. Di sini agak panas, belum ada ACnya.”

Anna mengangguk dan turun dari pangkuanku. Lalu mengikuti langkahku menuju pintu kamar depan yang masih tertutup itu. Kubuka pintu itu, lalu kuambil remote control AC. Kuatur suhunya sampai 16 derajat celcius. Supaya Anna merasa seperti di Den Haag.

“Bang…tau gak? Sejak melihat foto kiriman bbm Joseph itu, saya langsung suka…” kata Anna sambil melingkarkan lengannya di leherku.

“Klau saya…jangan tanya lagi,” timpalku, “Begitu Joseph memperlihatkan foto-fotomu, saya langsung berpikir, bisakah Anna jadi milik saya?”

“Kan sekarang saya sudah menjadi milik Abang,” bisik Anna disusul dengan kecupan hangatnya di pipiku.

Hasrat birahiku jadi menggila, bercampur dengan keruntuhan hati yang sudah terjatuh di kaki Anna Karina. “Gaunnya dilepaskan saja ya, supaya gak kusut,” kataku.

“Abang lepasin pakaian Abang saja. Biarin ini saya lepasin sendiri,” katanya sambil melepaskan gaun putih bersihnya.

Dalam keadaan cuma mengenakan bra dan celana dalam tipis transparan, Anna merebahkan diri di atas tempat tidur. Oh maaaaaak ! Rasanya aku seperti bermimpi, bahwa tubuh mulus dan indah itu sudah terlentang di depanku. Membuat batinku bergetar-getar ketika kutanggalkan baju kaus dan celana jeansku. Dan menghampirinya setelah tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku.

Dan Anna meraihku ke dalam pelukannya. Terasa ada hawa hangat dari tubuh adik Joseph yang jelita itu. Membuat nafasku mulai sulit diatur. Terlebih lagi setelah Anna melepaskan branya, lalu meletakkannya di samping bantalnya. Sungguh, aku menyaksikan sepasang payudara yang indah serkali.

“Saya masih merasa seperti bermimpi, honey,” kataku sambil menciumi bibir dan pipi Anna yang hangat. Sementara suhu di kamar ini sudah lumayan dingin, karena freon ACnya sudah tersebar.

“Anggap aja sekarang bulan madu kita Bang,” kata Anna sambil merengkuh leherku, lalu melumat bibirku dengan hangatnya. O, hasrat birahiku semakin menggila dibuatnya. Tapi aku tetap merasa wajib melakukan foreplay, supaya Anna benar-benar horny sebelum melakukan semuanya.

Rasanya baru sekali ini aku merasa gugup melakukannya. Namun setelah aku mencelucupi pentil payudara Anna, terasa kegugupanku sirna sedikit demi sedikit.

Terlebih setelah jemariku mulai menyelundup ke balik celana dalam Anna…kusentuh kemaluan yang begitu hangatnya, sementara jembutnya agak menjauh di atas vaginanya, sehingga aku cuma menyentuh daging yang hangat dan mulai membasah.

Anna benar-benar pasrah. Waktu aku menurunkan celana dalamnya pun, ia cuma menatapku dengan senyum yang manis sekali.

Maka dengan sepenuh perasaan, kuciumi kemaluan yang jembutnya dibentuk seperti icon love itu. Lalu lidahku pun mulai menjulur dan dengan penuh nafsu kujilati kemaluan adik Joseph itu, tanpa ragu sedikit pun, karena tiada aroma yang tak sedap di bagian yang paling indah itu.

Jam terbangku sudah cukup tinggi. Sehingga aku tahu persis bagian mana yang harus kujilati. Aku tak pernah peduli dengan istilah G-spot, karena aku yakin semua wanita yang pernah kugauli pasti merasa puas dengan trik-trik yang senantiasa kulakukan.

Jilatanku mulai terfokus di kelentit Anna. Bukan cuma jilatan, aku pun mengisapnya sambil mengelusnya dengan ujung lidahku. Dan Anna mulai mendesah-desah. Desahan yang terdengar sangat erotis di telingaku sehingga aku semakin bergairah untuk mengoral kemaluannya.

Dan akhirnya aku merasa tak kuat lagi menahan nafsuku sendiri. Batang kemaluanku sudah tegang sekali rasanya. Sehingga aku mulai merayap ke atas dada Anna, sambil mengarahkan penisku ke ambang pintu surgawi adik Joseph itu.

Dengan sekali dorong aku berhasil membenamkan penisku, meski baru separohnya. Anna menyambutku dengan kecupan-kecupan mesranya di bibirku…dan aku mulai mengayun tongkat kejantananku dengan gairah yang berkobar-kobar.

Gila…baru sekali ini aku mengalami persetubuhan yang penuh dengan fantasi di dalam batinku.

Remasan demi remasan sudah kulakukan, selalu disambut dengan kecupan-kecupan mesra di bibir dan pipiku. Rintihan demi rintihan telah berkumandang di dalam kamar ini.

“Oooh…Baaang…. Je maakt me plezier…..Baaaang….” berulang-ulang Anna merengek manja dan erotis. Berulang-ulang mengatakan Je maakt me plezier (anda membuatku nikmat).

Aku pun makin lama merasa seolah makin tinggi melayang di langit yang bertaburkan bunga-bunga surgawi…sehingga keringat kenikmatanku pun mulai berjatuhan ke tubuh Anna. Bercampur aduk dengan keringat Anna sendiri.

Suhu 16 derajat Celcius tidak terasa dingin lagi. Bahkan tubuh kami mulai dibanjiri keringat yang terbit terus menerus. Namun aku malah dengan senang hati menjilati keringat yang membanjiri leher Anna…dengan senang hati menggigiti daun telinganya dengan gigitan-gigitan perlahan, lalu saling lumat dalam buaian asmara yang semakin indah…

Bahkan pada suatu saat kudengar Anna merengek manja, “Baaang…ik kom Bang…ik kom…ik kom.” (ik kom = aku datang, maksudnya mau orgasme)

Sebenarnya aku merasa ejakulasiku masih lama. Tapi aku ingin melakukan sesuatu yang berkesan bagi Anna. Maka dengan gerakan yang mengganas, kuayun batang kemaluanku di dalam jepitan liang kemaluan Anna.

Sampai akhirnya aku berhasil melakukannya. Berhasil menembak-nembakkan air maniku di dalam liang kewanitaan Anna yang sedang berkejut-kejut indah.

“Ooooh…ini indah sekali, Bang…” cetus Anna setelah mengecup bibirku, “Tapi Abang keluarin di dalam tadi…kalau saya hamil bagaimana?”

“Biar saja hamil,” sahutku sambil mengecup pipi Anna yang keringatan, “saya malah akan bahagia sekali kalau bisa punya anak dari Anna.”

Anna tersenyum, dengan mata yang tampak sayu.
Anna Karina memiliki nilai plus di mataku, sehingga aku punya niat khusus untuknya. Bukan karena ia paling cantik di antara perempuan-perempuan yang sudah kumiliki. Yang membuatku punya rasa tanggung jawab besar padanya, adalah karena ia adik sahabatku sendiri. Dan kata-kata Joseph sebelum Anna terbang ke Indonesia, terngiang-ngiang terus di telingaku, ” di antara teman-temanku, hanya kamu yang aku bisa percaya seratus persen”…… “Bahkan seandainya dia dijadikan istri rahasiamu juga, aku takkan keberatan. Yang penting jangan sakiti hatinya….”

Ya, kata-kata Joseph itu terngiang-ngiang terus di telingaku. Dan aku menghormati sahabat terdekatku itu. Karena ia yang mengusulkan kepada kedua orang tuanya di Nederland, untuk menjodohkan Anna denganku. Entah apa saja yang dikatakan kepada kedua orang tuanya itu, yang membuat mereka lalu bersepakat, untuk merestui hubunganku dengan Anna dalam bentuk apa pun.

Joseph yang selalu kompak denganku dalam segala hal, membuatku merasa wajib membuatnya tenang. Itulah sebabnya kutempatkan Anna di rumah yang paling mahal di antara asset-asset property yang sudah kumiliki.

Anna sendiri tidak menyulitkanku. Meski ia besar di Nederland, ia sudah dibiasakan hidup nrimo. Maka ketika kuajak ia pindah agama, supaya bisa nikah siri, tanpa berpikir panjang lagi ia langsung setuju. Aku yakin bahwa Joseph sudah membriefingnya tentang segala kemungkinan jika Anna berhubungan denganku.

Anna pun akhirnya menjadi istri ketigaku, meski cuma lewat nikah siri, tapi menurut para ahli, itu adalah sah.

Seperti yang sudah kujanjikan, dua orang pembantu kutempatkan di rumah itu. Yang satu bagian bersih-bersih, cuci-cuci dan menyetrika. Semacam, cleaning service gitulah. Yang seorang lagi dijadikan tukang masak, karena ia pernah bekerja sebagai koki di sebuah rumah makan kecil, katanya.

Aku bahkan bermaksud membelikan sebuah mobil, tapi Anna menolaknya, “Jangan dulu Bang. Nanti kalau aku sudah hafal kota ini dan sudah ada job yang jelas, barulah Abang belikan aku mobil,” katanya.

Dan pada suatu hari aku membawanya ke sebuah bangunan bekas kantor yang akan dikontrakkan di daerah yang cukup strategis.

“Kita bisa kontrak tempat ini tiga atau empat tahunan,” kataku, “Tentu harus direnovasi dulu supaya cocok buat resto. Sambil menunggu renovasi selesai, kita cari chef yang handal.”

“Kan harus pakai serveerster juga Bang.” (serveerster = pelayan)

“Serveerster sih gampang, butuh seratus orang juga bisa dapet dalam seminggu. Tapi kalau chef handal, agak susah nyarinya.”

“Iya…Abang atur aja gimana baiknya. Aku siap ikut rencana Abang.”

Tempat bekas kantor itu kukontrak selama lima tahun. Kalau nanti kelihatan prospeknya bagus, bisa saja kubeli dari hasil restoran yang direncanakan itu.

Gedungnya lumayan besar. Tempat parkirnya juga luas. Kemudian kami renovasi, dibuat setepat mungkin untuk dijadikan restoran.

Merenovasi tempat seluas itu memang butuh waktu. Pemborongnya menyanggupi selesai dalam lima bulan, karena design yang kuberikan pada pemborong itu memang rumit-rumit mengerjakannya

Di sela-sela waktu renovasi itulah, terjadinya kisah berikut ini.

Aku mengajak Donna (sekretarisku) mengikuti meeting di meeting room sebuah hotel bintang empat. Di situ aku bernegosiasi dengan eksportir tepung coklat, yang biasa mengekspor ke Ivory Coast (Pantai Gading, Afrika). Sebenarnya Ivory Coast penghasil coklat terbesar di dunia. Tapi mereka selalu kekurangan tepung coklat, karena konsumen di dalam negrinya pun lumayan banyak. Maka Ivory Coast dan Ghana sering mengimpornya dari Indonesia, lalu mereka ekspor ke Eropa, terutama ke Swiss.

Rukanda, tenaga lapanganku dalam bidang coklat, ikut hadir dalam meeting itu. Bahkan dia lah.

Pada waktu Rukanda sedang representasi, pikiranku malah melayang-layang. Pada wanita muda yang duduk di sampingku. Sekretarisku sendiri yang bernama Donna itu.

Aneh memang, selama ini aku cuek-cuek saja padanya. Aku memperlakukannya tak lebih dari perlakuan terhadap anak buah.

Tapi kenapa siang itu pikiranku mendadak beda dari biasanya? Apakah karena meeting ini dilakukan di dalam meeting room sebuah hotel?

Padahal dalam beberapa hari ini aku sedang merencanakan untuk menaikkan gaji Donna, karena prestasi kerjanya kuanggap bagus. Aku juga pernah mendengar, bahwa suaminya yang bekerja sebagai TKI di Korea Selatan itu tak pernah mengirim uang, entah apa sebabnya. Sehingga Donna lalu mencari kerja dan akhirnya diterima di perusahaanku.

Setelah meeting selesai, Rukanda pamitan mau pulang duluan, karena mau mengecek ke kebun kakao yang sudah dikuasainya. Team eksportir itu pun pulang. Tinggal aku berdua dengan Donna di dalam meeting room itu.

“Coba tanya ke resepsionis, apakah masih ada kamar kosong gak…kalau ada booking buat semalam aja,” kataku.

“Iya Pak,” sahut Donna dengan sikap sopan. Lalu meninggalkan meeting room ini.

Gilanya, aku malah makin jauh membayangkan seandainya Donna sudah kutelanjangi, seperti apa bentuknya ya? Bahkan lebih jauh lagi, kalau kusetubuhi seperti apa rasanya ya?

Beberapa saat kemudian Donna muncul lagi dan melaporkan, “Sudah ada, Pak. Kamarnya di lantai empat.”

“Oke,” aku mengangguk, “ayo ikut aku.”

“Iya Pak,” Donna mengambil tas kecilnya di meja, lalu mengikutiku menuju pintu lift.

Di dalam lift yang bergerak menuju lantai empat, diam-diam aku perhatikan bentuk Donna. Cantik, tubuhnya mungil dan masih terawat, walaupun sudah punya anak seorang (menurut data pegawaiku). Usianya mungkin sedikit di atas istriku (Erni). Tapi entah kenapa, siang ini aku penasaran sekali, ingin melihatnya telanjang bulat dan menggumuli sepuasnya.

Tapi kelihatannya Donna belum menyadari bahwa aku sedang punya rencana “khusus” padanya. Bukan lagi sebagai owner perusahaan kepada sekretarisnya.

Setelah berada di dalam kamar pun kelihatannya Donna belum menyadari juga apa yang akan kulakukan padanya. Dengan sikap sempurna ia duduk di sofa sambil mengepit tas kecilnya. Mungkin disangkanya aku akan menunggu tamu bisnis di kamar ini, atau ada urusan bisnis lain.

“Kalau kamu lagi kerja, anakmu siapa yang jagain?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.

“Sama ibu saya Pak. Saya kan masih tinggal di rumah orang tua.”

“Kenapa gak nyicil rumah yang dekat-dekat ke kantor?” tanyaku.

“Wah, buat uang mukanya juga belum ada Pak. Apalagi nyicilnya tiap bulan…bisa gak ngebul dapur saya…” sahutnya sambil tersenyum-senyum.

“Nanti akan kupikirkan supaya kamu bisa dapet rumah KPR.”

“Iya Pak…makasih Pak…” sorot mata Donna tampak jadi cemerlang.

“Kamu tau kenapa aku mengajakmu ke sini?” tanyaku sambil melingkarkan lenganku di lehernya.

Donna terasa agak kaget. Tapi kemudian dia cuma tersenyum sambil menatapku.

“Kamu ini cantik, Don…” kataku lagi sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya. Dan ia malah sengaja mengangsurkan bibirnya, yang membuatku makin binal…mencium bibirnya denganm hasrat birahi yang mulai membara.

“Ngerti kan apa tujuanku membawamu ke sini?” desisku setelah ciumanku terlepas.

Ia mengangguk, tetap dengan senyum manis.

“Kalau gitu bukalah pakaianmu, biar jangan kusut,” kataku dengan sikap santai.

“Hihihi…malu…”

“Malu? Justru aku ingin melihat keindahan tubuhmu, Don. Sekarang kan mumpung ada kesempatan. Atau kamu keberatan?”

Donna menggeleng dan berkata perlahan, “Bapak tau aja saya udah lama jauh dari suami.”

“Iya, makanya aku mau mewakili suamimu sekarang,” kataku sambil menanggalkan jas dan dasiku, kemudian kulepaskan juga kemeja dan celana panjangku, sehingga tinggal celana dalam saja yang masih melekat di tuibuhku.

Sementara Donna pun tinggal mengenakan celana dalam saja. Dan naik ke atas tempat tidur. Di situlah ia menanggalkan celana dalamnya.

“Wow ! Gak salah dugaanku…tubuhmu pasti mulus dan indah sekali,” kataku sambil naik ke atas tempat tidur…mengelus betisnya, pahanya…perutnya…payudara mungilnya….

“Bapak kok tiba-tiba mau sama saya. Kenapa Pak?” tanya Donna sambil menatapku yang sudah menghimpit dadanya.

“Kamu kan selalu sibuk. Aku nyari celah terus…sekaranglah waktunya, karena kita kebetulan berada di hotel,” sahutku sambil mempermainkan pentil payudaranya, lalu mencelucupinya.

“Pak…duuuuh…saya sih digituin juga langsung horny…” kata Donna sambil membelai bahuku.

“Kamu ikut KB kan?” tanyaku sambil menarik celana dalamku sampai lepas.

“Iya…saya takut punya anak lagi…cukup satu aja dulu…”

“Bagus…jadi nanti ini bisa nembak didalam memekmu…” kataku sambil mendekatkan batang kemaluanku yang sudah tegang ke dekat payudara Donna.

“Aaaaaw…Pak !” Donna memekik tertahan, ” Apa saya gak salah lihat? Punya Bapak gede banget…pantesan Bapak banyak pacarnya.”

“Ah kata siapa?”

“Sampai cewek bule aja ngejar-ngejar ke kantor…..”

Aku kaget mendengar ucapan Donna itu. O, seandainya ia tahu bahwa cewek bule yang dimaksud itu sudah menjadi istri ketigaku….

“Iyalah,” kataku, “Yang jelas sekarang aku tertarik banget sama kamu, Donna cantik….”

Lalu kukecup bibir tipis Donna…dan kepalaku langsung melorot ke atas perutnya, sementara kedua tanganku menarik celana dalamnya sedikit demi sedikit, sampai akhirnya terlepas dari kakinya.

Tanpa banyak basa-basi lagi, kuserudukkan mulutku ke kemaluan Donna yang bersih dari jembi itu. Aku memang selalu berusaha membuat partner seksualku basah dulu kemaluannya, agar tiada kata sakit pada waktu penetrasi nanti.

“Aaaaaah…..Paaaaak…aaaaah……….aaaaaaaaaaaaaaahhhh…………Paaaaaak………”

Donna menggeliat-geliat sambil membelai-belai rambutku. Terkadang sepasang kakinya mengejang, nafasnya tertahan….lalu menggeliat-geliat lagi….

Tapi beberapa menit kemudian Donna merengek, “Udah Pak…jangan terlalu lama…saya paling gak kuat kalau dijilatin gini…entar keburu becek Pak…”

Untuk mengikuti keinginan Donna, aku pun merayap naik ke atas tubuhnya, lalu kuletakkan moncong penisku di mulut kemaluan Donna. Dan kudesakkan sekuatnya…melesak…blessss….

“Oooooh…..saya lebih dari setahun gak diginiin Pak….sekali ketemu yang gede banget gini….oooooh…..” Dona memelukku erat-erat, tanpa keraguan lagi.

Dan aku pun tak ragu lagi untuk mengentotnya, dengan gerakan yang langsung lancar.

Donna menyambut persetubuhan ini dengan gerakan goyang pinggul yang sudah terlatih, binal sekali, tapi enak sekali rasanya.

Saking enaknya, di tengah persetubuhan itu berlangsung aku menyempatkan untuk mengatakan sesuatu (yang sebenarnya sudah direncanakan sejak seminggu sebelumnya): “Mulai bulan depan gajimu naik limapuluh persen, cantik…”

“Ooooh ?! Serius Pak?” Donna menatapku ceria.

“Serius lah….masa main-main dalam soal penting gitu…”

“Oooh, Bapak baik banget….udah ngasih yang begini enaknya, gaji saya dinaikkan pula. Terimakasih Pak….” cetus Donna yang lalu dilanjutkan dengan goyangan pinggulnya lagi yang semakin membinal, karena aku pun sudah mengayun kembali batang kemaluanku dengan kecepatan yang “serius”.
Aku masih ingat benar, bahwa pada waktu mau pulang dari hotel itu, Donna sempat memelukku dengan manjanya, sambil berkata, “Kapan pun Bapak mau melakukannya lagi, saya siap Pak.”

“Iya. Besok-besok bisa aja kita pakai jam makan siang….cek in di hotel yang dekat kantor saja. Tapi kamu harus duluan, jangan bareng-bareng dari kantor.”

Tapi siang itu aku harus buru-buru ke rumah Anna, karena aku sudah janjian akan ke Jakarta bersamanya sore nanti.

Dan esok harinya, waktu ada telepon dari Joseph itu, aku sedang berada di Jakarta bersama Anna.

Terdengar suara Joseph di handphoneku, “Lagi di mana Yad?”

“Lagi di Jakarta bersama Anna,” sahutku, “Kenapa Jos?”

“Gak…mmm…mmm…barusan aku terima telepon dari Erni. Dia minta aku datang ke rumahmu, Yad. Tentu saja bukan cuma datang. Ah, aku jadi bingung nih.”

“Datang aja,” kataku meski dengan darah yang berdesir-desir cemburu. Tapi bukankah aku sedang bersama Anna yang lebih cantik daripada istriku?

“Jadi…serius kamu ngasih ijin?”

“Serius. Tapi hati-hati jangan sampai keceplosan ngomong soal Anna.”

“Nggak lah. Kalau aku keceplosan, bisa disemprot nanti sama Erni. Bisa-bisa aku dianggap sekongkol, karena Anna itu adikku Yad.”

“Oke…aku percaya. Sekalian fotoin nanti ya, buat dokumentasi pribadi kita.”

“Sip !”

Setelah menutup hubungan teleponku dengan Joseph, Anna bertanya, “Siapa barusan? Joseph?”

“Iya.”

“Ada apa Bang?”

“Gak ada apa-apa. Cuma ngecek aja kita berada di mana.”

“Ooo…kirain ada yang penting.”

Begitulah…dua hari kemudian, ketika aku sudah pulang ke rumah Erni, yang pertama kali kucari di komputerku adalah folder “pengakuan” itu. Ingin tahu apa saja yang ia lakukan bersama Joseph pada waktu aku sedang bersama Anna di Jakarta itu. Tanpa menemui kesulitan, aku menemukan pengakuan istriku itu:
==================================================================
Belakangan ini aku merasa ada sesuatu yang tidak seperti biasanya. Bahwa suamiku sering menghilang, tidak tidur di rumah tanpa alasan yang jelas. Padahal dari dulu dia sering mengatakan bahwa seorang pemimpin yang punya leadership, boleh main golf atau jalan-jalan ke mana pun, tapi perusahaan berjalan terus secara normal. Lalu kenapa ia sekarang demikian sibuknya mengurus usahanya? Kenapa tiap kali kutanya mau ke mana, selalu jawabnya “ada urusan bisnis”? Kenapa ia tidak bisa duduk manis saja bersamaku, sementara perusahaan berjalan terus dengan sehatnya?

Memang aku tak mau membatasi ruang gerak suamiku. Mau ke mana pun silakan aja, asal mau ngasitau secara benar padaku.

Padahal aku ini sering merasa kangen pada sesuatu. Ah, malu menuliskannya di sini. Tapi memang beginilah kenyataannya. Bahwa hasrat birahiku sering menagih-nagih, sementara suamiku entah di mana, si Herman pun sudah ditugaskan di Kalimantan lagi. Lalu siapa yang bisa dijadikan penyaluran hasratku yang makin lama makin menggila ini? Jonathan? Ahh…anak itu masih terlalu muda, takkan bisa memuaskanku, malah bikin aku capek saja.

Menurutku, lelaki yang bisa memuaskan hasratku, haruslah berusia di antara 25 sampai 35 tahun. Ya, usia di sekitar itu kuanggap paling ideal untukku. Karena di usia segitu, mereka punya pikiran untuk memberi kepuasan juga padaku, bukan ego-egoan seperti anak belasan tahun.

Sampai pada suatu sore menjelang malam, dalam amukan hasrat birahi yang semakin menagih-nagih, kutelepon suamiku. Lalu, “Lagi di mana Bang?”

“Lagi di Jakarta, sayang. Kenapa?”

“Gak, nanya aja. Abang gak bilang-bilang sih mau ke Jakarta segala. Terus mau nginap?”

“Iya, sayang. Mungkin lusa baru bisa pulang. Ada urusan bisnis penting nih.”

Bisnis terus sampai tua ! Kututup hubungan telepon dengan suamiku, dengan perasaan kecewa dan jengkel.

Baru beberapa menit hubungan telepon dengan suamiku ditutup, tiba-tiba aku ingat seseorang yang senantiasa kukagumi. Orang itu adalah….Joseph !

Tanpa pikir panjang lagi, kupijat nomor Joseph di handphoneku.

Lalu:

“Hallo Erni….apa kabar?”

“Kabarnya…kabar kangen sama Joseph.”

“Wahahahaa….ajak Yadi swing aja, biar lepas kangennya. Aku juga kangen kok sama kamu, Er.”

“Bang Yadi lagi di Jakarta, Jos. Ke sini dong…aku bener-bener kangen sama Jos…please…. Jos… please…”

“Ohya? Udah dapat izin dari Yadi?”

“Belum. Nanti aja lah izin sih gampang. Sekarang aku bener-bener kangen Jos….”

“Oke deh. Dalam sejam aku merapat di rumahmu. Yang di kompleks wisma kos itu kan?”

“Iya. Rumah lama kan udah gak ada, sekarang lagi dibangun untuk ruko-ruko. Cepetan ya Jos.”

“Oke.”

Dengan batin mendadak berbunga-bunga, cepat aku mandi sebersih-bersihnya. Setiap sela kubersihkan, sambil membayangkan akan disentuh oleh Joseph nanti. Bayangan itu membuatku tersenyum sendiri di kamar mandi.

Lalu seperti biasa, kukenakan kimonoku. Kali ini kupakai kimono sutra merah dengan corak burung phoenix berwarna kuning muda. Cuma kimono itu saja yang kukenakan. Tanpa bra dan celana dalam lagi. Untuk “mempermudah” Joseph nanti.

Kusemprotkan juga parfum mahalku ke setiap bagian “penting” di tubuhku. Termasuk ke pangkal pahaku.

Lalu dengan tak sabar kutunggu kedatangan lelaki indo yang tampan bernama Joseph itu.

Sebelum jam delapan malam bel sudah berdering. Jantungku berdegup kencang. Terlebih ketika aku mengintip dari balik gordin yang kusingkapkan…benar-benar Joseph sudah berdiri di teras depan ! Oh…bergetarnya batin ini….

Kubuka pintu depan sambil melayangkan tatapan hangat dan senyum manis.

Begitu Joseph masuk ke dalam, pintu langsung kututupkan kembali. Dan langsung kusergap Joseph dengan pelukan hangat, sehangat birahiku yang berdesiran.

Dan Joseph menatapku dengan sorot hangat pula. Lalu mencium bibirku mesra di balik pintu yang sudah tertutup dan terkunci kembali.
“Jos….aku kangen banget sama Jos,” kataku setelah Joseph kuajak masuk ke dalam kamar yang biasanya suka ditempati oleh Leo itu.

Leo tersenyum. Mencium bibirku lagi dengan hangatnya. Membuat alamku seolah berbunga-bunga. Indah sekali.

Terlebih setelah Joseph melepaskan tali kimono sutra merahku. Lalu menanggalkan kimonoku. Dan tiada benda yang melekat lagi di tubuhku, karena aku tidak mengenakan bra maupun celana dalam.

Aku pun melompat ke atas tempat tidur, disusul oleh Joseph dengan senyumnya yang senantiasa meluluhkan hatiku ini.

Dan…oooh…Joseph langsung menjilati kemaluanku, sehingga aku pun langsung terkejang-kejang dan terpejam-pejam dalam arus nikmat yang luar biasa ini.

“Jos….aku kangen banget sama Jos,” kataku setelah Joseph kuajak masuk ke dalam kamar yang biasanya suka ditempati oleh Leo itu.

Leo tersenyum. Mencium bibirku lagi dengan hangatnya. Membuat alamku seolah berbunga-bunga. Indah sekali.

Terlebih setelah Joseph melepaskan tali kimono sutra merahku. Lalu menanggalkan kimonoku. Dan tiada benda yang melekat lagi di tubuhku, karena aku tidak mengenakan bra maupun celana dalam.

Aku pun melompat ke atas tempat tidur, disusul oleh Joseph dengan senyumnya yang senantiasa meluluhkan hatiku ini.

Dan…oooh…Joseph langsung menjilati kemaluanku, sehingga aku pun langsung terkejang-kejang dan terpejam-pejam dalam arus nikmat yang luar biasa ini.
“Udah cukup sayang…aku udah kangen sama penismu…mulai aja…,” ucapku sambil menarik kepala Joseph agar naik ke atas tubuhku.

Dan ketika terasa batang kemaluan Joseph sudah melesak masuk ke dalam liang kemaluanku, oooh…rasanya aku menemukan sesuatu yang kurindukan selama ini. Rindu entotan Joseph dan ciuman-ciuman mesranya.

Maka dengan penuh gairah kulumat bibir Joseph sambil merengkuh lehernya dengan penuh kehangatan, sementara liang kewanitaanku terasa mulai disodok-sodok oleh penis Joseph.

Batinku spontan merasa seolah sedang melayang-layang di langit indah…
Apakah karena aku sudah makin mendalam menyukai Joseph, atau karena kedatangannya tepat pada saat aku membutuhkan sentuhan kejantanan? Entahlah, yang jelas, geseran demi geseran batang kemaluan Joseph ini rasanya sangat-sangat-sangat nikmaaaaaaaaaaaaaaat !

Nikmat yang membuatku lupa daratan. Sehingga kedua tanganku tak mau diam. Terkadang meremas kain seprai, terkadang meremas rambut Joseph, terkadang meremas sepasang bahu Joseph, terkadang memeluk lehernya erat-erat sambil melumat bibirnya dengan penuh gairah. Pinggulku juga tak mau diam. Kugoyangkan seedan mungkin, meliuk-liuk dan menghentak-hentak.

Sementara yang terdengar di dalam bekas kamar Leo ini cuma dengusan nafas kami yang memburu, berbaur dengan raungan-raungan histerisku yang kutahan-tahan agar tak terlalu keras.

Namun saking terlalu menghayati nikmat yang sedang kurasakan ini, hanya belasan menit aku diosetubuhi oleh Joseph, aku pun tiba di puncak kenikmatanku. Titik orgasmeku yang sangat nikmat dan sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Namun Joseph masih mantap-mantaonya menyetubuhiku. Meski liang kemaluanku agak becek, ia tak mempedulikannya. Penisnya tetap bergerak-gerak maju-mundur seperti garakan pompa manual.

Meski sudah mengalami orgasme yang pertama barusan, aku jadi bergairah lagi. Terlebih setelah Joseph mengentotku sambil menjilati leherku, daun telingaku, puting payudaraku…dan bahkan ketiakku pun tak luput dari jilatan hangatnya. Ini membuatku semakin tergetar dalam arus nikmat yang tak terperikan.
Ketika aku usul ingin main di atas,Joseph mengiyakan dengan lembut. O, Joseph selalu lembut dalam segala hal. Membuatku makin luluh menyukainya (tapi aku takkan pernah mencintai siapa pun kecuali suamiku sendiri).

Dan ketika aku main di atas, mengayun pinggulku naik turun, sehingga liang kemaluanku terasa membesot-besot penis Joseph, wow, fantasiku melambung tinggi ke langit surgawiku. Tiada kata yang bisa melukiskannya, betapa indahnya persetubuhan dengan lelaki yang sangat kukagumi ini.

Tapi seperti biasa, manakala aku main di atas, selalu saja aku cepat mencapai orgasmeku, mungkin karena saking nikmatnya. Dan aku pun ambruk ke dada Joseph sambil memekik lirih…”Aaaa….aku udah orga lagi Jos….”

“Bagus,” sahut Joseph sambil menggulingkan tubuhku jadi di bawah lagi, “aku juga sudah mau lepas nih.”

Lalu Joseph demikian cepatnya mengayun batang kemaluannya, mundur maju di dalam liang vaginaku yang sudah basah kuyup oileh lendirku sendiri ini. Dan tiba-tiba saja Joseph mencabut batang kemaluannya…cepat mengangsurkannya ke mukaku. Creeeet…crrraaat…creeet…creeet…air mani Joseph menembak-nembak pipi dan payudaraku.

“Kok tumben dilepasin di luar…” kataku sambil tersenyum.

“Lagi kepengan aja basahin pipimu yang licin mulus itu,” sahut Joseph sambil tersenyum pula.

Joseph rebah telentang di sampingku. Penisnya tampak terkulai lemas. Tapi aku berusaha untuk membangkitkannya, dengan ketrampilan lidah dan bibirku.

Ketika penis Joseph sudah siap tempur lagi, kami pun melakukannya lagi untuk kedua kalinya.

Dan hari semakin malam.

Setelah selesai membaca catatan harian istriku itu, aku tercenung sendiri di depan komputer yang sudah kushutdown. Menyalakan sebatang rokok dan menikmatinya. Dengan terawangan ke segala arah.

Adakah yang salah pada diriku? Rasanya tidak ada yang salah kalau kunilai dari sudut materil. Aku memang jadi punya tiga orang istri. Erni Maharani, Nuryati dan Anna Karina. Meski istri kedua dan ketiga tidak diketahui oleh Erni, rasanya aku sudah melakukan hal yang tepat, tidak merugikan siapa pun. Karena Erni bisa hidup berkecukupan dari wisma kos dan kantinnya. Dan hasilnya tak pernah kuganggu. Nuryati sudah kumodali rumah dan toko yang sudah mulai berjalan. Juga hasil dari toko baru itu tak pernah kuganggu. Begitu pula dengan Anna. Restoran itu sudah mulai dibuka. Meski hasilnya belum seberapa, aku yakin resto itu akan berkembang pesat. Dan hasilnya takkan kuganggu.

Selain dari itu semua, ruko-ruko itu masih dalam tahap pembangunan. Tapi semuanya sudah habis terjual. Semuanya memakai fasilitas KPR, sementara aku tinggal menerima uangnya dari bank. Dana hasil penjualan ruko-ruko itu pun kupasrahkan semua kepada istriku, tak kuganggu serupiah pun.

Jadi, meski aku tidak membelanjai mereka tiap bulan, mereka sudah bisa mendapat penghasilan sendiri, dalam jumlah yang lumayan gede pula. Lalu kurang apa aku ini sebagai seorang suami?

Mungkin kekuranganku terletak pada masalah jiwa petualanganku saja. Tapi bukankah aku tetap meletakkan Erni Maharani sebagai istriku yang resmi? Bukankah aku tetap mencintainya seperti ia pun (katanya) tetap mencintaiku sepenuh hatinya?

Aku lalu menerawang ke masa laluku. Menyelidiki diriku sendiri. Sejak kapan aku ini jadi senang bertualang begini?

Mungkin karena aku terlalu cepat merasakan nikmatnya menggumuli perempuan, maka jiwa petualangku makin lama makin merajalela di dalam jiwaku.

Aku masih ingat benar, semuanya itu diawali masa remajaku…masa yang belum waktunya merasakan hangat dan nikmatnya tubuh wanita.

Ya, aku masih ingat benar peristiwa yang teramat penting dalam hidupku itu. Peristiwa pertama kalinya mengenal nikmatnya tubuh perempuan.

Saat itu aku baru duduk di bangku kelas satu SMA. Dan pasa suatu hari Bi Yeyen (adik bungsu Papie) mengajakku tidur di rumahnya, karena suaminya sedang ke Sumatra. Tadinya aku malas memenuhi ajakannya. Tapi Papie bilang, “Temanin aja bibimu, Yad. Dia itu penakut. Waktu masih kecil, kencing aja harus ditungguin di depan pintu kamar mandi.”

“Iya deh,” kataku akhirnya, “Tapi besok pagi bikinin nasi goreng ya Bi. Soalnya nasi goreng buatan Bi Yeyen enak.”

Bi Yeyen mengangguk, “Beres lah,” katanya, “bikin nasi goreng sih soal mudah. Yang penting temanin bibi selama pamanmu di Sumatra ya Yad.”

“Emang berapa lama Darta di Sumatra?” tanya Papie kepada adiknya.

“Sekitar sebulanan gitu, Bang,” sahut Bi Yeyen.

“Lho…lantas nanti saya sekolahnya gimana?” tanyaku.

“Bawa aja pakaian dan buku-buku sekalian. Berangkat ke sekolahnya dari rumah bibi aja.”

Setelah berpikir sejenak, aku masuk ke dalam kamarku. Membereskan pakaian dan buku-buku pelajaranku, kemudian kumasukkan ke dalam tas besar.

Sebelum aku berangkat, Papie masih sempat menasihatiku, “Jangan tidur makan mulu di sana, sambil bantu-bantuin apa saja yang bisa kamu kerjakan di rumahnya, Yad.”

“Iya Pap,” aku mengangguk.
Rumah Bi Yeyen kecil tapi semuanya tertata dengan rapi. Kamar tidurnya cuma ada satu. Di belakang ada juga kamar, tapi dijadikan gudang.

“Simpan aja tasnya di kamar bibi,” kata Bi Yeyen setelah aku berada di dalam rumahnya yang sepi, maklum tiada orang lain di rumah ini selain Bi Yeyen dan aku.

Saat itu aku masih biasa-biasa saja. Tidak ada pikiran yang bukan-bukan terhadap bibiku. Aku hanya tau bahwa Bi Yeyen adik bungsu ayahku, yang keadaannya memang jauh beda, maksudku fisiknya. Ayahku bertubuh tinggi tegap, berkulit agak hitam. Sementara tubuh Bi Yeyen agak pendek dan berkulit kuning langsat.

Dalam kehidupan pun Bi Yeyen jauh berbeda dengan ibuku. Bi Yeyen belum punya anak, padahal sudah 5 tahun menikah dengan Mang Darta.

Papie itu anak sulung dan sudah berusia 45 tahun, sementara Bi Yeyen baru berusia 28 tahun, karena anak bungssu.

Saat itu aku baru berumur 15 tahun. Lagi sedang-sedangnya puber lah.

Pada malam pertama tidur di rumah Bi Yeyen, tiada yang luar biasa. Aku memang tidur di ranjang Bi Yeyen. Tapi malam itu jam 9 pun aku sudah tidur, sementara Bi Yeyen masih menonton TV di ruang depan.

Esok paginya Bi Yeyen menghidangkan nasi goreng yang kuminta kemarin, untuk sarapan pagi sebelum berangkat ke sekolah.

Pada malam kedua, aku mulai mengalami hal yang luar biasa. Soalnya malam itu malam Minggu. Jadi aku berani tidak tidur sampai larut malam. Kebalikan dari malam sebelumnya, malam itu Bi Yeyen duluan tidur.

Lewat tengah malam, aku pun masuk ke dalam kamar Bi Yeyen. Kulihat Bi Yeyen sudah tertidur pulas. Yang jadi masalah, dia tidur sambil memeluk bantal guling, sementara gaun tidurnya tersingkap sampai ke pinggang, sehingga paha dan pinggul putih mulusnya terlihat nyata di mataku.

Waktu merebahkan diri di samping Bi Yeyen, pikiranku jadi menerawang ke mana-mana. Dan mungkin karena terasa ada orang yang naik ke atas tempat tidurnya, Bi Yeyen bergerak meninggalkan guling, lalu memelukku, dengan mata yang tetap terpejam.

Aku terdiam beberapa saat. Inilah detik-detik yang sangat mendebarkan, karena pikiranku sudah lain dari biasanya. Tak lama kemudian, tanganku pun bergerak ke arah lutut Bi Yeyen.

Mungkin aku dianggap bantal guling. Kaki kanannya menindih pinggangku, hawa hangat pun tersiar dari tubuh bibiku yang montok itu. Aku jadi sulit bernapas. Tapi aneh, rasanya keadaan ini sangat menyenangkan. Karena aku pun bisa memegang lutut Bi Yeyen yang tidak tertutup apa-apa. Bahkan diam-diam tanganku mulai merayap ke pahanya. Wah..makin hangat saja rasanya.Tapi yang paling mengejutkan adalah ketika tanganku sudah tiba di pangkal paha Bi Yeyen. Rasanya aku menyentuh rambut tebal….oh…apakah ini bulu kemaluan bibiku? Iya ! Ternyata dia tak mengenakan celana dalam ! Aku mulai menyentuh bibir kemaluannya yang hangat dan lembut. Gila, penisku jadi ngaceng dibuatnya!

Tapi apa yang harus kulakukan? Mungkin Bi Yeyen akan marah besar kalau tahu aku sedang menggerayangi kemaluannya. Tapi kelihatannya dia tetap tidur pulas. Aku pun jadi nekad. Mulai mengelus-elus bibir kemaluan Bi Yeyen….dan aku mulai sulit mengatur nafas.

Diam-diam aku bahkan mulai memasukkan jemariku ke celah yang terasa agak basah. Iiih…rasanya aku ingin melakukan lebih jauh lagi. Tapi aku takut. Takut dia marah, lalu laporan sama ayahku, wah…bisa kiamat nanti !

Dan ketika aku semakin edan eling, tahu-tahu tangan Bi Yeyen sudah berada di balik celana piyamaku dan menggenggam penisku…lalu meremas-remas perlahan.

Apakah dia sedang ngelindur? Entahlah…

Dan tiba-tiba saja Bi Yeyen menyingkapkan gaun tidurnya sampai ke atas perutnya, lalu menelentang dan merenggangkan kedua pahanya lebar-lebar, sehingga aku bisa melihat jelas kemaluannya yang berbulu sangat lebat itu. Lalu terdengar suara Bi Yeyen setengah berbisik, yang sangat mengejutkanku: “Kamu sudah gede ya? Kepengen nyobain memek ya? Ayo masukin aja Yad. Bibi juga pas lagi kepengen. Tapi awas, jangan bilang siapa-siapa. Apalagi sama Papie dan Mamie, rahasiakan ya…”

“I…iya Bi….” kataku dengan perasaan masih kaget dan bingung.

Tapi Bi Yeyen memelorotkan celana piyamaku, sehingga batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini tak tertutup apa-apa lagi.

An aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan.Kemudian Bi Yeyen menarik batang kemaluanku supaya moncongnya menempel ke memeknya yang terasa sudah agak basah.

Dan Bi Yeyen memberi aba-aba supaya aku mendorong batang kemaluanku.

Kudesakkan batang kemaluanku seperti yang disuruh oleh Bi Yeyen….wow, mulai membenam ke dalam lubang yang hangat dan licin. Lalu tanpa disuruh pun aku mengerti apa yang harus kulakukan, karena aku sering nonton film bokep di rumah teman. AKu mulai mengentotnya perlahan-lahan.

“Duh Yad…kamu kok sudah pandai sih…enak Yad…duuuh…..punya keponakan nakal gini…tapi enak….oooh….”

“Bi…ini kita lagi…lagi ngapain ya?” tanyaku sambil mulai mengayun batang kemaluanku, maju mundur di dalam liang memek bibiku.

“Mmm…lagi bersetubuh…hihihi…dasar keponakan nakal….ddduuuh…tititmu kok enak sekali Yad….iya…iyaaa….yessss….entot terussssssss… wan ….oooh…..”

Mulut bibiku tiada hentinya berceloteh setengah berbisik dibarengi desah napasnya yang seperti kepedasan.

“Ternyata bersetubuh ini…eee…eenak ya Bi,” kataku sambil mempercepat enjotan penisku.

“Ii…iya….oooh…tapi ntar…dasternya mau dilepas dulu…biar lebih sip…kamu juga buka dong bajunya…biar sama-sama telanjang,” kata Bi Yeyen sambil menanggalkan dasternya lewat lehernya. Aku pun melepaskan kancing baju piyamaku satu persatu, tanpa mencabut batang kemaluanku yang masih berada di dalam liang kemaluan Bi Yeyen. Lalu kelepaskan baju piyamaku, sehingga kami jadi sama-sama telanjang bulat kini.

Kemudian kulanjutkan kegiatan yang sangat asyik ini…kuenjot penis tegangku makin lama makin mantap di dalam liang kemaluan Bi Yeyen.

Ini benar-benar persetubuhanku yang pertama dalam hidupku. Rasanya luar biasa buatku. Saking nikmatnya, aku merasa seperti ada yang berdesir-desir dari ujung kaki melesat sampai ke ubun-ubun. Terkadang membuat nafasku tertahan dan tak beraturan. Belakangan aku tahu bahwa bagi pria, energi yang digunakan waktu bersetubuh itu sama dengan energi waktu jalan kaki sejauh tujuh setengah kilometer ! Mungkin karena itulah keringatku mulai bercucuran. Tapi luar biasa nikmatnya. Terlebih setelah Bi Yeyen menyuruhku meremas-remas payudaranya, aku semakin dimanjakan oleh nikmatnya arus birahi cowok abege.

Ternyata Bi Yeyen pun menikmati semuanya ini. Bahwa ketika batang kemaluanku makin lancar mengenjot liang memeknya, mata Bi Yeyen seperti terbalik-balik dibuatnya. Desahan nafasnya pun makin nyata terdengar, seperti nafas orang asma, berbunyi, “Aaaaak….aaaaah….aaaak….aaaah…aaaah enak banget Yad….aaaah…enak Yad….iyaaa….entot terus Yaaad….”

Tapi saat itu aku belum mengerti bagaimana cara mengontrol diriku sendiri. Aku cuma tahu bahwa pergesekan batang kemaluanku dengan liang memek Bi Yeyen yang hangat dan licin itu membuatku serasa melayang-layang…makin lama makin tinggi…..dan akhirnya akumenahan nafasku dengan tubuh bergetar….dan ingin membenamkan penisku sekuat mungkin….lalu kurtasakan ada yang mengalir ke luar dari dalam penisku, tanpa bisa dikendalikan lagi…creetttt…crretttt…creeeeeeeeet….ya.. ada yang membersit-bersit dari dalam penisku….setelah reda, barulah aku bisa bernafas lagi….bisa berdengus sambil memeluk leher Bi Yeyen erat-erat.

Dan setelah tenang kembali, terasa batang kemaluanku pun melemas. Tapi Bi Yeyen melarangku mencabutnya. Bi Yeyen menahan pantatku agar penisku tetap berada di dalam jepitan liang kemaluannya.

“Gak nyangka, keponakanku bisa membuatku senang,” kata Bi Yeyen sambil mengelus-elus rambutku. Lalu menciumi pipiku.

“Bibi juga merasa enak?” tanyaku sambil menatap matanya yang sangat dekat dengan mataku.

“Enak sekali sayang,” sahutnya sambil menciumi dahi dan pipiku, “Nah….udah mulai ngaceng lagi tuh….diem ya…jangan sampai terlepas….”

Entah apa yang dilakukan Bi Yeyen saat itu. Yang jelas, penisku seperti dipilin-pilin oleh liang kemaluan Bi Yeyen…geli-geli enak rasanya…membuat penisku benar-benar ngaceng lagi.

“Nah…sekarang entotin lagi kayak tadi,” bisik Bi Yeyen sambil memeluk leherku.

Kuikuti perintah bibiku itu. Kugerak-gerakkan kembali penisku yang sudah ngaceng kembali ini. Dan alam pun terasa penuh sensasi lagi. Geli-geli enak yang kurasakan, membuat nafasku tak beraturan kembali.

O, Bi Yeyen yang “baik hati”, kini aku mulai tahu enaknya tubuh perempuan !
Terawangan masa remajaku buyar ketika istriku muncul dengan senyum manis di bibirnya. Mudah-mudahan senyumnya itu bukan sindiran atas perbuatanku selama ini.

Tapi istriku malah memelukku dari belakang sambil berkata, “Bang…aku sudah sepakat dengan Uni.”

“Sepakat soal apa?” aku agak terhenyak…lagi-lagi satu wanita yang hampir kulupakan, kini muncul di dalam ingatanku.

“Aku dan Uni sudah bertanya ke para ahli. Ternyata Abang boleh menikahi Uni. Tidak ada larangan.”

“Lho…emangnya kamu udah ngomong terus terang pada Uni bahwa kamu sudah tau hubunganku dengannya?”

“Iya. Aku sudah gak tahan menyimpan rahasia ini. Mending terbuka saja. Karena Uni itu kakak kandungku.”

“Terus?”

“Pokoknya Abang harus menikahi Uni. Malah bagus Bang. Kan Abang ingin punya anak lagi? Nanti dari Uni bisa punya anak. Aku sih masih belum mau hamil lagi. Nanti usahaku gak leluasa lagi.”

Jujur, aku merasa percakapan ini suatu percakapan aneh. Percakapan yang lain dari biasanya.

“Kamu juga sudah bilang pada Uni tentang pola hidup kita…maksudku dalam soal seks?”

“Nggak,” istriku menggeleng, “Menurutku sih Uni gak usah tau soal itu. Tapi kalau dia sudah jadi istri Abang, terserah Abang lah. Mau diceritakan silakan, mau tetap dirahasiakan silakan, kalau Abang sudah menjadi suaminya.”

Aku mau menjawab. Tapi istriku keburu menepuk lututku, “Sekarang temui gih Uni di sana,” katanya sambil menunjuk ke kamar yang tadinya dipakai kamar Leo.

Aku terkejut, “Hah?! Uni ada di sini?”

“Iya, tadi siang datangnya,” sahut istriku sambil tersenyum. Apakah senyum itu sindiran atau pertanda sudah mengikhlaskanku untuk dimiliki oleh kakaknya juga? Entahlah.

“Ayo Bang…temui dulu Uninya. Kasihan kalau dicuekkin sama Abang. Aku berani disumpah dengan cara apa pun, bahwa aku sudah ikhlas seratus persen kalau Abang menikah dengannya. Asal Abang jangan sia-siakan aku nantinya. Itu aja.”

Aku tak menjawab lagi. Lalu bangkit dari kursi kerjaku. Melangkah ke arah kamar yang dulunya dijadikan kamar Leo itu.

Kulihat Erna (aku tak memanggil Uni lagi padanya) tengah berbaring dengan posisi membelakangi pintu. Maka untuk mengejutkannya, aku berjalan mengendap-endap, menutupkan kembali pintu perlahan-lahan, lalu menghampirinya.

Tampaknya Erna tak menyadari kehadiranku di kamar itu. Mungkin ia sedang tertidur. Dan baru membuka mata setelah aku naik ke atas tempat tidur, lalu memeluknya dari belakang sambil membisikinya, “Erna cantik…bangun dong sayang…”

Begitu menyadari aku hadir di dekatnya, Erna bangun dan tersenyum sambil menggosek-gosok matanya, “Yad…katanya di Jakarta ? Kapan datang?”

“Mmm…kira-kira dua jam yang lalu,” sahutku sambil memperhatikan keayuannya kakak iparku dalam keadaan baru bangun tidur begitu. Lalu kukecup bibirnya.

Ia membiarkanku mencium bibirnya, tapi lalu berkata, “Jangan terlalu demonstratif Yad. Kalau kelihatan Erni gak enak.”

“Dia kan malah sudah mengijinkanku untuk menikahimu, sayang,” kataku sambil membelai rambutnya.

Erna menghela napas dan berkata lirih, “Aku malu sama Erni. Dia itu bijaksana dan bisa berbesar hati menghadapi masalah kita. Sedangkan aku…kakaknya ini…malah melukai hati adik kandungku sendiri.”

Kulihat ada tetesan air mata dari kelopak mata Erna yang indah itu. “Semuanya ini salahku, sayang,” kataku sambil memeluknya lagi, “kalau aku tidak memulainya, tidak akan ada masalah ini. Tapi sekarang aku sudah telanjur mencintaimu…”

“Yad,” Erna memelukku juga, “aku juga merasa dirimu sudah menjadi bagian dari diriku. Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau kamu meninggalkan aku…”

“Aku takkan meninggalkanmu, sayang.”

“Iya, aku percaya, karena pada dasarnya kamu itu orang baik. Tapi…rasanya kita ego banget, sampai melupakan perasaan Erni.”

“Erni malah senang kalau kita menikah. Jadi aku bakal dikawal dua wanita kakak beradik.”

“Tapi…aku tak mau ditempatkan di rumah ini. Soalnya kita juga harus merahasiakannya kepada orang tua dan saudara-saudaraku. Kalau mereka sampai tau, entah apa jadinya.”

“Santai aja,” kataku sambil membelai rambut Erna lagi, “Sudah ada rencana buatmu, sayang. Dan duitnya sudah dipegang oleh Erni.”
Memang aku sudah tahu bahwa uang penjualan ruko-ruko itu sudah disiapkan oleh istriku, untuk membeli rumah kos yang mau dijual oleh pemiliknya.

Rumah kos itu lumayan besar, tapi terletak di dalam gang kecil. Becak pun tak bisa masuk ke dalamnya. Di rumah kos yang direncanakan untuk diberikan kepada Erna itu hanya ada sepuluh kamar. Tapi tanah ke belakangnya masih luas. Kurasa bisa dibangun duapuluh kamar lagi. Di bagian terdepan, ada bagian khusus untuk pemiliknya. Ada dua kamar tidur yang punya fasilitas kamar mandi dan toilet, ruang tamu, ruang keluarga, dapur dan sebagainya. Para penghuni kos masuk lewat samping rumah pemilik itu.

“Uni,” kata istriku kepada kakaknya ketika kami bertiga berada di lokasi rumah dan kos-kosan yang sudah resmi kami beli itu, “Mulai sekarang rumah dan kamar-kamar kos-kosan itu menjadi milik Uni.”

“Haaa? Apaan ini?” Erna tampak kaget menerima jabatan tangan adiknya.

“Semua ini hitung-hitung maskawin Bang Yadi buat Uni,” kata istriku sambil mencium pipi kakaknya.

Erna terlongong. Seperti tak percaya pada pendengarannya sendiri.

“Pokoknya kita bertiga harus tetap kompak ya Uni,” kata istriku sambil memegang tangan kakaknya dan tanganku.

Seperti tak kuasa menahan haru, Erna memeluk istriku dan terdengar suaranya, “Kamu terlalu baik padaku, adikku…”

“Aku malah seneng banget,” kata istriku sambil memeluk kakaknya, “Sekarang aku jadi punya teman yang akan menambah kekuatan kita. Bang Yadi juga kalau macem-macem bisa kita keroyok aja kan? Hihihihi….”

Aku cuma tersenyum mendengar percakapan itu. Lalu kataku, “Ayo kita ke villa aja, jangan di sini ngeroyoknya !”

“Oke, siapa takut?” istriku bertolak pinggang sambil tersenyum padaku.

Erna tampak belum mengerti apa yang dimaksud dengan “mengeroyok” itu.

Beberapa saat kemudian Erni berada di belakang setir sedannya. Erna duduk di sampingnya. Sementara aku rebahan di jok belakang, sambil tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka.

Meski tidak diucapkan langsung, aku mengerti bahwa istriku akan mengajakku main threesome FFM.

Tapi di jalan menuju ke luar kota istriku malah lebih fokus mengarahkan obrolannya pada rumah kos di dalam gang kecil itu.

“Nanti kita tambahin kamar-kamarnya, sampai tanahnya habis dengan bangunan kos-kosan,” kata istriku, “iya kan Bang?”

“Iya,” sahutku, “kalau pengelolaannya bagus, bisa aja nyari tanah kosong yang letaknya di pinggir jalan besar, untuk dibangun rumah kos-kosan lain.”

“Betul,” sahut istriku, “Sekarang Uni terima aja apa adanya dulu. Rumahnya kan bisa dijadikan tempat tinggal Uni. Kalau penerimaan dari kos-kosan masih terasa kurang untuk memenuhi kebutuhan Uni, biar nanti ditambahin dulu sama Bang Yadi. Pokoknya selama penghasilan dari kos-kosan itu masih terasa kurang, kami akan mensubsidi Uni dulu.”

Erna cuma terdiam. Meski akhirnya ia berkata, “Aku masih merasa seperti bermimpi.”

Aku yang menyahut, “Sebenarnya itu wujud tanggung jawabku.”

“Iyalah,” tukas istriku, “Berani berbuat harus berani bertanggungjawab.”

Dan sedan yang dikemudikan oleh istriku meluncur terus ke arah villa yang biasa kami pakai….
“Pemandangannya indah banget ya?” itu komentar Erna waktu baru tiba di depan villa itu. Villa yang pernah kupakai wife swap dengan beberapa teman dan istri-istrinya.

Aku tidak tahu seperti apa perasaan istriku waktu tiba di villa itu. Mungkin ia teringat waktu pertama kalinya aku wife swap dengan Edo dan Raisha. Entahlah. Yang jelas aku sendiri sedang memperhatikan perilaku Erna yang memang jauh berbeda dengan istriku.Erna lebih tenang dan anggun penampilannya. Tubuhnya lebih langsing kalau dibandingkan dengan istriku. Dan yang jelas aku sangat terkesan dengan semua yang pernah terjadi di antara aku dan kakak iparku itu (yang beberapa hari lagi akan kunikahi secara siri itu).

Yang lucu adalah status kami nanti. Erna lebih tua setahun daripada istriku. Tapi kalau ditanya mana istri pertama dan istri muda? Maka nanti Erna akan menjadi istri mudaku, meski dalam keseharian istriku tetap akan memanggil Uni padanya.

Rasanya aku seolah menjadi seorang maharaja. Menggandeng dua orang wanita cantik ke dalam villa itu. Dan Erna mulai membiasakan diri, tak banyak complain diperlakukan mesra di depan adiknya.

Setelah berada di dalam kamar yang ada tempat tidur lebar itu, istriku tak ragu lagi melepaskan jersey hitam dan celana jeansnya. Sementara Erna masih asyik menikmati keindahan panorama di luar dari balik jendela kaca.

“Ayo buka dong bajunya…” kata istriku sambil memeluk kakaknya dari belakang.

Erna menoleh dan tampak kaget melihat adiknya sudah tinggal mengenakan celana dalam dan bra doang. “Mau ngapain?” tanyanya.

“Kan kita ke sini buat ngeroyok Bang Yadi. Hihihihi….masa Uni gak ngerti?”

Melihat keraguan Erna, maka aku yang menghampirinya. Membantunya menanggalkan gaun terusan batik sutranya. Sementara Erni sudah menanggalkan branya. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya.

Ketika Erna tinggal mengenakan bra dan celana dalam saja, Erni melepaskan kancing kait bra kakaknya di bagian punggungnya, sambil berkata, “Mulai sekarang kita harus kompak. Kalau telanjang satu orang, harus telanjang semuanya. Kita nikmati saja semuanya. Jangan memanjakan kesensian hati…”

Aku pun mendahului mereka. Sudah bertelanjang bulat ketika mereka masih bercelana dalam. Lalu bertanya kepada istriku, “Siapa dulu?”

Istriku menyahut sambil menunjuk ke arah Erna, “Dia dulu.”

“Erni dulu lah,” kata Erna tersipu.

“Gak,” Erni menggeleng, “aku sih gampang nanti belakangan juga gakpapa.”

Erna tampak canggung. Tapi aku cepat memeluknya untuk mencairkan kecanggungan itu. Lalu kulepaskan celana dalamnya sebagai satu-satunya benda yang masih melekat di tubuhnya.

Dan Erna cuka memejamkan matanya pada waktu kurebahkan, telentang di atas bed. Masih juga ia terpejam ketika aku mulai menjilati puting payudaranya yang sebelah kiri, sementara tanganku meremas-remas payudara kanannya.

Istriku cuma tersenyum-senyum melihat semua ini.

Aku pun mulai menarik celana dalam Erna dengan hati-hati, sampai terlepas dari kakinya. Erna masih memejamkan mata juga. Bahkan ketika aku mulai menciumi kemaluannya yang sekarang jembinya selalu dicukur habis itu, tampak kelopak matanya makin rapat menutupi bola matanya yang bening indah itu.

Pada saat itulah istriku sudah melepaskan celana dalamnya, lalu naik ke atas bed. Dan duduk di dekat kepala kakaknya.

Dan aku mulai menjilati kemaluan Erna. Aku akan membuat lubang kemaluannya sebasah mungkin, karena liang Erna kecil sekali (aku sudah hapal benar). Pernah aku langsung melakukan penetrasi di Jakarta. Dan Erna tampak kesakitan. Dan aku tak mau membuat kesalahan yang kedua kalinya.

Erna mulai terkejang-kejang ketika aku sudah memusatkan jilatanku pada kelentitnya. “Udah Bang…masukin aja…kasihan tuh Uni…” kata istriku.

Aku tidak menyahutnya. Juga tidak mengikuti sarannya. Karena dalam soal kemaluan Erna, pasti aku lebih tau seluk beluknya. Dan aku menjilatinya terus. Membuat Erna menggeliatr dan mengejang terus menerus, sementara kemaluannya sudah basah kuyup oleh air liurku.

Kini aku merasa sudah waktunya untuk melakukan penetrasi.
Tanpa basa-basi lagi kuletakkan moncong penisku di ambang pintu surgawi Erna. Lalu kudesakkan sekuatnya, sehingga mulai menyelusup ke dalam liang kemaluan yang terasa lebih sempit daripada liang kemaluan istriku. Memang Erna memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan adiknya. Soal ukuran toket dan kemulusan kulitnya kalah oleh istriku. Tapi badan Erna lebih langsing daripada istriku. Dan last but not least, liang kemaluannya itu, maaaak….selalu saja membuatku ketagihan.
Dan ketika batang kemaluanku sudah membenam ke dalam liang kewanitaan Erna, kakak istriku itu membuka matanya. Menatap ke arah istgriku dengan sorot seperti merasa bersalah. Tapi istriku cepat membelai rambutnya…dan mencium pipinya sambil berkata, “Aku makin sayang sama Uni…sayang sekali….”
Erna menatap adiknya, lalu menatapku…dengan senyum yang manis sekali. Membuatku semakin bersemangat menyetubuhinya. Tapi ketika aku semakin asyik menyetubuhi Erna, tampaknya istriku mulai tergiur. Dan bergerak…berdiri di atas bed, dengan kedua kakinya berada di kanan kiri pinggang Erna, sambil mengangsurkan kemaluannya ke dekat wajahku. Aku mengerti, bahwa ia ingin merasakan cunnilingus.
Spontan aku pun melakukannya. Menjilati kemaluan istriku, sementara penisku tetap asyik mengentot memek Erna.
Aku tidak tahu seperti apa ekspresi wajah Erna karena terhalang oleh badan istriku. Yang jelas, baru saja sebentar aku menjilati kemaluan istriku, desah-desah histeris pun mulai terlontar dari mulut istriku.
Belasan menit hal itu terjadi. Sampai akhirnya istriku bergerak, merebahkan diri, terlentang di samping kakaknya, sambil mengelus-elus kemaluannya sendiri.
Aku pun tak mau membuat istriku tersiksa. Maka kucabut batang kemaluanku dari vagina Erna sambil berkata, “Gantian dulu ya….”
Lalu aku pindah ke atas perut istriku sambil memegang batang kemaluanku. Dan sekali dorong batang kemaluanku langsung amblas ke dalam liang kemaluan istriku yang sudah basah itu.
Sementara Erna memperhatikan semuanya itu dengan senyum dan terkadang tersipu-sipu kalau kulayangkan tatapan padanya. Dan karena ia menelentang di samping istriku, maka tanganku juga bisa mempermainkan kemaluannya pada saat aku sedang gencar mengenjot liang kemaluan istriku.
Erna cuma menatapku dengan sorot hangat, sementara tangannya mulai merayapi pahaku.
Cukup lama semuanya ini terjadi. Sampai akhirnya istriku merintih, “Bang…oooh…aku udah lepas Bang…pindah ke Uni lagi gih.”
Kuikuti permintaan istriku itu. Kucabut penisku dari liang vaginanya, lalu kupindahkan ke kemaluan Erna. Dan….blessssss…..amblas lagi di liang kemaluan Erna yang masih basah dan licin itu.
O, indahnya semuanya ini.
Persetubuhan threesome FFM dengan istri dan kakak iparku itu memang indah san membuatku puas. Meski “hanya” mampu ejakulasi dua kali, namun aku mulai merasakan perbedaan rasa istriku dengan kakaknya. Jujur, meski tubuh istriku lebih mulus dan agak montok, namun persetubuhanku dengan Erna lebih nikmat rasanya.

Namun sebulan kemudian, setelah Erna ditempatkan di rumah yang terletak di dalam gang kecil itu, ada saja kisah baru yang seolah mengantre…ingin dapat giliran ditulis di sini.
Kisahnya berawal dari ucapan istriku:”Bang, ternyata ada tanteku, rumahnya gak jauh dari kantor Abang,” kata istriku pada suatu hari.
“Ohya? Tante kontan?”
“Iya, adik kandung Mamah. Tadinya kusangka masih tinggal di Jakarta. Gak taunya udah pindah ke dekat kantor Abang itu.”
“Oke, nanti kita kunjungi rumahnya, sayang.”
Ternyata benar, rumah bibi istriku itu berdekatan dengan kantorku. Pada waktu pulang, kuterima tawaran dari Tante Lily, “Kalau lagi istirahat, main aja ke sini ya. Kan kantornya gak jauh dari sini.”
“Iya Tante,” sahutku sopan.
Dalam perjalanan pulang, istriku menjelaskan, “Kasian adik Mamah itu…umurnya sudah lebih dari tigapuluhlima tahun, tapi belum menikah juga.”
“Belum menikah sama sekali?”
“Belum.”
“Kirain dia itu janda atau suaminya sedang berada di kota lain.”
“Mungkin tanda hitam di pipinya itu yang membuatnya jadi perawan tua.”
Aku tak mau menanggapi, karena hal itu mungkin merupakan sesuatu yang sensitif .
Tapi di hari-hari berikutnya aku jadi sering bertamu ke rumah Tante Lily. Biasanya aku ke rumah Tante Lily pada waktu jam istirahat. Kalau aku mau ke rumah Tante Lily mudah sekali. Tinggal nyebrang dari kantorku, lalu masuk ke gang kecil. Rumah kedua di gang kecil itu adalah rumah Tante Lily.
Setiap kali aku datang, Tante Lily selalu menyuguhkan kopi panas, yang terbuat dari kopi mahal. Bukan seperti kopi yang dijual di kantin kantorku.
Biasanya aku suka membekal dua nasi bungkus yang kubeli dari kantin kantorku, dimakannya di rumah Tante Lily. Sering juga Tante Lily sengaja memasakkan makanan untukku. Baik sekali bibinya Erni itu. Kedatanganku selalu disambut dengan ramah. Sehingga dalam waktu singkat saja aku jadi merasa dekat padanya.
Kalau kuperhatikan secara diam-diam, Tante Lily itu lumayan bagus. Di usia 36 tahun ia pandai merawat tubuhnya yang semampai. Kulitnya pun putih mulus untuk ukuran orang Indonesia. Satu-satunya masalah adalah tanda hitam di sebelah kiri pipinya itu. Lumayan besar dan mengganggu (kira-kira sebesar diameter gelas). Padahal kalau dilihat dari sebelah kanan, ia itu cantik. Tapi kalau dilihat dari sebelah kiri, di situlah masalahnya. tahi lalat raksasa itu memang sangat mengganggu. Mungkin hal itu pula yang menyebabkan Tante Lily jadi perawan tua.
Setiap kali datang ke rumahnya, selalu kudahului dengan cium tangan, lalu cipika-cipiki. Begitu pula kalau aku pamitan mau pulang ke kantor lagi, aku cium tangan dan cipika-cipiki lagi. Dan terus terang, pada waktu menempelkan pipiku ke pipi kirinya yang ada tanda hitam itu, ada perasaan enggan untuk bersentuhan dengan tanda hitam itu. Tapi selalu kutindas perasaan enggan itu dengan bersikap seolah-olah tiada masalah.
Aku ingin menyarankan agar tanda hitam itu dibuang saja, karena sudah majunya teknologi kYadikteran di zaman sekarang, khususnya di bidang kecantikan. Tapi aku takut saranku melukai perasaannya. Karena itu aku tak mau membahasnya, kecuali kalau ia yang mendahuluinya.
Pada suatu hari, di jam makan siang aku mendatangi rumah Tante Lily lagi seperti biasanya.
Tapi siang itu ia tidak seperti biasanya. Membalut lehernya dengan syal, memakai mantel tebal pula.
“Kenapa Tante? Sakit?” tanyaku setelah mencium tangannya.
“Cuma masuk angin,” sahutnya sambil membiarkan aku tetap cipika-cipiki padanya.
“Udah ke dokter?”
“Ah, gak perlu, cuma masuk angin. Biasanya dikerok juga sembuh.”
“Mau dikerokin?”
“Sama siapa? Si bibi yang biasa ngerokin lagi pulang kampung.”
“Aku juga bisa ngerokin. Erni juga suka dikerokin sama aku,Tante.”
Tante Lily memandangku sesaat. Lalu berkata, “Kalau kamu mau ngerokin, boleh juga…tapi di kamarku aja ya.”
“Iya,” sahutku sambil mengikuti langkah Tante Lily ke dalam kamarnya. Kamar yang tertata rapi sekali, seolah-olah gambaran sifat Tante Lily yang rajin. Meski rumahnya kecil, tapi semuanya ditata dengan sangat rapi. Jauh berbeda dengan kebiasaan istriku yang sering membiarkan barang-barang berantakan, tidak mau meletakkan pada tempatnya, sehingga aku sering membereskan semuanya itu.
Setelah berada di dalam kamarnya, Tante Lily menyerahkan cream dan sekeping koin, “Pake ini aja ngeroknya ya,” katanya. Lalu ia menanggalkan mantelnya. Dan tampak kebingungan setelah mantel itu terlepas. Mungkin karena mau tak mau ia harus menanggalkan dasternya, karena aku akan mengeroki punggungnya.
Lalu ia naik ke tempat tidur, masuk ke dalam selimut dan menanggalkan mantel itu di balik selimutnya. Kemudian ia menelungkup dengan sekujur tubuh tertutup oleh selimut.
Aku tersenyum sendiri. Dan mau tak mau aku harus menarik selimut itu sampai punggungnya terbuka.
Pada waktu aku menawarkan diri untuk mengeroki Tante Lily yang mengaku masuk angin itu, sampai aku masuk ke dalam kamarnya yang harum dan tertata rapi ini, sedikit pun aku tak punya niat macam-macam. Saat itu aku hanya merasa seperti mau menolong wanita yang usianya enam tahun lebih tua dariku itu. Tapi…setelah punggungnya terbuka, terlebih setelah kulepaskan kancing kait behanya….aku tertegun melihat punggung yang putih bersih itu. Bukan main mulusnya.
Aku menelan air liur waktu melumuri punggung putih itu dengan cream. Dan waktu cream itu kusapu-sapu dengan kedua tanganku ke seluruh bagian punggung sampai dekat karet celana dalam putih itu…terasa aku mulai dijalari pikiran aneh…sesuatu yang indah…
“Punggung Tante mulus banget…” gumamku sambil menekan-nekan punggung yang sudah dilumuri cream itu.
“Masa sih? Kamu bisa aja….” sahut Tante Lily yang wajahnya sedang menelungkupi bantal. Nada suaranya terdengar senang.
“Bener Tante,” kataku sambil memberanikan diri menarik selimut sampai ke mata kaki Tante Lily.
Wow ! Pemandangan ini benar-benar merangsang ! Meski hanya bisa melihat bagian belakangnya, aku bisa mengamati betapa putih dan mulusnya tubuh Tante Lily ini.
“Gak usah dikeroki ya Tante. Sayang kalau punggung semulus ini dikerok-kerok dan jadi belang-belang nanti. Pijit aja ya,” kataku sambil mengurut-urut punggung Tante Lily yang sudah licin oleh cream ini.
“Terserah kamu aja,” sahut Tante Lily, “Dipijitin gitu juga enak, Yad.”
“Kalau dipijit harus dari kaki,” gumamku sambil menuangkan cream ke telapak tanganku. Lalu beralih memegang telapak kaki Tante Lily.
Aku tak punya keahlian memijat. Tapi aku sering dipijat oleh tukangnya. Karena itu kutiru cara tukang pijat yang biasa memijatku itu. Dan aku mulai melicinkan kaki Tante Lily, dari telapak kaki sampai lututnya, lalu mengurut dan memijatnya seperti yang sering kualami waktu tukang pijat memijatku.
“Yadi…kamu pandai mijat juga ya? Enak nih….” kata Tante Lily membuatku makin bersemangat memijatnya. Tapi tahukah dia betapa aku terus-terusan memperhatikan buah pinggulnya yang masih tertutup oleh celana dalamnya?
Ketika aku mulai melicinkan kedua paha Tante Sherl, lalu memijatnya dengan hasrat semakin bergemuruh di dalam jiwaku, sengaja aku memujinya lagi, “Tante sering olahraga ya? Tubuh Tante terasa masih kencang banget.”
“Kalau senam sih emang tiap pagi juga suka, Do,” sahut Tante Lily yang membiarkan tanganku mulai memijati pahanya…sampai ke pangkalnya.
“Pantesan tubuh Tante kencang begini…gak ada yang kendor sedikit juga…” kataku sambil memusatkan pijatanku di pangkal pahanya yang mulai terasa hangat. Terus terang, aku sudah dikuasai nafsu birahi. Tapi aku harus berhati-hati, karena Tante Lily ini adik mertuaku. Kalau aku bertindak ceroboh dan responnya negative, bisa fatal nanti akibatnya.
“Kalau otot-otot Tante mau semua diurut, harusnya celana dalam Tante dilepasin…supaya otot-otot penting tersentuh semua kulitnya,” kataku sambil menekan-nekan buah pinggul Tante Lily yang masih tertutupi celana dalam.
Di luar dugaanku, Tante Lily menjawab, “Lakukanlah apa yang menurutmu terbaik, Do. Aku gak nyangka kamu ternyata ahli massage juga ya….semua yang kamu sentuh terasa enak…”
Mendengar jawaban Tante Lily itu, wow, pucuk dicinta ulam tiba !
Dan aku tak mau menyia-nyiakan waktu lagi. Kupelorotkan celana dalam putih itu sampai terlepas dari kaki Tante Lily.
Dan aku terpana lagi, karena menyaksikan bagian belakang tubuh yang sangat indah dan merangsang. Tapi aku berpura-pura tak melihat hal yang aneh. Kulanjutkan memijat pangkal paha dan buah pinggul Tante Lily yang sudah dilicinkan oleh cream. Namun lama kelamaan jemariku sengaja dicolek-colekkan ke bibir kemaluan yang tampak dari arah belakang ini. Dan tiap kali kusentuh bibir kemaluan itu, Tante Lily terasa mengejut sedikit. Tapi jelas, tiada perlawanan sedikit pun.
Meski belum melihat bagian depannya, tubuh Tante Lily memenuhi syarat untuk membuat penisku mulai menegang. Dia memang punya kelemahan di pipi kirinya. Untuk orang lain mungkin tanda hitam itu cukup mengganggu. Tapi tidak buatku. Menurutku, yang penting dari leher ke bawah benar-benar mulus, putih bersih dan serba kencang.
Sebagai seorang lelaki berusia hampir 30 tahun dan hampir 5 tahun menjadi seorang suami, tentu aku tahu benar bagaimana cara membuat wanita lupa daratan. Tapi menghadapi Tante Lily ini aku harus berhati-hati, meski sekarang terus-terusan telapak tanganku menyapu memeknya dari belakang…menyapu-nyapu dari bawah ke atas, ke arah anusnya. Dan ia diam saja. Aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya, karena ia sedang menelungkup. Mungkin juga ia sedang menikmati elusan-elusan nakalku.
Tapi setelah aku memusatkan elusanku ke celah kemaluannya, Tante Lily tampak seperti menahan geli.
“Yadi…aaah…geli nih…tapi…tapi enak….” cetus Tante Lily mulai bernada ngawur.
Sambil bersikap seolah-olah sedang menginvestigasi, aku bergumam, “Bentuknya seperti belum pernah dijamah pria, Tante.”
“Ya iyalah,” sahutnya, “Ini untuk pertama kalinya disentuh oleh pria….aaah…geli, Yad…aaah….gelinya koq kayak gini ya?”
“Kenapa Tante? Gak enak?”
“Enak sih…” cetus Tante Lily terdengar jujur.
“Ada yang lebih enak lagi…coba Tante celentang…”
“Malu…”
“Gak usah malu-malu Tante. Aku kan bukan orang luar,” setengah memaksa aku berusaha membalikkan tubuh Tante Lily agar terlentang.
Aku berhasil menelentangkan tubuh wanita bertubuh indah dan berkulit putih mulus itu. Buru-buru ia menutupi kemaluannya dengan selimut. Tapi ia lupa menutupi sepasang payudaranya yang sedang-sedang saja, gede gak kecil pun gak. Mungkin behanya ukuran 34. Indah sekali. Dan aku tetap bersikap seperti pemijat profesional yang akan memijat sepasang payudara indah itu. Tanpa buang-buang waktu lagi kulumuri telapak tanganku dengan cream…lalu kuusap-usapkan ke sepasang payudara berbentuk indah itu. Dan dengan cara yang sangat terlatih, aku mulai meremas-remas payudara Tante Lily… mempermainkan pentilnya dengan telunjuk dan jempolku….bahkan kemudian kukulum pentil payudara kirinya, kuelus-elus dengan ujung lidahku…sehingga Tante Lily mulai memejamkan matanya, seakan malu bertatapan denganku. Tubuh Tante Lily terasa makin menghangat. Dan aku yakin bahwa ia sudah dikuasai nafsu birahi, seperti yang kurasakan sekarang.
Bahkan di satu saat kudengar suaranya terengah, “Yadi…katanya bersetubuh itu sangat enak ya?”
“Sangat…sangat nikmat,” sahutku penuh semangat, “Emangnya Tante mau?”
“Ma…mau…tapi…kamu mau melakukannya?” Tante Lily menatapku.
“Mau,” sahutku, “Tapi…nanti Tante gak perawan lagi.”
“Biarin…kalau kamu yang ngambil keperawananku, aku ikhlas.”
“Nanti…kalau Tante nikah, lalu suami Tante nanya kenapa gak perawan lagi, Tante mau jawab apa?”
“Aaah….aku sudah hopeless, Yad. Biarin aja aku gak nikah-nikah seumur hidup. Aku bisa nyari duit sendiri kok, tak usah tergantung sama laki-laki.”
“Kalau gitu, oke deh…dengan senang hati aku akan melakukannya sekarang,” kataku sambil menanggalkan kemejaku, lalu juga celana panjangku. Ketika mengeluarkan handphone dari saku celanaku, aku jadi teringat bahwa sebentar lagi aku harus terima tamu dari Jakarta. Lalu kutelepon sekretarisku yang bernama Donna itu.
“Donna, kalau ada tamu dari Jakarta, bilangin besok aja kembali lagi. Hari ini aku ada urusan keluarga.”
“Baik Pak.”
Hubungan telepon kututup lagi. Berarti aku bisa berlama-lama mencumbu Tante Lily.
“Ohya…Erni jangan sampai tau, Yad,” kata Tante Lily pada waktu aku menanggalkan celana dalamku.
“Tentu aja, semuanya ini rahasia kita berdua aja, Tante,” sahutku sambil bergerak ke samping Tante Lily.
Tante Lily memandang batang kemaluanku yang sudah tegang ini. Lalu katanya, “Aku…aku degdegan, Yad.”
“Santai aja, Tante. Aku bukan orang luar. Semuanya akan kulakukan dengan sangat hati-hati.”
Aku memang tak mau terburu-buru melakukannya. Aku mulai mengemut pentil payudaranya dengan cara yang sudah terlatih. Kukulum pentil itu sambil mengelus-elusnya dengan ujung lidahku. Sementara tanganku mulai merayapi perutnya, lalu menurun ke arah kemaluannya yang masih tertutup oleh selimut. Aku tak perlu melihatnya, karena ia tampak masih malu-malu. Tapi aku mulai menyentuh kemaluannya yang ternyata bersih, tiada jembutnya. Dan setelah tanganku menyentuh celah kemaluannya, ia memelukku sambil memejamkan matanya. Terlebih setelah jemariku mulai aktif mengelus kelentitnya, sementara bibir dan lidahku tetap asyik menggeluti pentil payudaranya, ia mulai menahan-nahan napasnya. Pelukannya pun terasa semakin erat melingkari pinggangku.
“Geli sayang…geli banget….tapi enak…” cetus Tante Lily setengah berbisik. Mungkin inilah pertama kalinya Tante Lily memanggilku “sayang”.
Aku pun mulai menelungkupi Tante Lily. Tapi kepalaku langsung merosot ke perut Tante Lily. Kujilati pusar perutnya beberapa saat, lalu wajahku menurun, sehingga bibirku mulai bersentuhan dengan rambut vagina yang lebat berombak itu…kedua tanganku mulai mendorong paha Tante Lily agar merenggang. Kemudian kungangakan bibir vaginanya, sehingga tampak bagian dalamnya yang kemerahan. Aku sudah sering mengamati foto-foto vagina yang masih perawan. Sudah hafal benar mana yang disebut hymen alias selaput dara. Maka melihat sepintas pun aku bisa memastikan bahwa Tante Lily masih perawan.
Dan dengan penuh gairah, kuserudukkan bibirku ke vagina yang masih perawan itu. Membuat Tante Lily terkejut, “Yadi…..!” Tapi lalu terdiam setelah tanganku memberi isyarat agar ia diam saja.
Aku memang sedang mempersiapkan agar nanti tidak menemui kesulitan waktu meneroboskan penisku ke dalam liang kemaluan yang masih perawan ini. Aku akan membuat vagina Tante Lily jadi basah kuyup dan siap untuk menerima penetrasi penisku.
Vagina Tante Lily tidak mengeluarkan aroma yang kurang sedap. Mungkin karena ia sangat menjaga kebersihan, sehingga kemaluannya pun tidak berbau sedikit pun. Dan ini membuatku jadi sangat bergairah untuk menyapu-nyapukan lidahku di vagina perawan ini, dari bibir luar (labia mayora) bagian bawah sampai ke clitorisnya. Dan manakala aku mulai memusatkan jilatanku di clitorisnya, Tante Lily mulai menggeliat sambil mengerang-erang histeris, “Yadiii….oooh….Yadiiii…ooh….ini enak sekali sayang…oooh…aaaah….iya…lakukanlah apa yang kamu suka, sayang….oooh….enak sekali sayang…”
Erangan-erangan histeris itu disertai dengan pelukan di kepalaku, elusan dan remasan di rambutku. Terlebih ketika aku menjilati sambil menyedot-nyedot kelentitnya, sekujur tubuh Tante Lily sering terkejang-kejang dan berkelojotan.
Kedua tanganku pun mulai kujulurkan ke arah sepasang payudara indah itu. Lalu mulai meremasnya dengan lembut. Sehingga terasa Tante Lily semakin menikmatinya. Erangan-erangan histerisnya semakin menjadi-jadi. Kedua tangannya terkadang mencengkram bahuku, terkadang meremas-remas kain seprai dan terkadang memeluk kepalaku erat-erat. Sementara itu, air liurku semakin membanjiri kemaluan Tante Lily, karena sengaja kukeluarkan sebanyak mungkin, hitung-hitung menyiapkan pelumas untuk penetrasi nanti.
Ketika kegiatan bibir dan lidahku terpusat ke kelentit yang nyempil itu, aku tak sekadar menjilatinya, tapi juga menyyedot-nyedotnmya sambil mengelus-elusnya dengan ujung lidahku. Tante Lily pun semakin kelepek-kelepek…desahan dan erangan histerisnya berlontaran begitu saja. “Yadi…oooh….ini enak banget Yad….makin lama makin enak Yad…oooh….oooh…..”
Sementara itu penisku makin tegang saja rasanya. Tak tahan lagi kutahan-tahan nafsuku ini. Lalu aku pun merenggangkan kedua paha Tante Lily selebar mungkin, sambil meletakkan puncak penisku di mulut vaginanya yang sudah basah kuyup. Lalu kupastikan bahwa letak moncong penisku sudah pas.
Tante Lily terdiam pasrah. Sehingga aku tak menemui kesulitan untuk meletakkan puncak penisku di bagian yang lunak pada kemaluan Tante Lily.
Aku ingin menggugurkan mythos bahwa menembus keperawanan itu sulit sekali, sehingga banyak pengantin baru yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk melakukan penetrasi. Jam terbangku sudah cukup tinggi. Vagina Tante Lily sudah basah kuyup oleh air liurku bercampur dengan cairan dari dalam vaginanya sendiri. Maka ketika aku merasa moncong penisku sudah tepat letaknya, aku pun mulai mendorong penisku sekuatnya. Berhasil ! Bagian kepala penisku sudah melesak ke dalam liang surgawi Tante Lily. Tapi aku tidak mendorongnya lebih dalam lagi. Kugerak-gerakkan sedikit penisku, maju mundur dengan hati-hati, takut terlepas. Terasa sempit banget, maklum masih perawan. Setelah terasa licin, kudorong makin dalam lagi…mulai memecahkan jangat perawan Tante Lily…wow…ini benar-benar kemaluan perawan !
“Sakit?” tanyaku terengah.
“Sedikit…ooh…ini sudah masuk ya?” sahutnya terengah juga.
“Iyaaa…” Aku pun mulai memundur-majukan penisku, tanpa mendorong terlalu dalam dulu. Tapi makin lama aku berhasil mengayunnya makin dalam…sampai akhirnya aku berhasil membenamkan sekujur penisku waktu sedang kudorong.
Tante Lily mulai merintih dan mendesah, “Oohh Yad….ooh…Yadi…oooh….”
“Kenapa Tante? Sakit?” tanyaku sambil melambatkan ayunan penisku.
“Gak Yad…justru eee…enak sekali…lanjutkan Yad…oooh enak banget….” sahutnya terengah sambil memeluk pinggangku erat-erat.
“Iya Tante…memek Tante juga…enak banget….jauh lebih enak daripada memek Erni…” ucapku jujur.
“Ah…masa?! “
“Sumpah…soalnya memek Tante masih perawan sih…” kataku sejujurnya. Karena memang liang kemaluan Tante Lily terasa masih sangat sempit dan menjepit batang kemaluanku. Sehingga pada waktu kuayun batang kemaluanku ini, terasa sekali gesekannya. Gesekan antara dinding liang kemaluan Tante Lily dengan batang kemaluanku.
“Aduuuh…Yadiii….enak banget sayang…..oooh….”

Aku takkan bisa melupakan bagaimana bergetarnya tubuh Tante Lily ketika ia akan mencapai orgasme. Matanya terbelalak, kedua tangannya meremas bahuku kencang sekali, sekujur tubuhnya mengejang….nafasnya tertahan….

Pada saat itullah aku mempergencar dorongan dan tarikan batang kemaluanku, makin ganas dan makin ganas….sampai akhirnya terdengar Tante Lily melenguh, “Ooooo….ooooooooohhhh…..Yaddddiiiiiiii……”

Kubenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, tanpa digerakkan dulu. Pada saat yang sama kurasakan liang kemaluan Tante Lilyu berdenyut-denyut erotis…nikmat sekali merasakan detik-detik perempuan sedang orgasme seperti ini.
“Udah lepas Tante?” tanyaku sambil tetap membenamkan batang kemaluanku tanpa mengayunnya dulu.
“Gak tau,” sahutnya lirih, “barusan rasanya seperti gimana gitu ya… ah pokoknya enak ……enak sekali Yadi…dan aku…aku jadi makin sayang padamu.”
“Iya…tadi terasa kok memek Tante berkedut-kedut…itu tandanya sedang orgasme, Tante,” kataku sambil mulai mengayun kembali batang kemaluanku.
Sebenarnya aku masih bisa bertahan lama. Tapi aku kasihan kepada Tante Lily yang baru pertama kali itu merasakan senggama. Karena itu kuayun batang kemaluanku sekencang mungkin, sampai akhirnya kucabut dan kupegang…moncongnya kuarahkan ke perut Tante Lily.
Dan…craaaat…..croooot….croooot….creeeet….air maniku menyemprot-nyemprot perut Tante Lily.
Tante Lily mengusap-usap air maniku yang berceceran di perutnya sambil berkata, “Ini spermamu, Yad?”
“Iya Tante,” sahutku sambil memperhatikan di dekat pantat Tante Lily ada bercak-bercak darah. Darah perawan Tante Lily !
“Kalau dimuntahin di dalam, aku bisa hamil ya?” tanya Tante Lily yang malah tampak asyik mengusap-usapkan tangannya ke ceceran air maniku di perutnya.
“Iya Tante.”
“Padahal biarin aja aku hamil, gakpapa. Biar ngerasain punya anak seperti wanita-wanita lain.”
“Wah, kalau soal itu harus dipikirkan dulu matang-matang, Tante.”
Tante Lily bangkit dan memandang bercak-bercak darah di seprainya.
“Itu darah perawan Tante,” kataku sambil mengelus rambut Tante Lily, “Nyesel gak Tante?”
“Nyesel kenapa?” Tante Lily malah balik bertanya.
“Tante sekarang gak perawan lagi.”
“Gak apa-apa. Aku ikhlas karena yang mengambil kegadisanku seorang lelaki yang aku sukai.”
“Mmmm…dalam tiga hari kita gak boleh bersetubuh dulu,” kataku, “supaya luka di kemaluan Tanhte benar-benar sembuh. Nanti kalau lukanya sudah sembuh, hehehe…Tante pasti pengen digituin lagi…”
“Masa? Terus kalau bener-benar kepengen gimana?”
“Santai aja. Kan tiap hari aku akan tetap ke sini, Tante.”
Begitulah. Di kantorku saja sudah ada dua orang wanita yang bisa kugauli. Donna sang sekretaris dan Mbak Tiara yang kutempatkan di bagian marketing. Sekarang ditambah lagi dengan hadirnya Tante Lily dalam kehidupanku. Memang Tante Lily punya tanda menghitam di pipi kirinya. Tapi peduli apa dengan tanda hitam itu? Bukankah wajahnya cantik dan tubuhnya mulus?
Di hari keempat setelah kisah indahku bersama Tante Lily, aku menepati janjiku untuk menyetubuhinya lagi. Ini adalah persetubuhanku yang kedua bersama Tante Lily. Dan di hari-hari berikutnya, aku tetap rajin menggauli Tante Lily, minimal dua kali seminggu. Dan selalu terjadi pada jam makan siang.
Tapi aku selalu berusaha agar Tante Lily jangan sampai hamil, meski ia berkali-kali meminta agar aku menghamilinya.

Langkah langkah binalku senantiasa terjadi antara lain karena aku tak bisa menepiskan godaan – godaan yang memancing hasrat birahiku. Bahkan terkadang aku sendiri yang menciptakan godaan itu.
Orang yang sudah tahu seluk beluk kehidupanku, mungkin akan mengumpat, “Yadi…Yadi…! Apalagi yang kau cari sih? Bukankah kau sudah memiliki empat wanita cantik yang demikian menurutnya pada kehendak-kehendakmu? Tak cukupkah kau dengan memiliki Erni, Nur, Anna dan Erna? Ada apa sebenarnya dengan jiwamu?”
Kalau ada yang mengumpatku seperti itu, mungkin aku cuma mau menjawab, “Jiwaku ini jiwa petualang. Tak ubahnya para pencari benua baru di jaman dahulu, seperti Vasco da Gama, Alfonso de Albuquerque, Christopher Columbus, Marco Polo, James Cook dan sebagainya. Hanya bedanya, mereka selalu bersemangat untuk menemukan benua baru, sedangkan aku terpancing untuk merasakan bagian di bawah perut wanita yang kujumpai dan menarik hatiku.
Dan anehnya selalu saja ada yang menarik hatiku dan menimbulkan kepenasarananku. Bahkan wanita yang kusetubuhi pun bisa memanciong kepenasaranku lagi kalau belasan tahun tidak berjumpa, lalu berjumpa lagi dalam suasana yang sudah berbeda. Seperti yang terjadi pada suatu hari………
Saat itu aku baru saja tiba di rumah ketika istriku menghampiriku di pintu depan sambil berkata, “Ada Bi Yeyen, Bang. Udah lama dia nungguin Abang.”
“Hah? Bi Yeyen?!” aku kaget dan terkesiap. Karena dengan cepat ingatanku melayang ke masa remajaku. Tentu Bi Yeyen takkan pernah kulupakan, karena pertama kalinya aku bersetubuh dengan wanita ya dengan adik ayahku itu. Tapi tentu saja hal itu kurahasiakan terus.
Dan dengan sikap biasa-biasa saja (di depan istriku), aku melangkah ke ruang keluarga. Di situ seorang wanita empatpuluh tahunan lebih sedang duduk sambil nonton televisi.
“Bi Yeyen….!” seruku dari belakang adik ayahku yang saat itu mengenakan baju kaus abu-abu dengan celana panjang berwarna abu-abu pula.
Bi Yeyen bangkit dari sofa. Menatapku dengan tatapan khusus. Dan aku menganggap tatapan itu bukan tatapan seorang bibi kepada keponakannya. Itu tatapan kangennya seorang wanita setengah baya kepada lelaki yang sudah belasan tahun tak berjumpa.
“Yadi…kamu sih bisa jaga badan dan tetap langsing gitu. Cuma perutnya..harus dijaga, jangan jadi buncit,” cetus Bi Yeyen sambil memelukku erat-erat dan mencium pipiku berkali-kali.
“Bi Yeyen justru yang jadi montok gitu…kalau ketemu di jalan mungkin aku lupa.”
“Mmm…sama bibimu sendiri bisa lupa ya?” Bi Yeyen mendelik, sementara istriku tersenyum-senyum, lalu pergi ke kantin.
Setelah istriku pergi, Bi Yeyen bicara perlahan sambil celingukan, mungkin takut didengar istriku, “Aku kangen sama kamu tau. Tadi nyari di rumah lama, eee, kata orang-orang di sana Pak yadi sudah pindah. Untung aku bisa nemukan alamat di sini.”
“Bi Yeyen masih tinggal di Jambi kan?”
“Gak,” Bi Yeyen menggelengkan kepala, “Sejak Mang Darta meninggal, aku gak kerasan di sana. Rumah juga udah dijual. Terus beli rumah di Cianjur. Nanti anterin aku pulang ke Cianjur ya.”
“Iya, iya…”
Tak lama kemudian istriku muncul lagi. Duduk di samping Bi Yeyen sambil menepuk lutut adik ayahku itu, “Bi Yeyen…ayo kita makan dulu…”
“Iiiih…kok jadi ngerepotin ya?”
“Kan di sini kami punya kantin, Bi. Jadi kalau cuma mau nyuguhin makan aja sih gampang. Tinggal letak-letakkin aja di meja. Ayo Bi…” ajak istriku sambil memegang pergelangan tangan Bi Yeyen.
Dua orang pegawai kantin tampak baru selesai menata meja makan di ruang makan yang menghadap ke kolam renang.
Bi Yeyen memandang ke sekeliling rumah dengan sorot kagum. Katanya, “Syukurlah. Kalian sudah berhasil menemukan jalan hidup. Aku ikut senang melihatnya.”
Lalu kami makan bersama di ruang makan yang berdampingan dengan kolam renang itu.
Dua jam kemudian, aku sudah berada di belakang setir jipku yang sedang kularikan menuju Cianjur.
“Udah jadi orang kaya kenapa gak pakai sopir, Yad?” tanya Bi Yeyen ketika mobilku sudah melewatri Ciranjang.
“Dulu ada sopir, tapi kutugaskan di Kalimantan, Bi,” sahutku, “Ohya…di Cianjur Bi Yeyen tinggal sama siapa?”
“Sama Gustin dan Yuna aja.”
“Itu anak-anak Bi Yeyen?”
“Iya. Tapi keduanya sudah gede-gede. Gustin malah udah kelas tiga SMA. Yuna kelas tiga SMP.”
“Mmm…tau gak…aku sering teringat masa laluku Bi. Untuk pertama kalinya aku mengalami gituan kan sama Bi Yeyen. Tapi Bi Yeyen pindah ke Jambi. Jadi aku gak bisa mengulangnya lagi.”
“Sekarang aku sudah tua, Yad. Tubuhku udah pada melar.”
“Justru sekarang Bi Yeyen jadi seksi banget di mataku. Mmm…. kalau aku mau mengulangnya lagi, bisa kan?”
“Bisa aja. Tapi jangan di rumahku. Gak enak sama anak-anak yang udah pada gede gitu.”
“Gampang soal itu sih. Kita cek in ke hotel aja ya.”
“Terserah…” kata Bi Yeyen hampir tak terdengar.
“Hotel yang rada bagus harus lewat Cianjur dulu. Deket-deket Puncak banyak hotel baru….eeeeh…di Cipanas banyak villa yang bisa disewa. Kita ke sana aja ya Bi.”
“Terserah…iiih…memekku langsung kedut-kedutan nih Yad. Kan aku udah lama banget gak ngerasain digituin.”
“Heheheee…Bi Yeyen bikin aku tambah nafsu aja.”
“Soalnya aku jadi ingat lagi waktu pertama kali kita gituan…saat itu kamu masih lugu banget. Sekarang sih pasti udah trampil.”
“Kita liat aja nanti,” kataku sambil tersenyum.
Tak sulit bagiku mencari villa di Cipanas ini. Bahkan aku mendapatkan villa yang lumayan gede, dengan tarif yang relatif murah. Maklum hari itu hari tanggung, bukan hari-hari weekend.
“Udah gak sabar,” kataku sambil menguncikan pintu depan villa, “udah pengen liat Bi Yeyen telanjang…”
“Udah pada melar, sayang….” sahut Bi Yeyen sambil melihat-lihat keadaan di dalam villa itu, “tapi aku mau mandi dulu ya. Kalau bersih dan seger kan enak mainnya.”
“Bareng aja Bi,” kataku sambil memeluk Bi Yeyen dari belakang, “kita kan belum pernah mandi bareng.”
Bi Yeyen mengangguk. Lalu kami melangkah ke dalam kamar mandi.
Di situlah Bi Yeyen melepaskan celana panjang abu-abu dan baju kaus yang berwarna abu-abu juga. Meski masih mengenakan bra, payudara Bi Yeyen tampak berbeda dengan waktu masih muda dahulu.
Dengan tak sabar kubuka kancing kait bra Bi Yeyen. Dan….
“Bi…toketnya jadi gede gini? Seingatku dahulu gak gede gini,” kataku sambil memegang payudaranya yang tek tertutup apa-apa lagi.
“Dulu kan belum ada yang netek…cuma kamu yang sering netek ke sini…hihihi…” sahut Bi Yeyen sambil membuka kancing jerseyku. Lalu menariknya ke atas, sampai terlepas dari tubuhku. Celana jeansku juga dilepaskan olehnya.
Setelah menanggalkan celana dalamku, Bi Yeyen langsung menangkap batang kemaluanku yang sudah ngaceng ini, sambil berkata, “Kontolmu makin panjang-gede aja Yad…”
“Ah…perasaan sejak dulu cuma segini-segini aja Bi,” sahutku sambil menurunkan celana dalam Bi Yeyen dengan penasaran….seperti apa bentuk kemaluan Bi Yeyen sekarang ya?
Ternyata kemaluan Bi Yeyen juga berubah. Jadi rada-rada tembem gitu, sementara jembinya sudah tercukur, tapi tidak dihabiskan, hanya dirapikan saja.
Setelah sama-sama telanjang, kami pun saling menyirami dan saling menyabuni dengan penuh gairah. Bi Yeyen rajin sekali menyabuni batang kemaluanku yang sudah sangat tegang ini, sementara aku pun rajin menyabuni kemaluan Bi Yeyen. Bahkan jemariku berkali-kali menyalinap ke dalam celah kemaluannya yang memang tidak sesempit dahulu lagi. Maklum sudah dua kali melahirkan.

Lalu terjadi sesuatu. Tadinya aku cuma iseng, ingin mencolek-colekkan puncak penisku ke celah kemaluan Bi Yeyen. Tapi tanpa disengaja…blesss….penisku “terjerumus” masuk ke dalam liang kemaluan Bi Yeyen.
“Iiiih…masuk nih Yad….” kata Bi Yeyen sambil mendekap pinggangku.
“Iya Bi…gak sengaja…tapi biarin deh,,,udah kangen berat sih,” kataku sambil mendesakkan tubuh Bi Yeyen agar merapat ke dinding kamar mandi.
Setelah Bi Yeyen tersandar ke dinding, penisku mulai beraksi. Bergerak maju mundur dengan mantapnya di dalam liang surgawi Bi Yeyen.
“Duuududuuuuhhh…Yadi….aku udah lama banget gak diginiin…ooooh…jadi enak banget rasanya, Yaaad…..oooh….” rengek Bi Yeyen sambil memeluk pinggangku erat-erat.
“Iya Bi…memek Bibi malah jadi enakan sekarang ya…lebih mantap rasanya Bi…”
Birahi yang terlampiaskan di kamar mandi ini, seakan mengumandangkan lagu-lagu merdu, bertaburkan bunga-bunga surgawi. Manakala aku mendesakkan, terdengar suara iiik…di hidung Bi Yeyen. Dan manakala kutarik menjauh, terdengar suara aaaaaaaaahhhhh….!
Sungguh aku merasa demikian kagennya pada Bi Yeyen, wanita yang membuat aku pertama kalinya mengalami persetubuhan itu, kini bisa kugasak habis-habisan, tanpa rasa takut pada siapa pun, karena Bi yeyen sudah menjadi seorang janda. Janda setengah baya yang masih sangat menggodaku, masih mampu mengucurkan kenikmatan padaku.
“Yad…Yaaad…oooh…aku udah mau lepas Yaaad….ayo barengin Yad….biar enak….” rintih Bi Yeyen pada suatu saat.
Tapi saat itu aku ingin menipunya. Kuayun penisku dengan gerakan cepat, lalu kubenamkan sedalam mungkin….kudesakkan terus tanpa digerakkan lagi. Sementara liang kemaluan Bi Yeyen terasa berkejut-kejut erotis. Diiiringi pelukannya yang demikian hangat dan eratnya.
Pasti saat itu Bi Yeyen mengiraku sudah ejakulasi. Padahal aku belum apa-apa.
O, Bi Yeyen tidak tahu. Bahwa aku sekarang tidak sama dengan aku yang dahulu, yang belum tahu bagaimana caranya untuk menjaga agar aku selalu memuaskan wanita yang sedang kusetubuhi…..
Kami lalu membilas air sabun di sekujur tubuhku sampai bersih. Dan mengeringkannya dengan handuk.
“Kok masih ngaceng terus?” tanya Bi Yeyen sambil memegang penisku yang masih siap tempur, karena memang belum ejakulasi.
“Iya…mungkin kangenku sama Bi Yeyen belum reda,” kataku sambil memeluk pinggang Bi Yeyen dari belakang, lalu mendorongnya ke luar kamar mandi…menuju bed dalam keadaan sama-sama masih telanjang.
“Sekarang sih kalau kangen kapan pun bisa ketemuan. Karena aku sudah bebas. Gakada yang punya lagi,” kata Bi Yeyen setelah duduk di atas bed.
“Bi Yeyen punya arti khusus buatku,” kataku, “karena pertama kali aku merasakan bersetubuh yan dengan Bi Yeyen.”
“Kamu juga punya arti khusus bagiku, Yad,” kata Bi Yeyen sambil memegang batang kemaluanku yang masih ngaceng berat ini, “karena kontolmu ini…luar biasa panjang dan gedenya. Hihihi…punya almarhum jauh lebih kecil daripada punyamu ini…mmmm…gila…aku jadi horny lagi nih….”
Dan sambil memeluk leherku, Bi Yeyen bertanya perlahan, “Mau nyobain doggy denganku?”
“Mau,” kataku sambil mengangguk.
Dan Bi Yeyen menungging di atas bed.
Gila…itu bokong yang dihadapkan padaku, memperlihatkan betapa merangsangnya kemaluan Bi Yeyen yang seolah dingangakan untukku. Membuatku ingin menyentuhnya, lalu sengaja memainkan jemariku di mulut memek Bi Yeyen. Karena ternyata liangnya sudah kering, mungkin tadi dilap sehabis mandi. Dan setelah dicolek-colek beberapa saat, terasa mulai membasah lagi. Aku pun mengangsurkan moncong penisku ke mulut vegy yang sudah membasah itu. Lalu sambil berlutut kudesakkan batang kemaluanku…blesssss….melesak masuk lagi ke dalam liang surgawi bibiku.
Aku pun mulai mengayun batang kemaluanku sambil berlutut dan memegangi bokong Bi Yeyen yang gede itu.
“Dudududuuuh…Yadi…aaaa…aaaah Yadi…enak banget Yaaad….aaaah…..iya..iya….. entot terus sayang…entot terus…ini enak sekali, sayaaaang…”
Mendengar rintihan-rintihan histeris Bi Yeyen iotu, aku jadi semakin bersemangat untuk mengenjot batang kemaluanku…..maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur………dengan kecepatan dan tekanan yang makin lama makin kencang….
Ooo…tak kusangka Bi Yeyen masih mampu mengucurkan kenikmatan surgawi buatku. Bahkan dalam beberapa hal permainannya lebih edan daripada perempuan-perempuan muda yang selama ini kudapatkan.
Pada waktu aku mengenjotnya dari belakang, Bi Yeyen yang sedang menungging itu ternyata masih mampu menggoyang-goyangkan pinggulnya, dengan gerakan yang meliuk-liuk erotis, membuat batang kemaluanku terombang-ambing ke sana-sini…seolah menjelajahi setiap sudut di dalam liang kemaluan bibiku itu.
Rasanya malu menceritakan semuanya ini. Karena Bi Yeyen itu adik bungsu ayahku. Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Bahwa semalaman bersama Bi Yeyen di villa itu, kumanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk mendapatkan kepuasan semaksimal mungkin.
Berbagai posisi kami lakukan. Bi Yeyen seakan ingin “membayar hutang” padaku, karena waktu aku masih remaja dahulu, cuma posisi klasik yang diberikannya padaku. Dan kini ia seolah menambah pengetahuanku, bahwa hubungan sex itu bisa dilakukan dalam bermacam-macam posisi.

Pada waktu meninggalkan Cianjur, berkali-kali aku tersenyum sendiri di belakang setir jipku. Seolah senyum seorang panglima yang pulang dengan membawa kemenangan.
Tapi setelah dekat wisma kos, ada perasaan bersalah di dalam batinku. Karena untuk kesekian kalinya aku telah membohongi istriku lagi. Padahal aku sudah berulang-ulang berkata kepada istriku, “Jangan ada diusta di antara kita…” (seperti judul lagu jadul).
Istriku pasti mengiraku cuma bermalam di rumah Bi Yeyen yang adik kandung ayahku. Dan jika hal itu terjadi, bukanlah hal yang aneh. Tapi seandainya ia tahu apa yang telah kulakukan bersama Bi yeyen….entah apa tanggapannya. O, istriku sayang, maafkanlah suamimu ini !
Tapi esok harinya kutemukan catatan baru dalam folder pengakuan istriku, yang membuatku tidak merasa bersalah lagi. Karena ternyata ia pun melakukan suatu kesalahan, bahkan kuanggap kesalahannya lebih berat daripada kesalahanku. Seperti yang kubaca dari catatan pengakuannya itu:
==================================================================

Tadinya aku tak mau mencatat kisah yang satu ini, karena aku takut dimarahi oleh suamiku. Tapi aku selalu menepati janji yang telah kuucapkan kepada suamiku. Bahwa seburuk apa pun langkah birahiku, akan selalu kucatat dan nantinya akan dibaca semuanya oleh suamiku tercinta.
Terus terang, selama beberapa bulan terakhir ini aku merasa ada perubahan di dalam jiwaku. Katakanlah aku sudah menjadi seorang wanita yang besar nafsunya (nafsu birahi tentu saja). Kadang-kadang membayangkan seseorang sedang menggauliku saja, maka diam-diam vegyku suka basah. Lalu semakin gila membayangkan enaknyha digauli lelaki dan segala liku-liku kelelakiannya.
Lalu apa sebenarnya yang telah terjadi pada diriku ini? Apakah ini dampak dari alam baru yang diperkenalkan oleh suamiku ? Ataukah aku memang mulai mengenal betapa indahnya alam seksual itu?
Jujur, terkadang aku berpikir betapa niukmatnya kalau aku digauli tiap malam, jangan pernah ada malam yang kosong dari hubungan sex, kecuali pada waktu aku datang bulan saja liburnya.
Tapi rasanya tak mungkin aku mendapatkannya tiap malam dari suamiku. Apalagi belakangan ini, suamiku begitu sibuknya mengurusi bisnisnya yang macam-macam. Bisnis batubara, ekspor tepung coklat, property dan banyak lagi.
Jadi apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berselingkuh dengan lelaki lain, sedangkan aku sejak remaja sudah digembleng tentang kesetiaan? Ataukah aku harus mengusulkan kepoada suamiku untuk mengadakan reuni lagi seperti waktu di Puncak dahulu?
Entahlah. Aku seperti tak punya solusi apa pun selain memendam hasrat yang sering menyiksa batinku ini.
Lalu kenapa aku mulai sering membayangkan penghuni kios yang bernama Indra itu?
Sebenarnya ketika wisma kosku baru dibuka, Indralah yang pertama mendaftar sebagai penghuni kosku. Karena itu aku merasa Indra itu paling akrab denganku jika dibandingkan dengan penghuni-penghuni lainnya. Bahkan aku sudah tahu latar belakang dirinya. Bahwa ia ditarik ke kota ini dari kantor cabangnya di Medan. Mungkin karena ia berprestasi baik, sehingga ia ditarik ke pusat, karena kantor pusatnya memang di kota ini.
Meski umurnya baru 28 tahun, Indra (menurut pengakuannya) sudah punya istri dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Seperti dalam percakapanku dengannya beberapa bulan yang lalu :
“Kenapa istrinya gak dibawa pindah ke sini sekalian?” tanyaku saat itu.
“Anakku masih kecil-kecil Mbak. Sedangkan aku ingin konsentrasi pada kerjaan saja di sini. Lagian aku takkan selamanya ditugaskan di kota ini. Kalau tugasku sudah bisa ditangani oleh orang lain, aku akan ditugaskan di Medan lagi.”
“Terus kalau kangen sama istri gimana?”
“Yaaaa….ditahan aja. Kan tiga bulan sekali aku pulang ke Medan.”
Pada saat itu aku berpikir, “Mungkinkah suami-istri bisa puas dengan cuma berhubungan badan tiga bulan sekali?”
Tapi aku tidak membahas masalah itu lebih jauh. Karena kupikir itu bukan urusanku. Urusanku cuma menagih uang kos tiap awal bulan dan ia cuma penghuni wisma kosku. Katakanlah ia itu sebagai salah satu sumber penghasilanku.
Dalam kesehariannya, kulihat Indra sangat bersahabat dengan Rio, yang kamarnya bersebelahan dengan kamar Indra. Tiap pagi mereka bareng-bareng minum kopi panas dan roti bakar di kantinku. Pada waktu makan malam pun mereka sering bareng makan di kantinku.
Setahuku Rio itu sedang mengejar S2 di kota ini, sebagai tugas dari sebuah perguruan tinggi swasta di luar Jawa, karena ia sudah menjadi dosen di universitasnya. Kalau dilihat dari datanya, Rio berumur 27 tahun, berarti setahun lebih muda daripada Indra.
Hanya sesekali Indra datang sendirian ke kantin, untuk sarapan pagi atau makan malam. Karena kudengar ia dapat jatah makan siang di kantornya, jadi hanya siang saja ia tidak makan di kantinku.
Kalau kebetulan datang sendiri, aku suka sengaja menemaninya, duduk di depan mejanya sambil berbincang-bincang ke barat ke timur.
Namun dalam dua-tiga bulan terakhir, ia jadi rajin mengajakku ngobrol di handphone. Bahkan makin lama makin intensif saja rasanya.
Memang semua penghuni di wisma kosku menyimpan nomorku di handphone mereka. Dan nomor mereka pun kusaving semua. Itu untuk memudahkanku dan memudahkan mereka juga untuk berkomunikasi kalau ada masalah. Kalau mereka telat bayar, aku bisa ngirim sms untuk menanyakannya. Dan kalau ada masalah di kamar mereka, aku bisa menugaskan satpam mendatanginya. Termasuk jika ada masalah dalam kamar mereka, misalnya hilang kunci, sambungan listrik harus dibetulkan dan banyak lagi. Terkadang ada juga yang minta dikirim makanan ke kamarnya, lalu aku menugaskan pelayan kantinku melaksanakan permintaan itu.
Tapi Indra makin lama makin intensif mendekatiku lewat komunikasi di handphone kami. Dan makin lama aku makin terpancing jadinya.
Seperti pada suatu malam, ketika kantin sudah ditutup dan aku mau beristirahat di kamarku, Indra menilponku.
“Belum tidur Mbak?”
“Belumlah. Indra sendiri belum tidur?”
“Dalam beberapa hari ini aku susah tidur Mbak.”
“Kenapa? Kangen sama istrinya ya? Pulang dulu dong ke Medan biar hilang kangennya.”
“Justru aku jadi mikirin Mbak terus.”
“Hush! Mikirin apanya?”
“Masa Mbak gak ngerasa kalau aku sudah lama sering memperhatikan Mbak.”
“Terus?”
“Mbak ngerti kan?”
“Gak tuh. Kan Indra sudah punya istri.”
“Iya. Mbak juga udah punya suami. Tapi kita seperti senasib, Mbak.”
“Senasib gimana?”
“Mas Yadi kan jarang pulang, aku juga jauh dari istri. Jadi…perhatianku teralih sama Mbak.”
“Mmm…bisa aja.”

Begitulah. Percakapan itu lalu disambung keesokan malamnya. Pada waktu kantin sudah tutup juga. Padahal sebelumnya ia datang bersama Rio untuk makan malam. Percakapan telepon di malam selanjutnya itu semakin mengarah ke arah yang satu itu. Bahwa ia sangat tertarik padaku. Ketertarikan yang lalu menjadi suatu kekaguman. Dan lalu menjadi khayalan-khayalan indah baginya.
O, Indra…Indra…! Seandainya dia tahu betapa aku pun sudah berbulan-bulan tertarik padanya, pasti lain ceritanya. Tapi aku pendam saja perasaan ini, karena aku tidak mau disebut istri yang senang menyeleweng dari suami.
Tapi tahukah Indra bahwa diam-diam aku sering melamun…membayangkan seandainya aku digeluti oleh dirinya? Lalu tahukah bahwa pada masa birahiku yang terus-terusan bergejolak ini tubuhku suka menghangat dan kemaluanku suka membasah sendiri?
Ah, malu aku menceritakan semuanya ini. Karena aku tahu bahwa catatan ini akan dibaca oleh suamiku. Tapi bukankah suamiku lebih suka kalau aku senantiasa jujur padanya?
Lalu sampai kapan aku bisa menahan gejolak birahi yang selalu menyiksaku ini? Sampai kapan pula aku bisa tetap bersandiwara, seolah-olah tidak membutuhkan Indra padahal aku sering membayangkan dirinya?
Maka dalam lisan pun aku mulai memperlihatkan ketertarikanku padanya. Meski lalu aku mengemukakan suatu alasan: “Lebih dari seratus orang tinggal di wisma kos ini. Kalau ceroboh bisa heboh nanti.”
“Iya Mbak. Aku ngerti soal itu sih. Makanya aku mau ngajak ketemuan di satu tempat yang takkan terendus oleh para penghuni kos,” kata Indra di handsfree handphoneku.
Indra menjawab dengan menyebutkan nama sebuah hotel yang letaknya di luar kota, tapi tidak terlalu jauh dari kotaku.
“Kapan?” tanyaku, yang secarta tidak langsung sudah merupakan persetujuanku untuk ketemuan di hotel itu.
“Di hari-hari weekend lah. Bisa Jumat sore, Sabtu atau Minggu. Kalau di hari kerja, aku kan gak bisa ke mana-mana.”
Aku terdiam. Tak mau terlalu memperlihatkan semangatku.
“Kalau Sabtu mendatang gimana?”
“Suamiku Jumat juga sudah ada di rumah. Biasanya hari Senin baru berangkat lagi ke luar kota.”
“Wow….gimana ya?”
“Kalau Kamis depan, suamiku terbang ke Kalimantan. Biasanya empat atau lima harian di sana.”
“Nah…kita atur Jumat di minggu depan aja Mbak. Sabtu paginya pulang.”
“Iiih…kok pake nginap segala?”
“Kan Mbaknya pasti baru bisa berangkat setelah nutup kantin. Makanya….”
“…Ya udah,” potongku, “Jumat depan aja.”
“Siiip ! Makasih Mbak yaaaa. Mmm…Mbak kan biasa bawa mobil sendiri. Bisa ketemuan langsung di sana kan? biar jangan ada yang lihat kita bareng-bareng.”
“Iya. Tapi…emangnya di sana mau ngapain sih?”
“Boleh aku jujur?”
“Ya iya dong, harus buka-bukaan dulu dari sekarang.”
“Aku udah telanjur kasmaran sama Mbak. Aku mau menjilati Mbak dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.”
“Iiiih…Indra…bikin aku jadi horny ah…”
“Mmm…si dede juga bangun nih…pengen cepet ke hari Jumat minggu depan.”
“Kamu suka mainin PSK gak?”
“Amit-amit jabang bayur ! Aku sih belum pernah nyentuh PSK, Mbak. Gak ada seninya, sopir angkot juga bisa pake, asal punya duit. Belum lagi penyakitnya…hiiii….sekarang kan musim HIV-AIDS….takut aku Mbak.”
Begitulah. Meskipun bersikap seperti tiada yang meresahkanku, sebenarnya aku juga tak sabar lagi, seperti Indra. Tak sabar menunggu hari Jumat yang telah dijanjikan menuju tempat yang sudah disepakati.

Akhirnya hari yang dijanjikan pun tiba. Aku degdegan juga ketika sudah selesai bersolek sementara beberapa pakaian untuk ganti pun sudah kumasukkan ke dalam tas kecil yang biasa kubawa ke mana-mana.
Suamiku kemaren sudah terbang ke Banjarmasin. Dan menurut rencananya pada hari Selasa baru akan pulang lagi.
Di belakang setir mobil yang kupacu dalam kecepatan agak tinggi, desir-desir birahi berbaur tanda tanya itu menggelayuti batinku terus-menerus. Saat itu aku mengenakan gaun sutra berwarna biru gelap, bermotifkan bunga-bunga kecil berwarna biru muda. Tadinya aku mau mengenakan celana panjang dan blouse katun. Tapi entahlah, aku ingin kelihatan feminine malam itu. Sehingga kukenakan gaun suitra dengan belahan di paha kanan kiriku, agar aku tampak feminine tapi jangan ribet pada waktu nyetir mobil.
Dan aku degdegan lagi waktu membelokkan mobilku di pelataran parkir, persis di samping sedan putih yang aku tahu benar sebagai mobil Indra itu.
Aku belum mau keluar dari dalam mobilku. Dan kutelepon Indra dari belakang setirku, “Aku udah di tempat parkir. Mobilku berdampingan dengan mobilmu,” kataku.
Terdengar suara Indra di handphoneku, “Oke Mbak…aku mau jemput Mbak ke situ.”
Kumatikan mesin mobilku. Dan tak lama kemudian Indra muncul di sebelah mobilku. Dengan senyumnya yang membuatku makin degdegan.
Sebenarnya tiap hari juga aku ketemu dengan dia. Tapi malam itu, entahlah, begitu melihat dirinya, jantungku langsung memukul kencang. Soalnya aku sudah membayangkan apa saja yang bakal terjadi setelah masuk ke dalam kamar hotel itu nanti.
Di dalam lift, tiada orang lain kecuali aku dan Indra. Pada saat itulah Indra mulai berani melingkarkan lengannya di pinggangku sambil berkata, “Akhirnya impianku bakal jadi kenyataan….”
“Emang pernah mimpiin aku gitu?” tanyaku tanpa ekspresi.
“Sering.”
“Gimana mimpinya?”
Indra tak menyahut, karena pintu lift keburu terbuka. Dan ia tetap menggandeng pinggangku waktu menuju ke pintu kamar yang sudah dibooking olehnya.
Setelah berada di dalam kamar, Indra langsung memelukku sambil menatapku dengan sorot jantannya (ini antara lain yang membuatku suka padanya…kejantanannya itu). Namun kata-katanya romantis banget, “Sekian lama aku menunggu kesempatan ini…kesempatan untuk memiliki Mbak meski cuma untuk sekejap saja….oh, bahagianya hatiku saat ini Mbak…”
Aku cuma tersenyum meski batinku sudah bergemuruh…ingin segera digumuli lelaki muda yang senantiasa tampak macho itu di mataku.
Namun sepertin ya Indra tidak sekasar itu. Ia melingkarkan lengannya di leherku, lalu mencium dan melumat bibirku dengan penuh kehangatan dan kemesraan.
Anehnya, aku seolah baru pertama kalinya merasakan ciuman lawan jenisku. Ciuman yang menggetarkan batinku…bahkan menggetarkan sekujur tubuhku. Ciuman yang membuatku balas memeluknya dengan sepenuh kehangatanku.

Pelukan Indra terasa begitu erat dan hangat. Ciumannya pun begitu hangat, ditingkah dengan remasan-remasan di punggungku, membuat birahiku semakin bangkit dan sulit mengendalikannya. Bahkan ketika aku saling tatap dengannya, denyut batinku ini seolah meronta-ronta saking tergetarnya.
Lalu apa yang sedang terjadi ini? Apakah aku sudah jatuh cinta pada lelaki muda yang sudah kukenal berbulan-bulan itu?
Kunilai Indra sosok yang tenang, tidak terburu-buru . Setelah cukup lama melumat bibirku sambil berdiri dan berpelukan erat, ia lalu mengajakku duduk di sofa.
“Bagaimana perasaan Mbak sekarang?” tanyanya sambil melingkarkan lengannya di pinggangku.
“Perasaan apa?” aku balik bertanya dan pura-pura lugu.
“Perasaan Mbak padaku…”
“Bisa dijawab sendiri kan ? Emangnya ngapain aku datang ke sini kalau gakda apa-apanya.”
Indra mencium pipiku, sambil berkata perlahan, “Aku bahagia sekali saat ini Mbak…karena tadinya kusangka Mbak takkan mau diajak ketemuan di sini…”
Sebagai jawaban, kini aku yang mencium bibirnya. Bibir yang tampak serius dan macho itu.
Pada saat itulah Indra mulai merayapi pahaku yang tersembul lewat belahan gaun di kanan kiriku. Jujur saja, semua ini terlalu menggetarkan. Tapi kubiarkan saja ia merayapi pahaku yang terasa sudah menghangat. Sementara tangannya yang lain berusaha ingin membuka kancing di bagian dadaku. Maka kubantu membukanya, Bahkan kuturunkan gaunku sampai di perutku. Tak cuma itu. Aku pun melepaskan behaku tanpa ragu-ragu lagi.
Indra tampak senang dengan semuanya itu. Bahwa ketika tangannya masih merayapi pangkal pahaku, sepasang payudaraku sudah terbuka untuknya. Dan dengan lembut ia menciumi payudaraku, mengulum pentilnya, sementara tangannya sudah menyelinap ke balik celana dalamku. Ooooh…aku benar-benar sudah diamuk nafsu birahiku, yang semakin sulit dikendalikan.
Tapi indra tetap sabar dan teklun menyelomoti pentil payudaraku, sementara jarinya sudah menyentuh kemaluanku…sudah menyelinap ke celah kemaluanku…sungguh tergetar batinku dibuatnya.
Maka aku pun tak mau berdiam diri. Kutarik ritsleting celana jeans Indra dan kumasukkan tanganku ke dalamnya, kuselundupkan terus ke balik celana dalamnya. Ternyata kusentuh batang kemaluan yang sudah tegang sekali.
Kuremas-remas batang kemaluanku itu dengan lembut. Tapi tanganku terpaksa harus dikeluarkan dari celana jeans Indra, karena ia akan menanggalkan gaunku dan terhalang oleh tanganku.
Kubiarkan ia melakukan semuanya. Bahkan setelah gaunku terlepas, ia pun menarik celana dalamku sambil berkata, “Aku sudah berjanji akan menjilati Mbak dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Sekarang aku akan melakukannya.”
“Gak usah,” sahutku, “Kalau mau jilatin, ininya saja,” kataku sambil menunjuk ke arah kemaluanku yang sudah terbuka total.
Indra mengangguk. Lalu menanggalkan pakaiannya, tinggal celana dalam saja yang belum dilepaskannya.
Suka sekali aku melihat Indra yang tinggal bercelana dalam saja itu. Tubuhnya tinggi semampai tapi tidak kurus.
Dan ketika aku masih duduk di sofa dalam keadaan yang sudah telanjang total, Indra duduk bersila di antara kedua lututku. Aku tahu apa yang akan dilakukannya.
Ya, dengan lembut ia mnyeruakkan kedua pahaku agar jaraknya semakin renggang. Lalu menciumi kemaluanku dengan lembut. Dan ketika lidahnya mulai terjulur, aku membelai rambutnya dengan perasaan sayang. Iiih…apa lagi yang terjadi dalam jiwaku ini?
Entahlah. Yang jelas ketika ia mulai intensif menjilati belahan kemaluan dan kelentitku, ooo, ini nikmat sekali rasanya. Nikmat yang membuat nafasku tertahan-tahan. Nikmat yang berdesir – desir dari ujung kakiku sampai ke ubun-ubunku. Aku pun mulai menjengking-jengking, sehingga bokongku terangkat-angkat, terkadang tidak menduduki sofa lagi.
“Indra…oooh…Indraaaaaa….ooooh………enak sekali Draaaaaaa…..ooooh….” aku merengek-rengek perlahan, sambil menggeliat dan mengejang.
Makin lama desir nikmatku makin dahsyat saja rasanya. Sehingga aku pun merengek, seperfti minta dikasihani, “Indra…udah….masukin aja….”
Indra mengangguk dengan senyum. Lalu mengajakku berdiri dan melangkah ke arah tempat tidur. Di situlah ia menanggalkan celana dalamnya, sebagai satu-satunya benda yang masih melekat di tubuhnya.
Ketika Indra mau menyodokkan batang kemaluannya yang tampak sudah sangat ngaceng itu, aku pun menyambutnya dengan mengangkat pahaku, melipat lututku agar Indra bisa memasukkan penisnya sedalam mungkin.
Penisnya tidak sebesar dan sepanjang penis suamiku. Tapi tampak sudah tegang sekali. Dan ketika ia mendorong penis tegang itu ooooh…terasa penis itu langsung menyelusup ke dalam liang kemaluanku. Serrrrrr…..serrrrrrrrrrr….serrrrr…desir nikmatku semakin menggila ketika Indra mulai mengentotku. Ia bahkan meletakkan lipatan kedua lututku di bahunya, sehingga ketika batang kemaluannya didorong, terasa penis lelaki muda itu benar-benar amblas sepenuhnya di dalam liang kemaluanku.
Aduhai…gesekan-gesekan surgawi ini mulai terasa olehku, nyata sekali nikmatnya. Membuatku terpejam-pejam dengan mulut terkadang menyeringai saking nikmatnya.
Indra melakukan semuanya itu dengan tubuh yang tertahan oleh kedua kakiku. Lalu, setelah belasan menit menyetubuhiku dalam keadaan seperti itu, ia menurunkan kedua kakiku dari bahunya. kubiarkan saja. Mungkin ia ingin berhimpitgan dengan payudaraku atau mau melakukan sesuatu pada payudara atau bibirku.
Benar saja. Setelah dadanya menghimpit dadaku, ia mengentotku lagi sambil mencium dan melumat bibirku dengan mesranya.

Kusambut semuanya itu dengan pelukan hangat di lehernya. Dengan goyangan binal pinggulku, sambil berusaha agar kelentitku sering bergesekan dengan batang kemaluan Indra.
Entah karena persetubuhan ini terjadi pada saat yang tepat, atau karena diam-diam aku semakin menyukai Indra yang kalem dan macho ini, entahlah. Yang jelas, ketika Indra sedang gencar-gencarnya mengentotku, aku merasa seperti melesat dengan cepatnya ke angkasa….dengan kenikmatan menuju puncak kedahsyatannya. Dan…oooh…aku sudah berada di titik orgasmeku yang sangat indaaaaaaaaaaaaaaaaah !!!
“Indra….aku…aku sudah lepas sayang….ciumi bibirku…ooooh…” rengekku manja.
Dan Indra mengabulkan permintaanku. Diciuminya bibirku, sementara payudaraku dicengkramnya dengan lembut.
Klepek-klepek…aduhai indahnya !
“Nanti lepasin di luar?” tanya Indra setelah ciumannya menepis.
“Di dalam juga gakpapa. Ntar…jangan dientotin dulu….aku ingin menghayati enaknya orgasme,” sahutku sambil mempererat pelukanku di lehernya.
Indra pun menciumku lagi dengan mesranya. Aduhai indahnya. Aku serasa sedang dimanjakan oleh kenikmatan surgawi.
Sesaat kemudian, Indra mulai memaju-mundurkan batang kemaluannya. Ia tak peduli dengan liang kemaluanku yang sudah banyak lendirnya. Ketika kubisiki mau dilap dulu gak? Ia malah menjawab gak usah, gini malah enak…jadi lancar gerakannya.
Anehnya, aku punya perasaan ingin menjadi wanita yang sangat memuaskan bagi Indra. Karena itu, untuk mengimbangi kebasah-kuyupan liang kewanitaanku, maka kugoyang-goyang pinggulku sebinal mungkin. Dan tak lama kemudian banjir di liang kemaluanku pun mulai reda. Mungkin sebagian terbawa angin atau meresap kembali ke dalam tubuhku, entahlah. Yang jelas Indra makin lama makin mantap menggenjot liang kemaluanku, sementara kedua tangannya pun tak cuma diam. Terkadang ia meremas sepasang payudaraku, terkadang ia membelai rambutku, terkadang juga tangannya bergerak ke bawah untuk meremas-remas bokongku.
Dan rasanya persetubuhan ini jadi lengkap manakala bibirnya berkali-kali menciumi bibirku. Bahkan terkadang ia mengecup mataku, terkadang juga menjilati telingaku. Dan yang membuatku geli (tapi enak) adalah ketika lidahnya berkali-kali menjilati ketiakku. Oh, Indra…Indra….tak kusangka dirimu begini trampilnya memberikan kenikmatan demi kenikmatan (yang mungkin dilupakan oleh lelaki lain).
Keringat Indra pun mulai berjatuhan di tubuhku. Namun aku tak peduli. Bahkan aku pun sengaja menjilati lehernya yang sudah dibasahi keringatnya, tanpa merasa jijik sedikit pun.
Tapi pada suatu saat, aku merasa akan orgasme lagi. Maka dengan suara tersengal-sengal aku bisiki telinga Indra, “Dra…barengin yok lepasinnya. Bi…biar enak…aa…aku udah mau lepas nih… ”
“Iya Mbak…” sahut Indra yang lalu mempergencar entotannya. Penisnya terasa makin kencang menyodok-nyodok liang kemaluanku, sampai berkali-kali terasa menyundul dasar liang surgawiku.
“Indra….oooh…Indraaa….entot yang kencang Draaa….aku sudah mau lepas…..ooooh…..Indraaaaa….oooo….oooooh……”
Indra memang makin kencang mengentotku. Dan bersamaan dengan tercapainya puncak orgasmeku yang kedua kalinya, Indra pun mendesakkan batang kemaluannya sedalam mugnkin, tanpa digerakkan lagi.
“U…uuggggggggggggggggghhhhhhhhhhh………” Indra mendengus, sementara liang kemaluanku terasa disemprot-semprot oleh cairan hangatnya. Pada saat itulah kami salng pagut, saling cengkram sekuatnya. Sep[erti dua manusia yang sedang kesurupan dan ingin saling meremukkan.
“Oooooooohhhhhhh…….Mbak luar biasa,” kata Indra setelah tembakan air maninya selesai, “Baru sekali ini aku merasakan hubungan sex yang benar-benar memuaskan…”
Kemudian ia mengecup bibirku berkali-kali. Lalu mencabut batang kemaluannya dan turun dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi sambil menjinjing pakaiannya. Aku sendiri tetap celentang dengan tubuh lemas, seolah tak bertulang lagi. Namun aku puas…puas sekali.
“Aku mau beli rokok dulu sebentar ya Mbak,” kata Indra yang sudah berpakaian lengkap kembali.
“Kenapa gak pesan aja lewat telepon?” tanyaku sambil bangkit dan melirik ke arah seprai yang dibasahi oleh air mani Indra.
“Sekalian mau nyari makanan di seberang. Lapar Mbak. Makanan di hotel suka gak jelas rasanya.”
“O gitu…jangan lama-lama ya…aku takut ditinggal sendirian di sini.”
“Oke, sayang.”
Setelah Indra keluar, aku pun melangkah ke kamar mandi. Tadinya cuma ingin membersihkan kemaluanku. Tapi rasanya lebih baik mandi sekalian, supaya tubuhku segar kembali. Siapa tahu nanti Indra ingin menyetubuhiku lagi. Jadi harus kusiapkan tubuh yang bersih dan rapi. Rambutku juga jangan dibiarkan acak-acakan begini.
Lalu aku mandi di bawah semburan shower air hangat. Kusabuni juga sekujur tubuhku sampai ke sela-selanya. Kemudian kubilas dengan air hangat lagi.
O, segarnya tubuhku kini.

Setelah mengeringkan tubuhku dengan handuk, kulilitkan handuk itu di badanku dan keluar lagi dari kamar mandi. Aku memang membawa sehelai kimono di dalam tas kecilku. Lalu kupakai kimono sutra berwarna orange dengan motif bunga tulip di bagian bawahnya itu, tanpa mengenakan bra maupun celana dalam lagi. Seolah siap-siap untuk menjaga kemungkinan Indra ingin menggasakku lagi.
Pada waktu menyisir rambutku di depan cermin, Indra datang lagi dengan dua kantong plastik putih. Tampaknya ia membawa nasi bungkus.
Memang perutku juga lapar. Maka ketika Indra menyerahkan kantong kresek putih berisi nasi bungkus itu, aku pun menyambutnya.
Tapi sebelum sempat kunikmati nasi bungkus itu, Indra menepuk lututku perlahan sambil berkata, “Ada yang gawat, Mbak…”
“Apa yang gawat?” tanyaku sambil menatapnya.
“Barusan aku ketemu Rio di lobby. Rupanya dia sedang nginap di hotel ini juga bersama teman- temannya.”
“Hah?! Masa?!” aku kaget juga jadinya.
“Rupanya dia tahu sedang berada di dalam kamar ini. Tadi waktu kita jalan bareng ke sini, diam-diam dia mengintip kita dari tempat yang kita gak kita perhatikan.”
“Terus?”
“Aaah…susah ngomongnya nih…dia…dia pengen juga sama Mbak…”
“Iiiih…kok gitu?” aku terkesiap. Tapi diam-diam aku mulai mempertimbangkan segala kemungkinan.
“Yang kutakutkan, kalau keinginannya gak dikabulkan, rahasia kita dibocorkan ke mana-mana. Kan gawat kalau seluruh penghuni wisma kos pada tau Mbak.”
“Aaah…kalian sekongkolan kali ya? Mungkin kalian sudah bikin skenario mau seperti itu.”
“Aduh Mbak, disumpah apa pun aku mau kalau aku sekongkolan sama Rio. Dia memang sahabatku, tapi aku gak tau kalau dia juga mau nginep di hotel ini. Kalau tau gini, pasti aku pilih hotel lain. Jangan pikir aku rela melihat Mbak digituin sama Rio, meski dia sahabatku juga. Tapi harus gimana sekarang, supaya mulutnya bisa dibungkam?”
Aku terdiam. Diam-diam aku mempertimbangkan semuanya itu. Aku tahu bahwa Rio lebih muda dan lebih tampan daripada Indra. Dan aku bukan perempuan yang tak pernah merasakan dithreesome oleh lawan-lawan jenisku. Tapi Rio itu…haruskah kusetujui usul Indra itu?
“Beneran kamu gak sekongkol sama Rio?” tanyaku.
“Biar mati disamber petir kalau aku sekongkolan seperti itu dengan Rio,” sahut Indra sambil memegang pergelangan tanganku.
“Ya udah…daripada rahasia kita dibocorin ke mana-mana…ajak aja dia ke sini,” kataku pada akhirnya.
“Iya Mbak,” Indra mengangguk. Lalu mengeluarkan handphonenya.
Setelah memijat call pada nomor yang dipilihnya, Indra berkata di dekat handphonenya, “Rio…ke sini aja. Tapi awas…teman-teman lu jangan sampai tau. Kalau ada yang tau, gua jitak kepala lu !”
Dan Indra menggeletakkan handphonenya di atas meja kecil di depan sofa ini. Sementara aku bersikap seperti kebingungan. Tapi tahukah Indra bahwa diam-diam ada yang berdesir di dalam jiwaku?
Rio bukan orang baru bagiku. Tiap hari ia nongkrong di kantinku. Bahkan lebih sering daripada Indra. Kalau Indra tak pernah makan siang di kantinku, maka Rio justru seringnya makan siang. Katakanlah aku sudah akrab dengannya. Bahkan sudah hafal benar apa yang disukai dan tidak disukainya dalam soal makanan.
Tapi malam itu, menjelang ia datang , jantungku berdegup kencang membayangkan apa yang mungkin terjadi sebentar lagi. Selain daripada itu, aku tak ingin malam itu berbuah kekecewaan bagi perasaan Indra. Aku tak ingin ia sedih melihatku digauli oleh Rio.
Maka lalu kataku, “Nanti waktu Rio masuk, bisa kan Indra nunggu dulu di luar barang sejam atau dua jam?”
“Jangan kelamaan gitu Mbak. Masa aku harus nongkrong sendirian di luar selama dua jam?” Indra tampak bingung.
“Begini,” kataku, “Siapa tau aku bisa memberikan sesuatu pada Rio tanpa harus bersetubuh.”
“Maksud Mbak?” Indra menatapku.
“Ya kan bisa kukocok saja penisnya sampai ngecrot,” sahutku, “Kalau udah ngecrot, paling juga dia duduk bengong.”
“Hihihi…iya Mbak…iya.”
“Jadi nanti, kalau Rio sudah datang, kamu pura-pura mau minum di bar kek atau apa kek….gitu.”
“Iya, iya…” Indra mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Tak lama kemudian terdengar bunyi ketukan di pintu.
“Nah, itu dia datang,” kata Indra sambil bangkit dari sofa, lalu melangkah ke arah pintu.
Indra membuka pintu itu. Memang benar. Rio sudah berdiri di luar, dengan hanya mengenakan celana training biru muda dan jersey putih. Jujur harus kuakui, bahwa Rio itu punya tampang di atas rata-rata. Sedikit lebih tampan daripada Indra.
“Gua mau minum dulu di bar,” kata Indra kepada sahabatnya, “Masuk aja. Nanti gua masuk lagi.”
Rio mengangguk, lalu masuk ke dalam dan menutupkan pintu kembali, sementara Indra sudah melangkah ke luar. Terdengar bunyi klik, berarti Indra mengunci pintu itu dari luar.
Siasatku berhasil. Indra tak usah melihat seperti apa pendekatanku kepada Rio sebentar lagi. Dan Indra tak usah tahu, bahwa sebenarnya aku pun ingin tahu seperti apa permainan Rio di atas tempat tidur nanti. Dan aku tidak kuatir sedikit pun pada kepribadian Rio, karena aku tahu bahwa meski ia masih sangat muda, ia itu seorang dosen di kotanya…di seberang lautan sana.
“Kok tau aja sih kami ada di hotel ini?” tegurku ketika Rio sudah duduk di sampingku, di satu-satunya sofa yang ada di dalam kamar ini.
“Hehehee…kebetulan aja sih Mbak. Mungkin sudah jodoh…harus bersama Mbak malam ini,” sahut Rio sambil cengar-cengir.
“Nanti teman-temannya nyari, lho.”
“Gak lah. Tadi aku sudah bilang, ada famili yang kebetulan nginap di hotel ini juga.”
“Kok pengen ke sini, emang mau ngapain sih? Kalau mau ngobrol kan di kantin juga bisa besok,” kataku sambil menepuk lutut Rio yang masih tertutupi celana training biru langitnya.
Seperti diberi angin, Rio langsung memegang lututku yang tersembul lewat belahan kimonoku. O, seandainya ia tahu bahwa aku tidak mengenakan celana dalam saat itu….mungkin tangannya langsung menyelundup ke pangkal pahaku !
Tapi tahukah Rio bahwa baru disentuh lutut pun aku sudah mulai horny lagi, seolah belum kenyang dipuasi oleh Indra tadi?
Maka dengan binal aku pun menyelusupkan tanganku ke dalam lingkaran karet celana training Rio…dan, o, ternyata ia tak mengenakan celana dalam !
Ya ! Aku langsung menyentuh batang kemaluannya, yang ternyata sudah menegang !
Dengan hasrat birahi yang mulai terbangkitkan lagi, kupegang batang kemaluan Rio dan kuremas perlahan sambil berkata, “Rio kan masih bujangan. Tapi pasti sudah pengalaman menggauli cewek toh?”
“Pengalaman beneran sih belum, Mbak. Cuma pernah beberapa kali. Masih bisa dihitung dengan jari lah,” sahut Rio yang tampak senang batang kemaluannya kuremas dan kuelus dengan tanganku yang sudah terlatih ini.
Tapi, oooh…hasrat birahiku mulai merajalela dan tak terkendalikan lagi ! Bahkan kurasakan kemaluanku sudah mulai membasah lagi. Makin menggila ketika tangan Rio merayap ke arah pangkal pahaku…dan mulai menyentuh kemaluanku…mulai menyelusupkan jemarinya ke dalam celah kemaluanku yang sudah licin dan menghangat ini.
“Aiiih…Mbak gak pake celana dalam…” cetus Rio yang tampak semakin bernafsu mempermainkan celah kemaluanku.
Sebagai jawaban, kutarik baju kaus Rio ke atas, sampai telepas dari tubuhnya. Dan aku terpana setelah melihat perut dan dadanya itu. Penuh dengan bulu lebat ! Membuatku merinding tapi penasaran. Seperti apa jika dada berbulu itu sudah bertempelan dengan payudaraku nanti?
Memang jika kuperhatikan di wajahnya banyak bekas cukuran yang menghitam. Berarti kalau tidak dicukur sampai bersih, Rio itu berkumis dan berjenggot dan bercambang tebal alias brewok.
Kuelus dada dan perut yang penuh bulu itu sambil berkata, “Masih muda aja sudah lebat gini bulu dadanya. Apalagi kalau sudah tua nanti.”
“Ayahku orang Toraja, tapi ibuku orang India, Mbak. Mungkin bulu dada ini datang dari darah ibuku, karena dada ayahnya juga berbulu gini.”
“Oooo…pantasan….” kataku yang sedang melepaskan kimonoku. Dan langsung telanjang. Dengan hasrat yang tidak bisa ditenangkan lagi.
Dan Rio terlongong. Lalu mendekat sambil berkata, “Tubuh Mbak mulus dan indah sekali.”
Ia tak melihat bekas sayatan operasi cezar di perutku, karena lewat beberapa proses, bekas sayatan itu bisa disamarkan, hampir hilang, meski untuk biayanya aku harus mengeluarkan uang puluhan juta rupiah (karena itu pula aku tak mau hamil lagi, takut dicezar lagi dan meninggalkan bekas sayatan yang sulit sekali menghilangkannya).
Aku cuma tersenyum, lalu melangkah ke arah bed dan merebahkan diri di atasnya, tetap dengan senyum di bibir. Aku memang sudah penasaran seperti apa rasanya jika dada berbulu itu sedang bergesekan dengan payudaraku.
Dan Rio tampak bersemangat, menanggalkan celana trainingnya, sehingga batang kemaluannya yang sudah tegang itu tampak di mataku.
Rio pun naik ke atas bed. Tapi ketika mulutnya seperti mau menyergap kemaluanku, cepat kucegah, “Langsung masukin aja,” kataku, “punyaku sudah basah kok.”
Rio pun mengikuti permintaanku. Ia merayap ke atas tubuhku sambil mengarahkan batang kemaluannya ke mulut vaginaku.
Dengan dada berdebar-debar kubantu memegangi batang kemaluan Rio masuk ke dalam liang vaginaku. Dan….blessss…..mulai membenam ke dalam liang kenikmatanku ! Langsung kusambut dengan pelukan erat di pinggang Rio, karena aku sudah tak sabar, ingin merasakan gesekan bulu dadanya itu.
Rio pun mulai mengayun batang kemaluannya. Sementara aku mulai merasakan nikmatnya gesekan bulu dada Rio di pentil-pentil payudaraku. Geli memang, tapi geli-geli enak. Dan tentu saja yang paling nikmat adalah entotannya itu. Karena ukuran penis Rio sedikit lebih panjang dan gede kalau dibandingkan dengan penis Indra. Tapi kalau dibandingkan dengan penis suamiku, penis kedua lelaki muda itu masih kalah ukurannya.
Makin lama makin mantap juga sodokan-sodokan batang kemaluan Rio itu, sehingga aku mulai mengimbanginya dengan goyangan pinggulku, sementara bibirnya pun mulai kupagut dan kulumat. Dan Rio mengimbangiku pula. Dengan remasan-remasan lembutnya di sepasang payudaraku.
Namun pada saat itulah terdengar pintu terbuka. Dan Indra masuk ke dalam setelah menutupkan dan mengunci kembali pintu itu.
“Wow…akhirnya em-el juga ya?!” seru Indra sambil menghampiri bed yang sedang dijadikan tempat persetubuhanku dengan Rio.
Aku cuma menjawab dengan gapaian tanganku, memegang pergelangan tangan Indra sambil menunjuk ke arah ritsleting celana jeansnya.
Tampaknya Indra mengerti apa yang kuinginkan. Ia menanggalkan celana jeans dan celana dalamnya. Lalu duduk di dekatku yang sedang enak-enaknya dientot oleh lelaki muda bernama Rio itu.
Meski sedang enak-enaknya disetubuhi oleh Rio, aku masih sempat menangkap batang kemaluan Indra yang terasa masih lemas itu. Aku pun sempat meremas-remasnya dengan tangan yang sudah terlatih ini.
Indra pun tidak tinggal diam. Tangannya meremas payudaraku yang sebelah kanan, sementara payudara kiriku sedang diemut oleh Rio. Seandainya bukan sedang dalam posisi klasik, pasti aku berusaha mengemut batang kemaluan Indra, sebagai “kompensasi”, karena aku yakin hatinya sudah runtuh di kakiku.
Sayangnya Rio tak kuat bertahan lama. Baru belasan menit ia menyetubuhiku, tiba-tiba ia mencabut batang kemaluannya dan meletakkannya di atas perutku. Lalu terasa moncong penis Rio menembak-nembakkan air maninya di atas perutku.
Mungkin Rio terlalu bernafsu sebelum menyetubuhiku tadi, sehingga ia tak bisa mengontrol diri, lalu crotcrotcrot…!
Untungnya Rio melepaskan air maninya di atas perutku, sehingga kalau Indra ingin langsung menyetubuhiku takkan main di lubang yang kebanjiran air mani Rio.
Indra mengambil handuk hotel, lalu mengelap air mani yang berceceran di atas perutku. Dan langsung menelungkup di atas perutku, sambil mengarahkan batang kemaluannya ke liang kemaluanku. Blessss….membenamlah batang kemaluan Indra ke dalam liang kenikmatanku. Dan kusambut dengan pelukan mesra, sementara Rio sudah turun dari bed dan sedang berada di kamar mandi.
Selesai membaca catatan pengakuan istriku itu, aku tercenung sendiri dalam ruang kerja di rumahku yang suka dipakai ruang kerja istriku juga. Marahkah aku? Tentu saja. Istriku sudah terlalu jauh meninggalkan garis-garis yang sudah kutetapkan. Tapi aku tak mau memarahinya. Karena menurutku, kalau ia kumarahi, bisa-bisa nantinya tak mau mengisi catatan pengakuan lagi. Lalu aku tak bisa memantau lagi apa saja kegiatan seksualnya pada waktu aku tak di rumah.
Tapi aku harus meredakan kegeraman yang seolah membakar jiwaku ini. Meredakannya dengan caraku sendiri. Dan beberapa saat kemudian aku sudah berada di mall langgananku, sambil berpikir apakah aku harus melampiaskan kegeramanku dengan “kegiatan” yang serupa dengan “kegiatan” istriku?
Sebenarnya sasaran pelampiasanku banyak (di luar istri-istriku). Di kantorku saja ada Donna sang sekretaris, ada Mbak Tiara sang kepala marketing dan….hei…ada yang selama ini kulupakan. Bukankah sebelum aku mendapatkan Donna dan Mbak Tiara, ada seorang gadis bernama Wien?
Ah, terawanganku jadi melayang ke masa laluku lagi.
Sejak lama aku merasakan adanya celah-celah birahi di sela-sela kesibukan bisnisku. Aneh memang. Ada saja jalan baru yang seperti sengaja dibukakan untukku.
Ya, aku masih ingat benar pagi itu aku datang lebih cepat dari biasanya. Seorang satpam membuka pintu mobilku sambil menyapaku dengan sopan, “Selamat pagi Boss.”
Aku mengernyit, memperhatikan satpam itu, karena baru sekali itu aku melihatnya. Seorang cewek berperawakan tinggi tegap dengan sikap seperti kowad, polwan dan sebangsanya. Rambutnya agak dipirangkan, mungkin agar tampak lebih angker (karena tugasnya sebagai satpam).
Kubaca plat nama di dadanya WIEN WINANTI.
“Sudah lama bekerja di sini?” tanyaku setelah turun dari mobilku.
“Siap, baru seminggu Boss,” sahutnya, lagi-lagi dengan sikap militer.
“Siapa yang memasukkanmu ke sini?”
“Siap, Leo Boss.” (pada saat itu Leo belum kupindahkan ke Kalimantan)
“Gak usah pake siap-siap lah. Santai aja. Aku kan bukan tentara,” kataku, “Jadi kamu teman Leo?”
“Betul Boss. Teman seperguruan bela diri.”
“Ooo…jadi kamu karateka juga?”
“Betul Boss.”
“Pendidikan terakhirmu di mana?”
“Cuma tamat SMA, Boss.”
Kuberikan tas kerjaku padanya. Dan ia mengikuti langkahku sambil menjinjing tas itu. Setelah berada di ruang kerjaku, satpam bernama kecil Wien itu kusuruh duduk dulu di depan meja kerjaku, karena aku masih ingin menginterview. Memang semua pegawai yang bekerja di kantorku disaring oleh Leo dulu, karena Leo itu mahasiswa fakultas psikologi. Jadi minimal Leo bisa mengadakan psikotest dulu untuk setiap orang yang mau bekerja di perusahaanku, kecuali kalau ada referensi khusus dariku.
Setelah duduk di belakang meja kerjaku, kulanjutkan interview itu:
“Umurmu berapa?”
“Duapuluh tiga tahun, Boss.”
“Sudah menikah?”
“Belum Boss.”
“Pernah bekerja di tempat lain?”
“Belum Boss.”
“Sebenarnya tugas satpam di sini tidak berat. Karena di sini bukan pabrik. Tidak ada barang berharga yang harus dijaga. Paling cuma ada sample batu bara dan tepung coklat untuk ekspor.”
“Betul Boss.”
“Yang penting, kalau ada tamu cepat sapa dengan sopan, tanya baik-baik apakah ada yang bisa kamu bantu…”
“Betul Boss.”
“Mmm…kamu asli orang sini?”
“Bukan Boss. Saya asli Semarang.”
“Semarang…” gumamku, yang tiba-tiba teringat rekan bisnisku dahulu. Aku masih ingat namanya, Ida Farida. Asli Semarang juga. Dan aku masih ingat benar apa yang telah terjadi dengan wanita yang biasa kupanggil Mbak Ida itu (lihat Teman Bisnisku Teman di Ranjang episode 2).
“Semarangnya di daerah mana?”
“Di jalan Sidodadi. Tapi masuk ke dalam gang kecil, Boss.”
Aku mengangguk-angguk. Aku tetap menjaga wibawaku sebagai leader di kantor ini. Tapi tahukah satpam bernama Wien itu, bahwa aku sedang membayangkan seperti apa bentuk tubuhnya yang tinggi tegap itu kalau sudah bertelanjang bulat? Hahahaaa.. otakku memang ngeres terus…..!
Pada waktu aku kelihatan sebagai boss yang berwibawa di mata satpam bernama Wien itu, otakku justru sedang berputar-putar mencari akal.
Dan aku menemukan akal itu keesokan paginya. Kupanggil lagi satpam bernama Wien Winanti itu ke ruang kerjaku.
“Ada tugas di luar,” kataku, “bisa tolong bersihkan rumah kosong sekarang?”
“Siap, Boss.”
“Ini alamatnya dan ini kuncinya,” kataku sambil menyerahkan secarik kertas yang sudah kutulisi alamat rumah yang baru kubeli beberapa hari yang lalu, berikut seikat kunci-kuncinya. Belakangan ini aku suka beli rumah yang sudah tua, lalu kurombak jadi baru, kemudian kujual lagi. Lumayan, sering banyak untungnya.
“Maaf…rumahnya kosong Boss?” tanya Wien.
“Iya. Besok ada orang yang mau beli, makanya bersihkan dulu. Mmm…ini buat ongkos angkot ke sana,” kataku sambil memberikan selembar uang seratus ribuan.
“Iya Boss.”
“Meski rumahnya sudah bersih, kamu jangan pulang dulu,” kataku lagi, Tunggu aja disana sampai aku datang.”
“Siap Boss.”
“Ohya, kalau lapar, beli aja makanan, di sana banyak warung nasi…ini uang makannya,” kataku sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan lagi.
Satpam cewek itu mengangguk-angguk dengan muka ceria. Kemudian dia berlalu dari kantorku.
Sebenarnya tiada kegiatanku di kantor. Kedatanganku di kantor hari ini, khusus untuk mendapatkan Wien itu. Tapi tentu saja aku harus mendapatkannya dengan cara yang rapi, jangan sampai menimbulkan kehebohan di kantorku yang selalu tenang itu.
Saat itu sengaja kuulur waktuku, memberikan kesempatan kepada Wien untuk benar-benar membersihkan rumah kosong itu.

Dua jam kemudian barulah aku berangkat menuju rumah kosong itu.
Ketika aku tiba di depan rumah kosong itu, pintunya tertutup, tapi Wien tidak kelihatan. Lalu kubuka pintu depan, memang tidak terkunci. Aku pun masuk ke dalam. Memang kelihatan sudah bersih rumah kecil yang baru kubeli beberapa hari yang lalu itu. Tapi di mana satpam cewek itu?
Kubuka pintu kamar yang letaknya di belakang (rumah itu hanya memiliki dua kamar tidur). Dan apa yang kulihat? Ia sedang rebahan di atas ranjang kuno yang ditinggalkan oleh pemilik lama rumah ini. Wien tidak mengenakan pakaian satpam lagi. Ia hanya mengenakan sejenis kebaya yang terbuat dari kain brocade berwarna merah. Sehingga beha dan celana dalamnya yang berwarna hitam itu tampak jelas di mataku. Entah dari mana ia mendapatkan kebaya itu. Tapi…dia masih mengenakan sepatu satpam, sepatu boot tinggi hampir sampai ke lututnya.
Ia tampak asyik mendengarkan musik dari handphonenya, sehingga ia tidak menyadari kehadiranku.
“Sudah selesai bersih-bersihnya Wien?” tegurku agak keras, untuk mengatasi suara musik dari handphonenya.
Wien tampak kaget, “Heheh…Bapak Boss…. ma…maaf baju ini saya temukan di jemuran. Jadi saya pakai aja…biar ngepel dan bersih-bersihnya gak ngotorin pakaian seragam saya Boss.”
“Gak apa-apa…kamu malah seksi pake baju gituan, Wien.”
“Ah…Boss ngeledek…” Wien tersipu.
“Beneran Wien. Gak nyangka aku bakal lihat tontonan indah siang ini…”kataku sambil menarik pergelangan tangan Wien.
“Heheheh…saya malu, Boss.”
“Kamu pernah ngerasain digauli cowok kan?” tanyaku yang langsung bisa memprediksi kondisi Wien setelah memperhatikan pergelangan tangannya.
“Pernah,” sahutnya singkat tapi jujur.
Mendengar pengakuan itu aku malah makin berani untuk menyelundupkan tanganku ke balik beha hitamnya. Kutemukan payudara yang tidak terlalu besar, sudah agak kendor pula. Mungkin cowoknya dulu sering meremasnya dengan keras-keras. Tapi itu tak masalah bagiku.
“Buka dong baju dan behanya,” bisikku.
“Mau ngapain Boss?” tanya Wien tersipu.
“Pengen nyobain…berbagi rasa lah…kalau kamu mau sih. Kalau gak mau ya gakpapa.”
“Mimpi apa ya saya semalam? Bisa-bisanya Boss mau sama saya yang jelek gini.”
“Jelek apa? Kalau jelek aku juga gak bakalan mau. Kamu ini manis dan seksi, Wien. Ayo dong buka baju kebaya sama behanya.”
Sambil tersenyum malu-malu Wien mengikuti apa yang kuminta. Kebaya brocade merah itu dilepaskan. Lalu beha hitamnya juga dilepaskan.
Hmmm…kalau aku bukan seorang jiujitsan, tentu aku takut juga melakukan semuanya ini. Karena gitu-gitu juga Wien itu seorang karateka. Tapi sebagai jiujitsan yang sudah Dan 3, tentu aku selalu siap menghadapi segala kemungkinan.
Setelah tinggal mengenakan celana dalam dan sepatu satpam (mungkin ia susah melepaskan sepatunya itu, biarin aja) Wien berubah menjadi sosok yang menggiurkan. Kulitnya tidak putih, tapi hitam pun tidak. Seperti warna sawo matang gitulah kulitnya itu. Yang menarik adalah bentuk tubuhnya yang tinggi tegap itu. Wajahnya? Kurasa siapa pun akan menilai wajahnya itu memang tidak cantik, tapi manis. Dan konon wajah manis biasanya lebih “awet” daripada wajah cantik.
“Mau diapain saya ini Boss?” tanyanya sambil menutupi sepasang payudaranya dengan kedua telapak tangannya. Namun senyumnya tampak seolah senyum yang berharap-harap.
“Susah kah buka sepatunya?” tanyaku sambil meraih pinggangnya ke dalam pelukanku.
“Iya…tapi kalau mau dibuka, bisa lah…” katanya sambil duduk di pinggiran tempat tidur dan berusaha melepaskan sepatu satpamnya dari kakinya.
Pada saat itulah aku bisa memegang payudaranya. Memang tidak kencang lagi. Tapi lumayan membangkitkan birahiku.
Wien cuma melirik padaku, dengan senyum manis di bibirnya. Pertanda pasrahnya Wien pada kehendakku.
Dan akhirnya ia berhasil melepaskan sepatunya. Langsung kusergap tubuhnya yang mulus meski tidak putih itu.
“Kata orang, cewek bertubuh hitam manis seperti kamu, suka legit rasanya ya?” bisikku sambil meremas payudaranya dengan lembut.
“Gak tau Boss….harus laki-laki yang menilainya…” sahut Wien sambil merayapkan tangannya dan mulai berani mendekapku.
“Iya…sekarang mau kubuktikan. Kamu mau kan?”
“Ya mau lah…tapi aneh aja kok Boss mau sama saya…”
“Tentu ada yang menarik di dirimu, yang membuatku ingin mendapatkanmu,” kataku sambil menanggalkan seluruh pakaianku, tinggal celana dalam saja yang masih melekat di tubuhku. Seperti juga Wien yang tinggal mengenakan celana dalam berwarna hitam itu.
Dan dengan agak terburu-buru kutarik celana dalam Wien sampai terlepas dari kakinya. Wow, sebentuk kemaluan perempuan telah tampak di mataku.

Dalam keadaan telanjang bulat begitu, aku bisa menilai bahwa Wien pandai merawat dan membersihkan tubuhnya. Sehingga aku tak ragu menciumi kemaluannya yang tercukur bersih itu, sambil menyelidik dengan penciumanku, apakah ada aroma yang kurang sedap atau tidak di kemaluannya itu. Ternyata tiada aroma yang tak sedap itu. Berarti Wien pandai menjaga kebersihan tubuhnya.
Maka dengan bergairah kujilati kemaluan Wien, tak peduli dia anak buahku. Yang penting aku sudah menemukan “mutiara di dalam lumpur”. Menemukan sosok yang bersih dan menarik, meski dia cuma seorang satpam.
“Boss….duuuh Boss….dududuuuuh….” cetus Wien sambil mengejang-ngejang, karena aku sudah mulai menjilati kemaluannya secara intensif. Bahkan lalu memusatkan kegiatan bibir dan lidahku di kelentitnya. Terkadang kelentit itu kusapu dengan ujung lidahku. Terkadang kusedot-sedot sampai tertarik ke arah mulutku. Dan Wien cuma merintih-rintih sambil meremass-remas kain seprai.
Setelah terasa cukup melicinkan jalan yang akan diterobos oleh tongkat kejantananku, cepat kulepaskan celana dalamku. Dan berlutut di antara kedua paha Wien sambil menyuruhnya memegang dan mengarahkan batang kemaluanku ke mulut vaginanya.
“Aaaau….Boss…!” Wien memekik tertahan, “Punya Boss panjang gede gini…iiihhh…”
“Biasa aja ah. Ayo arahkan sama kamu, biar jangan meleset,” kataku sambil menahan tubuhku dengan tangan kiri.
“Wah…kalau gak dijilatin dulu sih pasti sakit masuknya Boss,” kata Wien sambil mengarahkan batang kemaluanku agar berada di posisi yang tepat menuju liang vagina Wien.
“Panggil Pak aja di luar kantor sih, gak usah boss-bossan mulu,” kataku.
“I..iya Pak…si..silakan dorong…udah pas…” kata Wien, tetap memegangi batang kemaluanku, agar moncongnya tetap menuju arah yang tepat.
Dan aku mulai mendesakkan batang kemaluanku sekuatnya. Blesss….masuk sedikit demi sedikit ke dalam liang licin dan hangat yang terasa masih sangat sempit itu.
“Ooooh…masuk Paaak….ooooh…gila, punya Bapak kok gede gini ya…..” rengek Wien sambil memegangi buah pinggulku. Mungkin ia belum berani memelukku.
Dan pelan-pelan aku mulai mengentotnya…terasa seret juga, tapi makin lama makin lancar.
Desah-desah nafas Wien pun mulai berkumandang di dalam kamar ini.

Jujur, meski wajah Wien tidak secantik perempuan-perempuan yang telah kumiliki, tapi maaak…barangnya enak kali lah itu. Mana tahan lah tongkat jantanku bergesekan dengan barang selegit itu? Tapi aku harus tahannya…masa pula kalah sama si lay dari Siabu itu, yang sering bilang sama aku, “Ulaonmu manegai boru-boru sabling bah !”
Hahahaaaa…aku bukan ayam, lay ! Meski barang Wien legit kali, aku bisa kontrol. Masa pula Dan tiga kalah sama ban putih?
Pasti lah temanku bilang, pukimak lah kau !
Tapi memang begitu kenyataannya. Makin lama makin nyata bahwa Wien tak kuasa menahan palu godamku yang tak layu diterjang api. Ia mulai merengek-rengek seperti mau menangis, “Paaak…oooh Paaak…edan tenan Bapak iki….iki enak tenan Pak…”
Tadinya ia seperti mau merobohkanku dengan hentakan-hentakan pinggulnya, sehingga si ucok seperti dipilin-pilin oleh barang legitnya itu. Tapi dengan kontrol nafasku yang selalu stabil, justru ia yang mulai mengejang dengan nafas tertahan agak lama….lalu terasa liang kemaluannya seperti mendesak tombak pusakaku…terasa benar bahwa ia sedang orgasme, yang membuatnya berkelojot seperti sekarat, sementara di dalam liang kewanitaannya terasa seperti ada yang bergerak-gerak sendiri…lalu tubuh gadis itu melemas.
“Udah lepas ya?” bisikku sambil menghentikan terjanganku sesaat.
Ia tersipu dan mengakuinya, “Iya Pak… makasih Pak…enak banget.”
“Punyamu juga enak banget Wien,” kataku jujur, sambil membelai rambut ikalnya.
“Kalau saya ketagihan nanti gimana Pak?”
“Gampang lah itu. Kita kan tiap hari ketemu. Aku juga pasti ketagihan sama memek legit gini sih.”
Lalu kuayun lagi batang kemaluanku yang takkan pernah menyerah sebelum waktunya ini. Apalagi menemukan vegy selegit itu.
Dan Wien mulai berani memeluk leherku. Terasa erat sekali pelukannya itu. Sementara bibirnya yang agak tebal itu kupagut dengan hembusan birahi yang semakin menggila. Ia menyambutku dengan lumatan yang terasa lebih legit daripada nasi pulut. Wuih, tak kusangka siang ini aku bakal merasakan nikmat yang luar biasa dari gadis yang baru kukenal dua hari itu.
Dan tiap kali ujung tombakku menonjok dasar liang kewanitaannya, Wien seperti menahan nafasnya. Lalu terdengar suara aaaaah pada waktu tombak kejantananku ditarik mundur, dan tertahan lagi nafas itu ketika aku mendorongnya kembali.
Namun Wien masih sadar bahayanya kalau aku melepaskan lahar maniku di dalam liang kenikmatannya. Ia masih sempat memperingatkanku, meski dengan cara yang tetap sopan, “Maaf Pak…nanti jangan dilepasin di dalam ya.”
“Iya,” sahutku, “di mulutmu aja ya.”
“Iya Pak…ntar tak telen abis, biar saya ketularan kaya seperti Bapak.”
Kalau tidak sedang bersetubuh, pasti aku ketawa mendengar ucapan itu. Tapi aku sedang serius. Sangat serius menikmati gesekan demi gesekan di dalam liang licin dan hangat itu. Sampai akhirnya kucabut penisku dari dalam liang surgawi itu dan cepat kuangsurkan ke dekat mulut Wien.
Hap ! Mulut Wien menangkap penisku, sambil menyedotnya kuat-kuat. Dan berlompatanlah air maniku di dalam mulut gadis itu. Benar-benar ditelannya sampai habis tuntas, tak disisakan setetes pun.
Ini mengesankan. Sehingga aku tak memandang Wien sebagai anak buahku lagi. Setelah terkapar di sisinya, kuciumi pipi Wien yang keringatan, sambil berkata setengah berbisik, “Gak nyangka kamu seenak itu Wien. Nanti kita atur di mana kita harus ketemuan kalau aku sudah kangen lagi.”
“Siap Pak. Saya pasti kangen terus sama Bapak nanti.”
Sebelum meninggalkan rumah itu, masih sempat aku minta nomor rekening tabungan Wien. Dan aku berniat mentransfer dana secukupnya tiap minggu, sebagai tanda terimakasihku atas segala nikmat yang telah kudapatkan darinya.

Yadi ?” tegur seorang lelaki membuyarkan terawangan masa laluku. Dan membuatku sadar bahwa aku masih nongkrong di smoking area mall itu.
Kupandang lelaki itu dengan perasaan seperti bermimpi. Dia Anton, satu-satunya teman dari Indonesia waktu sama-sama mengambil master degree di Toronto beberapa tahun yang silam.
“Anton?! Waaaah…rasa bermimpi lihat kamu di sini !” seruku sambil memeluk teman yang dulu seperti saudara bagiku itu, “Di mana kamu sekarang?”
“Di Jakarta,” sahutnya, “biasa…kerja lagi…eh, kenalin nih istriku.”
Aku mengalihkan pandangan ke wanita muda berperawakan tinggi semampai berkulit putih bersih itu. Wow, tinggi sekali tubuh istri Anton itu. Lalu aku menjabat tangannya sambil menyebut namaku.
“Sarah,” ucapnya memperkenalkan namanya.
Lalu kami duduk bertiga mengitari meja makan di smoking area itu.
“Terus kamu kerja apa sekarang?” tanya Anton sesaat setelah duduk di depanku.
“Usaha sendiri aja, sambil selap-selip nyari untung kecil-kecilan,” sahutku merendahkan diri, “kalau dipikir sia-sia aja aku ngambil master segala di Kanada dulu. Toh ijazahku nganggur aja di dalam lemariku.”
“Hush, jangan bilang gitu, Yad,” Anton menepuk tanganku yang kuletakkan di pinggiran meja, “whatever your activities, pendidikan itu pasti ada gunanya. Tiada yang sia-sia.”
Aku cuma tersenyum. Tapi hatiku membenarkan ucapannya itu.
Lalu tanyaku, “Sekarang acaramu di kota ini apa aja?”
“Ah, cuma pengen menikmati weekend aja,” sahut Anton.
“Terus, nginap di mana?” tanyaku.
Anton menyebutkan nama sebuah hotel bintang empat di kotaku.
“Lain kali kalau ke sini lagi, nginap aja di rumahku. Atau…ayo sekarang ke rumahku, biar kalian tau. Jadi kalau weekend di sini lagi, jangan nginap di hotel segala.”
“Oke,” Anton mengangguk, “Aku juga pengen tau rumahmu.”
Aku mendahului Anton berdiri, “Ayo deh. Kamu bawa mobil?”
Anton mengangguk.
“Parkir di mana?”
“Di basement paling bawah,” sahutnya.
“Oke, kalau gitu kutunggu di depan pintu keluar parkir ya,” kataku sambil menyebutkan jenis dan warna mobilku, sekalian menyebutkan nopolnya.
Ketika aku sedang mengeluarkan mobilku dari parkiran mall itu, aku bingung sendiri. Mau dibawa ke mana Anton dan istrinya itu? Soalnya istriku empat orang. Dan aku malas membawanya ke rumah Erni. Karena sebenarnya aku masih jengkel padanya (setelah membaca pengakuannya di catatan itu).
Akhirnya kuputuskan untuk membawanya ke rumah Nuryati. Maka sambil menunggu mobil Anton muncul, kutelepon Nur.
“Sayang…aku mau bawa tamu yang sama-sama kuliah di Toronto dulu. Tolong secepatnya rapikan rumah ya. Sekalian siapkan makanan yang enak-enak. Beli aja dari rumah makan langganan kita itu.”
“Iya Mas.”

Aku masih ingat benar, ketika Nur masih asyik ngobrol dengan Sarah di ruang makan, aku dan Anton pindah ke teras, karena sama-sama ingin menikmati asap rokok kami. Di ruang tamu dan ruang makan sudah sama-sama dipasangi AC, sehingga aku sendiri pun tak mau merokok di sana.
Dan komentar pertama Anton tentang Nur adalah, “Istrimu cantik dan masih muda sekali, Yad. Kayaknya duapuluh lima tahun juga belum ya?”
“Belum,” kataku sambil tersenyum, “dan istrimu tinggi sekali. Lebih dari seratus tujuhpuluh ya?”
“Iya,” Anton mengangguk, “Seratus tujuhpuluh lima.”
“Untuk ukuran perempuan bangsa kita, segitu itu sudah tergolong tinggi banget. Kebayang…medannya luas. Hahahaaa…”
“So what? Mau wife swap?” cetus Anton sambil melayangkan pandangan serius.
Aku balik bertanya, “Emangnya kalian pernah swinger?”
“Belum,” Anton menggeleng, “kalian pernah?”
“Belum juga,” sahutku. Memang benar, aku belum pernah mengajak Nur untuk swap-swapan dengan siapa pun.
“Kalau kamu mau, aku juga mau. Tinggal atur waktu dan tempatnya aja,” kata Anton semakin serius.
“Perlu waktu untuk membujuknya. Maklum istriku kan berasal dari keluarga tradisional, Ton.”
“Sama…istriku juga harus dibujuk dulu, Yad. Santai aja, jangan diburu-buru. Sekarang kita bayangkan aja dulu. Aku bayangin istrimu dan kamu bayangin istriku,” kata Anton sambil menepuk bahuku.
Mungkin Anton benar. AKu memang membayangkan seperti apa tubuh istri Anton yang bernama Sarah itu kalau sudah kutelanjangi. Tubuh setinggi itu pasti medannya luas. Dari payudara ke vagina juga jaraknya agak jauh, gak cuma sejengkal setengah.
Tapi tahukah Anton bahwa aku lebih terobsesi seperti apa kalau Nur sedang disetubuhi olehnya?
Nur memang cantik, masih sangat muda pula. Tapi ia terlalu lugu dan patuh padaku. Hal itu berdampak lemah juga padaku. Ketika aku sedang berdua dengannya, aku lebih banyak membelai rambutnya atau menciumi pipinya. Bukan habis-habisan menyetubuhinya.
Mungkin aku pun bersikap terlalu melindunginya. Dan menganggapnya seolah patung bidadari yang terbuat dari porselen, yang senantiasa harus kuletakkan di tempat yang aman, jangan sampai jatuh dan pecah.
Barangkali aku lebih suka kalau ia agak genit, membalas godaan lelaki lain dengan senyum centil dan sebagainya. Sedangkan yang aku tahu, ia seolah menutup pintu buat lelaki mana pun selain diriku.
Ya, aku tahu itu. Bahwa kalau Nur sedang berada di tempat umum dan beberapa pasang mata lelaki terarah padanya, dengan sorot kagum, terkadang dengan sikap kurang ajar juga. Tapi Nur selalu bersikap jutek di depan umum. Sedikit pun tak memperlihatkan sikap “mengundang”.
Memang itu sikap yang bagus. Sikap yang bisa dijadikan teladan bagi para istri. Tapi kenapa aku justru ingin ia sedikit centil dan membuatku cemburu? Bukankah selama ini kecemburuanku yang membuat gairahku selalu bangkit kepada Erni? Bukankah sejak aku melakukan wife swap berkali-kali kehidupan seksualku bersama Erni jadi bergairah terus bahkan terkadang terasa berlebihan?
Lalu apakah Nur juga harus kuajak wife swap agar gairahku selalu berkobar padanya?
Lalu aku mempertimbangkan ajakan Anton itu. Kupertimbangkan bahwa Anton dan aku kira-kira selevel dalam hal fisik. Kalau ia dinilai tujuh, aku pun pasti dinilai tujuh. Hanya tubuhku lebih tinggi sedikit darinya. Mungkin tinggi Anton 170 cm, sementara tinggiku 173 cm.
Tapi kalau sedang berdampingan dengan Sarah, jelas aku dan Anton sama-sama kalah tinggi. Karena tinggi Sarah 175 cm. Tapi kalau aku berdampingan dengan Sarah, beda-beda tipis lah, meski tinggiku kurang 2 cm.
Tentang usul Anton itu, rasanya tepat pada waktunya. Kalau Nur kubawa ke dalam komunitas almamater SMAku, malah bisa heboh nanti. Karena mereka cuma tahu bahwa istriku itu Erni Maharani. Maka kehadiran Nurhayati bisa jadi tanda tanya besar di benak mereka. Tanda tanya yang akan melahirkan gossip.
Lain halnya dengan Anton. Ia tak pernah kenal dengan Erni. Juga lain halnya jika aku berjumpa dengan sealmamaterku di Yogya dahulu. Mereka semua belum pernah tahu siapa istriuku, karena waktu menikah dengan Erni, tiada seorang pun bekas teman kuliahku yang kuundang.
Masalahnya sekarang, bagaimana caranya agar aku bisa membujuk Nur untuk melaksanakan usul Anton yang sudah kusetujui itu?
Dan anehnya, baru saja membayangkan terjadinya wife swap dengan Anton dan Sarah itu, nafsu birahiku mendadak berkobar. Mendadak bersemangat menggeluti Nur dengan segala keistimewaan yang dimilikinya.
Begitu terus selama berhari-hari. Bahwa tiap kali membayangkan Anton menggauli Nur, gairahku mendadak berkobar dengan hebatnya. Lalu kugauli Nur dengan garangnya.
Rupanya hal itu terasa juga oleh Nur. Sehingga pada suatu hari ia menanyakannya, “Mas…kok belakangan ini Mas hebat banget. Kenapa lain dari biasanya Mas? Makan obat kuat ya?”
“Gak,” aku menggeleng, “Aku gak suka minum obat kuat. Tapi kalau kamu perhatikan, gairahku ini menggebu-gebu sejak Anton dan istrinya bertamu ke sini kan?”
“Iya sih. Tapi kenapa bisa gitu Mas?”
“Anton ngajak wife swap.”
“Wife swap? Mmm…tukar istri gitu?”
“Iya. Ada yang bilang swinger, ada yang bilang wife swap. Tapi intinya dia ngajak kita tukar tempat untuk sehari atau dua hari, gitu.”
“Aku memang sering baca di internet. Tapi gak kebayang kalau harus melakukannya sendiri. Iiiih…” Nur bergidik.
Aku terdiam. Susah mencari kata-kata yang tepat untuk membujuk Nur yang begitu setianya padaku.
“Terus kenapa Mas jadi bergairah terus setelah diajak begitu oleh Anton? Mas bayangin lagi nidurin istrinya yang cantik dan seksi itu ya?”
“Sayang,” kataku sambil membelai rambut Nur, “Kalau dibandingkan denganmu, jelas istri Anton kalah. Kamu lebih cantik, jauh lebih muda pula. Istri Anton kan sudah tigapuluhsatu tahun umurnya.”
“Kan Mas sendiri pernah bilang, cinta atau nafsu itu tidak ada hubungannya dengan usia seseorang.”
“Dengar Nur….yang membuat nafsuku jadi bangkit, adalah ketika membayangkan kamu ditidurin oleh Anton….hal itu membuatku cemburu. Tapi cemburu itu jadi berbunga…dan bunganya itu gairah…cemburu itu membuatku jadi bersemangat unutk menggaulimu.”
“Kok aneh sih Mas?”
“Gak aneh sih. Bahkan ada suami yang sengaja melakukan wife sharing, hanya untuk mencari gairah itu.”
“Wife sharing?”
“Iya. Suami itu sengaja memanggil lelaki lain yang bisa membuatnya cemburu. Lelaki itu diminta menyetubuhi istrinya di depan matanya. Lalu kejadian itu bisa jadi perangsang alami bagi sang suami. Tiap kali membayangkan istrinya disetubuhi lelaki itu, ia seperti mendapat obat perangsang, yang membuatnya jadi bergairah sekali untuk menggauli istrinya.”
“Aneh…” gumam Nur sambil menundukkan kepala.
Pada hari-hari berikutnya aku sering membahas masalah itu dengan Nur. Dan selalu saja Nur menolak secara halus, “Apa pun perintah Mas, akan kulakukan, kecuali yang satu itu…..maaf Mas…aku gak berani melakukannya. Aku terlalu mencintai Mas. Dan aku tak mau cinta itu dinodai dengan hal-hal yang bisa membuat hubungan kita jadi retak.”
Kalau sudah bicara begitu, aku cuma bisa terdiam. Karena aku tak suka main paksa kepada siapa pun.
“Mungkin istri pertama Mas mau tuh diajak wife swap. Kenapa Mas gak ngajak dia aja?” cetus Nur pada suatu saat.
“Anton pengennya sama kamu. Bukan sama wanita lain,” sahutku agak ketus. Lalu terdiam lagi. Membisu lagi.
Begitulah. Jam kerjaku di hari-hari berikutnya tidak dihabiskan di kantor. Hampir tiap hari aku berada di rumah Nur. Tapi kedatanganku hanya untuk makan masakan Nur (yang memang enak-enak), lalu bermurung diri di teras rumah.
Sebenarnya ini cuma akting saja. Ingin tahu sampai sejauh mana perhatian Nur padaku. Dan aktingku sukses. Pada suatu hari, ketika aku sedang tercenung di teras sambil menikmati asap rokokku, Nur memeluk leherku dari belakang. Dan kudengar suaranya agak serak, “Mas yakin kalau aku mengikuti ajakan Mas takkan berakibat buruk pada hubungan cinta kita?”
Aku menoleh. Mengamati wajahnya yang jelita, lalu menepuk lututku, agar dia duduk di pangkuanku. Nur pun mengikuti isyaratku. Duduk di pangkuanku, sambil memegang bahuku. Aku pun memeluk pinggangnya yang ramping sambil berkata, “Aku berjanji, kalau kamu mengikuti ajakanku, cintaku padamu akan semakin mendalam…akan semakin besar…kalau cintaku diibaratkan bukit, nantinya akan menjadi gunung, Nur.”
“Dan Mas takkan menyalahkan aku nanti kan? Semua itu kan Mas yang mau. Bukan aku.”
“Iya, tentu saja.”
“Emang kapan mau dilaksanakan?”
“Kalau sudah ada lampu hijau darimu, aku tinggal nelepon Anton…lalu atur waktu dan tempatnya. Yang jelas, Anton hanya bisa di hari-hari weekend. Soal tempatnya, bisa di villa yang biasa disewakan. Jadi jangan di rumah kita, jangan juga di rumah Anton.”
“Ya udah, terserah Mas. Yang penting jangan pernah menyalahkan aku di kemudian hari.”
Tanpa takut dilihat orang di jalan, kucium bibir Nur dengan mesra, sebagai tanda suka hatiku pada keputusannya.
Lalu kukeluarkan handphoneku. Di depan Nur, kutelepon Anton, “Ton…gimana udah ada lampu hijau dari istrimu?”
Terdengar suara Anton menjawab, “Udah, dua hari yang lalu. Kamu sendiri gimana? Udah ada lampu hijau?”
“Udah, baru aja nyala semenit yang lalu. Makanya langsung nelepon kamu.”
“Good ! Tinggal ngatur tempat dan waktunya.”
“Soal tempat sih gampang banget. Tinggal waktunya aja yang pasti kapan.”
“Oke. Kalau gitu kamu yang nentuin tempat, aku yang nentuin waktunya nanti. Soal biaya sih kita tanggung bersama. Deal?”
“Deal!”

Setelah hubungan telepon ditutup, aku berkata kepada Nur, “Rupanya istri Anton juga baru setuju dua hari yang lalu. Jadi kita berempat sudah sepakat. Anton, istri Anton, aku dan kamu, sayang.”

Seperti yang pernah kulakukan kepada Erni waktu mau wife swap pertama kalinya dahulu, aku pun memberikan “briefing” kepada Nur, tentang pelaksanaan wife swap itu nanti. Bahwa kami berempat akan bercengkarama dulu di ruang depan villa yang akan kami sewa. Villa yang akan disewa minimal harus ada dua kamar tidur. Kemudian Nur bersama Anton masuk ke dalam kamar yang satu, aku dan Sarah masuk ke dalam kamar lainnya.
Dan yang terpenting, sepulangnya dari villa itu nanti, Nur kuwajibkan menulis “kesan dan pesan” seperti yang kuwajibkan kepada Erni dahulu.
Akhirnya kami sepakat untuk melaksanakan rencana itu di hari-hari weekend minggu depan. Villanya sudah kutentukan, villa yang pernah kupakai swinger dengan Edo uintuk pertama kalinya itu. Jadi nanti aku akan wife swap sambil bernostalgia. Kami pun sudah sepakat, bahwa kami akan mulai berada di villa itu hari Jumat sore, kemudian pulang ke rumah masing-masing pada hari Minggu malam. Lumayan lah, kami akan berada di villa itu selama 3 hari 2 malam. Cukup “kenyang” kami nanti, bergumul dalam alunan birahi.
Dengan perasaan tak sabar kutunggu hari yang sudah dijanjikan itu.

Hari yang dijanjikan pun tiba. Nuryati mengenakan gaun yang kuanjurkan. Ia memang seorang istri yang sangat penurut. Saat itu ia mengenakan gaun yang terbuat dari bahan mengkilap berwarna orange. Menurutku, gaun itu seksi banget. Karena gaun itu seolah mempertontonkan 75% dari payudaranya yang indah, karena bagian atas payudaranya, belahan dan bagian bawahnya tampak jelas. Hanya di sekitar putingnya saja yang tertutup. Dan gaun itu memaksa Nur untuk tidak mengenakan bra. Karena kalau mengenakan bra, akan terlihat “balap” antara bra dengan gaunnya.
Sementara ke bawahnya gaun itu memang cukup panjang, menutupi sampai ke dekat mata kakinya. Tapi di sebelah kanannya ada belahan yang memanjang, sehingga kalau Nur melangkah sembarangan, celana dalamnya pun akan kelihatan.
Aku sendiri seperti biasa, cuma mengenakan pakaian casual. Jersey Manchester United berwarna merah dengan celana corduroy berwarna deep brown.
Di sepanjang jalan menuju villa, Nur terus-terusan menyandarkan kepalanya ke bahuku. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Dan aku berusaha menguatkan batinnya, “Jangan salah ya…nanti makin centil menghadapi Anton, akan makin membuatku cemburu. Dan kecemburuan itu akan jadi perangsang yang sangat mujarab setelah kita pulang dari villa itu nanti.”
“Belum kebayang Mas. Aku kan gak biasa centil.”
“Nanti kan ada minuman untuk wanita juga. Sekadar penghangatan, sekaligus untuk mencairkan kecanggungan.”
Nur memang sudah kulatih untuk minum wine. Tapi itu sudah yang paling berat. Tak kuanjurkan minum yang lebih tinggi lagi kadar alkoholnya. Karena aku sendiri bukan seorang alkoholic. Aku hanya minum pada saat-saat tertentu saja. Itu pun tak pernah sampai mabuk berat.

Ketika tiba di villa yang bersejarah buatku itu, batinku berdenyut. Di villa itulah aku merasakan swinger untuk pertama kalinya. Di villa itulah aku pertama kalinya bisa menyentuh kewanitaan Raisha sampai sedalam-dalamnya. Dan di villa itu pula untuk pertama kalinya Erni kupasrahkan ke dalam pelukan Edo.
Semuanya masih tergambar jelas dalam ingatanku. Bahkan aku masih ingat benar, betapa swinger pertama itu membuatku seolah mendapat rangsangan hebat, sehingga aku jadi semakin garang manakala akan menggauli istriku.
Kemudian swinger pertama itu membuatku ketagihan. Karena terasa benar betapa dahsyatnya kesan yang ditinggalkan sesudahnya. Bahwa rasa cemburuku berbuah rangsangan hebat. Yang membuatku makin perkasa di atas perut istriku.
Sambil menunggu kedatangan Anton, masih sempat aku menggurui Nur, “Jangan kaku ya. Bersikaplah luwes tapi harus agak centil, supaya tidak dianggap terpaksa.”
Nur cuma mengangguk lemah. Kemudian ia masuk ke dalam kamar mandi. Mungkin mau pipis, atau mungkin mau membersihkan bagian yang tewrsembunyi di balik celana dalamnya.
Pada saat itulah handphoneku bergetar tanpa suara, karena memang sengaja kusilent tadi. Ada bbm dari Erni. Isinya, “Lagi di mana Bang?”
“Lagi di Cirebon. Di pelabuhan. Kenapa?” balasku di bbm.
“Ini Leo datang. Kebetulan gak ada kerjaan di Kalimantan, katanya. Dan ia kangen padaku Bang. Gimana ya?”
“Gimana apanya?”
“Boleh gak kuredakan kangennya?”
Darahku tersirap. Membayangkan perilaku Leo setelah berjumpa dengan istriku, yang cukup lama dipisahkan oleh laut Jawa.
“Diizinkan gak Bang?” terasa Erni mendesakku. Berarti dia juga merasa membutuhkan Leo.
Lalu apakah aku harus jadi manusia yang licik? Haruskah aku jadi manusia “mau mencubit tapi tak mau dicubit”?
Aku mencoba untuk menjadi sosok yang “berjiwa besar”. Maka dengan singkat bbm dari Erni itu kubalas dengan kata “Iya.”
“Makasih Bang. Kapan Abang pulang?”
“Senin.”
Dan aku langsung memasukkan handphoneku ke dalam saku celanaku, karena Nur sudah keluar dari kamar mandi.
“Udaranya dingin sekali di sini ya Mas,” kata Nuryati, “Air juga sampai terasa kayak air es.”
“Kan ada shower air panas,” sahutku sambil tersenyum. Sebenarnya ngawur senyumku saat itu. Karena aku sedang membayangkan Erni menelanjangi dirinya, lalu meraih Leo ke dalam pelukannya. Aaah…persetan dengan semuanya itu ! Bukankah aku sudah punya Nur dan Anna dan Erna?
Terdengar suara mobil memasuki pekarangan villa. “Nah itu Anton datang,” kataku.
“Iiih…aku degdegan Mas,” kata Nur sambil memegangi tanganku.
“Biasa awalnya sih gitu,” sahutku, “Nanti juga akan hilang sendiri degdegannya.”
Padahal terus terang, aku sendiri juga degdegan. Karena membayangkan apa yang akan terjadi di antara aku dan istri Anton, membayangkan pula apa yang akan terjadi pada Anton dan Nur.
Kubuka pintu depan untuk menyabut kedatangan Anton dan Sarah yang saat itu mengenakan gaun mini terusan berwarna merah dengan potongan backless.
Begitu melihatku, Anton bilang, “Sorry Yad. Tadi macet banget, makanya telat nih. Udah lama nunggu?”
“Mmm…aku juga belum lama nyampe sini, kira-kira setengah jam yang lalu lah,” sahutku sambil memandang ke arah Sarah yang tampak agak salah tingkah. Tapi senyumnya itu terasa mengundang. Dan tanpa ragu kujabat tangannya sambil cipika-cipiki.
Ternyata Anton pun melakukan hal yang sama, menjabat tangan Nur sambil cipika-cipiki.
Lalu mereka masuk ke ruang depan. Anton meletakkan beberapa botol minuman import di meja ruang depan, tepat seperti yang dijanjikannya.
Nur kelihatannya seperti berusaha luwes tapi sedikit centil seperti yang kusarankan. Ketika Anton mengajaknya duduk berdampingan di sofa, Nur tersenyum-senyum, lalu duduk di samping Anton, tapi matanya sesekali melirik padaku. Dan aku pura-pura tidak melihatnya. Aku pun mengajak Sarah duduk di sofa lain.
Anton mengambil gelas empat buah dari lemari kaca di dekat washtafel, “Gak ada sloki ya?”
“Gak ada,” aku menggeleng, “pake gelas aja lah. Yang penting kan isinya.”
Anton menuangkan minuman berkadar alkohol tinggi ke dua gelas, satu untukku dan satu lagi untuknya sendiri. Lalu menuangkan invalid port ke dua gelas lainnya, untuk Nur dan Sarah.
“Nyari Martini gak ada. Invalid Port juga gakpapa ya?” tanya Anton padaku.
“Iya. Yang penting kadarnya jangan tinggi-tinggi seperti minuman kita. Padahal aku punya tequila di rumah. Tapi gak kebawa. Lupa.”
“Padahal buat cewek sih bagusan tequila Yad.”
“Iya, next time aja lah kita sediakan tequila.”

Setiap benda yang ada di dunia ini selalu ada dua sifat yang bertolak belakang. Ada unsur positif, ada pula negatifnya. Seperti minuman keras juga, harus kuakui ada positif dan negatifnya. Aku tak mau bicara hal negatifnya, karena semua orang sudah tahu apa dampak negatif dari alkohol kalau dikonsumsi berlebihan. Tapi aku mau bicara sisi positifnya. Minuman yang kami teguk membuat perilaku kami jadi lain. Sarah bahkan mulai berani menciumiku di depan suaminya. Sementara Nur pun cuma tersenyum-senyum ketika tangan Anton menyelusup ke arah payudaranya yang memang 75% terpamerkan.
Anton pun tampak tak sabar lagi. Ia pamitan padaku, “Aku ke kamar duluan Yad. Kamar yang mana ya?”
“Pilih aja, keduanya sama persis kok,” sahutku sambil memeluk leher Sarah dan mulai membalas ciuman binalnya.
Anton dan Nur melangkah masuk ke kamar yang sebelah timur. Pintunya ditutup, lalu terdengar bunyi kunci diputar. Klik.
“Kita juga masuk yok ah,” kata Sarah sambil menggelayuti leherku dengan sikap genit.
Aku mengangguk. Lalu menggandeng istri Anton menuju kamar yang sebelah barat.
Perempuan-perempuan yang pernah kudapatkan, memang berbeda-beda level maupun “kualitas”nya. Namun kunilai mereka punya kelebihan masing-masing (di samping kekurangannya tentu saja).
Di mataku, Sarah tidak secantik Nur. Usianya pun agak jauh di atas Nur. Tapi Sarah punya daya rangsang sendiri buatku. Terlebih setelah ia menanggalkan gaun mini merahnya. Tubuhnya putih dan merangsang. Meski tak semulus tubuh Nur, tingginya badan Sarah itu membuatku senang menyelusuri dari kaki sampai kepalanya.
Ya, ternyata Sarah jauh lebih agresif daripada yang kuduga semula.
Seperti Nur, ternyata Sarah juga tak mengenakan beha. Sehingga ketika ia menanggalkan gaun merahnya, maka tinggal celana dalam saja yang masih melekat di tubuhnya. Sementara payudaranya tak tertutup apa-apa lagi. Payudaranya tak seindah milik Nur. Tapi aku tetap terangsang untuk mulai meremasnya. Dan manakala celana dalamnya dilepaskan, kulihat sebentuk kemaluan tanpa sehelai jembut pun. Rupanya kemaluan Sarah dicukur plontos, berbeda dengan kemaluan Nur yang kularang dicukur sampai habis, harus disisakan sedikit (perintahku itu karena ingin bentuk kemaluan yang berbeda dengan kemaluan Erni, karena Erni selalu mencukur habis kemaluannya).
Setelah telanjang bulat, Sarah langsung menerkamku dengan agresif. Samnbil berkata, “Kamu macho banget, Yad. Sejak ketemu sama kamu, aku langsung suka. Tapi waktu Anton ngajak swinger sama kamu, lama juga aku memikirkannya. Takut sih.”
“Takut apa?” tanyaku heran.
“Takut ketagihan,” sahut Sarah sambil merayapkan tangannya ke ritsleting celanaku, lalu dengan binalnya tangan itu menyelinap ke balik celana dalamku. Memegang batang kemaluanku dan memekik tertahan, “Oooh…punyamu gede banget, Yad. Pantesan dapet istri masih muda dan cantik gitu.”
Aku tidak menjawabnya, karena mulai asyik mempermainkan kemaluan Sarah yang tiada jembutnya ini.
“Wow…mulai tegang nih,” kata Sarah sambil berusaha menyembulkan batang kemaluanku.
“Ntar…” kataku sambil menepiskan dulu tangan Sarah, “Mau buka baju dan celana dulu, biar enak.”
Dan…wow…Sarah benar-benar agresif. Begitu aku telanjang, ia langsung menangkap batang kemaluanku dan mengulumnya meski terasa sempit di mulutnya. Dan gilanya, jilatannya di seputar puncak penisku…enak banget !
Aku pun membelai rambut Sarah sambil merasakan enak dan nikmatnya selomotannya. Luar biasa memang. Keempat istriku tak ada yang sepandai Sarah dalam hal mengoral penisku ini.
“Ayo…langsung masukin aja. Punyaku udah basah Yad,” kata Sarah sambil menelentang dengan kedua paha direnggangkan lebar-lebar, sambil berkata, “Bgitu megang penismu yang gede panjang gitu aku langsung horny. Makanya belum apa-apa juga udah basah nih.”
Aku cuma tersenyum. Sementara terawanganku melayang ke mana-mana. Membayangkan Erni yang tengah digeluti oleh Leo. Dan membayangkan Nur yang mungkin sudah mulai dientot oleh Anton.
Sambil menggertakkan gigi, kubenamkan batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaan Sarah. Edan…liangnya memang sudah basah dan licin, tapi rasanya sempit sekali buat penisku.
Berarti aku tidak terlalu salah duga. Bahwa Sarah ini pasti memiliki beberapa kelebihan. Antara lain kecilnya liang kewanitaan Sarah ini. Dan ia tampak menikmatinya. menikmati membenamnya batang kemaluanku ke dalam liang kewanitaannya.
“Ooooh…ini sih terasa sekali gedenya punyamu, Yad….ayo langsung entot sekeras mungkin Yad, aku suka yang keras-keras…” rengek Sarah bernada memohon.
Kujawab dengan bisikan, “Sttt..jangan bilang-bilang sama orang lain ya…memekmu ini enak banget…sempit menjepit gini…hhuuuaaaaaahhh”
“Mmmm….” Sarah tersenyum dan goyangan pinggulnya makin binal. Terkadang meliuk-liuk seperti ekor ikan koki yang sedang berenang, terkadang menghentak-hentak dari atas ke bawah, sehingga terasa kelentitnya bergesekan dengan keras dengan penisku.
Semua itu membuatku makin edan-edanan juga mengentotnya. Terlebih setelah ia minta agar aku menggasaknya dengan keras (pantasan teteknya terasa agak kendur). Maka dengan sodokan-sodokan kuat penisku seolah sedang menonjok-nonjok liang kenikmatan Sarah. Sementara kedua tanganku mulai meremas-remas sepasang payudaranya, juga dengan keras seperti yang diinginkannya.
Memang Sarah suka diperlakukan seperti itu. Ketika aku meremas payudaranya kuat-kuat, ia malah ternganga seperti sangat menikmatinya. Padahal kalau istri-istriku diperlakukan seperti itu, mungkin pada nangis kesakitan.
Bahkan pada satu saat Sarah minta agar lehernya kucupangin sekuat-kuatnya. Kuturuti juga. Apa susahnya nyupangin sambil ngentot gini?
Dan pergumulan kami berjalan terus dengan panasnya. Gedebak-gedebuknya pantat Sarah terkadang menimbulkan suara brisik di dalam kamar ini. Dan ketika kubayangkan Leo sedang habis-habisan menyetubuhi Erni, ketika kubayangkan Anton sedang habis-habisan pula menyetubuhi Nuryati, aku seolah mencari kompensasi, dengan menggerakkan penisku seedan mungkin.
O, baru sekali ini kutemukan wanita yang demikian hotnya seperti Sarah. Pantaslah aku pernah membaca tulisan seorang pakar seks dari Amerika, bahwa kecantikan atau ketampanan tidak ada hubungannya dengan kepuasan seksual.
Terbukti waktu aku “menari-nari” di atas perut Sarah. Keringatku sudah bercucuran deras. Tapi persetubuhan kami makin lama malah semakin gila-gilaan !
Sarah menanggapi entotanku yang menurutku sendiri terasa kasar, justru dengan goyangan pinggul yang menggila, lumatan bibir yang mengganas. Bahkan terkadang ia menggigit daun telingaku, terkadang juga menjilati leherku, sementara pergerakan batang kemaluanku semakin lancar saja mengaduk-aduk liang kemaluan istri Anton itu.
Aku pun tak mau monoton. Terkadang kuemut puting payudara Sarah, terkadang juga kusedot sekuatnya, sementara tanganku meremas-remas payudara yang satunya lagi dengan kuatnya. Namun Sarah justru merintih-rintih histeris saking nikmatnya. Bahkan rintihannya lebih mirip pekikan-pekikan tertahan….aaaaaaaaahhh…. aaaaaaaaahhhh… aaaaaahhh….
Sampai akhirnya aku berhasil membuatnya orgasme. Membuatnya terkejang-kejang seperti ayam disembelih dan sekarat berkelojotan, “Yadiiiiiii…..ini aku sudah datang….” rengeknya sambil mencengkram kedua bahuku seolah ingin meremukkannya.
Aku pun menyongsong kedutan-kedutan liang kemaluan Sarah dengan membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, sambil meremas sepasang payudaranya sekencang mungkin.
“Ooooh, Yadiii…ini nikmat sekali Yad…” kata Sarah setengah berbisik setelah kedutan-kedutan liang kemaluannya mereda. Lalu kubiarkan ia menciumi bibirku sambil mengelus rambutku.
Dan tiba-tib ia menggulingkan tubuhnya ke samping, lalu mengguling lagi sambil memelukku erat-erat, sehingga posisiku jadi di bawah, dengan batang kemaluan yang masih tetap menancap di liang kemaluan Sarah yang terasa sudah basah dan licin itu.
Tanpa kuminta, Sarah mulai aktif mengayun pinggulnya sambil berlutut dengan kedua kaki berada di kanan-kiri pinggangku.
Rupanya Sarah sudah bersemangat lagi melanjutkan persetubuhan ini dengan posisi WOT. Aku senang sekali menikmati aksi Sarah yang seolah sedang menunggangiku, dengan liang kemaluan seolah sedang membesot-besot dan memeras-meras batang kemaluanku.
Dan mulutnya tak berhenti mengoceh sambil melenguh-lenguh, “Edan…kontolmu luar biasa gede dan tangguhnya…jauh lebih perkasa daripada Anton…”
Aku tidak tahu apakah Sarah itu termasuk perempuan bernafsu gede atau memang kehidupan seksualnya dengan Anton sudah dibiasakan main hardcore. Yang jelas aku mampu mengimbanginya. Tapi yang kupikirkan adalah Nur. Semoga saja Anton tidak memperlakukan kasar pada Nur.
Yang jelas aku tetap mampu mengatur pernafasan seperti yang sering kulakukan di perguruan bela diri waktu masih remaja dulu. Dan hasilnya? Setelah cukup lama bermain di atas, akhirnya Sarah memekik perlahan lagi, sambil menghempaskan dadanya ke atas dadaku, sementara pantatnya bergetar-getar, lalu kaki dan tangannya mengejang sambil menahan nafasnya. Dan ia terpejam-pejam, seolah sedang merasakan nikmat yang luar biasa.
Yang indah dalam persetubuhan ini, adalah liang kemaluan Sarah itu, terasa seperti ambrol ke luar, laksana ombak yang berlomba-lomba menghempas ke pantai. Lalu liang kemaluan yang sempit itu terasa digenangi lendir hangat. Dan Sarah memeluk leherku erat-erat.
Lalu ia menciumi bibirku dan berkata dengan suara hampir tak terdengar, “Thanks. Aku puas sekali…tapi kapan mau dilepaskan?”
Kutepuk bokongnya yang berada di atas tubuhku sambil berkata, “Nanti lepasin di mana?”
Dengan mesranya Sarah menjawab, “Di dalam aja sayang.”
Tiba-tiba Sarah mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi, sehingga batang kemaluanku terlepas dari liang kewanitaannya yang sudah basah kuyup itu. Kemudian ia menungging binal sehingga tampak jelas permukaan kemaluannya yang sudah basah itu.
“Ayo lanjutin lagi,” kata Sarah sambil menepuk buah pantatnya beberapa kali, plok, plok, plooook….
Hmmm binalnya istri Anton itu. Okelaa…gasak aja, man, bikin dia bertekuk lutut, man !
Sambil berlutut di belakang pantat Sarah yang menungging binal itu kujawab tantangannya. Kubenamkan lagi tongkat kejantananku yang tak pernah mengecewakan partner seksualku ini.
Blesssss….melesak masuk lagi dengan mudahnya, karena liang kemaluan Sarah masih sangat licin oleh lendir kewanitaannya.
Dalam posisi “gogog” itu kulanjutkan pertarungan antara kejantanan dan keperempuanan ini. Kulakukan sambil berkali-kali menepuk pantat Sarah. Dan gilanya, Sarah malah memintaku untuk menepuk lebih keras lagi dan lebih keras lagi. Maka akhirnya aku jadi menampar-nampar, sampai merah pantat istri Anton itu.
Tapi tentu saja tamparanku tanpa tenaga dalam. Kalau pakai tenaga dalam, bisa remuk tulang bokong Sarah nanti.
Semakin jelas bahwa Sarah senang bermain keras. Kedua buah pantatnya sudah merah sekali, namun ia seperti sangat menikmatinya. Sampai akhirnya ia memintaku untuk dilepaskan bareng-bareng.
Sebenarnya aku masih bisa bertahan. Tapi aku kasihan juga. Kalau kuentot terus, bisa lecet liang kewanitaannya nanti. Dan aku merasa sedang mencari kenikmatan. Bukan ingin menyakiti siapa pun.
Maka dengan sodokan kuat, sekaligus kudesakkan ujung liang kewanitaannya, kumuntahkan air maniku di dalam liang surgawi istri Anton itu.
Tepat seperti yang kuminta, beberapa hari kemudian Nuryati menyerahkan sebuah flashdisk. Berisi pengakuannya tentang “pesan dan kesan” dalam swinger dengan Anton dan istrinya itu. Dengan penuh semangat kubuka isi flashdisk itu di laptopku:

——————————————————————————————————————

Awalnya aku bingung mengikuti jalan pikiran Mas Yadi yang kucintai dengan sepenuh hatiku itu. Namun makin lama aku makin mengerti apa sebenarnya di balik semuanya itu. Bahwa ia ingin menciptakan gairah dalam kehidupan seksualku dengannya.
Tapi aku sulit sekali mengikuti keinginannya itu. Karena ia ingin agar aku digauli oleh teman sesama kuliahnya waktu sama-sama mengambil master degree di University of Toronto, yang bernama Anton itu.
Menurut pengakuan suamiku, Antonlah yang awalnya mengajak wife swap itu. Lalu jadi pikiran suamiku. Dan lama-kelamaan ia ingin melaksanakan ajakan temannya itu.
Jelas aku menolak pada mulanya. Karena aku hanya mau memasrahkan tubuhku kepada suamiku seorang. Dan ajakan itu kuanggap sebagai ajakan gila-gilaan.
Tapi suamiku terus-terusan mendesakku sambil berargumentasi tentang manfaat wife swap itu. Dan lama kelamaan aku jadi terpengaruh juga. Bahwa suamiku akan merasa cemburu kepada Anton. Lalu kecemburuannya itu akan menjadi rangsangan yang sangat hebat nantinya. Rangsangan untuk menggauliku lebih dahsyat daripada sebelumnya.
Dan aku selalu percaya kepada suamiku. Karena aku sudah berkali-kali membuktikannya. Bahwa semua ucapannya bisa dipertanggungjawabkan. Terbukti dengan apa yang kualami sekarang. Aku sudah dikasih rumah yang mentereng, jauh lebih megah daripada rumah orang terkaya di kampungku. Tanah di depan rumahku juga sudah dibangun toko yang cukup besar, sehingga aku bisa mencari duit sendiri lewat toko itu. Penghasilanku sudah sangat besar. Sehingga aku bisa menggaji dua orang pelayan, tak usah tergantung kepada Mbak Tina lagi. Bahkan untuk mengasuh Yona, kebetulan Ita (adikku) ingin melanjutkan pendidikannya di sebuah perguruan tinggi di kota ini. Sehingga Yona jadi bisa dijagain oleh Ita.
Menurut pengakuan Ita sendiri, Mas Yadi yang menganjurkan untuk kuliah di kota ini saja kalau sudah lulus SMA. Hal itu disampaikan oleh Mas Yadi waktu ia ke kampungku bersama mbak Tina beberapa bulan yang lalu.
Pokoknya Mas Yadi itu seorang lelaki yang sangat baik di mataku. Setiap ucapannya bisa dipegang dan dipertanggungjawabkan.
Setelah mempertimbangkan semuanya itu, akhirnya hatiku luluh. Dan bersedia mengikuti ajakan suamiku untuk wife swap dengan Anton dan istrinya itu. Aku pun cepat memahami apa saja yang harus kulakukan pada waktu wife swap itu dilaksanakan. Memang saran-saran suamiku membuatku merinding-rinding. Tapi aku akan berusaha mengikuti jalan pikirannya. Toh ia sudah siap bertanggungjawab jika kelak ada akibat yang tidak diinginkan. Juga ia berjanji akan tambah menyayangiku kalau aku mengikuti ajakannya.
Akhirnya kubulatkan hatiku, untuk melakukan apa yang diinginkan oleh suamiku itu. Bahkan ketika mau berangkat, kukenakan gaun yang sengaja dibelikan oleh suamiku. Gaun yang menurutku tak pantas kukenakan, karena memamerkan sebagian besar patudaraku, dengan belahan yang sangat panjang pula di sebelah kanannya. Tapi dalam hal itu pun aku manut saja pada keinginan suamiku. Karena suamiku bilang, “Pokoknya kamu harus tampak seksi banget sayang. Biar Anton sangat tergiur olehmu. Dan kalau semuanya itu akan membuatku cemburu. Dari cemburu itulah nanti aku akan mendapat rangsangan hebat…manfaatnya adalah kehidupan seksual kita akan semakin bergairah. Buktikan saja nanti.”
Seperti yang dianjurkan oleh suamiku, aku pun menyemprotkan parfum mahalku ke segenap celah-celah penting di tubuhku. Dan aku yakin, sampai besok pun wanginya parfum ini takkan hilang, kecuali kalau aku mandi sebersih-bersihnya.
Pada waktu tiba di villa yang akan dipakai untuk melaksanakan rencana suamiku bersama temannya itu, aku mulai degdegan. Karena sudah terbayang apa saja yang akan terjadi nanti.
Dan aku semakin degdegan ketika teman suamiku yang bernama Anton itu sudah datang bersama istrinya yang bernama Sarah.
Ketika Anton menjabat tanganku, ternyata tak cuma menjabat tangan, melainkan juga memelukku dan mencium sepasang pipiku. Aku agak kaget, karena tak menyangka akan langsung diperlakukan seperti itu. Dia mencium pipiku, bukan cuma mengadu pipi dengan pipi lagi. Tapi cepat aku ingat kata-kata suamiku, bahwa begitu Anton dan istrinya datang, aku harus melupakan suamiku, aku harus bersikap seolah-olah suamiku tidak ada di situ.
Maka aku cuma tersenyum, lalu menurut saja ketika Anton mengajakku duduk di sampingnya, sementara suamiku pun sudah duduk berdampingan dengan istri Anton yang bernama Sarah itu.
Tapi Anton langsung menyelusupkan tangannya ke bagian atas gaunku yang ada belahan lebar ini. Dan langsung menggenggam buah dadaku ! Tentu saja aku kaget, karena Anton melakukannya di dekat suamiku. Tapi ketika aku menoleh ke arah suamiku, rupanya ia pun sedang bermesraan dengan Sarah.
“Luar biasa,” bisik Anton, “payudaramu masih kencang banget. Kita masuk ke kamar aja yuk.”
Meski canggung kuanggukkan juga kepalaku. Lalu bangkit dan melangkah mengikuti Anton, tanpa berani menoleh ke arah suamiku.
Setelah berada di dalam kamar yang pintunya sudah ditutup dan dikuncikan oleh Anton, aku semakin degdegan. Karena sudah membayangkan segala kemungkinan bisa terjadi sekarang. Dan aku harus menyambutnya dengan senang hati, sep[erti kata suamiku.
Tapi mungkin pengaruh minuman itu membuatku tak canggung ketika Anton berdiri merapat ke depanku. Lalu mencium bibirku dengan hangatnya. Inilah pertama kalinya aku dicium oleh lelaki lain kecuali suamiku sendiri. Lalu…bukankah aku harus menyambut ciuman dan lumatan itu dengan hal yang serupa?
Meski kepalaku agak kleyengan, aku masih ingat benar bahwa saat itu kubalas lumatannya dengan lumatan lagi Dan ketika ia memeluk pinggangku erat-erat, aku pun memeluk lehernya erat-erat pula.
Lama bibir kami saling lumat sambil berdiri dan saling peluk begitu. Sampai akhirnya Anton melepaskan lumatan dan pelukannya. Tapi tangannya melanjutkan ke arah gaunku yang mudah sekali menanggalkannya. Dan aku pun tinggal mengenakan celana dalam saja jadinya.
Anton menatap tubuhku yang nyaris telanjang ini dengan mulut ternganga. Dan terdengar suaranya, “Tubuhmu mulus sekali, Nur.”
Lalu ia melepaskan segala yang menempel di tubuhnya, membuatku semakin berdebar-debar. Terlebih ketika pandanganku terftumbuk ke penis Anton itu, tampak sudah ngaceng sekali, seolah menunjuk ke atas saking ngacengnya.
Lalu ia menarik pergelangan tanganku dan mengajakku ke atas tempat tidur bertilam seprai putih bersih itu.
Perasaanku semakin tak keruan ketika Anton sudah merebahkanku, lalu mulai menciumi bibirku, kemudian menjilati leherku, pentil payudaraku dan menurun lagi ke arah pusar perutku.
Jujur, aku mulai dikuasai nafsu birahiku. Terlebih setelah Anton menarik celana dalamku sampai terlepas di kakiku, kemudian menjilati kemaluanku dengan jalangnya. Oh, ini membuatku terpejam-pejam dalam nikmat yang luar biasa.
Sampai akhirnya aku merengek, seperti minta belas kasihannya, “Masukin aja Bang itunya…”
Dan, oh aku merasakan batang kemaluan Anton itu menyelusup ke dalam liang kewanitaanku. Oh…ini adalah pertama kalinya liang kemaluanku dimasuki batang kemaluan lelaki lain kecuali suamiku sendiri.
Mas Yadi…maafkan aku…ampuni aku…semuanya ini kan atas keinginanmu, Mas.
Meski pada awalnya aku merasa canggung menghadapi Anton itu, namun kata-kata suamiku terngiang terus di telingaku, “Jangan kaku, jangan canggung. Lakukanlah semuanya sebinal mungkin. Bikin Anton ketagihan padamu, karena di kemudian hari mungkin kita akan swinger lagi dengannya.”
Maka aku pun berusaha menikmati semuanya ini. Bahwa ayunan batang kemaluan Anton kutanggapi dengan goyangan pinggulku. Bahkan aku merasa seperti bersaing dengan Sarah. Merasa bahwa aku harus lebih istimewa daripada Sarah. Maka ayunan pinggulku juga kubuat sebinal mungkin, sampai Anton terdengar ngos-ngosan di atas perutku.
Batang kemaluan Anton tidak segede dan sepanjang punya suamiku. Tapi entahlah, suasana yang terasa berbeda ini membuatku sangat menikmatinya. Geseran demi geseran batang kemaluan Anton yang makin lama makin lancar di dalam jepitan liang kewanitaanku, membuatku seolah melayang-layang di langit yang ke tujuh. Kata orang, itulah langitnya surga dunia. Surga yang membuatku lupa daratan.
Meski tertahan-tahan, tak urung mulutku mulai berdesah-desah seperti orang kepedasan…lalu merintih-rintih dalam alunan kenikmatan yang sulit kulukiskan dengan kata-kata, “Bang Anton…oooh…Bang…Bang…e…enak Bang…iya Bang…entot terus Bang…jangan berhenti-berhenti Bang…Ooooh….”
Terlebih ketika Anton mengentotku sambil mengemut pentil payudaraku yang kiri, sementara tangannya meremas-remas payudara kananku. Oh, ini semakin nikmat saja rasanya.
Ayunan batang kemaluan Anton pun terasa semakin mantap, menyodok-nyodok liang kemaluanku dengan binalnya. Dan aku pun semakin binal menggoyang-goyangkan pinggulku, seperti penari perut dari Mesir atau penyanyi dangdut koplo jalanan.
Cukup lama Anton menyetubuhiku. Sampai akhirnya aku menyerah…aku sudah tiba di puncak kenikmatanku…membuatku meregang dan merintih, “Baaang…aku udah mau lepas….”
Sebagai jawaban, Anton bahkan mempercepat ayunan batang kemaluannya, membuatku makin cepat mencapai titik ternikmat itu. Akhirnya aku mengelojot dan terasa lendir kewanitaanku terbit dan menggenangi liang kemaluanku.

=====================================================================

Baru sampai di situ Nuryati mencatat kisah yang terjadi di villa itu. Mungkin ia tidak biasa menulis panjang-panjang. Atau mungkin ia masih malu-malu mencatatnya. Padahal berikutnya kami berempat menghamparkan kasur-kasur di lantai ruang tengah villa. Di situlah kami bersetubuh dengan istri masing-masing. Aku menyetubuhi Nur di samping Anton yang sedang menyetubuhi Sarah.
Gilanya, saat itu aku bergairah sekali menyetubuhi istri mudaku itu. Karena membayangkan bahwa ia baru disetubuhi oleh teman lamaku.
Namun di tengah persetubuhanku dengan Nur, terasa bahuku ditepuk oleh Anton. Aku menoleh padanya. Dan ia memberi isyarat untuk bertukar tempat.
Aku setuju saja, karena acara ini adalah acara bebas. Maka kucabut batang kemaluanku dari memek Nur dan kubenamkan ke dalam liangk kemaluan Sarah yang sudah tersenyum-senyum padaku. Sementara Anton pun sudah membenamkan batang kemaluannya ke dalam kemaluan Nuryati.

Kami lanjutkan lagi permainan surgawi ini. Kuentot Sarah dengan nafsu berkobar-kobar, karena melihat Anton yang sudah mulai asyik mengentot istri mudaku.

Dua malam tiga hari berada di villa itu benar-benar mengucurkan kenikmatan yang sangat mengesankan bagiku. Bahwa aku bisa menggasak Sarah sepuas hati, sementara Nur digauli oleh temanku, yang lalu menjadi perangsang hebat bagiku di hari-hari berikutnya.
Setelah berada di rumah Nur, aku jadi garang sekali. Ketika malam tiba, Nur kusetubuhi seganas mungkin. Sambil membayangkan detik-detik ketika ia disetubuhi oleh Anton, sekaligus membayangkan nikmatnya waktu aku menyetubuhi Sarah yang binal itu.
Siang hari pun aku tidak makan siang di kantor ataupun di rumah Tante Lily. Aku menyempatkan diri pulang ke rumah Nur dan…mengajaknya bersetubuh.
Sebenarnya rencanaku hari Senin sore aku mau pulang ke rumah Erni. Karena aku juga ingin segera tahu apa saja yang telah terjadi pada istriku itu selama aku berada di villa. Pasti ia sudah membuat catatan pengakuan tentang kehadiran Leo. Apalagi ia sudah terang-terangan minta izin dariku. Pastilah ia habis-habisan disetubuhi oleh Leo.
Tapi…inilah garis tanganku. Ada saja “pintu baru” yang seolah dibukakan untukku.
Saat itu aku mendatangi rumah Nur di jam makan siang. Tapi Nur tidak ada. Ita, adik bungsunya yang sudah tiga bulan tinggal di rumah Nur dan mulai kuliah di sebuah universitas swasta, melapor, “Mbak Nur lagi belanja Mas. Barang-barang di toko udah banyak yang habis.”
“O gitu. Yona dibawa gak?” tanyaku sambil duduk di sofa ruang depan.
“Iya, dibawa. Katanya sih mau dibeliin sepatu baru.”
“Ya udah, bikinin kopi yang kental gih,” kataku sambil duduk di sofa ruang depan.
Tak lama kemudian Ita muncul dengan secangkir kopi dt tangannya. Diletakkannya kopi itu di atas meja di depanku. Tapi waktu mau kembali ke dalam, tiba-tiba saja Ita mencium pipiku, lalu berlari ke belakang sambil ketawa cekikikan. Aku kaget. Dan bangkit, lalu menghampiri Ita yang sudah berada di dapur.
“Kamu kenapa, Ta?” tanyaku sambil memegang pergelangan tangan cewek 18 tahunan, berwajah cantik sekali (di mataku) dan berperawakan agak montok itu.
“Hihihi…seneng aja sama Mas. Jangan marah ya Mas,” sahut Ita tersipu.
“Gak lah. Masa segitu aja marah,” sahutku dalam suasana yang mendadak terasa aneh. Dan membuatku memegang kedua belah pipinya sambil berkata, “Bibirmu ta cium sekalian ya…”
Ita tak menjawab, tapi bibirnya malah mendekat ke bibirku. Dan ini awal kisah baru lagi buatku. Diawali dengan ciuman Ita di pipiku, berlanjut dengan pelukan hangatku dan bibir kami bertemu…berciuman dengan mesranya.
Tapi aku ini lelaki dewasa, yang sudah terbiasa melangkah jauh jika berhadapan dengan lawan jenisku.
“Kamu ini cantik sayang, cantik sekali,” bisikku, ” Aku juga seneng sama kamu.Tapi hati-hati, jangan kelihatan sama mbakmu.”
“Ya iyalah, makanya Ita beraninya pas Mbak Nur lagi gak ada.”
“Terus maunya gimana?”
“Terserah Mas. Pokoknya Ita seneng sama Mas.”
“Besok kuliah gak?”
“Kuliah, tapi cuma sebentar. Paling jam sebelas juga udah pulang.”
“Besok kujemput di kampusmu, terus kita jalan-jalan ke luar kota ya.”
“Serius Mas?”
“Ya iyalah.”
“Pas jam sebelas mau jemput ke kampus Ita?”
“Iya, sayang…”
Mungkin Ita tersanjung mendengar kata “sayang” itu, sehingga ia mendekatkan bibirnya lagi ke bibirku. O, lagi-lagi kucium bibir adik iparku itu dengan mesranya.
“Tapi jangan bilang-bilang sama mbakmu kalau kita mau jalan-jalan.”
“Iya Mas, tentu aja,” Ita menggelayut manja di leherku, “Hihihi…asyiiiik…besok mau jalan-jalan !”

Esoknya sebelum jam sebelas mobilku sudah kuparkir di pinggir jalan, di depan kampus Ita.
Sebenarnya banyak pertimbanganku waktu menunggu Ita keluar dari kampusnya itu. Rasanya aku ini kok jadi manusia gak bener. Erni dan Erna sudah “kuborong” dua-duanya. Nur dan Tina jjuga sudah “kuborong” dua-duanya. Lalu kini aku mau memiliki Ita pula? Tiga kakak beradik mau diborong semuanya? Manusia macam apakah aku ini?
Tapi gilanya, waktu menunggu Ita keluar dari kampusnya, otakku malah berpikir dan membayangkan, seperti apa ya Ita jelita itu kalau sudah kutelanjangi? Yang pasti masih segar. Sesegar bunga yang baru merekah.
Biarlah…what ever will be, will be….yang penting akiu takkan merugikan siapa pun. Karena aku selalu ingat pesan guru besarku almarhum, “Di mana pun anda berada, jangan pernah menyusahkan orang lain, apalagi merugikan.”

Ita tampak berlari-lari kecil menuju mobilku yang terparkir di pinggir jalan. Kubukakan pintu kiri depan dan Ita melompat masuk ke dalam mobilku.
“Kirain Mas gak jadi ke sini,” kata Ita sambil tersenyum-senyum sambil menutupkan kembali pintu di sebelahnya.
“Aku kalau udah janji, pasti ditepatin,” sahutku.
“Iya…Mbak Nur juga pernah bilang gitu.”
“Bilang gimana?”
“Kata Mbak Nur, Mas Yadi itu selalu tepat janji. Semua omongannya bisa dipegang.”
Grand Cherokee hitamku mulai kularikan menjauhi kampus Ita.
“Udah ada cowok yang nyoba-nyoba deketin kamu di kampus?”
“Mas…teman seangkatan Ita cewek semua. Cowoknya cuma seorang. Culun pula. Boro-boro mau dideketin sama cowok culun gitu sih.”
“Ohya?”
“Lagian Ita gak suka cowok yang belum mapan. Ita senengnya sama cowok yang jauh lebih tua. Biar Ita bisa berlindung padanya.”
“Udah ada cowoknya? Maksudku, udah ada cowok yang lebih tua itu?”
Tiba-tiba Ita menggenggam pergelangan tangan kiriku yang bebas (karena mobilku matic), seraya berkata tanpa tedeng aling-aling, “Mas Yadi aja ah cowoknya ya?”
“Boleh,” aku mengangguk dengan senyum, “Tapi mbakmu harus dikemanain?”
“Hihihi…backstreet aja Mas.”
Maaak ! Cewek zaman sekarang, umur 18 tahun juga udah tahu backstreet segala. Tapi aku bukan manusia hipokrit. Semua yang Ita katakan itu membuatku berpikir lain dari biasanya.
“Bisa jaga rahasia gak?” tanyaku.
“Bisa lah. Apa susahnya tutup mulut ?!”
“Ntar dulu…sejak kapan kamu seneng sama aku, Ta?”
“Sejak Mas datang ke rumah, waktu mau ngambil pegawai itu, Ita emang udah kesengsem. Coba kalau Mas bukan punya Mbak Nur, saat itu juga Ita ngomong terang-terangan sama Mas.”
“Emangnya apa yang menarik pada diriku?”
“Mmm…pokoknya Mas Yadi itu kelihatan macho tapi gak galak. Malah kelihatan berjiwa mengayomi.”
“Hahahaaa…sotoy kamu Ta.”
“Tapi bener kan? Buktinya Mbak Nur sampai jatuh cinta beneran sama Mas Yadi. Dibela-belain minggat dari kampung, karena gak mau dijodohkan dengan owner pabrik teh itu dan memilih Mas Yadi sebagai suaminya.”
Aku tak menjawab. Kularikan terus mobilku ke arah selatan.
“Kita mau ke mana sekarang Mas?” tanya Ita setelah kami melewati batas kota.
“Kan mau jalan-jalan,” sahutku, “ke tempat yang sejuk, udaranya bersih….”
“…dan cocok buat pacaran yang romantis,” potong Ita sambil menepuk lututku.
“Dulu waktu masih SMA pernah pacaran kan?”
“Pernah. Satu kali. Kapok.”
“Lho, kenapa kapok?”
“Cowoknya galak, pencemburu…ah pokoknya kapok punya cowok sebaya gitu.”
“Pernah diapain aja sama dia?”
“Cuma kissing doang, Mas. Gak lebih dari itu.”
“Jadi sampai sekarang Ita masih virgin?”
“Ya iyalah. Lihat aja sama Mas nanti.”
“Apanya yang dilihat?”
“Iiiih…Mas…”
“Lho..kan aku nanya, apanya yang harus dilihat untuk membuktikan Ita masih virgin?”
“Terserah Mas aja, mau dilihat apanya,” kata Ita sambil mencubit lengan kiriku.
“Terus…seandainya Ita emang masih virgin, maunya kuapain?”
Ita malah menyenderkan kepalanya ke bahuku sambil berkata, “Gak tau Mas… sebenarnya Ita udah terobsesi sama Mas…makanya terserah Mas mau diapain juga.”
“Wow…hebat ! Aku seneng banget dengarnya.”
Semuanya itu memang di louar dugaanku. Karena ternyata Ita lebih agresif daripada Nur dalam pernyataan-pernyataannya.
“Tapi yang penting kuliahmu harus tuntas, minimal sampai es-satu ya.”
“Iya Mas. Justru itulah yang Ita suka. Gak kayak cowok Ita di Tegal dulu. Mau ngelanjut ke perguruan tinggi juga gak boleh.”
Ketika mobil kubelokkan ke sebrang kanan, lalu melewati portal perkebunan dan masuk terus ke daerah kebun teh, Ita seperti heran, “Kok kayak mau masuk hutan Mas?”

“Mau ke tempat yang sangat tenang dan sejuk, bukan mau ke hutan,” kataku sambil membelokkan lagi mobilku ke kiri. Ke deretan villa yang terbuat dari kayu dan berbentuk rumah-rumah tradisional Sunda.
Seorang lelaki muda menghampiriku.
“Masih ada villa yang kosong?” tanyaku.
“Banyak Boss. Kalau bukan hari weekend sih banyak kosongnya.”
“Pilihkan yang paling bersih ya.”
“Siap Boss.”
Lelaki itu setengah berlari menuju salah satu villa yang kuminta.
“Ooo…ini villa-villa ya Mas?” cetus Ita sambil membuka pintu di sebelahnya.
“Iya,” sahutku sambil membuka pintu di sebelah kananku, lalu turun dari mobilku, sambil menjinjing kantong kresek putih berisi handuk dan sabun yang kubeli di jalan tadi.
“Asyik…bentuk villa-villa di sini kayak rumah tradisional Sunda, ya Mas.”
“Iya,” aku mengangguk sambil melangkah ke pintu villa yang sedang dibuka oleh lelaki muda itu.
“Ini villanya Boss,” kata lelaki muda itu.
Aku harus menyelesaikan dulu pembayaran sewa villa sekalian memberi tip buat lelaki muda itu. Lalu masuk ke dalam villa yang terbuat dari kayu itu.
“Di sini mau ngapain Mas?” tanya Ita waktu aku sudah menutupkan pintu depan dan duduk di atas kursi rotan bertilamkan bantalan empuk.
“Biar bebas aja kita berduaan, sambil menikmati segarnya udara dtaran tinggi,” sahutku, “Sana liat kamar mandinya, ada kolam berair panas mineral.”
“Masa sih? Iiih pantesan tadi Mas beli handuk sama sabun segala di jalan. Jadi ceritanya mau ngajak mandi nih?”
“Iya, nanti aja mandinya, nunggu airnya penuh dulu.”
Tapi Ita sudah membuka pintu kamar mandi dan berjongkok sambil mencelupkan tangannya ke air panas di bak mandi yang lebih tepat disebut kolam kecil itu.
Lalu Ita kembali menghampiriku, “Bener Mas. Airnya panas dan ada bau belerangnya. Berarti air panas mineral ya? Di Tegal juga ada air panas mineralnya, di daerah Guci.”
“Iya, aku pernah ke sana beberapa kali. Hawanya sejuk juga kan kayak di sini.”
“Di sini lebih dingin Mas. Siang-siang aja udah dingin gini, apalagi malam.”
Ita memilih duduk merapat di sampingku. Kusambut dengan pelukan di pinggangnya, dengan kecupan di pipinya juga lalu berbisik di dekat telinganya, “Mau nginep di sini?”
“Kasian Mbak Nur, Mas. Pasti dia kebingungan kalau Ita gak pulang. Ini juga nanti kalau terlambat pulangnya harus nelepon dulu, biar dia gak cemas.”
“Di situ yuk ngobrolnya,” kataku sambil menunjuk ke kamar yang pintunya sudah terbuka.
Ita memelukku dari belakang sambil mengikutilangkahku menuju kamar itu. Mungkin anak bungsu banyak yang manja seperti itu. Tapi aku justru suka pada kemanjaannya itu.
“Buka dong baju almamatermu, biar jangan kusut,” kataku setelah berada di dalam kamar itu.
“Ntar keliatan ndutnya Ita. Malu…” sahut Ita sambil menanggalkan jaket almamaternya juga. Kemudian rok bawahnya yang lumayan panjang itu pun dilepaskan.
Tinggal gaun dalemannya yang berwarna merah masih menutupi badannya. Tapi ia tak menolak waktu gaun dalemannya itu pun ditanggalkan. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya, ternyata ia memang tak mengenakan bra sejak tadi.

“Buka dong baju almamatermu, biar jangan kusut,” kataku setelah berada di dalam kamar itu.
“Ntar keliatan ndutnya Ita. Malu…” sahut Ita sambil menanggalkan jaket almamaternya juga. Kemudian rok bawahnya yang lumayan panjang itu pun dilepaskan.
Tinggal gaun dalemannya yang berwarna merah masih menutupi badannya. Tapi ia tak menolak waktu gaun dalemannya itu pun ditanggalkan. Sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhnya, ternyata ia memang tak mengenakan bra sejak tadi.
Tubuh Ita termasuk rada montok. Tapi payudaranya mungil. Entahlah kalau sudah menyusui kelak. Dan aku belum mau menyentuhnya.
“Ayo buka semuanya, sayang,” kataku lembut, “kan aku mau investigasi.”
“Investigasi apa?” Ita tampak ragu.
“Virginitasmu sayang.”
“Ooo, boleh. Sapa takut?” tenang saja Ita menurunkan celana dalamnya sampai lepas dari kakinya.
Kemudian ia menelentang, seperti pasien yang merebahkan diri di atas bed pemeriksaan.
Dan aku memang ingin membuktikan apakah ia masih perawan atau tidak. Masalahnya semua ini merupakan kejutan bagiku. Tadinya tak kusangka sedikit pun bahwa diam-diam Ita sering memperhatikanku, lalu jatuh hati padaku (itu pengakuan dia belakangan).
Aku serius ingin membuktikan omongannya. Maka kurenggangkan kedua paha Ita. Dan ita diam saja, cuma memejamkan matanya.
Jujur, aku degdegan juga waktu menyentuh kemaluan Ita yang tercukur bersih bahkan sampai mengkilap saking bersihnya itu. Kuselidik dengan cermat kemaluan Ita yang kungangakan itu. Ternyata hymen (selaput dara) Ita memang masih utuh.
“Syukurlah,” kataku sambil mengusap-usap kemaluan Ita dengan lembut, “Kamu benar-benar masih perawan sayang.”
Ita membuka matanya. Lalu duduk dan menatapku, “Masih virgin kan?” cetusnya sambil melingkarkan lengannya di leherku.
“Iya,” aku mengangguk sambil tersenyum, “Sekarang mau diapain?”
“Lho kok malah nanya? Ita sih terserah Mas Yadi. Soalnya Ita yakin Mas takkan menjahati Ita.”
“Mau nyobain orga tanpa em-el? Artinya virginitasmu akan tetap utuh, tapi kamu akan merasakan seperti apa nikmatnya orga.”
“Emang bisa?”
“Bisa,” kataku sambil mendorong dada Ita agar menelentang lagi.
Setelah Ita menelentang, kurenggangkan lagi kedua pahanya. O, Ita tidak tahu, bahwa pada waktu “investigasi” virginitasnya tadi, si dede sudah bangun dan minta “sesuatu”.
Tapi aku sengaja ingin bersikap dingin dulu, agar Ita tidak merasa takut padaku. Tapi ketika aku mulai menciumi kemaluannya, Ita seperti kaget, “Mas…kok diciumi?”
“Diam dong,” kataku sambil mengangkat telapak tanganku, “Nanti rasakan aja enaknya.”
Ketika bibir dan lidahku mulai bermain, menari-nari di atas permukaan kemaluan perawan itu, pada mulanya Ita agak gedebak-gedebuk sambil cekikikan. O, centilnya ini cewek…!
“Hihihihi…geli Mas…geli…tapi…ooooh…ohh…e…enak Mas…ooo….oooh…”
Dan ketika sudah kutemukan kelentit Ita yang tersembunyi dan lebih kecil dari kacang kdlai itu, langsung lidahku menggasaknya. Membuat Ita mulai terkejang-kejang dengan nafas tertahan-tahan. Terdengar suara seperti yang habis menangis tersedu-sedu lalu ada sisanya desah-desah seperti keseduan yang terus-terusan.
Sementara aku ingin melengkapinya dengan kedua tangan terjulur ke arah payudara perawan itu.
O, Ita yang jelita, kalau kuturuti nafsuku, mau saja rasanya penisku memainkan peran utama di dalam kamar ini. Tapi aku masih banyak pertimbangan, yang membuatku tetap kontrol diri, dan terus-terusan menepiskan nafsu penetrasi itu, jangan dulu…jangan ! Jangan !
Meski tersiksa sekali, namun batinku tidak diburu oleh perasaan bersalah.
Dan manakala rintihan-rintihan Ita semakin memuncak, jilatan dan sedotanku pun semakin mengganas. Sementara kedua tanganku pun semakin intensif mempermainkan pentil payudara perawan itu.Lalu kurasakan kedutan-kedutan orgasme di kemaluan Ita. Tetap kujilati sampai kedutan itu terasa mereda.
“Gimana? Enak?” tanyaku setelah berhenti menjilati kemaluan yang tetap virgin itu.
“Luar biasa enaknya Mas…oooh…pantesan orang bilang begituan itu nikmat sekali,” sahutnya tersipu.
Aku pun duduk di dekat Ita yang masih celentang telanjang, “Ayo sekarang kita mandi,” ajakku.
Ita bangkit dan menggelayuti leherku lagi. Seperti masih malu-malu kalau kutatap wajahnya. Jujur, setelah orgasme, wajah Ita seperti memancarkan sinar kecantikannya. Meski bentuk tubuhnya tidak sebagus Nur dan Tina, tapi wajah Ita cantik sekali di mataku. Bahkan agak mirip salah seorang juri Indonesian Idol yang cantik dan sabar itu.
Di dalam kamar mandi, Ita langsung mencebur ke kolam kecil yang permukaan air panasnya sejajar dengan lantainya.
Aku pun menanggalkan seluruh busanaku. Lalu masuk juga ke dalam kolam itu.
Ita terlongong memandangi batang kemaluanku yang masih tegak total ini.
“Kenapa? Pengen megang? Peganglah….” kataku sambil menarik tangan Ita lalu menempelkannya ke batang kemaluanku.
“Lain kali kita bisa main enam-sembilan,” kataku, “Sekarang sih jangan dulu.”
“Enam-sembilan?”
“Iya, nanti kuajarin.”

Sambil menyabuni sekujur tubuh Ita, kuajari adik iparku itu tentang cara-cara bermain 69. Tentu saja ia cepat mengerti, karena walau pun masih ABG Ita itu sudah menjadi mahasiswi, meski baru semester pertama.
Selesai mandi, Ita sudah ingin mempraktekkan permainan 69 yang teorinya sudah kuajarkan tadi.
Akhirnya kuturuti juga keinginannya. Ita menelungkup di atas badanku, dengan posisi sungsang. Mulutnya berada di atas penisku, sementara kemaluannya berada di atas mulutku.
Meski agak susah mempraktekkannya, namun berkat ketekunanku mengajarinya, Ita pandai juga akhirnya. Pandai menjilati puncak dan leher penisku. Pandai mengisap-isap penisku.
Namun ketika moncong penisku ejakulasi, Ita kaget dan seperti tersedak, “Ohokkh !”
Tapi dengan lugunya Ita telan saja spermaku, tak disisakan setetespun.

“Terus kapan Mas mau menyetubuhi Ita?” tanya Ita dalam perjalanan pulang.
“Ada saatnya nanti. Sekarang kita lakukan yang aman-aman saja dulu ya,” sahutku di belakang setir mobilku.
“Iya, terserah Mas aja. Wuiih..yang tadi aja bikin tulang-tulang Ita serasa dilolosi. Tapi edan…enak banget. Apalagi kalau bersetubuh beneran kali ya.”
“Bersetubuh beneran, bukan cuma akan merenggut virginitasmu, tapi juga bisa bikin kamu hamil.”
“Ohya?! Jangan bikin Ita hamil dulu Mas. Kan katanya Ita harus jadi sarjana dulu.”
“Iya. Banyak cara agar kamu gak hamil. Bisa dengan pil, bisa dengan pasang alat KB, bisa juga dengan cara menghitung jadwal menstruasi. Nanti deh kita pikirkan dulu. Pokoknya sekarang kita mainkan yang aman-aman aja dulu.”
“Iya Mas. Ohya…nanti jangan sampai rumah Mas. Ita turunin di jalan yang dilewati angkot aja. Biar Mbak Nur jangan curiga.”
“Iya,” aku mengangguk, nanti di depan mbakmu jangan memperlihatkan sikap berbeda dari biasanya ya.”
“Iya Mas. Ita juga ngerti. Jangan bikin Mbak Nur curiga.”
Dan Grand Cherokee hitamku melaju terus dengan kecepatan rendah di jalan raya menuju kotaku.
Dan Ita tampak asyik mendengarkan lagu-lagu Julia Stone dari audio mobilku. Bahkan sesekali ia bersenandung mengikutinya.
Sebuah tanda tanya besar menggelayuti benakku. Sampai kapan aku bisa bertahan untuk tidak menyetubuhi Ita Juwita ? Apakah aku sudah menjadi orang bijak yang merasa ingin melindungi kesucian Ita? Ataukah aku sedang mengulur waktu sampai Ita benar-benar matang untuk melakukannya? Ataukah karena posisi maksimal empat istri sudah kucapai sehingga aku tak bisa menambahnya lagi?
Entahlah. Yang jelas, ketika aku menurunkan Ita di jalan yang dilewati angkot, kemudian ia naik angkot yang bakal melewati rumah Nur, tiba-tiba handphoneku berbunyi.
Erni yang memanggilku, “Kok belum pulang juga Bang? Katanya mau pulang Senin. Sekarang udah hari apa?”
“Ini udah di jalan pulang. Sejam lagi juga nyampe,” sahutku, “Leo masih di rumah?”
“Udah pulang tadi pagi, katanya mau ke rumah orangtuanya lalu pulang ke Kalimantan lagi.”
“Ogitu. Hmm…aku emang gak cepat pulang biar kamu kenyang dulu kangen-kangenan sama Leo yang udah sekian lamanya gak ketemu.”
“Iiiih…Abang…”

Setelah hubungan telepon ditutup, aku menjalankan mobilku ke arah wisma kos.
Sebenarnya hatiku masih berat meninggalkan rumah Nur. Tapi ada hal yang memaksaku pulang ke rumah Erni.
Apakah karena aku ingin secepatnya tahu apa yang telah terjadi di antara Erni dengan Leo?
Atau memang aku juga merasa kangen pada istri pertamaku itu?
Entahlah. Yang jelas mobilku bergerak terus dengan cepatnya menuju wisma kos.

END

Tinggalkan komentar