4.Reuni Mania

Episode 1

Ketiga bangunan bertingkat itu sudah penuh diisi oleh para mahasiswa dan karyawan. Tapi rencana semula yang akan menempatkan para mahasiswi di bangunan yang paling timur, tidak dilaksanakan. Karena aku mengikuti pendapat suamiku, bahwa menerima kos cewek itu bakal memusingkan. Jadi yang kuterima di ketiga rumah kos yang berjumlah 120 kamar itu hanya cowok. Mengenai pengelompokan antara mahasiswa dan karyawan juga tak bisa dilaksanakan, karena dalam prakteknya sulit mewilah-wilah seperti itu. Maka akhirnya diputuskan bahwa siapa pun yang berminat untuk kos di “Wisma Kos Anugerah” dipersilakan memilih sendiri kamar yang masih kosong.

 

Pada umumnya yang kos di WKA (WIsma Kos Anugerah) orang-orang yang lumayan berduit. Karena tarif kosnya cukup mahal, tapi dengan fasilitas yang memadai. Bahkan mereka merasa nyaman, bisa memarkir mobil di pelataran yang cukup luas. Sedangkan pintu gerbangnya selalu dijagai oleh satpam.

 

Yang membuatku sedih, hanya beberapa hari setelah WKA dibuka, Bang Yadi terbang ke Kalimantan, untuk mengelola pertambangan batubaranya. Herman pun dibawa, karena di Kalimantan suamiku membutuhkan sopir juga katanya.

 

Untunglah ada keponakan suamiku yang bernama Leo itu. Ternyata meski masih muda sekali, Leo itu banyak gunanya. Ia bukan cuma ahli beladiri, tapi juga pandai memasak di dapur kantin, pandai juga menyetir dan sebagainya. Tapi setelah ada jurumasak dan pembantunya, urusan masak-memasak diserahkan kepada mereka. Leo hanya ditugaskan untuk mengatur satpam-satpam itu dan terkadang nyetir mobil untuk keperluanku. Itu pun kalau Leo tidak ada kuliah. Kalau ada kuliah, aku pun tak pernah mengganggunya.

 

Setelah Bang Yadi berada di Kalimantan, akulah yang terus-terusan memakai mobil itu. Bahkan Bang Yadi pernah berkata padaku, “Mulai saat ini, mobil itu menjadi mobil pribadimu. Nanti kalau terasa masih kurang, kita beli lagi mobil yang baru. Yang penting jangan pelit-pelit pada Leo. Di samping gaji tetapnya, kasihlah uang jajan secukupnya tiap hari. Tapi terlalu banyak juga jangan. Anak-anak jaman sekarang kalau punya duit terlalu banyak juga riskan. Suka dipakai macam-macam.”

 

Suamiku berjanji, kalau tambang batubaranya sudah berjalan dan menguntungkan, ia akan pulang sebulan sekali.

 

Tapi sudah lebih dari tiga bulan ia berada di Kalimantan, tak pernah pulang sekali pun. Dan aku mencoba untuk memakluminya, karena ia masih dalam tahap awal mengelola tambang batubaranya. Mudah-mudahan saja setelah usahanya berjalan lancar, ia akan sering-sering pulang, karena rasa kangenku terkadang susah meredakannya.

 

Di luar kegiatanku yang terkadang melelahkan itu, ada sesuatu yang sering menggodaku.

 

Ya, sebelum dikenalkan pada dunia swing, threesome dan sebagainya, aku tak pernah mempersoalkan, apakah aku digauli atau tidak oleh suamiku. Pada saat itu, aku menganggap sex hanya semacam kewajiban istri untuk meladeni suami belaka. Tapi setelah mata batinku dibukakan terhadap sex yang seru-seru itu, diam-diam aku merasa jadi ketagihan. Terkadang kalau aku sedang menginginkannya, diam-diam aku suka bermasturbasi. Tapi kepuasan-kepuasan semu itu lama kelamaan jadi hal yang kubenci. Bahkan waktu suamiku belum terbang ke Kalimantan, aku pernah dibelikan dildo, yang katanya untuk menggantikan suamiku kalau sedang berjauhan. Tapi sedikit pun aku tak suka mempergunakannya. Malah kapok mempergunakan dildo itu, yang vibratornya bergetar dan membuat lubang kewanitaanku seperti sedang dibor ! Lagian ketika aku mempergunakannya, aku merasa seperti sudah gila, menyeringai- nyeringai sendiri, mengejang-ngejang sendiri.

 

Tidak ! Aku tidak mau lagi mempergunakan dildo itu, meski bentuknya sangat mirip penis. Bahkan saking bencinya, kubungkus dildo itu dengan kantong plastik, kemudian kubuang ke sungai !

 

Semua itu kulaporkan kepada suamiku waktu aku sedang telepon-teleponan dengannya. Dan gilanya, suamiku malah berkata, “Kan di rumah baru itu sekarang ada brondong. Sekali-sekali boleh lah ajak dia…asal jangan terlalu sering aja.”

 

“Brondong? Siapa maksud Abang?” tanyaku.

 

“Si Leo itu…aku ijinkan kalau sama dia sih. Tapi dengan orang luar, aku gak ngijinkan, kecuali kalau aku sedang di rumah nanti…”

 

“Bang ! Udah gila ya? Masa Abang nyuruh aku sama adik sepupu Abang sendiri?!”

 

“Iya…daripada selingkuh di luar rumah, kan mendingan dengan yang sewrumah. Gak usah nyewa villa atau hotel segala. Nah…kurang baik gimana aku ini, sayang?”

 

“Nggak ah. Nanti kalau ketahuan sama Om Wardi, bisa dihujat habis-habisan aku nanti.”

 

“Abis?! Maunya gimana?”

 

“Maunya sih Abang pulang seminggu sekali kek…”

 

“Hahahaaaa…ngaco ! Emangnya dari Kalimantan ke rumah itu sedekat Cianjur-Bandung? Tapi…nanti kalau kegiatanku sudah berjalan lancar, mudah-mudahan aku bisa sering-sering pulang.”

 

“Mmm…gitu ya…eh Bang…kirimin oleh-oleh dong. Kan bisa dipaketin, Bang.”

 

“Oleh-oleh apa?”

 

“Apa aja yang khas Banjarmasin.”

 

“Paling juga ikan asin tenggiri. Sebenarnya ikan asin itu dibikin di Kotabaru. Lalu dikirim dan dijual di Banjarmasin. Atau ikan asin sepat…ikan pepuyu dan…”

 

“…Aaah…jangan ikan asin ah,” potongku, “yang lain dong. Mmm…kain sasirangan kek…”

 

“Ohya…kalau kain sasirangan sih nanti kukirim. Sekalian berlian Martapura, mau?”

 

“Mau Bang…mau ! Tapi, kalau dipaketin apa gak hilang di jalan?”

 

“Kain sasirangan sih nanti kupaketin aja. Tapi kalau permata yang mahal-mahal, nanti kubawa waktu pulang aja ya.”

 

“Iya Bang.”

 

Setelah hubungan telepon ditutup, aku tercenung sendiri di rumah kecil yang sengaja dibangun untuk memudahkanku mengawasi WKA. Di pintu depan rumah itu ada tulisan yang terbuat dari kuningan berbunyi UET. Ketika kutanyakan kepada suamiku, apa maksud UET itu, ia menjawab itu singkatan dari Untuk Erni Tercinta.

 

Maka sejak saat itu aku membiasakan diri menyebut rumah UET untuk rumah yang berada di kompleks wisma kos. Sementara rumah lama suka kusebut rumah toko saja.

 

Tokoku sudah kupercayakan kepada Mimin untuk menjaganya sekalian juga belanja barang-barang yang sudah minim stocknya. Kebetulan pula ada suplier yang sering mengirim barang-barang yang dibutuhkan oleh tokoku, sehingga Mimin tak usah jauh-jauh belanja ke pasar grosir.

 

Aku sendiri terkadang tidur di rumah toko, terkadang tidur di rumah UET. Tergantung kebutuhan saja.

 

Di rumah UET hanya ada 2 kamar. Yang satu kupakai sendiri, yang satu lagi dijadikan kamar Leo. Memang ada keinginan untuk mengembangkan rumah baru itu, karena tanah di sekitarnya masih luas. Tapi untuk apa? Semakin besar sebuah rumah, semakin repot juga merawatnya.

 

 

Hari demi hari berlalu, dalam kesibukan tapi kesepian. Sibuk mengurus toko, sibuk mengurus wisma kos, sibuk mengurus kantin dsb., tapi batinku…ya batinku ini kesepian terus sejak suamiku jauh di sebrang lautan sana. Terkadang timbul keinginan untuk ikut pada suamiku ke Kalimantan. Tapi aku tak mau disebut wanita cengeng, yang baru pisah dengan suami beberapa bulan saja sudah gak kuat.

 

Karena itu aku tak mau lagi mengeluh tentang rasa kesepianku, tentang rasa kangenku kepada suami tercinta. Tapi ketika rasa ketagihanku pada yang satu itu menggodaku, menggeluti batinku dan merayapi hasrat kewanitaanku…..aaaah…kenapa anjuran suamiku di telepon itu mulai jadi pikiranku?

 

Ya…tentang Leo itu…Leo yang baru 19 tahun itu…kenapa diam-diam jadi pertimbanganku terus? Apakah ini suatu pertanda bahwa aku selalu menelan mentah-mentah apa pun yang disarankan atau diminta oleh suamiku? Apakah ini suatu pertanda bahwa pada dasarnya aku ini seorang istri yang sangat penurut kepada suami tercintaku?

 

Dan malam itu, ketika aku masih menghitung uang hasil dari kantin, gila…hasrat ini menagih-nagih terus….membayangkan fantastisnya reuni di Puncak itu, yang selama 12 hari berganti lelaki tiap malam…sampai semua teman suamiku yang hadir dalam reuni itu pernah menjadi pasanganku selama sehari semalam.

 

Dan aku tak mau munafik. Aku harus mengakuinya sejujur mungkin. Bahwa reuni di Puncak itu sangat sensasional…yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

 

Ketika Leo datang dan melangkah ke arah kamarnya, sudut mataku mulai mengamatinya dengan penuh perhatian. Bahwa anak muda hitam manis itu bertubuh tinggi semampai, bahwa meski umurnya baru 19 tahun…bentuk fisik dan gerak-geriknya tampak macho….

 

 

Lalu terngiang-ngiang lagi ucapan suamiku beberapa hari yang lalu di telepon, “Kan di rumah baru itu sekarang ada brondong. Sekali-sekali boleh lah ajak dia…asal jangan terlalu sering aja…… Si Leo itu…aku ijinkan kalau sama dia sih……..”

 

 

Sebelum ia masuk ke kamarnya, masih sempat kutegur dari sofa yang sedang kududuki, “Leo…masa jam segini udah mau tidur?”

 

Leo menoleh padaku. Menyahut, “Gak Mbak. Ini mau mandi.”

 

“Ooo…kirain sudah mau tidur.”

 

Lalu kubiarkan ia masuk ke dalam kamarnya. Tapi aku mulai memutar otak. Mencari akal bagaimana memulainya? Memulai meraih Leo ke dalam pelukanku seperti yang disarankan oleh suamiku?

 

Ya…aku harus melakukannya secara halus, jangan langsung dipeluk dan ditarik begitu saja.

 

Beberapa saat kemudian kulihat Leo keluar dari kamarnya, dengan rambut yang kelimis, mungkin karena habis mencucinya dengan shampoo. Kulihat jam dinding sudah menunjukkan jam sebelas malam.

 

Lalu….”Leo…”

 

“Ya Mbak?”

 

“Kemaren aku mimpi yang horror banget.”

 

“Masa sih?”

 

“Iya…makanya sekarang jadi takut tidur sendirian. Kamu tidur di kamarku aja ya.”

 

Leo menatapku sesaat, lalu mengangguk, “Iya Mbak…”

 

“Asyiiik…kalau ada kamu, pasti aku gak takut apa-apa lagi.”

 

“Tapi…sekarang aku udah ngantuk Mbak…”

 

“Ya udah…yok kita bobo aja…aku juga udah rada ngantuk kok.”

 

Aku bangkit dan duluan masuk ke dalam kamarku yang ukurannya lebih luas daripada kamar Leo. Tempat tidurnya juga lebih besar.

 

Leo tampak bingung setelah berada di dalam kamarku, “Aku…tidur di mana Mbak?” tanyanya.

 

“Ya di situ aja,” sahutku sambil menunjuk ke arah tempat tidurku, “Emangnya kenapa?”

 

“Ng…nggak kenapa-kenapa….” cetusnya tergagap. Lalu naik ke atas tempat tidurku dan merebahkan diri seolah mau merapat ke dinding. Mungkin ia takut membuatku kesempitan nanti.

 

Dan aku mulai melancarkan siasatku. Kubuka celana legging jeansku, juga blouse sutra putihku di depan lemari pakaianku.Sudut mataku mengamati Leo yang sudah berada di atas tempat tidur. Hmm…dia bengong memperhatikanku yang tinggal mengenakan bra dan celana dalam saja. Bra juga kulepaskan, karena aku tak suka tidur dengan membiarkan bra menyesakkan nafasku. Sudut mataku mengamati lagi. Leo makin tercengang, tapi lalu bergerak memunggungiku. Aku kecewa dibuatnya. Karena aku ingin agar matanya melahap sekujur tubuhku yang tinggal mengenakan celana dalam saja ini.

 

Lalu kuambil kimono sutra putih bermotifkan bunga sakura dan kukenakan. Kuikatkan talinya, lalu naik ke atas tempat tidur. Leo masih memunggungiku, maka kutarik bahunya agar jangan membelakangiku seperti itu, “Sini dong agak deketan, jangan mepet ke dinding gitu.”

 

Leo menatapku dengan senyum.

 

Lalu:

 

“Leo…”

 

“Ya?”

 

“Keliatannya kamu udah pengalaman ya dalam soal cewek?”

 

“Ah…disebut pengalaman banget sih gak, Mbak.”

 

“Tapi pernah kan?”

 

“Hehehe…kok Mbak Erni bisa tau sih?”

 

“Sama siapa kamu ngalaminnya?”

 

“Ah…udah lama Mbak. Waktu masih di SMA dulu. Sama pacar…tapi bisa dihitung dengan jari…paling juga baru lima kali.”

 

“Setelah itu sama siapa lagi?”

 

“Gak ada lagi Mbak.”

 

“Masa?”

 

“Sumpah Mbak.”

 

Aku merapatkan badanku ke badan Leo, “Terus…kalau kamu kepengen, ininya diapain?” tanyaku sambil memegang celana piyamanya, persis pada bagian yang agak menonjol di bawah perutnya.

 

Leo tampak kaget dan rikuh. Tapi diam saja ketika aku mulai memegang celana piyamanya dan berhenti di bagian yang terasa menegang itu.

 

“Diapain ayooo?”

 

“Mmm…paling juga di…dikocok aja Mbak. Hehehee…”

 

Aku tersenyum. Lalu kulepaskan tali kimonoku. Dan kutarik tangan Leo agar masuk ke dalam kimono bagian dadaku. Dan Leo gelagapan ketika telapak tangannya kutempelkan di payudaraku. “Mbak……?! Ooooh….”

 

“Remasin dong tetekku ini….suka enak kalau diremas tangan cowok sih…” kataku sambil menggerak-gerakkan tangan Leo agar mengikuti keinginanku, agar meremas-remas buah dadaku.

 

Akhirnya Leo mulai meremas buah dadaku. Sementara tanganku tidak cuma memegang celana piyama Leo…kuselinapkan tanganku ke dalam celana piyama Leo di bagian perutnya yang dilingkari karet. Gap…! Aku sudah menggenggam penis Leo yang ternyata sudah tegang sekali ini.

 

“Mbak…!” Leo terkejut, tapi tangannya tetap menempel di buah dadaku.

 

“Pengen megang……gede juga ya punyamu ini? Udah ngaceng pula…”

 

“Iii…iya…soalnya Mbak nyuruh megang te…tetek Mbak ini sih…”

 

Aku tersenyum dan berbisik ke telinga Leo, “Seneng megang penismu ini, Leo…kamu juga boleh megang…megang memekku…”

 

Leo tercengang.

 

“Ayolah jangan sungkan-sungkan…enjoy aja,” kataku sambil menarik tangannya ke arah celana dalamku, “Tapi lepasin dulu celana dalamku sama kamu ya.”

 

Lalu kukeluarkan tanganku dari dalam celana piyama Leo. Dan kubuka kimonoku ke kanan dan ke kiriku. Tidak kulepaskan, tapi payudaraku sudah terbuka bebas, begitu juga celana dalamku…tinggal menunggu langkah Leo saja lagi.

 

Tapi Leo malah bengong, memandang ke tubuhku yang cuma tinggal bercelana dalam doang. Aku tahu, pasti dia ragu-ragu melaksanakan perintahku. Maka dengan agresif aku pun duduk di sampingnya, sambil menyelinapkan lagi tanganku ke balik celana piyamanya. Menggenggam lagi batang kemaluannya yang sudah sangat tegang itu.

 

Leo cuma menatapku dengan sorot bingung. Dan aku ingin mengusir kebingungannya. Kuraih kepalanya sambil membusungkan dadaku. Dan kepala Leo terhempas di payudaraku. “Emut deh pentilnya, kayak bayi lagi netek,” kataku.

 

Meski ragu memulainya, lama kelamaan Leo bisa juga menyelomoti pentil payudaraku.

 

“Tapi tanganmu harus sambil mainin ini,” kataku lagi sambil menarik tangan Leo, lalu kupaksakan agar masuk ke balik celana dalamku. Terasa tangan itu gemetaran waktu bersentuhan dengan kemaluanku.

 

Namun aku tak peduli lagi. Aku sendiri mulai asyik meremas-remas penis Leo dengan lembut. Sementara nafas Leo terdengar makin tak beraturan.

 

Hasrat birahiku pun tak terbendung lagi. Sehingga tanpa keraguan lagi kulucuti pakaian Leo sampai telanjang, kemudian kulepaskan pula celana dalamku. Dan cepat aku menelentang sambi mengajak Leo melakukannya, “Ayo Leo…masukin aja cepetan…”

 

“I…iya Mbak,” Leo pun membiarkan batang kemaluannya kupegang dan kuarahkan ke mulut meqiku yang sudah basah saking hornynya.

 

Sesaat kemudian terasa batang kemaluan Leo sudah melesak masuk ke dalam liang kewanitaanku. Duuuhhh….nikmatnya ! “Leooo…udah masuuuuk….iya… mainkanlah… mumpung belum malam benar…biar nyenyak tidur kita nanti…”

 

Leo pun mulai mengayun batang kemaluannya. Membuatku terpejam-pejam dalam nikmat, karena aku memang sudah terlalu lama tak merasakan gesekan penis lelaki.

 

Makin lama makin terasa betapa nikmatnya gesekan penis Leo yang masih sangat muda itu. Sehingga aku pun mulai lupa daratan. Aku cengkram leher Leo ke dalam pelukanku. Kuciumi bibirnya, sambil menggeol-geolkan pinggulku, terkadang mirip angka nol, terkadang mirip angka delapan. Hmmm…tak sia-sia aku ikutan senam sex selama ini. Karena terasa benar enaknya bagiku…dan pasti juga bagi Leo belia itu…!

 

Dan aku laksana burung walet yang sedang melayang-layang di atas lautan birahi, terkadang menukik, terkadang melesat ke angkasa….sementara ombak di bawahku tiada hentinya menghempas-hempas ke pantai kenikmatan….tiada hentinya menaburkan percikan keringat ke sekitarnya…!

 

O, Leo yang muda dan perkasa…tak kusangka aku akan mengalami semuanya ini.

 

Namun tiba-tiba hpku berdering. Kuberikan isyarat kepada Leo, agar menghentikan dulu ayunan kontolarianya…tapi tetap berada di dalam jepitan lubang kemaluanku.

 

Untung tak sulit mengambil hpku, karena berada di bawah bantalku. Ternyata dari suamiku. Supaya Leo bisa ikut mendengarkan, kuaktifkan speaker hpku. Lalu:

 

“Iya Bang?”

 

“Gimana keadaanmu? Sehat-sehat aja kan?”

 

“Sehat Bang,” kataku sambil memperhatikan Leo yang tampak tegang.

 

“Kain sasirangan sudah kupaketkan, sayang. Cukup banyak tuh. Mungkin dua hari lagi juga nyampe.”

 

“Iya Bang. Makasih ya. Eh…Bang…apa Abang serius mengenai Leo itu? Maksudku… Abang benar-benar ngijinin kalau aku ML sama dia?” tanyaku membuat Leo semakin tegang kelihatannya.

 

“Iya, kalau dengan Leo, aku ijinkan. Tapi bilangin sama dia, harus dirahasiakan. Jangan sampai bocor ke telinga Om Wardi dan lain-lainnya.”

 

“Iya Bang….”

 

Kulihat Leo tercengang. Tampak senang dan tak sabaran lagi, mulai menggberak-gerakkan lagi batang kemaluannya. Padahal hpku masih terhubung dengan suamiku. Maka cepat kubilang, “Aku ngantuk banget, Bang…besok lagi ngobrolnya ya Bang.”

 

Suamiku menyahut, “Iya sayang…sleep tight and have a nice dream…good night, honey…emwuaaaah…”

 

“Jelas?” tanyaku setelah hubungan telepon dengan suamiku ditutup.

 

“Jelas Mbak…hahahaaaa…berarti aku bakal kenyang ML sama Mbak terussss….” sahut Leo tampak gembira sekali.

 

“Iya, kapan pun kamu mau, pasti kukasih,” kataku, “Makanya jangan sering-sering pulang. Biar aku gak kesepian di sini…”

 

“Iya Mbak…iya, iya,iyaaaa……” sahut Leo bernada penuh semangat. Penisnya yang tadi sempat melemah (mungkin karena kaget mendengar aku menerima telepon dari suamiku), terasa menegang lagi di dalam jepitan liang kewanitaanku.

 

“Cium dulu dong bibirku,” kataku dengan nada menggoda.

 

Kecanggungan Leo sudah benar-benar mencair. Dengan penuh kehangatan ia mencium dan melumat bibirku, sambil memeluk leherku. Penisnya pun mulai digerak-gerakkan lagi. Kusambut dengan goyangan pinggulku, sehingga irama birahiku bergerak-gerak lagi di dalam lorong surgawiku. Penuh dengan sentuhan yang menggetarkan sekujur batinku.

 

Yang paling mengesankan dalam persetubuhanku kali ini, Leo benar-benar perkasa. Penisnya begitu tangguh, mampu membuatku berkali-kali orgasme. Apakah karena ia sudah mendalami ilmu beladiri sejak kecil, lalu bisa mengendalikan ketabahan penisnya, entahlah. Yang jelas, ketika ia mau ejakulasi dan sudah kuijinkan untuk memancarkan air maninya di dalam lubang kemaluanku, aku sudah merasa puas sekali.

 

Lalu ia mengenjot penisnya dengan kecepatan tinggi, sampai akhirnya membenamkannya kuat-kuat di dalam liang kemaluanku…dan terasa moncong penisnya menembak-nembakkan cairan kental hangat yang aduhai….nikmat sekali rasanya !

 

Nafas Leo tertahan lalu mendengus…uuuughhhhhhhhhhhh….uggggghhhhhhh….dan akhirnya ia terkapar di atas perutku.

 

“Gimana? Yang barusan enak gak?” tanyaku beberapa saat kemudian, setelah mencuci kemaluanku di kamar mandi.

“Enak banget,” sahut Leo sambil mengenakan celana dan baju piyamanya kembali, “Luar biasa…aku gak nyangka sedikit pun kalau aku bisa memiliki Mbak malam ini. Dan hebatnya, Bang Yadi bahkan mengijinkan istri secantik Mbak kugauli.”

 

“Tapi kalau di depan orang, jangan memperlihatkan sikap yang beda ya. Kita harus bisa merahasiakan semuanya ini.”

 

“Iya Mbak. Di depan orang lain, aku akan bersikap sebagai adik terhadap kakaknya aja.”

 

“Iya, harus begitu. Tapi kalau cuma kita berdua seperti sekarang, kamu boleh lakukan aku apa pun…asalkan jangan menyakiti saja.”

 

“Iya Mbak…oooh…rasanya aku bahagia sekali bisa memiliki Mbak yang sangat-sangat dan sangat cantik begini,” Leo memeluk pinggangku, lalu menciumi bibirku.

 

Aku cuma menjawabnya dalam hati: Aku juga bahagia, karena berkesempatan mendapatkan keperkasaan seorang cowok belia sepertimu, Leo…!

 

Dan keperkasaan Leo bangkit lagi setelah kami berbaring sambil berpelukan. Kudengar bisikan anak muda itu, “Mbak…boleh main lagi gak?”

 

Pertanyaan itu kujawab dengan gerayanganku di balik celana piyama Leo. Ternyata kejantanan Leo sudah bangkit lagi. Penisnya sudah tegang kembali. Maklum anak muda…mudah sekali nafsu dan powernya dibangkitkan.

 

“Boleh…tapi jilatin dulu meqinya ya,” bisikku.

 

“Mau, Mbak…mauuuu…”

 

Dan ketika celana dalamku sudah dilepaskan lagi, kepala Leo sudah berada di antara kedua belah pahaku.

 

Mulutnya sudah menerkam kemaluanku. Dan membuatku terkejang-kejang lagi dalam nikmat yang tiada taranya

Aku merasa seolah ditaburi bunga-bunga surgawi yang harum semerbak, membuat duniaku jadi indah, membuat semangatku bangkit kembali. Rasa kesepian pun sudah sirna. Berubah jadi kehangatan demi kehangatan bersama Leo tersayang. Tapi semuanya itu kami lakukan di rumah baru. Karena aku tak mau perbuatanku tercium oleh Mimin, yang bisa menjatuhkan imajeku sebagai bossnya, sekaligus madunya.

 

Leo seolah mesin automatis, yang bisa kuhidupkan kapan saja. Bahkan meski sudah dua kali menggauliku, begitu kusentuh dan kurayu agar mengulanginya yang ketiga kalinya, kejantanan Leo langsung bangkit. Aduhai…mungkin karena Leo masih tergolong ABG, mudah saja aku membangkitkan birahinya.

 

Tanpa harus dirangsang secara berlebihan, Leo senantiasa siap untuk memuasiku. O. indahnya memiliki adik ipar seperkasa dan sesegar Leo Galileo.

 

O, Leo Galileo… tu sei la mia giovinezza ideale…!

 

Setelah memiliki pemuas birahi yang adik sepupu suamiku itu, setiap malam ia tidur bersamaku. Dan aku selalu siap untuk melahap nafsu birahinya, karena aku pun selalu menginginkannya tiap malam. Hanya pada waktu datang bulan, kuminta Leoi tidur di kamarnya. Karena aku tak mungkin bisa mengajaknya bercinta. Untungnya ia cukup mengerti. Dan akan bersabar menunggu sampai aku bersih.

 

 

Sampai pada suatu hari…..

 

Pada saat Leo sedang kusuruh setor ke bank, datanglah seorang cowok yang sebaya dengan Leo. Ia memperkenalkan namanya, sederhana saja, “Yogi,” katanya.

 

Tapi…Oh my God ! Kok ada ya cowok yang setampan teman Leo itu ?! Namanya memang simple. Tapi orangnya…oooh, kalau tidak malu, ingin saja kuraih Yogi itu ke dalam pelukanku !

 

Setelah kupersilakan duduk, anak muda bernama Yogi itu bertanya, “Kira-kira lama gak ya Leo pulangnya, Mbak?”

 

“Ya tergantung situasi di banknya. Kalau sedang banyak nasabah datang, ya bisa lama. Tapi kalau banknya sedang sepi, sebentar lagi juga pulang,” sahutku.

 

“Gak apa-apa kalau saya nunggu di sini sampai Leo pulang?”

 

Aku terperangah, karena diam-diam aku semakin terpesona melihat ketampanan Yogi itu. “Gak apa-apalah. Santai aja…ohya, Yogi dengan Leo itu teman seperguruan beladiri atau teman kuliahnya?”

 

“Saya teman kuliahnya, Mbak,” sahut Yogi dengan sikap sopan.

 

Dan tiba-tiba saja aku mendapatkan inspirasi. Lalu kataku, “Eh…saya banyak yang ingin tau mengenai Leo di kampusnya. Bisa minta nomor hapenya?”

 

“Oh, boleh Mbak,” sahut Yogi sambil menyebutkan nomor hapenya yang lalu kusaving di hpku, sekalian kupijit nomor pemberian Yogi itu. Terdengar hp anak muda itu berdering.

 

“Nah, itu nomor saya,” kataku sambil mengcancel callku, “Tapi jangan bilang-bilang sama Leo kalau kita tukaran nomor hape segala ya.”

 

“Iya Mbak. Kira-kira soal apa ya yang mau Mbak tanyakan mengenai Leo?”

 

“Ah, cuma mau memantau kegiatan sehari-harinya saja di kampus. Maklum dia kan anak muda. Zaman sekarang kan sering terjadi anak muda yang macem-macem. Yah, pokoknya saya ingin monitor saja.”

 

“Oh gitu…iya Mbak. Tapi setahu saya, Leo itu anak baik Mbak. Di kampus dia gak pernah macam-macam.”

 

“Ya syukurlah. Saya juga gak mikir sejauh itu. Tapi perlunya punya nomor hape teman Leo, antara lain kalau dia telat pulang, kan saya bisa nanyain ke temannya, supaya mendapat berita yang sedbenarnya.”

 

“Iya Mbak.”

 

“Nah tuh Leo datang. Jangan bilang-bilang kita tukaran nomor hape ya,” kataku sambil menunjuk ke arah mobilku yang sedang menuju ke depan kantinku.

 

“Iya Mbak, percaya deh, saya takkan bilang-bilang sama dia.”

 

Aku pun bangkit dari sofaku dan melangkah menuju kantin. Leo turun dari mobil, kusambut dengan laporan, “Ada temanmu tuh, nungguin dari tadi.”

 

“Oh, iya. Yogi kali ya? Tadi hapeku ngedrop batrenya, jadi gak bisa dihubungi karena dimatiin.”

 

Setelah menyerahkan bukti setoran dari bank, Leo menghampiri temannya. Aku duduk di belakang cash register kasir. Berlagak tak peduli pada tamu Leo itu. Padahal hatiku…gila….teman Leo yang bernama Yogi itu terbayang-bayang terus di pelupuk khayalanku. Sungguh gak nyangka kalau Leo punya teman setampan itu. Dan lebih jauh lagi aku melamun…membayangkan seandainya bisa memiliki anak muda yang tampan rupawan itu….iiih…kenapa aku jadi seperti ini sih?

 

Agak lama Leo berbincang-bincang dengan temannya yang tampan itu. Terkadang disertai ketawa cekikikan. Dan setelah Yogi pulang, setelah pamitan juga padaku, langsung aku memanggil Leo dan mengajaknya ke dalam kamarku. Setelah Leo berada di dalam kamarku, kututupkan pintu kamarku sekalian menguncinya. Jendela kamarku juga kututup dan kukuncikan.

 

“Leo…aku lagi kepengen…” kataku sambil memeluk adik sepupu suamiku itu.

 

 

“Hehehee…tumben, masih pagi gini sudah kepengen,” sahut Leo.

 

 

Sebagai jawaban, cepat aku menanggalkan segala yang melekat di tubuhku, lalu naik ke atas tempat tidur. Leo pun melakukan hal yang sama. Setelah menelanjangi dirinya, ia menerkamku, menggumuliku dengan penuh kehangatan. Aku pun menanggapinya dengan kebinalanku. Tanpa ragu kuselomoti batang kemaluan Leo, sehingga ia terasa semakin bergairah.

 

 

Tapi…tahukah Leo bahwa pada saat itu aku sedang membayangkan seolah-olah sedang bersama si tampan bernama Yogi itu?

 

 

Bahkan ketika penis Leo mulai menerobos lubang kemaluanku…aku malah membayangkan penis itu adalah penis Yogi !

 

 

Dalam imajinasi baru itulah aku merasakan geseran dan gesekan penis Leo luar biasa enaknya. Membuat sekujur tubuhku seakan bergetar-getar dalam amukan penis Leo dan vaginaku. Dan semakin jauh aku mengkhayalkan wajah Yogi, semakin nikmat pula enjotan penis Leo ini. Maka tanpa bisa dikendalikan lagi aku terus-terusan merengek dan mengoceh seperti orang mabuk, “Ooooh…Leoooo…ini enak banget, sayang…duuuh enak banget Leoooo…Leoooo…ooooh…oo…ooo…oooohhhh…”

 

 

Itu pun masih untung. Karena aku tidak menyebut-nyebut nama Yogi. Namun gilanya, setelah Leo memuncratkan air maninya di dalam lubang kemaluanku…aku seperti perempuan hypersex, yang belum puas juga. Leo hanya kubiarkan rehat beberapa menit, kemudian kurangsang lagi…kujilati batang kemaluannya, kujilati biji pelirnya dan kuselomoti sekujur batang kemaluannya, sehingga dengan cepat penis Leo bangkit lagi dengan gagahnya. Dalam posisi WOT aku menjadi pihak yang aktif. Kunaik turunkan pinggulku, membuat lubang kemaluanku seperti memilin-milin dan membesot-besot batang kemaluan Leo.

 

 

Cukup lama aku beraksi di atas, sementara Leo cuma menelentang sambil sesekali meremas buah dadaku yang bergelantungan di atas dadanya. Namun posisi WOT ini membuatku cepat orgasme. Sehingga setelah mencapai orgasme, aku minta Leo aktif dalam posisi klasik lagi, ia main di atas dan aku menelentang sambil menggoyang-goyangkan pinggulku.

 

 

Keringat Leo sampai bercucuran menjatuhi dada dan wajahku. Sampai akhirnya ia mendengus sambil memuncrat-muncratkan air maninya.

 

 

Setelah Leo terkapar di sampingku, agak bergegas aku menuju kamar mandi, karena merasa ingin pipis. Tapi setelah pipis dan mencuci kemaluanku, tiba-tiba saja Leo masuk ke kamar mandiku. Bukan hanya masuk ke kamar mandi, tapi juga memelukku, menciumiku dan membisiki telingaku, “Aku jadi kepengen lagi Mbak….!”

 

 

Dan ketika tanganku menyelusur ke bawah perutnya, waaaau…! Alat kejantanan Leo sudah tegang lagi ! Adakah lelaki lain yang seperkasa Leo itu?

 

 

Memang begitu kejadiannya. Bahwa meski sambil berdiri di kamar mandi, Leo kubiarkan memasukkan penis tegangnya ke dalam liang surgawiku !

 

 

Api birahi kembali menghangati sekujur tubuhku. Dengan pelukan, remasan dan gesekan yang membuatku merem-melek lagi. Dan sosok Leo seolah oasis di tengah padang pasir, yang mata airnya seolah tak pernah kering, tiada habisnya untuk menyejukkan dahaga manusia.

 

 

Dan oh…betapa perkasanya Leo di kamar mandi ini. Sampai membuatku pegal meladeninya sambil berdiri. Maka kuminta ia mencabut dulu batang kemaluannya, kemudian aku menunduk ke washtafel dan berpegangan ke bak kecilnya. Sambil membelakangi Leo, sengaja pinggulku agak kujentikkan dan kusuruh agar Leo memasukkan batang kemaluannya dari belakangku.

 

 

Tanpa sulit-sulit lagi Leo membenamkan batang kemaluannya dari belakangku. Blessss……! Aku terpejam dalam nikmat. Dan melotot lagi waktu terasa lubang kemaluanku mulai digenjot lagi…!

 

 

Dalam persetubuhan yang kesekian kalinya di kamar mandi ini, Leo malah terasa semakin perkasa. Begitu lama ia mengenjot lubang kemaluanku dengan garangnya.

 

 

Sampai akhirnya kembali lubang kewanitaanku dibanjiri air mani Leo lagi.

 

 

“Kamu gagah banget, sayang,” kataku setelah Leo mencabut batang kemaluannya dari dalam vaginaku.

 

 

“Hehehee…terpancing sama ajakan Mbak sih,” sahutnya sambil memutar kran shower air panasku, “ternyata maen di pagi gini juga enak banget ya Mbak.”

 

 

Aku cuma mengangguk dengan senyum. Kemudian kami mandi dengan air hangat, membersihkan tubuh kami sebersih mungkin.

 

 

Setelah mandi tubuhku terasa segar kembali.

 

 

Beberapa saat kemudian aku sudah nongkrong di kantin lagi. Mengawasi pegawai-pegawai kantinku yang tengah menyiapkan makan siang untuk beberapa orang yang kos di WKA.

 

 

Ada yang lupa kutuliskan di sini, bahwa saking rajinnya aku latihan menyetir mobil, berkat bimbingan Leo juga, akhirnya aku semakin lancar menyetir mobil. Bahkan aku sudah punya SIM, supaya tenang waktu ada razia ranmor.

 

 

Aku tak mau tergantung pada sopir lagi. Karena terkadang ada kebutuhan mendesak yang menyulitkanku bergerak kalau terlalu mengandalkan orang yang harus menyopiriku.

 

 

Dan…waktu aku nyetir sendiri, pulang dari rumah baru ke rumah lama, hpku berdering. Untung aku sudah mulai mahir nyetir sendiri, sehingga aku bisa melirik ke hpku yang sedang berdering-dering….jantungku serasa melonjak-lonjak ketika kulihat nama yang tampil di hpku itu ternyata….Yogi ! Padahal sudah berhari-hari aku berniat ingin menelepon Yogi yang sering terbayang-bayang itu, tapi belum punya alasan yang tepat. Lalu dengan senang kuangkat call dari si tampan itu.

 

 

“Hai…Yogi?”

 

 

“Iya, selamat malam Mbak. Gak mengganggu nih saya nelepon malam-malam gini?”

 

 

“Gak lah, baru juga jam tujuh. Belum jam duabelas. Hihihiiii…gimana kabarnya? Sehat-sehat aja kan?”

 

 

“Sehat, Mbak. Hanya…mmm…gimana ya? Malu ngomonginnya…”

 

 

Karena terdengar serius, aku pinggirkan dulu mobilku, lalu kuhentikan di bahu jalan, “Ada apa? Kok pake malu-malu segala?”

 

 

“Anu Mbak…saya mau minta tolong…tapi Mbak jangan marah kalau saya dianggap lancang sama Mbak…”

 

 

“Lho…ada apa? Nyantai aja lah….mau minta tolong apa? Pasti mbak tolongin deh kalau yang mbak bisa sih…”

 

 

“Mmm…saya mau pinjam duit buat bayar iuran smester ini Mbak….tapi itu juga kalau bisa…”

 

 

“Ooo..kirain ada apa gitu….emang butuh berapa?”

 

 

“Sejuta, Mbak. Nanti kalau sudah ditransfer sama ortu, saya kembalikan secepatnya.”

 

 

Aku tersenyum, cuma sejuta?! Cetek sejuta sih. Sekarang juga di laci dashboard mobilku ada duit cash ratusan juta. Tapi…aku ingin mengambil kesempatan untuk berjumpa dengan si tampan itu ! Maka kataku, “Ya udah, ambil aja duitnya malam ini ke rumah saya. Bukan rumah yang di kompleks kos-kosan itu lho. Udah punya alamatnya?”

 

 

“Belum Mbak. Di mana alamatnya?”

 

 

Lalu kusebutkan alamat rumah lamaku.

 

 

“Gak apa-apa saya ke situ malam-malam gini?”

 

 

“Gak. Justru kalau masih sorean biasanya masih sibuk. Ayo, saya tunggu aja di alamat yang saya sebutkan tadi ya. Ohya…di depannya ada toko, di samping toko itu ada pintu pagar, masuk ke pintu pagar aja.”

 

 

“Iya Mbak, terimakasih. Sebentar lagi saya meluncur ke situ.”

 

 

 

 

Setibanya di rumah lamaku, bergegas aku masuk ke dalam kamarku. Lalu masuk ke kamar mandi. Dan mandi sebersih-bersihnya. Lalu bingung sendiri, pakaian mana yang harus kukenakan untuk menyambut si tampan itu?

 

 

Akhirnya kuputuskan untuk mengenakan gaun terusan berwarna merah tanpa lengan, yang belahan di dadanya sampai ke dekat pusar perutku, sementara di bagian pahanya juga ada belahan cukup panjang, sehingga kalau sedang duduk sambil tumpang kaki …bagian pinggir celana dalamku akan tampak di mata orang yang berada di depanku.

 

 

Setelah mengenakan gaun sexy itu, aku bermake up sebentar di depan cermin riasku. Tak terlalu menyolok make up yang kukenakan. Tipis-tipis saja. Olesan lipstickku juga tipis-tipis saja.

 

 

Kemudian aku berputar-putar di depan cermin, sambil memikirkan langkah yang akan kulakukan setelah Yogi datang nanti.

 

 

Tapi…kenapa aku jadi begini? Kenapa aku merencanakan untuk menjebak Yogi agar masuk ke dalam perangkap birahiku? Sudah demikian binalnya aku ini, sehingga setelah mendapatkan adik sepupu suamiku, lalu temannya pula yang akan kupancing ke dalam jebakanku?

 

 

Oh suamiku sayang….suamiku tercinta dan segalanya bagiku…maafkan istrimu ini. Karena istrimu ini sudah sangat terpesona oleh ketampanan teman Leo itu ! Tapi percayalah, pria demi pria yang pernah dan akan menggauliku itu, tetap kuibaratkan makanan di restoran…yang bisa menitikkan air liur…yang lezat-lezat rasanya….namun cintaku hanya untukmu seorang, suamiku sayang !

 

 

Malam ini…berilah aku kesempatan untuk memiliki cowok tampan yang telah meruntuhkan hatiku itu, ya sayang.

 

 

 

 

Kamar di atas yang sebelah kanan sudah kubereskan dan kusemprot dengan parfum pewangi ruangan. ACnya kujalankan. Sementara di kamar tengah, beberapa botol minuman beralkohol sudah kuletakkan di atas meja kecil, di antara deretan sofa yang merapat ke dinding itu.

 

 

Tapi setelah menata itu semua, aku kembali lagi ke dalam kamarku. Dan tercenung sesaat di depan meja riasku. Rasanya berlebihan kalau aku berdandan seperti ini. Dan akhirnya gaun sexy iotu kutanggalkan lagi, lalu kuganti dengan kimono saja. Biarlah, aku harus bersikap seolah-oilah tidak mempersiapkan segala sesuatunya. Meski bisa dianggap kurang sopan menerima tamu dengan hanya mengenakan kimono, biarlah…kimono sutra berwarna kuning muda dengan motif burung bangau berwarna putih ini rasanya simple. Bahkan kalau dipikir lagi, berpakaian kimono lebih “gampang”, lebih cepat saji kalau diperlukan. Xixixixi….

 

 

Yang pasti, aku sudah memasukkan sejuta ke dalam amplop yang akan kuberikan kepada Yogi nanti.

 

 

Tak lama kemudian kudengar suara motor memasuki jalan pribadi yang menuju garasi itu. Kuintip sebentar dari balik tirai ruang depan. Benar-benar Yogi yang sedang melepaskan helm di dekat motornya itu. Tapi…iiiih…kenapa aku jadi degdegan gini ya? Kayak ABG mau ketemu pacar aja !

 

 

Kubuka pintu depan lalu kutunggu Yogi di teras depan, “Gak nyasar kan?” tanyaku waktu Yogi sudah menghampiriku.

 

 

“Nggak Mbak. Alamatnya mudah dicari,” sahut Yogi sambil mengulurkan tangannya dengan sikap yang terlalu sopan bagiku.

 

 

Kujabat tangan Yogi, “Ayo masuk,” ajakku.

 

 

Setelah duduk di sofa ruang tamu, Yogi berkata, “Gak mengganggu nih saya datang malam-malam gini, Mbak?”

 

 

“Gak, santai aja,” sahutku sambil memposisikan duduk sedemikian rupa, supaya belahan kimonoku bisa membuatku pameran paha, “Ohya, orang tua Yogi emangnya di mana?”

 

 

“Di Kudus, Mbak.”

 

 

“Oh…terus di sini tinggal sama siapa?”

 

 

“Saya kos di rumah kos yang jauh pula dari kampus.”

 

 

“Kenapa gak kos di wisma kos saya?”

 

 

“Wah, wisma kos punya Mbak sih buat orang-orang berduit. Ayah saya kan cuma pensiunan PNS rendahan, Mbak. Bisa kuliah di sini aja udah untung.”

 

 

“Kalau mau, tinggal di sini juga bisa. Hitung-hitung jagain rumah juga. Kalau Yogi mau, gratis deh di sini mah, gak usah pake bayar-bayaran.Asal mau bantuin beres-beres aja.”

 

 

Yogi menatapku. Seperti senang mendengar penawaranku. Dan ooo…tatapan anak muda itu….sangat menghanyutkan ! Dan…membuatku degdegan ! Oh my God…kenapa aku jadi begini?

 

 

“Yuk lihat kamarnya di atas,” kataku sambil berdiri dan meraih pergelangan tangan Yogi.

 

 

Lalu Yogi mengikuti langkahku menuju tangga ke lantai atas. Kuajak ke kamar yang di sebelah kanan itu. Kamar yang sudah menanamkan banyak memory di dalam perjalanan hidupku.

 

 

“Nih…kalau mau Yogi bisa tinggal di sini, tanpa harus bayar kos segala macam. ”

 

 

Yogi tercengang, “Wah….kamar begini sih terlalu mewah buat saya Mbak.”

 

 

“Mewah itu relatif, ” sahutku, “saya malah senang kalau Yogi mau tinggal di sini. Soalnya di rumah ini gak ada laki-laki sama sekali. Suami saya kan di Kalimantan…”

 

 

“Iya, saya sudah pernah denger dari Leo, Mbak.”

 

 

“Nah silakan pikirkan baik-baik,” kataku sambil mengajaknya duduk di sofa kamar tengah.

 

 

“Wah…banyak minuman gitu…habis ada acara apa Mbak?” tanya Yogi sambil menunjuk ke botol-botol minuman yang kuletakkan di atas meja kecil tadi.

 

 

“Suami saya yang suka beli minuman gitu, tapi diminum juga jarang. Cuma disuguhkan kalau ada tamu aja. Emang Yogi mau minum?”

 

 

“Emmm…boleh juga Mbak.”

 

 

“Minum sekali-sekali sih boleh aja,” kataku sambil mengambil gelas dari lemari kecil, “Asal jangan sampai mabuk berat aja. Saya juga sekali-sekali suka nemenin suami saya minum, tapi gak sampai mabok berat.”

 

 

Ketika kutanyakan mau minum apa? Yogi menyahut Black Label aja, Mbak.

 

 

Maka kubuka tutup botol yang bertuliskan Johnnie Walker Black Label. Dan kutuangkan isinya ke dua gelas kosong. Gelas yang satu untuk Yogi, yang satunya lagi untukku sendiri.

 

 

“Nih saya mau nemenin Yogi,” kataku sambil memegang gelasku.

 

 

Yogi tersenyum. Dan oh my God….lagi-lagi jantungku memukul kencang melihat senyum teman Leo itu. Lalu kami sama-sama meneguk isi gelas kami.

 

 

Aku pun mengeluarkan amplop dari balik behaku. Kuberikan amplop berisi uang itu kepada Yogi,”Takut lupa…ini uang yang Yogi butuhkan.”

 

 

“Oh, iya…makasih Mbak. Mmm…setelah ayah saya mentransfer uang, saya akan bayar secepatnya,” Yogi memasukkan amplop itu ke dalam saku celana jeansnya.

 

 

“Alaaa…duit segitu aja dipikirin bener. Santai aja lah….” kataku sambil menuangkan lagi minuman ke gelas Yogi, karena sudah kosong. Sementara gelasku baru habis separohnya.

 

 

“Black Label enak bawaannya ya Mbak.”

 

 

“Iya. Kalau suami saya senengnya dry gin, tapi yang merk Crystal. Yang merk Gordon terlalu keras katanya. Ayo abisin minumnya…nanti keburu jadi ager.”

 

 

“Hahahaa…Mbak bisa aja…masa minuman bisa jadi ager?!” Yogi mulai agak lincah kelihatannya. Mungkin karena pengaruh minuman.

 

 

Memang setelah menghabiskan isi gelas kedua Yogi makin lincah gerak-geriknya. Dan aku suka melihat kelincahannya itu.

 

 

Aku pun meneguk sisa minuman di gelas pertama, lalu mengisinya lagi, sekaligus mengisi gelas Yogi yang sudah kosong.

 

 

“Udah cukup Mbak. Takut gak bisa pulang nanti,” kata Yogi.

 

 

“Kalau mabok berat sih tidur aja di sini,” kataku sambil pindah duduk ke samping Yogi. “Kalau abis minum, biasanya Yogi suka ngapain?”

 

 

“Ah…paling juga main gitar Mbak.”

 

 

“Gak terus ngeluyur?”

 

 

“Gak Mbak. Abis minum ngeluyur malah cari penyakit. Mmm…kalau Mbak abis minum suka ngapain?”

 

 

Kujawab dengan bisikan, “Kalau abis minum…saya sih suka horny…”

 

 

Yogi tercengang. Tapi dia memang kelihatan sudah di bawah pengaruh minuman, karena ia menyahutku dengan nada yang kutunggu-tunggu, “Tenang aja Mbak…kan ada saya.”

 

 

“Asyiiik…beneran ya…kalau saya horny, Yogi harus meredakannya ya.”

 

 

“I…iya Mbak…” sahut Yogi tergagap, karena aku sudah menempelkan pipiku ke pipinya yang terasa hangat.

 

 

Dan aku sudah yakin, bahwa runtuhnya Yogi tinggal menunggu waktu saja.

 

 

“Sebagai awalnya,” bisikku sambil mendekatkan bibirku ke bibir Yogi, “kiss dulu dong….”

 

 

Meski masih terasa canggung, Yogi mencium bibirku juga. Kusambut dengan lumatan penuh gairah.

 

 

Aku jadi teringat kata-kata Joseph pada waktu datang ke rumahku dan di kamar tengah ini juga ia menyetubuhiku. Dan setelah semuanya usai, ia berkata, “Erni itu bukan cuma cantik tapi juga sexy banget. Makanya lelaki mana pun takkan ada yang menolak kalau Erni menginginkannya.”

 

 

Lalu apakah kata-kata Joseph itu berlaku juga bagi ABG tampan bernama Yogi yang kini bibirnya sedang kulumat ini?

 

 

Entahlah. Yang jelas, ketika tanganku masuk ke balik baju kaus Yogi yang biru gelap dengan garis-garis putih dan biru muda itu, Yogi tetap saling lumat denganku. Ketika telapak tanganku merayap-rayap dari perut ke dadanya, juga Yogi diam saja.

 

 

Aku anggap semuanya sudah lampu hijau. Maka ketika aku dan Yogi masih saling lumat bibir dan lidah, tanganku turun ke celana jeansnya…ke ritsletingnya (kebetulan ia tidak memakai ikat pinggang). Dan ritsleting celana jeans Yogi sudah kutarik ke bawah. Tanganku sudah menyelinap ke dalam celana jeans itu. Lalu telapak tanganku mengelus celana dalam Yogi sambil melepaskan lumatanku dan berbisik, “Mau dilanjutkan sampai tuntas?”

 

 

“Iya Mbak. Ini saya sudah…sudah berat…” sahut Yogi ketika tanganku sudah menyelinap ke balik celana dalamnya. Dan kujamah batang kemaluan yang sudah sangat ngaceng.

 

 

“Apanya yang berat?” tanyaku sambil menggenggam batang kemaluan tegang itu.

 

 

“Yang…yang Mbak pegang itu…”

 

 

“Berat apa ngebet?” tanyaku masih mencoba becanda.

 

 

“I..iya ngebet Mbak…”

 

 

“Tolong bukain dulu bra saya…”

 

 

“Iya Mbak…”

 

 

Kulepaskan tali kimonoku, lalu kutanggalkan sekalian, sehingga aku tinggal mengenakan bra dan celana dalam saja lagi. Yogi yang tampan rupawan itu terlongong, namun ada sorot kagum di matanya. Mungkin ia mengagumi kemulusan tubuhku seperti kekaguman lelaki-lelaki yang pernah singgah dalam lembaran kehidupanku.

 

 

Lalu aku memunggunginya, agar ia melepaskan kancing kait braku. Setelah kancing kaitnya dilepaskan oleh Yogi, giliran aku yang menarik baju kaus anak muda itu ke atas, sampai terlepas.

 

 

Dalam keadaan bertelanjang dada seperti itu Yogi malah semakin menarik di mataku. Maka kulemparkan braku ke sofa. Lalu kugeser-geserkan sepasang payudaraku ke dada Yogi, “Mau di kamar itu apa mau di situ?” tanyaku sambil menunjuk ke hamparan dua kasur yang disatukan itu.

 

 

“Mending di situ Mbak, biar kalau mau nambah minuman gampang tinggal julurin tangan,” sahut Yogi sambil menjamah payudaraku dengan ragu-ragu.

 

 

Kutekankan telapak tangan Yogi ke payudaraku sambil berkata, “Kalau mau pegang, peganglah…jangan kayak maling takut ketahuan….”

 

 

“Duuuh…Mbak…kok badan Mbak mulus begini sih?” cetus Yogi sambil meremas payudaraku. Pada saat yang sama kulepaskan celana dalamku.

 

 

“Kalau ininya mulus gak?” tanyaku sambil menunjuk ke kemaluanku yang tak trertutup apa-apa lagi ini.

 

 

“Hehehe…merangsang banget….boleh megang Mbak?” tangan Yogi tampak canggung mendekati kemaluanku.

 

 

Sebagai jawaban, kubisiki telinganya, “Jangankan dipegang…dicolok juga boleh…”

 

 

Yogi menatapku sesaat, lalu ketawa kecil.

 

 

“Tapi buka dulu dong celanamu,” kataku sambil duluan merebahkan diri di kasur yang dihamparkan di atas karpet itu.

 

 

Yogi manggut-manggut dan menanggalkan celana jeansnya. Lalu ditenggaknya sisa minuman yang masih tersisa di gelasnya. Dan menghampiriku dalam keadaan tinggal bercelana dalam saja. Gundukan di balik celana dalam itu pun makin jelas di mataku.

 

 

Dan setelah dekat, langsung kuraih pergelangan tangan cowok tampan itu, sehingga ia terhempas ke sampingku.

 

 

Seperti harimau menemukan mangsanya, cepat tanganku menyelusup ke balik celana dalam Yogi…dan mulai meremas batang kemaluannya yang sudah tegang ini. “Dalam keadaan seperti ini, apa yang pertama ingin dilakukan padaku?” tanyaku tanpa melepaskan penis Yogi dari genggamanku.

 

 

“Ingin ngemut ini,” sahut Yogi sambil menunjuk ke pentil payudaraku, “dan ini…” telunjuknya menunjuk ke kemaluanku.

 

 

“Keinginan yang bagus. Lakukanlah sekarang,” kataku sambil melepaskan genggamanku, lalu menelentang sambil merenggangkan sepasang pahaku.

 

 

Tanp[a basa basi lagi Yogi langsung memagut pentil payudara kiriku. Menyedotnya sambil mengelus-eluskan ujung lidahnya. Membuatku merinding-rinding tapi enak. Terlebih ketika ia menjilati leherku pula. Namun tanganku pun tak mau diam pasif. Untuk kesekian kalinya kuselinapkan lagi tanganku ke balik celana dalam Yogi. Dan kembali aku meremas-remas penis Yogi dengan lembut.

 

 

Dari cara-cara Yogi menjilati leher dan mengemut puting payudaraku, aku langsung bisa menilai bahwa Yogi jauh lebih berpengalaman daripada Leo. Maklum dia kan cowok tampan, sehingga banyak yang mau “berbagi rasa” dengannya.

 

 

Ketika Yogi sudah menurunkan mulutnya ke perut, menjilati pusarku, turun lagi ke kemaluanku, lalu menjilati kemaluanku dengan trampilnya…membuatku semakin yakin bahwa Yogi sudah sangat berpengalaman.

 

 

Tapi aku tak mau berkomentar apa pun. Aku mau enjoy saja. Menikmati jilatan dan isapan cowok tampan rupawan itu….yang membuatku tergetar-getar dalam nikmat yang luar biasa. Namun apakah aku sudah demikian rapuhnya atau sebaliknya bahwa gairah birahiku telah menjadi gejolak kebinalan yang tak terkendalikan lagi? Kenapa ketika kemaluanku dijilati, ketika kelentitku juga dijilati dan diisap-isap oleh Yogi, aku malah berkhayal…seandainya ada cowok seorang lagi…yang sedang meremas payudara kananku dengan tangannya dan menyedot-nyedot pentil payudara kiriku dengan mulutnya…ooo, pasti tak kalah fantastis dengan hari demi hari dalam reuni di Puncak itu.

 

 

Dan ketika rangsangan Yogi sudah dirasa cukup, ketika Yogi sudah mengarahkan puncak penisnya ke mulut vaginaku, masi sempat aku bertanya, “Kamu sudah berpengalaman ya. Pernah threesome juga?”

 

 

“Maksud Mbak, threesome yang cowoknya dua orang?”

 

 

“Iya. Pernah?”

 

 

“Belum,” Yogi menggeleng, “Emangnya Mbak mau?”

 

 

Aku tak menjawab.

 

 

Yogi berkata lagi, “Kalau Mbak mau, saya bisa ngajak teman yang bisa dipercaya.”

 

 

Aku malah menjawab, “Kalau temannya tampan seperti Yogi sih mau.”

 

 

“Ada Mbak. Malah lebih ganteng daripada aku,” kata Yogi sambilk mendesakkan batang kemaluannya. Dan….batang kemaluan cowok tampan itu mulai membenam ke dalam liang kewanitaanku. Yogi oh Yogi….! Harus kuakui, ketampanan dan keremajaanmu membuatku seolah berada di atas langit yang bertaburan bunga-bunga surgawi, yang kesejukan meniup berbaur dengan kehangatan birahi….

 

 

Tapi angan-angan binal itu menggodaku terus. Membayangkan seandainya ada seorang cowok lagi yang tak kalah tampan dari Yogi, lalu menggerayangiku pada saat Yogi sedang ganas-ganasnya menyetubuhiku, atau mengangsurkan penisnya ke dekat tanganku, agar aku bisa berpegangan pada sesuatu yang sensasional…atau menyodorkan penisnya ke dekat mulutku, agar aku bisa menyelomotinya sejalang mungkin….ooo…seandainya….seandainya….

Sulit melukiskannya. Bahwa ketika Yogi mulai mengayun tombak kejantanannya, ia langsung berubah drastis. Dari seorang cowok yang cute dan polite tiba-tiba menjadi garang….batang kemaluannya seolah ingin mengaduk-aduk lorong kewanitaanku dengan gasakan yang seganas-ganasnya. Dan gilanya, aku menanggapinya dengan sepenuh hati wanitaku. Dengan celotehan yang luar biasa nikmaaaaaat….! Oh, Yogi my boy ! You were like a knight who descended from heaven to give me tremendous satisfaction….! Ya, kamu laksana seorang ksatria yang diturunkan dari surga…untuk menaburkan kepuasan yang dahsyat bagiku !”

 

GIlanya lagi, ketika keringat Yogi membanjir, sehingga berkali-kali membuat matanya seperti kepedihan, lalu ia mengelapnya dengan baju kausnya, karena tiada lap atau pun handuk di dekat kami. Pada saat itu Yogi masih sempat membisiki telingaku,”Mbak… …kenapa kita tiba-tiba jadi begini ya?”

 

“Iya ya?! Mungkin gara-gara minuman…tapi aku emang suka sama kamu, Yogi.”

 

“Dan minuman itu membuat kita langsung akrab….membuat saya jadi punya kesempatan yang luar biasa ini…kesempatan untuk merasakan luar biasa enaknya ML sama Mbak…”

 

Kusambut ucapan itu dengan kecupan hangat di bibirnya. Lalu aku bertanya setengah berbisik, “Emang mbak ini enak gitu?”

 

“Sangat-sangat-sangat dan sangat enaaaak….” sahut Yogi sambil menggeser-geserkan lagi penisnya, sehingga kembali aku dibuai oleh kenikmatan yang tiada bandingannya ini…membuat kami seperti orang-orang kesurupan, yang sama-sama bergedebak-gedebuk dalam kegilaan dan kenikmatan….

 

Ketika tiba di titik yang paling tinggi, ketika Yogi mau mencapai klimaksnya (sementara aku sudah lebih dari dua kali mencapai orgasme), terdengar suara Yogi di saat aku terpejam-pejam nikmat, “Mbak…lepasin di mana? Saya udah mau meledak…..”

 

Kubuka mataku, lalu kurengkuh lehernya seerat mungkin, “Di dalam aja….sayang kalau dibuang-buang di luar….”

 

Spontan Yogi mempercepat ayunan batang kemaluannya…makin cepat…makin cepat dan akhirnya ia medesakkannya kuat-kuat…disusul dengan tembakan-tembakan cairan kental hangatnya…membanjiri lubang kenikmatanku….membasahi lubang surgawiku…berbarengan dengan dengusannya…uuuughh… uuuuuuuuuuuughhhhhhhh …. ooo, Yogi yang tampan dan perkasa ! Tercapai sudah angan-anganku dalam beberapa hari ini…

 

 

Setelah Yogi mencabut penisnya yang sudah terkulai lesu, bergegas aku ke kamar mandi, karena ingin pipis, sekalian membersihkan keringat yang membasahiku di sana-sini. Sekalian saja aku mandi dengan air panas. Setelah mengeringkan tubuhku dengan handuk, kuraih kimonoku dan kukenakan kembali tanpa pakaian dalam di baliknya.

 

Yogi malah tampak sedang mencari-cari sesuatu di hpnya. Ketika aku muncul lagi di kamar tengah itu, Yogi memperlihatkan layar hpnya, “Ini orangnya Mbak. Namanya Dimas…”

 

Kuperhatikan foto di hp Yogi itu. Foto seorang cowok yang tinggi langsing, mungkin lebih tinggi daripada Yogi. Di tangan cowok bernama Dimas itu ada sebuah bola berwarna orange.

 

“Ganteng kan? Dia pemain basketball, Mbak,” kata Yogi sambil berdiri, kemudian melangkah ke kamar mandi. Mungkin juga mau ikut-ikutan mandi seperti aku.

 

Aku asyik memperhatikan foto di layar hp Yogi itu. Memang benar kata Yogi. Temannya itu tampak ganteng dan macho.

 

Agak lama Yogi berada di dalam kamar mandi yang pintunya dibiarkan terbuka. Dan aku jadi ingin menggodanya. Kuletakkan hp Yogi itu di atas meja kecil, kemudian melangkah ke kamar mandi.

 

Ternyata Yogi sedang menyabuni badannya. Mungkin ia ingin membersihkan keringatnya yang tadi bercucuran. Waktu sedang mandi begitu, Yogi malah tampak lebih sexy di mataku. Maka kulepaskan lagi kimonoku, kugantungkan di kapstok dan kupeluk Yogi dari belakang, pas waktu dia sedang menyabuni kemaluannya. Kugenggam batang kemaluannya yang penuih busa sabun itu. Lalu kugerak-gerakkan genggamanku, seperti cowok yang sedang masturbasi. Yogi diam saja. Tapi diam-diam kurasakan penisnya membesar…memanjang…menegang…makin tegang…tegang sekali…

 

Yogi membalikkan badannya jadi menghadap padaku. Ia pun tak mau kalah, menyabuni kemaluanku…menyelinapkan jemarinya ke lubang kewanitaanku…lalu menggerak-gerakkannya…sehingga lubang kemaluanku jadi licin. Pada saat itulah ia berusaha memasukkan batang kemaluannya yang sudah tegang itu ke dalam vaginaku. Mudah sekali masuknya, karena kemaluan kami sama-sama dalam keadaan basah dan licin.

 

Tapi hanya sebentar kami melakukan persetubuhan sambil berdiri itu, karena aku mengajak Yogi melanjutkannya di kamar saja, supaya lebih nyaman tentunya. Yogi setuju. Lalu kami menyemburkan shower air hangat ke tubuh kami, setiap lekuk di tubuh kami dibilas…kemudian dikeringkan dengan handuk. Dan kembali ke kamar tengah. Tapi aku mengajak Yogi ke kamar yang di sebelah kanan itu. Yogi setuju, tapi minta ijin untuk minum lagi, mungkin karena pengaruh alkoholnya sudah turun. Aku setuju. Aku sendiri pun minta dituangi gelas kosongku, “Separoh aja…jangan sampai penuh,” kataku.

 

Sambil menyerahkan gelasku yang sudah diisi minuman, Yogi meneguk isi gelasnya sendiri. Lalu, “Gimana Mbak? Setuju dengan teman saya tadi?” tanyanya.

 

“Dia teman kuliahmu?” aku balik bertanya.

 

“Bukan Mbak. Dia kuliah di universitas lain.”

 

“Dia kenal sama Leo?”

 

“Gak tuh. Dimas itu teman saya dalam olah raga. Kami sama-sama suka basketball. Kalau Leo kan olahraganya karate.”

 

“Emang kapan orangnya mau diajak?” tanyaku (diam-diam penasaran juga).

 

“Sekarang juga bisa saya panggil ke sini. Paling juga sejam dia sudah di sini.”

 

“Hush ! Jangan sekarang dong. Lagian aku gak mau dia diajak ke sini. Nanti rumah ini bisa terkenal sebagai tempat mesum.”

 

“Terus Mbak maunya kapan dan di mana?”

 

“Pokoknya jangan sekarang dan jangan di rumah ini.”

 

“Minggu depan dia akan terbang ke Filipina, ada pertandingan basketball di Manila. Dia kan pemain yang paling diandalkan oleh team kami.”

 

“Ya udah…kita pikirin nanti aja. Sekarang mending kita lanjutin yang tadi yok,” kataku sambil meraih pergelangan tangan Yogi, mengajaknya masuk ke kamar yang di sebelah kanan itu.

 

Dalam keadaan masih sama-sama telanjang, kami naik ke atas tempat tidur di kamar sebelah kanan. Tanpa menutupkan pintu. Biar saja. Di rumah ini kan tiada orang lain kecuali kami berdua.

 

Mungkin inilah asyiknya berkencan dengan brondong. Tanpa harus berjuang banyak, Yogi sudah siap tempur lagi dan lagi dan lagi……

 

Bahkan di ronde kedua dan ketiga di kamar yang pernah kujadikan tempat bersenggama dengan teman-teman suamiku ini, Yogi tak perlu menunggu bangkit lagi nafsunya. Setelah memancarkan air maninya di dalam lubang kenikmatanku, ia merendamnya…meski penisnya mulai melemah, ia menggerak-gerakkannya perlahan…berusaha jangan sampai copot. Dan…makin lama penisnya makin membesar dan menegang kembali…sampai akhirnya siap tempur lagi. Meski liang kenikmatanku sudah becek, ia tak peduli, ia mengenjotku lagi dengan mantapnya…begitu lama ia mengenjotku…sampai akhirnya liang kemaluanku disemprot lagi oleh cairan kental hangatnya. Setelah itu barulah ia terkapar di sisiku.

 

Kemudian kutarik selimut, lalu tertidur dalam dekapan Yogi, dalam keadaan sama-sama telanjang di balik selimut tebal itu.

 

Namun aku sudah terbiasa bangun pagi-pagi sekali. Sebelum fajar menyingsing aku sudah terbangun, sementara Yogi tampak masih nyenyak tidur. Tiba-tiba saja muncul keinginanku untuk mengetahui sampai di mana power anak muda rupawan itu. Maka ketika ia masih tertidur nyenyak, aku bergerak perlahan. Kupegang penisnya yang masih terkulai lemas itu. Lalu kumasukkan ke dalam mulutku. Lidahku aktif mengelus-elus moncong p[enisnya. Dan perlahan-lahan penis brondong itu mulai bangkit…membesar dan memanjang dan menegang.

 

Ketika Yogi membuka matanya, aku sudah siap action dalam posisi WOT. Dan ketika fajar mulai menyingsing, kami sudah benar-benar bersetubuh lagi untuk yang kesekian kalinya.

 

Meski udara masih dingin, Yogi sudah keringatan lagi. Dan aku senang sekali melihat wajah tampannya dalam ekspresi berubah-ubah. Terkadang menyeringai, terkadang tersenyum, terkadang terpejam, terkadang menatapku dengan senyum. Emwuuuuuuaaaaaaaaahhhh…..kucium bibir brondong tampan itu dengan sepenuh gairah dan kehangatanku, tanpa menghentikan ayunan pinggulku yang membuat liang kemaluanku seolah memilin-milin, menjepit-jepit dan membesot-besot penis remaja itu.

 

Ketika sinar mentari sudah menerangi kamar yang sedang kami pakai untuk memadukan birahi kami, barulah Yogi melenguh dan ejakulasi.

 

Lalu kami mandi bareng lagi. Saling sabuni dengan lembut.

 

Meski sudah mengalami orgasme berkali-kali, aku tetap senang menciumi Yogi, mengelus rambutnya dan meremas-remas bahunya, seolah tak mau dipisahkan lagi dengan brondong tampan itu. Tapi hari itu adalah hari terakhir untuk membayaran iuran smesternya, katanya. So…jam setengah delapan Yogi sudah meninggalkan rumahku. Meninggalkan diriku bersama kepuasanku yang teramat sangat.

 

Rasanya pagi ini jiwaku terasa segar. Penuh spirit untuk menjalani hidup, meski berjauhan dengan suami.

 

Ketika aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke WKA, tiba-tiba hpku berdering. Ternyata call dari suamiku.

 

“Pagi Bang…”

 

“Pagiii…apa kabar, Sayang? Sehat-sehat aja kan?”

 

“Sehat Bang. Abang sendiri gimana? Sehat juga kan?”

 

“Sehat….eh…gimana si Leo tuh? Udah dapet?”

 

Aku mengerti apa yang dimaksudkan oleh suamiku dengan kata “dapet” itu. Maka dengan perasaan malu kujawab, “Mmm…udah, Bang…”

 

“Hahahaaa…baguslah. Jadi kalau begitu kita bisa tetap memanfaatkannya, seperti kita memanfaatkan Mimin. Biar mereka tetap kerasan bersama kita, membantu usaha kita.”

 

Aku terlongong. Aku melapor bahwa Leo sudah kudapatkan, dan itu berarti bahwa Leo sudah menyetubuhiku, tapi suamiku malah berkata baguslah… tanpa terdengar nada cemburu sedikit pun. Lalu kalau aku melaporkan apa yang telah terjadi dengan teman Leo yang tampan itu, apakah suamiku masih akan mengatakan bagus, bagus dan bagus?

 

“Ohya…kalau gak ada halangan hari Senin aku mau pulang. Sekalian mau hadiri reuni kecil…yang akan hadir cuma tiga pasangan, termasuk kita. Mendingan juga sedikit begitu, biar jangan ribet seperti di Puncak tempo hari.”

 

“Iih…mau reuni seperti di Puncak lagi Bang?”

 

“Iya, Sayang. Kan waktu di Puncak itu dibikin jadi dua gelombang, mengingat jadwal menstruasi para istri yang tidak sama. Nah…yang akan reuni dengan kita nanti, belum pernah ketemu denganmu.”

 

“Jadi Abang mau pulang hanya karena mau reunian gitu?”

 

“Ah, itu sih cuma kebetulan aja. Memang aku sudah ingin pulang, karena kangen sama kamu. Selain daripada itu, aku kan sudah beli berlian untukmu, yang gak berani kupaketkan karena takut hilang di jalan. Jadi mau kubawa sendiri waktu pulang nanti.”

 

“Berliannya masih butiran dan belum dipasangin di perhiasan Bang?”

 

“Iya. Nanti terserah kamu mau dipasang di gelang, di liontin atau di cincin. Banyak kok berliannya.”

 

“Iya, makasih Bang. Mmm…sekarang kan hari Selasa. Jadi Abang mau pulangnya hari Senin yang akan datang?”

 

“Iya. Sediain balado udang ya. Aku udah kangen sama masakanmu, sayang.”

 

“Iya…sama rendang ayam kampung juga kan?”

 

“Iya, iyaaa….sampai lupa makanan kegemaranku sendiri…hahahaaa.”

 

 

Setelah hubungan telepon ditutup, aku tercenung beberapa saat. Aku mulai menghitung hari. Sekarang Selasa. Suamiku akan datang hari Senin. Berarti tinggal enam hari lagi. Lalu kapan lagi kuraih kesempatan itu?

 

Maka kutelepon Yogi. Dan :

 

“Yogi lagi di mana?

 

“Baru pulang dari kampus, Mbak. Masih di jalan.”

 

“Ajak deh temanmu yang namanya Dimas itu nanti malam.”

 

“Ajak ke mana Mbak?”

 

“Ya ke sini aja. Ke rumah yang tadi malam.”

 

“Iya, Mbak. Mending juga di rumah Mbak. Malah lebih leluasa. Kalau ke hotel, bisa aja ketemu orang kenal, kan Mbak yang repot nanti.”

 

“Iya. Tapi Dimas itu bisa pegang rahasia gak?”

 

“Wow, pasti bisa Mbak.”

 

“Takutnya entar ngomong ke mana-mana.”

 

“Ah, gak mungkin Mbak. Saya jamin soal itu sih.”

 

“Ya udah. Nanti malam jangan terlalu cepat datangnya. Setelah lewat jam delapan aja. Kalau terlalu cepat, toko kan masih buka.”

 

“Siap Mbak.”

 

Setelah hubungan telepon ditutup, aku telepon Leo. Minta supaya dia jangan ngeluyur ke mana-mana, karena aku ingin istirahat di rumah lama, jadi tak mungkin bisa ke WKA. Seperti Yogi, Leo pun hanya siap-siap saja.

 

Aku buka lagi gaunku, karena aku takkan jadi ke WKA. Mending istirahat di rumah sambil nonton film bokep. Tapi tiba-tiba aku teringat beberapa hari yang lalu aku pernah mengcopy paste rubrik tentang wife sharing. Kucari-cari di laptop yang baru kuhidupkan. Ya…ini dia rubrik wife sharing yang kudapat dari internet beberapa hari yang lalu:

 

 

Share Wife

 

 

  1. Prinsip-prinsip umum

 

Dalam gaya hidup berbagi istri ada beberapa aturan umum:

 

Berbagi Istri

 

Kesetiaan cinta dan kesetiaan seksual itu tidak sama. Anda harus selalu menjaga kesetiaan cinta Anda terhadap suami (dan anak-anak Anda, jika Anda telah memilikinya). Bagaimanapun itu bukan berarti Anda tak boleh berhubungan seks dengan lelaki lain selain suami Anda. Anda DAPAT melakukannya tanpa mengganggu keutuhan rumah tangga Anda.

 

Gaya hidup berbagi istri pada intinya adalah salah satu bentuk hubungan (relasi) sosial antarmanusia. Antara Anda dengan pasangan tetap (suami) Anda. Antara Anda dengan lelaki-lelaki lain selain suami Anda. Juga antara suami Anda dengan lelaki-lelaki lain itu. Sama saja dengan bentuk-bentuk hubungan sosial lainnya.

Selalu pertahankan hubungan Anda yang utama, yaitu dengan suami Anda. Anda boleh berhubungan seks dengan sebanyak mungkin lelaki lain, dan bahkan Anda pun boleh saja jatuh cinta kepada mereka. Bagaimanapun, cinta Anda yang utama tetap hanya untuk suami Anda. Menjaga keutuhan rumah tangga adalah prioritas Anda yang paling tinggi.

Rasa tak aman pribadi tak mendapat tempat di sini. Bebaskanlah diri Anda dari segala macam hambatan, terutama hambatan mental, yang merintangi diri Anda. Bersikaplah santai dan tanpa beban. Jika Anda belum dapat menghilangkan rasa tak aman Anda dalam menjalani gaya hidup ini, bagaimana Anda mengharapkan suami Anda melakukan hal yang sama?

Jika hubungan Anda dengan suami tak berjalan dengan baik, jangan lakukan gaya hidup ini.

Jangan pernah memulai gaya hidup ini sampai suami Anda siap menerimanya.

Selalu pulihkan kembali rasa aman pada suami Anda. Yakinkanlah bahwa Anda adalah miliknya yang tak dapat direbut orang lain, walaupun orang lain itu telah menyetubuhi Anda. Anda dapat melakukan ini misalnya dengan mengatakan secara tulus betapa Anda mencintai dirinya. Lakulanlah ini terutama pada saat-saat Anda selesai disetubuhi oleh teman kencan Anda.

Bersikap jujur dan berterusteranglah, jangan sekali-kali bersikap licik dan memperdayakan suami Anda. Ceritakanlah dengan jujur siapa saja teman kencan Anda, kapan saja Anda berkencan dan berhubungan seks dengan mereka. Bahkan jika perlu ceritakanlah secara rinci bagaimana Anda melayani mereka secara seksual. Percayalah, Anda akan terkejut mendapatkan bagaimana terangsangnya suami Anda mendengarkan itu semua, dan dengan demikian terus merestui kegiatan Anda. Tentu saja Anda tak perlu ā€œmelaporkanā€ SETIAP kencan Anda kepadanya. Yang penting di sini adalah bahwa Anda selalu bersikap jujur dan terbuka kepada suami Anda sebagai orang yang paling Anda cintai.

Jangan pernah mengancam. Yang seperti itu tak akan pernah membawa manfaat terhadap hubungan Anda dengan suami Anda.

  1. Kontak dengan calon teman kencan Anda

Jika Anda melakukan kencan dengan seseorang yang sudah Anda kenal, mungkin Anda dapat melakukannya dengan baik. Lain halnya jika calon teman kencan Anda itu seseorang yang belum Anda kenal. Mungkin Anda mendapatkan nama dan alamatnya dari teman kencan Anda yang lain, atau dari internet, dan sebagainya.

Anda mungkin telah menulis surat yang baik, Anda mengikuti instruksi, dan Anda menunjukkan selera yang baik. Akan tetapi, Anda akan menghancurkan segalanya jika Anda memberinya aturan kontak yang berbelit, misalnya: ā€œā€¦jika kamu menelepon dan yang menjawab kebetulan atasanku, berpura-puralah kamu dari perusahaan lain.ā€ Jangan lakukan itu! Itu dapat menjatuhkan reputasi Anda. Permudah aturannya. Biarkan mereka menelepon Anda di rumah dan berikan mereka waktu kapan saja mereka dapat menghubungi Anda.

Jujurlah tentang diri Anda dan keluarga Anda. Tak apa-apa jika Anda mengatakan kepada mereka bahwa Anda sudah memiliki anak, atau saat itu Anda sedang hamil, dan sebagainya.

  1. Pertemuan, gagasan ā€¦ dan mungkin yang lainnya

Sering aku ditanya orang. ā€œApa yang kamu lakukan ketika pertama kali bertemu dengan calon teman kencanmu?ā€ Jawabanku biasanya adalah, ā€œApa yang kamu biasanya lakukan ketika bertemu orang yang bertamu di rumahmu?ā€

Ingatlah prinsip di atas bahwa gaya hidup berbagi istri pada dasarnya adalah suatu bentuk hubungan sosial juga. Teman kencan Anda yang datang berkunjung ke rumah sama saja seperti teman keluarga Anda yang lainnya. Pertama-tama tentunya ia akan memperkenalkan dirinya kepada Anda dan demikian pula sebaliknya. Lalu ia akan berkenalan juga dengan suami Anda, dan mungkin anak-anak Anda, jika ada. Lalu Anda semua akan terlibat dalam sedikit basa-basi untuk mengakrabkan suasana, dan seterusnya. Bedanya tentu saja bahwa ia nantinya, diharapkan, akan terlibat dalam hubungan yang lebih jauh lagi, yaitu hubungan intim dengan Anda tanpa melibatkan suami Anda.

  1. Petunjuk Teknis

 

Selalu praktekkan ā€œsafe sexā€. Jika Anda tak bisa memastikan ā€œkebersihanā€ teman kencan Anda, selalu minta padanya untuk menggunakan kondom saat Anda berdua berhubungan seks. Jika Anda yakin bahwa Anda dan teman kencan Anda bersih dari segala penyakit kelamin, melalui serangkaian pemeriksaan medis tentunya, dan Anda berdua lebih menyukai hubungan seks yang alami, silakan singkirkan kondom dari kegiatan Anda.

Nah, sekarang ā€“ tanpa kondom ā€“ Anda berdua telah menikmati sentuhan kulit dengan kulit secara langsung. Harus diakui, inilah sebenarnya cara berhubungan seks yang paling nikmat. Bagaimanapun, dengan cara seperti ini ada satu hal yang harus Anda pertimbangkan: apakah Anda bersedia dihamili atau tidak oleh teman kencan Anda? Jika tidak, maka pertama, Anda harus dapat memastikan bahwa teman kencan Anda adalah seorang gentleman yang mau memahami keinginan Anda itu. Kedua, Anda berdua harus memahami teknik-teknik untuk mencegah kehamilan sebagai berikut:

Jangan sampai teman kencan Anda berejakulasi di dalam tubuh Anda, kecuali jika ia menyetubuhi Anda melalui mulut atau lubang anus Anda. Tentu saja tak menjadi masalah jika ia tak menarik penisnya keluar sama sekali dan memasukkan sperma sebanyak apa pun ke dalam tubuh Anda melalui kedua lubang tersebut. Teknik ejakulasi di luar ini sebaiknya digunakan terutama jika Anda sedang berada pada masa subur, yaitu pada saat sel-sel telur Anda sedang masak dan siap untuk dibuahi sehingga Anda dapat mengandung seorang bayi. Bagaimanapun, jika Anda merasa tak nyaman dengan cara ini, Anda boleh mundur kembali dengan menggunakan kondom.

Bagaimanapun, mungkin saja Anda justru lebih menyukai teman kencan Anda untuk berejakulasi di dalam tubuh Anda ketika berhubungan seks. Hal itu bisa dimengerti karena sensasi yang didapatkan ketika merasakan air mani dari lelaki selain suami Anda mengalir ke dalam tubuh Anda. Belum lagi suasana yang lebih intim yang bisa Anda dapatkan. Setelah teman kencan Anda mengalami klimaks, penisnya masih tertanam di dalam tubuh Anda dan masih terus menyemprotkan sisa-sisa sperma hasil percintaan Anda berdua. Pada saat itu, Anda bisa saling berpelukan mesra dan saling berciuman dengan dalam, maupun sekedar saling berpandangan menikmati keintiman itu bersama-sama. Jika suasana seperti itu yang Anda inginkan, dan Anda tetap tak ingin hamil, maka ada dua cara yang bisa ditempuh:

Pastikan Anda melakukan hubungan seks pada saat Anda tidak berada pada masa subur, atau:

Minumlah pil anti hamil secara teratur.

Penghamilan oleh Partner Anda

 

Bagian ini hanya ditujukan bagi Anda yang sudah memasuki tingkat ā€œlanjutā€ (advanced), yaitu: Anda sama sekali tak keberatan, bahkan bersedia dihamili oleh teman kencan Anda! Nah, kalau Anda termasuk ke dalam kategori ini, tentunya Anda bisa mengabaikan semua teknik yang telah kami uraikan di atas, dengan catatan Anda berdua barus sama-sama terbebas dari segala macam penyakit kelamin. Yang paling penting bila Anda melakukan dengan cara ini, Anda harus mendapatkan persetujuan dari suami Anda. Seperti Anda ketahui, salah satu prinsip yang harus Anda patuhi jika ingin menempuh gaya hidup ini adalah bahwa Anda harus tetap mempertahankan hubungan Anda yang utama, yaitu dengan suami Anda. Kondisi yang paling ideal adalah jika Anda dan suami Anda benar-benar saling mencintai dan suami Anda bersedia untuk membesarkan anak-anak yang Anda lahirkan tak peduli dari benih siapa pun juga. Sementara itu, hubungan Anda dengan teman-teman kencan Anda hanyalah sebatas untuk kenikmatan seksual. Kalaupun sampai melibatkan cinta, tetap saja kadar cinta Anda kepada suami harus melebihi kadar cinta Anda terhadap teman-teman kencan Anda. Karena dasar hubungan Anda dengan teman-teman kencan Anda adalah seksual, maka sama sekali tak salah bila Anda sebagai wanita menunjukkan sikap penyerahan diri (submisif) total terhadap teman-teman kencan Anda, dengan cara dihamili oleh mereka. Tentu saja, sekali lagi, suami Anda harus seide dengan Anda dalam hal yang satu ini

 

 

Jujur saja, aku terhanyut dalam renunganku sendiri setelah membaca isi rubrik masalah sex yang tadinya kuanggap aneh itu.

Aku benar-benar merenungkan isi rubrik Wife Sharing itu. Kalau mengacu kepada petunjuk dalam rubrik itu (yang tentu ditulis oleh pakar wife sharing), berarti aku tidak terlalu menyimpang seandainya nanti malam Yogi dan Dimas datang untuk memenuhi hasratku. Yang penting, aku harus melaporkan semuanya itu kepada suamiku. Bahkan kalau aku melaporkannya, mungkin bisa jadi perangsang bagi suamiku nanti.

 

Jadi sekarang jalani saja dulu apa yang membuatku penasaran ini. Bahwa aku ingin merasakan bagaimana ber-3some dengan brondong-brondong tampan itu. Biarlah, nanti aku akan melaporkannya pada waktu suamiku sudah di rumah, sekaligus aku akan minta maaf padanya.

 

Meski aku tak biasa tidur siang, sore itu aku sengaja tidur. Untuk memulihkan fisikku bekas digauli Yogi tadi malam.

 

Sebelum hari mulai malam, aku sudah bangun. Lalu mandi sebersih-bersihnya. Parfum oleh-oleh suamiku dari Singapura pun kusemprotkan ke bagian-bagian penting di tubuhku. Lalu memilih-milih pakaian mana yang paling pantas kukenakan. Meski takkan keluar rumah, aku harus tampil prima. Kemaren malam aku mengenakan kimono. Malam ini apakah aku harus mengenakan kimono lagi?

 

Setelah dipikir-pikir, aku kenakan kimono lagi, tapi malam ini kukenakan kimono berwarna merah dengan motif burung merak di punggungku. Memang kimono paling praktis kalau ada “rencana khusus”.

 

Sebelum Yogi datang, semuanya sudah kutata. Beberapa botol minuman baru kuhidangkan di kamar tengah lantai atas. Bahkan aku pun menyediakan cemilan, yakni udang goreng tepung. Karena suamiku juga paling suka kalau minum sambil disediakan udang goreng tepung.

 

 

Menunggu adalah sesuatu yang menyiksa dan meresahkan. Apalagi aku sudah mempersiapkan semuanya sendirian, karena sampai saat ini belum juga dapat pembokat yang setia. Dan rumah segede ini harus kubereskan sendiri.

 

Namun hanya beberapa menit setelah toko tutup dan Mimin sudah pulang, terdengar suara motor memasuki jalan pribadi menuju garasi. Dag-dig-dug jantungku memukul kencang. Itu pasti Yogi dan temannya yang bernama Dimas itu.Tapi aju berusaha jaim. Diam saja di ruang keluarga, menunggu sampai bel dipijit (meski batinku bersorak, seperti kalau suamiku melihat kesebelasan favoritnya memasukkan goal).

 

Kliing klaaang……

 

Bel berbunyi, aku bangkit, menghampiri dan membuka pintu depan.

 

“Selamat malam Mbak…” ucap Yogi sambil tersenyum. Namun perhatianku tertuju kepada cowok yang bertubuh tinggi itu (mungkin tingginya lebih dari 185 cm). Memang ganteng dan macho ! Dan begitu melihatnya, aku langsung suka !

 

“Malam…silakan masuk…” kataku sambil memperlebar bukaan pintu depan. Kedua cowok itu pun masuk ke ruang depan.

 

Teman Yogi mengulurkan tangannya. Dan berjabatan tangan denganku sambil menyebutkan namanya, “Dimas…”

 

Aku pun menyebutkan namaku dan mempersilakan duduk di ruang tamu.Sementara aku menutupkan sekaligus menguncikan pintu depan. Gordinnya pun kututup rapat-rapat.

 

Lalu menghampiri Yogi dan Dimas yang masih berdiri di ruang depan. “Ayo langsung aja ke atas,” ajakku sambil melangkah duluan menuju tangga.

 

Yogi yang sudah hapal keadaan di atas, langsung duduk di sofa kamar tengah. Dimas pun duduk di sampingnya. Mereka tidak tahu bahwa sebelum membuka pintu depan tadi, aku sudah minum setengah gelas kecil, untuk mengusir kecanggunganku sendiri.

 

Maka tanpa canggung-canggung lagi aku duduk di antara mereka berdua, Dimas di sebelah kananku, Yogi di sebelah kiriku. Duduk yang “mengundang”, dengan bertumpang kaki, sehingga pahaku terbuka lebar di belahan kimonoku.

 

Ternyata Dimas cukup agresif. Tangannya langsung memegang lutut pahaku yang terbuka ini.

 

“Dimas sudah tau kan acaranya?” kataku sambil membiarkan Dimas mengelus pahaku.

 

“Sudah Mbak,” Dimas mengangguk dengan senyum, “Gak boleh buka rahasia…gak boleh kasar dan sebagainya.”

 

Yogi minta ijin untuk membuka tutup botol Black Label yang masih baru. Aku mengiyakan. Yogi menuangkan blended scotch whisky itu ke tiga gelas yang sudah kusediakan.

 

Kami bertiga langsung meneguk isi gelas masing-masing. Aku jadi rada kleyengan, karena sebelum mereka datang, tadi aku sudah minum setengah gelas. Namun seperti biasa, agak kleyengannya kepalaku malah kusalurkan dalam sikap dan perilaku yang jadi agak binal. Ketika pahaku digerayangi Dimas lagi, aku bertindak lebih agresif lagi, dengan menarik ritselting celana jeans Dimas…lalu menyelinapkan tanganku ke dalam celana jeans itu…lalu kuselusupkan tanganku ke balik celana dalam Dimas…dan tersentuh bagian tubuh lelaki yang paling kusukai….penis tegang ! Ya…baru kusentuh sedikit saja terasa penis Dimas langsung membesar dan menegang ! Inilah istimewanya cowok brondong ! Tapi terus terang saja, ini adalah langkah yang paling binal dalam hidupku. Bahwa aku main pegang penis cowok yang baru kukenal beberapa menit yang lalu. Mungkin ini pengaruh minuman, atau memang aku seperti berkejaran dengan waktu, karena enam hari lagi suamiku akan datang.

 

Dimas menatapku dengan sorot hangat, karena aku mulai meremas-remas batang kemaluannya dengan penuh hasrat. Soalnya meski belum tampak di mataku, terasa betapa panjangnya penis Dimas itu. Mungkin benar kata orang, bahwa biasanya pria yang bertubuh tinggi, suka panjang juga penisnya.

 

Tapi Yogi seperti yang tak sabar lagi. Ketika aku sedang berusaha menurunkan celana jeans Dimas, Yogi malah mlepaskan celana panjang dan celana dalamnya. Sehingga yang muncul duluan adalah batang kemaluan Yogi (yang tampak sudah berdiri mengacung ke depan.

 

Melihat aksi Uogi, Dimas pun tak mau kalah, cepat melepaskan celana jeans dan celana dalamnya. Ooo…senangnya hatiku, karena sekarang ada dua penis tegang di kanan kiiriku. Rasanya aku seperti dimanjakan oleh keadaan ini. Karena tangan kiriku bisa memegang penis Yogi, sementara tangan kananku memegang penis Dimas.

 

Tapi tak lama kemudian aku berkata, “Nanggung gini sih, mending kita telanjang aja semuanya.”

 

Kulepaskan kimono dan celana dalamku, langsung telanjang, karena sejak tadi pun aku tak mengenakan bra. Wajah suamiku membayangiku. Oh, maafkan aku suamiku tercinta. Jalan yang telah kau buat itu membuatku jadi begini. Biarlah nanti aku akan melaporkan semuanya ini padamu….aku akan minta maaf…minta ampunan padamu…karena sekarang aku penasaran sekali, ingin merasakan nikmatnya digauli oleh dua brondong yang tampan dan ganteng itu….tapi hatiku tetap milikmu seorang !

 

Yogi dan Dimas pun sudah melepaskan baju kaus mereka. Aku sudah penasaran sekali, ingin mencumbu Dimas yang tubuhnya sangat tinggi dan atletis itu. Maka yang duluan kupeluk dalam keadaan telanjang ini adalah Dimas. Rasanya indah sekali, memeluk brondong ganteng itu dalam keadaan sama-sama telanjang. Dan ketika ia memeluk leherku, kemudian mencium bibirku, kusambut dengan lumatan penuh gairah, sementara tanganku memegang dan meremas batang kemaluannya yang panjang itu. Tapi dari belakang ada tangan menyelusup ke antara dadaku dengan dada Dimas. Kedua tangan itu meremas sepasang payudaraku…itu adalah tangan Yogi yang berdiri merapat ke punggungku, karena kedua lengan Dimas sedang memeluk leherku.

 

Oh…ini indah sekali. Oh, nikmatnya dicumbu oleh dua cowok remaja yang bentuknya jauh di atas rata-rata…membuatku terlena, seolah melayang di atas taman langit surgawi…

 

Setelah merebahkan diri ke atas kasur yang terhampar di lantai itu, Dimas terasa makin bergairah menciumiku, meremas payudaraku dan bahkan akhirnya kepala DImas melorot turun ke arah perutku…turun terus sampai berad di depan kemaluanku. AKu mengerti apa yang akan dilakukannya. Maka kurenggangkan sepasang pahaku lebar-lebar, agar ia leluasa menjilati kemaluanku. Dan….Dimas benar-benar menjilati kemaluanku yang selalu kubuat licin plontos ini….oooh…ini benar-benar menggetarkan sukmaku !

 

Soalnya Dimas tak hanya menjilati dan menyedot-nyedot kelentitku, tangannya pun senantiasa meremas-remas di sana-sini. Terkadang meremas payudaraku, terkadang meremas bokongku dan terkadang jemarinya menyelinap ke dalam liang kewanitaanku. Sementara Yogi duduk dulu di sofa sambil menikmati minuman yang kusediakan.

 

Maka tanpa malu-malu lagi aku menarik kepala Dimas agar beranjak ke atas, lalu kubisiki, “Sudah…masukin aja….”

 

Memang bisa gawat kalau tidak cepat penetrasi, karena aku merasa sudah hampir orgasme akibat jilatan dan sedotan Dimas itu.

 

Tak sulit bagi Dimas untuk melakukan penetrasi, karena kemaluanku sudah berlepotan air liurnya yang bercampur dengan lendir libidoku. Dengan sekali dorong saja, batang kemaluan Dimas amblas….melesak ke dalam lubang kenikmatanku….langsung menonjok ujung lubang ini….ooooh…aku terbeliak dibuatnya…dalam syurrrrr….!

 

Aku pun ingin menikmati persetubuhan dengan anak muda berbatang kemaluan panjang banget itu, dengan menaikkan kedua kakiku ke atas bahunya, supaya ia bisa menyundul-nyundul mulut rahimku terus menerus….aaaah…ternyata dunia ini semakin indah dan hangat saja bagiku.

 

Makin lama Dimas makin garang. AYunan batang kemaluannya membuat darahku berdesir-desir naik turun….terkadang naik sampai ke kepala, lalu berdesir turun sampai ke lutut…bahkan jari kakiku sering terkejang-kejang dibuatnya…nikmat sekali.

 

Keringat Dimas pun mulai menetes-netes ke wajahku, ke dadaku dan ke kain seprai. Tapi dalam keadaan seperti ini, semuanya nikmat bagiku. Termasuk berbaurnya keringat Dimas dengan keringatku, sementara penisnya terus-terusan menggasak lubang kewanitaanku dengan perkasanya.

 

Tapi pada suatu saat Dimas menghentikan genjotannya. Lalu menoleh ke arah Yogi yang masih duduk manis sambil memegang gelas minumannya. Ada isyarat yang Dimas berikan kepada temannya yang tampan itu. Yogi mengangguk dan bangkit dari sofa, lalu menghampiri kami.

 

“Gantian dulu sama Yogi, ya Mbak. Kasian dia cengo terus dari tadi,” kata Dimas sebelum mencabut penisnya dari jepitan liang kemaluanku.

 

“Iya,” sahutku dengan menyembunyikan kekecewaanku, karena barusan enjotan batang kemaluan Dimas sedang enak-enaknya lalu terputus begitu saja.

 

Untunglah yang menggantikan Dimas itu si tampan Yogi. Kalau diganti oleh orang lain, pasti aku menolak. Lagian mungkin di sinilah letak seninya threesome, ada kalanya gantian, ada kalanya main keroyok.

 

Dan ketika penis Yogi mulai membenam ke dalam liang kewanitaanku, kusambut dengan pelukan hangat dan ciuman mesra di bibirnya. Oh…memang menyelusupnya penis Yogi ke dalam liang kenikmatanku mampu membuatku terpejam-pejam dalam nikmat. Apalagi setelah Yogi menggerak-gerakkan batang kemaluannya. Gesekan-gesekan penisnya dengan liang kewanitaanku membuat geli-geli enak…seperti biasanya.

 

Dimas melangkah ke kamar mandi. Ketika muncul lagi kelihatan mukanya jadi bersih lagi, tiada keringat lagi. Kemudian ia merebahkan diri, terlentang di samping kananku.

 

Ketika Yogi makin lancar mengayun batang kemaluannya, tangan kananku merayap ke arah batang kemaluan Dimas yang masih ngaceng sekali itu.

 

Nikmat sekali rasanya merasakan enjotan penis Yogi sambil meremas-remas batang kemaluan Dimas seperti ini.

 

Tapi lalu ingat sesuatu yang lebih seru. Maka ketika Yogi masih lancar-lancarnya mengentotku, kubisiki telinganya, “Mau doggy?”

 

“Mau Mbak…” Yogi menghantikan enjotannya, bahkan lalu menarik penisnya sampai terlepas dari liang kemaluanku.

 

Aku lalu merangkak sambil memegang kaki Dimas yang masih terlentang, supaya jarak di antara kedua kakinya merenggang. Dan aku merangkak dengan mulut mendekati penis Dimas. Lalu menoleh ke arah Yogi sambil memberi isyarat agar memasukkan lagi penisnya dari belakang. Sementara aku sudah memegang penis Dimas yang masih sepenuhnya ngaceng.

 

Dan ketika liang kemaluanku terasa sudah disodok oleh penis Yogi, aku pun mulai mengulum dan menyelomoti penis Dimas dengan sepenuh gairahku.

 

Dimas tampak keenakan dengan perlakuanku padanya, sehingga ia menanggapinya dengan berusaha menjangkau sepasang pipiku, lalu mengelus-elus terus dengan lembutnya.

 

Sementara Yogi tak hanya mengenjot dari belakang. Kedua lengannya memeluk pinggangku. Tak cuma itu. Tangannya berusaha mencapai kemaluanku yang sedang diganjotnya. Sampai berhasil mencapai kelentitku, yang lalu dielus-elusnya dengan lembut.

 

Ooooh…ini terlalu nikmat rasanya. Sementara Dimas pun sering terpejam-pejam karena aku semakin trampil menyelomoti batang kemaluannya.

 

Begitu lama kami lakukan semuanya ini. Bahkan pada suatu saat mereka gantian posisinya. Dimas mengenjotku dari belakang, sementara aku menyelomoti batang kemaluan Yogi yang sudah menelentang di bekas tempat Dimas.

 

Tapi tahukah mereka bahwa aku sudah beberapa kali mencapai orgasme yang luar biasa nikmatnya?

 

Dan pada suatu saat DImas mencabut batang kemaluannya dari liang meqiku. Kemudian terasa air maninya menyemprot-nyemprot punggungku. Tak lama kemudian Yogi pun mengalami hal yang sama. Batang kemaluannya yang sedang berada di dalam mulutku terasa menyemprot-nyemprotkan cairan kental dan hangat. Kutelan saja sekalian, karena kata orang air mani pria itu mengandung hormon yang bagus untuk kulit wanita.

 

Aku pun bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Meski sudah malam, aku mandi juga dengan air panas. Sehingga tubuhku terasa segar lagi.

 

Namun acara kami bertiga belum selesai. Yogi dan Dimas mencumbuku lagi. Membuatku serasa sedang berada di surga…surga dunia.

 

Dan malam semakin larut dalam kehangatan berada di antara kedua cowok brondong itu.

 

 

SUAMIKU datang pagi-pagi sekali. Ternyata ia mendarat di Jakarta tadi malam, lalu istirahat dulu di bandara beberapa jam, katanya.

 

Oleh-oleh permata berlian yang tersimpan di kantung kecil itu membuatku bahagia sekali. Kuciumi bibir dan pipinya berkali-kali, sebagai ucapan terima kasihku, sekaligus luapan rasa kangenku padanya.

 

Namun dadaku serasa mau meledak kalau tidak cepat-cepat memberi pengakuan kepadanya. Bahkan ketika ia menyetubuhiku di pagi itu, pikiranku tetap ke arah yang satu itu. Tentang kejadian demi kejadian dengan Leo dan Yogi dan Dimas itu.

 

Maka setelah selesai melayani suamiku bersebadan, aku pun mulai membuka pembicaraan yang serius itu:

 

“Bang…maafkan aku ya…”

 

“Lho, kok ujug-ujug minta maaf? Emangnya ada apa?”

 

“Tapi Abang janji dulu…bahwa Abang mau memaafkan aku…”

 

“Iya, iya…emang kapan aku pernah tak memaafkan kamu, sayang?”

 

“Tapi kesalahanku ini…aaah…aku malu menceritakannya juga…”

 

Bang Yadi mengelus rambutku. Dan berkata dengan lembut, “Ceritakan lah…jangan suka memendam perasaan…jangan suka main rahasia-rahasiaan. Ayolah..ceritakan aja…ada apa?”

 

“Aku…aku…mmm…bukan cuma Leo yang yang kucumbu sampai akhirnya menggauliku…tapi teman-teman Leo juga….ada dua orang cowok sebaya dengan Leo…juga menggauliku, Bang….aku mengaku bersalah Bang…aku siap mau dihukum apa pun oleh Abang…”

 

“Ntar dulu…emangnya si Leo juga tahu tentang dua orang temannya itu?”

 

“Nggak Bang. Yang satu memang teman Leo. Tapi yang seorang lagi gak kenal sama Leo. Yang teman Leo itu berjanji takkan cerita apa-apa pada Leo…”

 

“Ya udah…gak ada masalah…aku maklum selama aku di Kalimantan, kamu pasti kesepian. Kuanggap wajar saja hal itu terjadi.”

 

“Jadi…jadi Abang memaafkan aku?”

 

“Iya, sayang,” Bang Yadi membelai rambutku, lalu menciumi pipiku, “aku maafkan soal itu. Bahkan kalau aku berterus terang padamu, pasti kamu kaget. Karena kesalahanku lebih gede lagi.”

 

“Kesalahan apa?”

 

“Nah…sekarang gantian…aku minta maaf padamu. Mau kan memaafkanku?”

 

“Abang banyak cewek simpanan ya di Kalimantan?”

 

‘bukan…bukan soal itu. Kejadiannya dimulai sejak lama….bahkan sebelum Uni Erna datang ke sini….”

 

“Terus?”

 

“Sebelum Uni dibawa ke sini, aku sudah ML sama dia, karena kuajak dia ke villa dulu…lalu sejak kejadian itu, aku punya hubungan rahasia dengan Uni…setiap kali ke Jakarta, pasti aku mengajaknya ke hotel…dan…yah, begitulah kejadiannya…”

 

Aku terperangah, laksana mendengar suara petir di siang bolong, “Jadi Abang ambil keperawanan Uni, kemudian Abang ketagihan begitu?”

 

“Sebelum terbang dari Batam, Uni sudah tak perawan lagi.”

 

“Masa sih? Padahal kelihatannya Uni tak pernah bergaul sama cowok…”

 

“Pacarnya yang mati kecelakaan di Batam itu yang mengambil kegadisannya.”

 

“O…gitu….pantesan Uni seperti menghindari cowok terus. Mungkin ketidak gadisannya itu yang jadi beban….aaah…kasihan juga Uni ya Bang…”

 

“Iya…aku juga tiap kali ketemuan sama dia, selalu saja batinku dicengkram rasa kasihan. Tapi…yang penting sekarang, kamu mau memaafkanku kan?”

 

“Iya Bang…aku maafkan…tapi Abang jangan biarkan Uni tetap di Jakarta. Ajak dia ke sini. Kalau mungkin, nikahi dia…biar aja aku rela dimadu kalau maduku kakak kandungku sendiri…”

 

Suamiku seperti senang mendengar kata-kataku. Ia memelukku. Menciumiku dan berkata perlahan, “Kalau kamu setuju, Uni akan kubelikan rumah di kota ini. Biar dia punya wilayah sendiri. Tapi kalau soal menikahi dia, aku harus nanya-nanya dulu kepada ahlinya…apakah boleh aku menikahi kakak-adik sekaligus apa tidak…yang penting Uni harus kutempatkan di tempat nyaman dan tenang. Soal pekerjaannya di Jakarta, akan kusuruh resign aja. Tentu aku akan mengusahakan agar dia punya penghasilan tetap di kota ini.”

 

“Iya Bang…aku setuju banget…Abang juga takkan menyesal lah menikahi Uni….Uni kan cantik, lebih cantik daripada aku, Bang…”

 

“Iya…tapi sekarang ceritakanlah pengalamanmu waktu digauli oleh Leo…kemudian oleh kedua teman Leo itu…aku ingin mendengar pengakuanmu yang sejujur-jujurnya.”

 

“Aku sudah menulis pengakuanku yang sejujur-jujurnya di flashdisk itu Bang. Nanti Abang baca aja sendiri.”

 

“Ohya?! Nanti lengkapi dengan reuni kecil yang akan kita lakukan dengan Erwin dan Kemal.”

 

“Emang kapan kita mau reuni dengan mereka Bang?”

 

“Hari Minggu pagi. Tadinya mereka usulkan untuk melaksanakan acara itu di hotel aja. Tapi aku usulkan di villa yang pernah kita pakai bersama Edo dan Raisha (lihat Teman Bisnisku Teman Di Ranjang Episode 8). Dan mereka setuju.”

 

“Tapi villa yang pernah kita pakai sama Edo dan Raisha itu kamarnya kan cuma dua Bang. Sedangkan kita ada tiga pasangan nanti…”

 

“Mau yang kamarnya lima juga ada, di dekat-dekat situ aja. Tinggal pilih aja nanti.”

 

“Tapi…rasanya masih ada yang Abang rahasiakan padaku.”

 

“Rahasia apa lagi?”

 

“Tentang Mbak Lies…”

 

“Iya, iya…dari mana kamu tau?”

 

“Tau aja.”

 

“Memang benar, aku punya hubungan khusus dengan Mbak Lies. Tapi kita takkan seperti sekarang kalau gak ada dia, Sayang.”

 

“Iya sih…termasuk wisma kost dan lahannya itu, asalnya dari Mbak Lies kan?”

 

“Iya. Itu hanya sebagian kecil dari pemberian dia. Dan aku merahasiakan hal itu, karena takut kamu marah.”

 

“Nggak Bang. Hitung-hitung penebusan kesalahanku pada Abang, aku tidak marah sedikit pun. Lanjutkan aja. Aku malah gak cemburu sedikit pun, karena Mbak Lies kan lebih tua dariku.”

 

“Syukurlah…lagian awal dari semuanya itu, gara-gara kelakuan Bang Yana.”

 

“Oh, iya. Abang pernah cerita. Bang Yana menikah lagi dengan gadis Lombok dan gak pulang-pulang ke Mbak Lies kan?”

 

“Iya. Sampai sekarang dia gak pulang. Celakanya, dia meninggalkan Mbak Lies setelah menguras dulu depositonya di bank yang besar sekali. Waktu itu alasannya mau bisnis kayu di Papua. Gak taunya malah nyungsep di Lombok. Nah…aku jadi ikut merasa bersalah atas kelakuan Bang Yana itu. Makanya ketika Mbak Lies ingin balas dendam dengan cara berselingkuh denganku, ya kusambut dengan perasaan kasihan… ”

 

“Abang jangan seperti Bang Yana ya,” kataku sambil mengelus dada suamiku yang masih terlentang di sampingku.

 

“Meski dia kakak kandungku, prinsip gak sama dengan prinsipku. Jadi jangan samakan aku dengan Bang Yana. Pokoknya jangan kuatir lah. Sampai kapan pun aku akan tetap milikmu, sayang.”

 

“Emang prinsip Abang itu apa?”

 

“Kita boleh menikmati indahnya alam dan masa muda kita. Tapi fondamen bangunan kita jangan dirusak. Bahkan makin lama harus makin kokoh.”

 

“Iya Bang,” sahutku yang kususul dengan ciuman di pipi suamiku.

 

“Kamu boleh mencari rekreasi seks dengan orang lain. Tapi sekarang harus selektif dalam memilih pasangan. Karena…jelek-jelek kamu itu sudah menjadi istri big boss sekarang. Jangan sampai ada yang mengambil manfaat di tengah rekreasi kita.”

 

“Iya Bang.”

 

“Aku ingin tetap low profile,” kata suamiku lagi, “Mbak Lies juga pernah menyuruhku ganti mobil dengan yang mewah. Tapi aku menolaknya secara halus. Biarlah mobil kita tetap mobil lama…yang penting deposito di bank makin lama makin banyak. Untuk masa depan keturunan kita.”

 

“Iya Bang. Ngapain juga beli mobil yang harganya belasan milyar. Dikasih jalanan macet sih sama aja larinya kayak angkot tua.”

 

Suamiku tertawa. Menciumiku dan membisikkan sesuatu di telingaku. Aku tersenyum dan menyambut gairah suamiku yang datang lagi.

 

O, suamiku tercinta…betapa makin sayangnya aku padamu…!

SEBENARNYA aku lebih terkesan “rekreasi batin” dengan brondong-brondong itu. Dengan Leo, Yogi dan Dimas, rasanya seperti punya mobil brand new alias 100% baru. Dibawa gila-gilaan pun takkan mogok di tengah jalan. Maklum mesinnya masih baru. Aku masih ingat benar, setelah Yogi dan Dimas pulang, aku pun berangkat ke wisma kos. Dan Leo langsung menghampiriku di kamar, memelukku dari belakang sambil berbisik ke telingaku, “Saya kangen Mbak…”

 

Dan aku menoleh, lalu menggerayangi celana trainingnya. Ternyata yang ngacung itu yang kangen padaku. Seandainya fisikku lemah, mana mungkin aku bisa meladeni Leo setelah tadi malam bertubi-tubi “diaduk-aduk” oleh Yogi dan Dimas secara bergantian? Untung fisikku lumayan tangguh. Sehingga aku masih kuat untuk meladeni nafsu Leo. Bahkan gilanya, untuk kesekian kalinya Leo memperlihatkan kelebihannya. Bahwa setelah ejakulasi, ia tidak mencabut penisnya. Ia menggerak-gerakkan lagi penisnya yang sudah melemah itu perlahan-lahan. Dan sedikit demi sedikit penis Leo bangkit lagi dengan gagahnya. Lalu ia menyetubuhiku lagi dengan perkasanya. Bahkan dalam persetubuhan yang kedua itu Leo lebih perkasa lagi. Membuatku berkali-kali orgasme. Bukan main !

 

Tapi acara “reuni mini” itu bukan acara para brondong. Mereka teman-teman sebaya suamiku, yang usianya 30 tahun ke atas. Dan mau tak mau aku harus mengikuti langkah suamiku, untuk hadir dalam acara khusus itu. Sebenarnya yang akan terjadi adalah semacam pesta orgy, tapi dikelirukan oleh suami dan teman-temannya sebagai “reuni”. Ya sudahlah, toh nanti aku juga bakal merasakan enaknya, meski takkan sesegar brondong-brondong perkasa itu.

 

Ketika hari itu tiba, seperti biasa aku diarah-arahkan dulu oleh suamiku, tentang apa saja yang harus dan jangan kulakukan di villa nanti. Aku bahkan mulai mengingat-ingat nama istri teman-teman suamiku itu. Bahwa istri Erwin bernama Sinta. Bahwa istri Kemal bernama Ine. Terlalu mudah bagiku untuk menghafalkan cuma empat nama orang.

 

Menurut rencana, aku dan suamiku akan menginap di villa itu selama tiga hari. Jadi kubawa pakaian ganti secukupnya di dalam koper besar yang biasa untuk bepergian jauh.

 

Setelah sarapan pagi, kami berangkat menuju villa yang letaknya di luar kota itu. Suamiku ingin melihatg ketrampilanku menyetir mobil. Karena itu dimintanya agar aku yang nyetir.

 

Baru beberapa kilometer aku nyetir, suamiku menepuk-nepuk lututku yang tertutup celana legging woll yang tebal ini, “Hebat !” katanya, “Ternyata istriku bukan cuma cantik, tapi juga sudah pandai nyetir. Jadi kelak, kalau kita bepergian jauh dengan mobil ini, bisa gantian nyetirnya.”

 

Aku cuma tersenyum mendengar pujian itu.

 

 

TERNYATA aku dan suamiku yang pertama tiba di villa itu. Villa yang memiliki tiga kamar besar itu. Teman-teman suamiku belum ada yang datang. Jadi kami bisa memilih kamar yang paling enak posisinya, sekalian memasukkan koper besar kami ke dalam kamar itu.

 

Tak lama kemudian terdengar suara mobil berhenti di depan villa. Suamiku menengok ke jendela dan berkata, “Itu Erwin dan Sinta.”

 

Aku dan suamiku berdiri di teras villa, menyambut kedatangan teman suamiku yang bernama Erwin dan istrinya yang bernama Sinta itu. Waktu berjabatan tangan dengan Sinta, aku bercipika-cipiki dengannya. Dan langsung terasa akrab. Sementara sudut mataku sering mencuri pandang kepada Erwin yang…aaah…wajahnya mengingatkanku pada cinta pertamaku dahulu. Karena teman suamiku yang bernama Erwin itu sangat mirip Aria, pacar pertamaku di masa gadis dahulu.

 

Tak lama kemudian, datang lagi mobil yang berhenti di depan villa. Kami berempat menyambutnya di teras depan. Itulah Kemal dan istrinya yang bernama Ine. Seperti yang dilakukan dengan Erwin dan istrinya tadi, aku berjabatan tangan dan cipika-cipiki dengan istri Kemal yang bernama Ine itu, kemudian juga berjabatan tangan dengan Kemal.

 

Tahukah Kemal dan Erwin bahwa diam-diam aku membayangkan apa yang akan terjadi di antara aku dengan mereka? Tahukah mereka bahwa aku degdegan setelah membayangkan semuanya itu. Soalnya mereka ganteng-ganteng. Dan memang teman-teman suamiku di atas rata-rata semua. Entah kenapa bisa begitu. Mungkin karena SMA suamiku dulu tergolong SMA terbaik di kota ini, atau mungkin juga yang merasa tampangnya di bawah rata-rata tidak berani muncul dalam reuni khusus seperti ini.

 

“Acaranya gimana nih?” tanya suamiku setelah kami berkumpul di ruang depan.

 

“Sekarang kita kan cuma tiga pasang,” kata Erwin, “jadi gak usah bertele-tele…bikin seperti acara anak-anak aja. Kita hompimpah, yang menang boleh milih pasangan.”

 

Semuanya ketawa. Tapi mereka bertiga benar-benar hompimpah. Suamiku, Erwin dan Kemal jadi seperti anak-anak yang sedang bermain. Ternyata Erwin pemenangnya.

 

“Ayo, Erwin pilih, mau pasangan dengan Ine apa Erni?” tanya suamiku.

 

“Karena namanya sama-sama dimulai dengan hurup E dan R….aku pilih Erni deh,” sahut Erwin sambil menunjuk padaku. Membuatku degdegan lagi. Soalnya gerak-gerik Erwin itu…sangat mirip Aria ! Membuatku terhanyut ke dalam terawangan masa laluku…!

 

Kemal dan suamiku tidak bisa memilih lagi. Tentu saja suamiku harus berpasangan dengan istri Kemal yang bernama Ine itu. Sementara Kemal harus berpasangan dengan Sinta, istri Erwin.

 

Seperti biasa, kalau suamiku sedang berkumpul dengan teman-teman lamanya, minuman beralkohol pun dihidangkan.

 

Suamiku duduk berdampingan dengan Ine dengan sikap mesra, membuatku cemburu juga, karena Ine itu cantik. Kemal duduk berdampingan dengan istri Erwin yang bernama Sinta itu. Dan aku duduk berdampingan dengan Erwin.

 

“Gak mau jalan-jalan dulu ke kebun teh?” tanya suamiku kepada teman-temannya.

 

“Boleh juga,” sahut Erwin yang duduk di sampingku, “Abisin dulu minumannya dong.”

 

Lalu Erwin berbisik ke telingaku, “Mending ganti bajunya, kalau pakai legging woll gitu nanti rumputnya pada nempel di celana.”

 

“O, gitu? Ntar ya…” sahutku sambil bangkit lalu melangkah ke kamarku. Di kamar yang lebar sekali ini, aku menanggalkan celana legging woll dan blouse katun putihku. Kemudian kuganti dengan gaun katun berwarna light brown polosku. Memang agak pendek gaun yang kupakai ini. Bagian bawahnya hanya menutupi setengah dari paha putihku, yang orang-orang selalu bilang paha mulus dan licin ini.

 

Ketika aku keluar dari kamar, ternyata tinggal Erwin yang masih duduk di sofa. Yang lain-lainnya sudah pada pergi ke daerah perkebunan teh yang kata suamiku masih kepunyaan pemilik villa itu.

 

“Udah pada pergi semua?” tanyaku kepada Erwin yang menyambutku dengan senyuman.

 

“Mereka berpencar,” sahut Erwin, “Istriku bersama Kemal ke kiri, Yadi dan Ine ke kanan. Kita juga harus berbeda arah dengan mereka, biar sama-sama gak ada gangguan.”

 

“Bang Erwin mau ke arah mana?” tanyaku.

 

“Alaaaaah….gak usah pake bang-bangan deh. Panggil namaku aja. Erwin. Panggil Er boleh, panggil Win boleh.”

 

“Oke deh,” sahutku sambil tersenyum. Lalu mengikuti langkah Erwin, karena ia memegang tanganku.

 

Dan aku tak tahan menyekap rasa penasaran, kenapa tampang Erwin mirip Aria. Maka ketika kami berjalan berlawanan arah dengan Kemal dan suamiku, aku pun bertanya, “Erwin punya saudara bernama Aria gak?”

 

Erwin kelihatan kaget, “Aria?! Aku memang punya kakak seayah bernama Aria. Kok bisa tau nama itu?”

 

“Jadi Aria itu kakakmu, Win?”

 

“Iya. Dia kakak seayah, tapi beda ibu.”

 

“Jadi…yang di Jakarta itu ibu kandungmu?”

 

“Bukan,” Erwin menggeleng, “ayahku tiga kali kawin. Ibu Aria dan ibuku senasib. Sama-sama diceraikan. Lalu ayahku nikah lagi dengan wanita bernama Norma itu. Aria sih mau aja tinggal bersama ibu tiri di Jakarta. Aku gak mau…aku ikut ibuku…makanya aku tinggal di Bandung. Tapi…ntar dulu….di mana Erni pernah kenal dengan Aria?”

 

“Yah…Aria itu masa laluku, Win. Dan aku gak pernah dikasih tau bahwa ia punya adik bernama Erwin. Aku cuma tau adiknya itu cewek, yang namanya Lusie itu.”

 

“Lusie itu adik tiri. Jadi waktu menikah dengan ayahku, ibu tiriku itu sudah jadi janda beranak satu, ya Lusie itu anaknya.”

 

“Hahahaaa…jadi Erni pernah cinta-cintaan sama Aria?”

 

“Yah…cinta monyet gitulah. Namanya juga masih di SMA. Waktu itu Aria udah jadi mahasiswa.”

 

Kami mengobrol sambil berjalan makin jauh dari villa. Di sekeliling kami yang tampak cuma kebun teh yang mulai bercampur dengan pohon-pohonan lain (yang aku gak tahu pohon apa namanya).

 

“Capek?” tanya Erwin sambil memeluk pinggangku. Hmmm…sebenarnya dari tadi aku mengharapkan pelukan seperti ini. Sambil membayang Aria di masa laluku. Karena Erwin ini benar-benar mirip Aria.

 

Sebagai jawaban, kudekatkan bibirku ke bibir Erwin. Dan Erwin langsung menanggapi. Mencium bibirku dengan penuh kehangatan bagi batinku.

 

Kami memang sudah berada ndi tengah perkebunan yang sudah bisa disebut hutan. Tiada suara apa pun yang terdengar kecuali bunyi angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan.

 

Suasana batinku yang tenggelam di terawangan masa laluku bersama Aria, membuatku terlena. Maka ketika Erwin mengajakku duduk di atas rumput di balik rimbunnya semak belukar, tanpa ragu lagi aku menurutinya, duduk setengah menghempaskan diri ke atas rerumputan itu.

 

Aku sadar bahwa bagian bawah gaunklu tersingkapterlalu tinggi, sehingga paha kananku terbuka penuh, sampai mempertontonkan celana dalam juga. Tapi biarlah. Aku memang ingin mulai diserang oleh Erwin. Karena aku yakin di balik semak belukar ini takkan ada orang lihat. Lagian seperti kata suamiku, daerah perkebunan ini milik pribadi owner villa itu. Jadi orang luar pasti segan memasuki perkebunan milik pribadi ini.

 

“Dulu pernah diapain aja sama Aria?” tanya Erwin sambil merayapkan tangannya ke pahaku yang terbuka lebar ini.

 

“Gak pernah diapa-apain. Paling juga cium pipi. Itu aja,” sahutku sambil tersenyum.

 

Tiba-tiba tangan Erwin menyelinap ke balik celana dalamku, menyentuh kemaluanku dan bertanya, “Gak pernah ciumin ini?”

 

Aku agak kaget karena tangan Erwin langsung menyergap kemaluanku. Tapi kubiarkan saja, “Boro-boro cium ke situ…cium bibir aja belum pernah.”

 

“Kalau gitu kalah sama adiknya ya…karena aku pengen ciumin yang masih ketutupan CD ini,” kata Erwin sambil menarik celana dalamku perlahan tapi pasti. Sampai akhirnya terlepas dari kakiku.

 

Erwin menciumi celana dalamku yang sedang dikepalnya, “Mmmm…harumnya celana dalam Erni….”

 

Aku cuma tersenyum. Tapi setelah Erwin menyingkapkan bagian bawah gaunku ke atas perutku, spontan saja kurenggangkan sepasang pahaku lebar-lebar, untuk menyambut pendaratan bibir dan lidah Erwin di kemaluanku.

 

Oooh…dugaanku benar. Bibir dan lidah Erwin menyergap kemaluanku. Lalu menjilat-jilat di seputar bagian terpeka di tubuhku ini.

 

Dalam nikmat tiada bandingannya, kuelus rambut Erwin dengan penuh perasaan. Karena aku membayangkan kehadiran kakaknya yang bernama Aria itu di semak belukar rimbun ini.

 

“Win….ooooh…ini pertama kalinya punyaku diemut di alam bebas seperti ini….iya Win…ooooh…jilatanmu edan….enak banget Wiiin….” celotehku tak terkendalikan lagi. Karena Erwin sangat trampil ngemut kemaluanku. Menjilati labia minora dan clitorisku dengan ganasnya…membuatku terkejang-kejang dalam berjuta nikmat yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

 

Dan….ooooh….jilatan dan sedotan Erwin terlalu enak. Membuat pertahananku ambrol ! Memang tak kuasa aku menahan puncak kenikmatanku…sehingga aku merintih histeris dan…aku telah mencapai puncak orgasmeku…tapi bibir dan lidah Erwin tetap ganas menjilati meqiku.

 

Tiba-tiba aku memaksakan bangkit. Berdiri. Dan berlari ke arah villa kembali.

 

“Erni….! Kenapa?” Erwin mengejarku dari belakang.

 

“Hihihihiiii…lanjutin di villa aja yaaa….di sini sih takut ada ular !” sahutku sambil memperlambat lariku.

 

“Ini buatku aja ya?” seru Erwin sambil mengibar-ngibarkan celana dalamku.

 

“Hush, nanti Sinta marah !” sahutku sambil merebut celana dalamku dari tangan Erwin.

 

Tak lama kemudian, kami tiba di villa kembali. Terdengar suara cekikikan perempuan di kamar-kamar yang pintunya sudah terkunci. Berarti mereka sudah pada kembali lagi. Suamiku juga pasti sudah mulai asyik-asyikan bersama istri Kemal yang cantik dan bernama Ine itu.

 

Setibanya di dalam kamar, Erwin langsung menutup dan mengunci pintu kamar itu. Lalu menatapku dengan senyum, sambil menanggalkan celana jeans dan sport shirt katunnya. Ketika ia tinggal bercelana dalam saja, kulihat bentuk tubuh yang atletis. Pasti ia rajin berolahraga, tidak seperti suamiku yang malas-malasan berolahraga.

 

Sambil tersenyum aku pun menanggalkan gaun katunku, lalu menggantungkannya di dinding. Celana dalamku ada di saku gaun itu sejak kurebut dari tangan Erwin tadi. Maka setelah melepaskan gaunku, tubuhku cuma tinggal ditutupi bra saja. Ke bawahnya…terbuka, tak tertutup apa apa lagi.

 

Ketika Erwin memelukku, kubisiki telinganya, “Langsung penetrasi aja ya…tadi juga udah orga di kebun teh…”

 

Berbisik seperti itu, tanganku menyelundup ke balik celana dalam Erwin, karena sejak tadi kuperhatikan ada yang menonjol di celana dalamnya…ternyata penisnya memang sudah siap tempur. Tapi…tahukah Erwin bahwa ketika aku meremas-remas batang kemaluan yang masih tertutup celana dalam itu, aku malah membayangkan tengah meremas-remas batang kemaluan Aria?

 

Pada saat aku sedang asyik meremas batang kemaluan Erwin itulah, Erwin pun melepaskan kancing kait bra di punggungku. Lalu penutup buah dadaku itu pun terlepas sudah. Aku sudah telanjang bulat di depan lelaki yang bukan suamiku itu. Memang mendebarkan sih, membayangkan ketika penis Erwin menerobos lubang kewanitaanku sebentar lagi. Barangkali aku harus berterimakasih kepada suamiku, karena alam yang telah diperkenalkan olehnya itu, kini menjadi sesuatu yang sangat indah bagiku. Sementara cintaku kepadanya bahkan semakin dalam saja rasanya. Terlebih kalau mengingat bahwa perselingkuhanku justru jadi perangsang ampuh buat suamiku.

 

Dan ketika moncong meriam Erwin sudah diletakkan tepat pada ambang pintu kewanitaanku, aku terpejam sambil membayangkan akan disetubuhi oleh Aria…Ariaku yang sudah menikah dengan wanita lain…!

 

Blesss….penis Erwin amblas ke dalam memekku. Ohhh….indah sekali terawanganku ini…membayangkan penis Aria yang menerobos ke dalam lubang kemaluanku ini.

 

“Duuuh…Wiiin…kok enak banget sih?” desahku sambil memeluk leher Erwin erat-erat. Dan makin erat lagi pelukanku ketika Erwin mulai mengayun batang kemaluannya. Oh…benar-benar serasa sedang disetubuhi oleh cinta pertamaku…bahkan kalau dipikir, Erwin lebih muda daripada Aria…tentunya lebih segar daripada Aria.

 

Saking nikmatnya disetubuhi oleh Erwin itu, tanpa sadar aku sering menjambak-jambak rambut Erwin, tapi dengan lumatan ninalku yang makin lama makin menjadi-jadi. ENtotan batang kemaluan Erwin pun makin lama makin menggila, se3hingga kami seperti sepasang manusia kesurupan. Saling lumat, saling remas, sa;ing menggerakkan pinggul sedemikian rupa supaya pergesekan kemaluan kami lebih terasa dan lebih edan !

 

Erwin pun tak sekadar mengentotku memekku. Terkadang buah dadaku diremasnya. Terkadang disedot-sedot seperti bayi yang sedang menyusu. Dan penis Erwin itu, rasanya panjang banget, seperti penis Dimas. “Topi baja”nya terasa berfulang-ulang menonjok ujung liang kewanitaanku, sehingga mataku sering terpejam-pejam saking nikmatnya.

 

Sementara itu keringat Erwin pun mulai membanjir. Bercampur aduk dengan keringatku. Tentu tak kupedulikan, karena waktu menikmati senggama seperti ini semuanya dilupakan. Yang diingat cuma satu: betapa nikmatnya gesekan antar kemaluan kami ini.

 

Maka ketika Erwin menawarkan posisi WOT, aku setuju saja. Tapi dalam posisi ku di atas tubuh Erwin itu, aku mengalami orgasme lagi, sampai ambruk ke dalam dekapan Erwin.

 

Ketika Erwin mengajakku berposisi doggy, terpaksa aku menolaknya. Karena aku masih nyaman disetubuhinya kembali dalam posisi klasik.

 

Dan akhirnya Erwin berbisik terengah, “Di…di mana lepasinnya?”

 

Santai saja kusahut, “Di dalam juga boleh…”

 

Sesaat kemudian, batang kemaluan Erwin terasa mendesak ujung lorong kewanitaanku. Lalu terasa tembakan-tembakan cairan kental dan hangatnya di dalam memekku. Kusambut semuanya itu dengan dekapan erat, dengan goyangan pinggul sebinal-binalnya.

 

Dalam keadaan seindah itu, aku pun tetap merasa beruntung jadi istri Bang Yadi. Karena aku telah merasakan nikmatnya disetubuhi dan disemprot air mani lelaki lain, tanpa menimbulkan pertengkaran sedikit pun, tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti maling.

 

 

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

Baru sampai di situ aku membaca catatan harian istriku yang diberikan padaku seminggu setelah “reuni mini” itu terjadi. Berarti bagian akhir catatan harian itu dibuat setelah aku berada di rumah ini.

 

Aku sudah membacanya dengan cermat. Memang ada yang membuatku cemburu. Tapi harus marahkah aku padanya? Bukankah langkah serongku jauh lebih binal daripada yang telah dilakukan oleh istriku?

 

Lagipula, seandainya aku tak pernah mengajaknya swinger atau sharionmg wife danm sebagainya, ia akan tetap teguh sebagai ibu rumah tangga sejati. Aku yakin. Jadi kalau ada yang harus disalahkan, ya aku sendiri yang harus disalahkan. Karena semuanya itu berawal dari diriku sendiri.

 

Baru saja aku mau melanjutkan membaca catatan harian istriku itu, tiba-tiba hpku berdering. Hmmm…Teh Tia yang nelepon.

 

Lalu:

 

“Hallo Teh?”

 

“Apa kabar Boss?”

 

“Mmm…panggil boss segala.”

 

“Kan emang udah jadi boss batubara di Kalimantan toh?”

 

“Terus, kenapa nelepon? Kangen ya?”

 

“Mmmm…kangen iya, ada bisnis juga iya.”

 

“Wow, dasar jago marketing. Ada yang mau ditawarin kan?”

 

“Iya. Ada pabrik yang bangkrut. Semua assetnya disita oleh bank. Termasuk purinya. Bagus lho purinya itu, terdiri dari tiga rumah bertingkat dengan model kembar, dikelilingi oleh pagar tembok, makanya saya nyebut puri.”

 

“Terus?”

 

“Kalau Mas berminat, siang ini juga bisa saya antar. Harganya mujrah banget, tapi harus cepat-cepat dibeli, karena kalau tidak laku dalam dua minggu ke depan, bank akan melelangnya.”

 

“Teh Tia sekarang di mana?”

 

“Lagi di mall,” sahut Teh Tia sambil menyebutkan nama mall itu.

 

“Ya udah, tungguin aja di situ. Paling lama sejam juga saya udah nyampe.”

 

“Siap Boss. Saya tunggu ya.”

 

Aku bergegas masuk ke kamar dan mengganti piyama dengan pakaian untuk bepergian.

 

“Udah selesai bacanya?” tanya istriku yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar.

 

“Udah sayang.”

 

“Abang gak marah?”

 

“Ngapain marah? Buat ukuran kita, semuanya itu masih wajar.”

 

“Sekarang Abang mau ke mana? Mau ke rumah Mbak Lies ya?”

 

“Nggak sayang. Ada rumah yang mau kulihat. Ikut yok !”

 

“Sekarang?”

 

“Iya. Cepetan dandan… casual aja deh.”

 

 

BEBERAPA saat kemudian, aku dan istriku sudah bersama Teh Tia di dalam mobilku, menuju lokasi rumah yang akan dijual oleh bank itu. Sengaja aku membawa istriku, supaya dia bisa ikut melihat-lihat rumah itu, siapa tahu istriku merasa cocok dan ingin memiliki rumah itu.

 

Meski sedikit di luar kota, rumah itu sangat menarik. Memang lebih tepat kalau disebut puri. Karena di dalam pagar tembok tinggi itu ada tiga rumah kembar, semuanya rumah tiga lantai. Dari luar pagar tembok tinggi tidak terlihat sesuatu yang istimewa. Tapi begitu masuk ke dalam pintu gerbang besi itu, terlihatlah betapa megahnya ketiga rumah kembar yang tadinya milik owner pabrik bangkrut itu.

 

Yang lebih menarik lagi adalah harganya. Hanya sedikit di atas harga lelang, karena kalau tidak laku rumah itu memang akan segera dilelang oleh bank.

 

Aku mengajak istriku melihat-lihat ke rumah-rumah kembar itu. Sementara Teh Tia menunggu di dekat pintu gerbang.

 

“Bagaimana?” tanyaklu kepada istriku, “Kamu senang dengan rumah puri ini?”

 

“Seneng sih Bang. Nanti kita di rumah yang satu…terus yang satu itu buat nempatkan Uni. Yang satu lagi untuk tamu yang datang dari jauh dan mau nginap di sini. Abang setuju?”

 

“Makanya kuajak ke sini, aku ingin kamu yang putuskan, sayang.”

 

“Emang Abang sudah cocok dengan harganya?”

 

Aku menjawabnya dengan bisikan, “Harganya murah sekali, sayang.”

 

“Lalu rumah dan toko itu mau diapain?”

 

“Gampanglah itu. Baik rumah maupun tokonya bisa kita kontrakkan.”

 

“Mimin gimana? Kan kasihan kalau dia ditinggalkan begitu saja Bang. Mana dia sudah bercerai pula dengan suaminya.”

 

“Mimin ajak ke wisma kos aja. Tugaskan dia untuk jadi manager kantin lah.”

 

“Berarti usahaku harus total di wisma kos ya Bang.”

 

“Ya iyalah. Penghasilan wisma kos itu kan jauh lebih gede daripada keuntungan dari toko.”

 

“Iya sih…eh Bang…ada yang unik nih.”

 

“Apaan?”

 

“WIsma kos kita terdiri dari tiga bangunan kembar. Puri ini pun terdiri dari tiga rumah kembar.”

 

“Iya ya….nanti puri ini kita kasih nama Puri Nidy.”

 

“Kok kayak nama cewek?”

 

“Hush ! Itu kan gabungan nama kita…Erni dan Yadi…hahahaaa…”

 

“Oooo…kirain nama cewek baru Abang….hihii..tapi Bang…nanti kalau kita sudah pindah ke sini sih, kita harus punya pembantu, paling sedikit tiga orang.”

 

“Iya lah. Satu rumah satu pembantu. Kalau perlu satu rumah dua pembantu. Berarti kita butuh tiga orang pembantu yang tugasnya beres-beres rumah dan tiga lagi untuk tukang masak.”

 

“Lalu Icha gimana? Kita ajak ke sini aja ya.”

 

“Gak tau tuh…papie pasti sedih banget kalau kita bawa Icha. Mmm…lepasin aja alat KBnya…kita bikin anak lagi. Mumpung masih muda.”

 

“Nanti dicezar lagi…linu Bang.”

 

“Ya udah, kalau gitu jangan mikirin anak dulu deh.”

 

 

SETELAH mengantarkan Teh Tia ke rumahnya, aku mengajak istriku makan di resto langganan lamaku. Di resto itulah aku berkata setengah berbisik, “Kalau aku share wife lagi, kamu mau milih pria yang gimana?”

 

“Nggak ah,” istriku menggeleng, “kalau dipikir-pikir aku jadi takut populer nanti Bang. Kalau populer sebagai artis sih gak apa-apa. Tapi kalau namaku disebut-sebut sebagai ratu swinger, ratu threesome dan sebangsanya, kan aku malu Bang.”

 

“Kalau swing dengan komunitasku sih takkan ada yang bocor mulutnya. Tapi…seandainya aja kamu dipaksa harus memilih, kira-kira yang seperti apa pilihanmu?”

 

Istriku tampak berpikir lama. Lalu berkata lirih, “Kalau boleh memilih sih aku akan milih Edo. Tapi dia kan udah jauh gitu…udah di Gorontalo…entah kapan dia mau ke kota ini lagi.”

 

“Hahahaaa…ternyata permintaanmu cetek sekali. Edo besok juga datang, sayang.”

 

“Hah? Sama Raisha?” istriku tampak kaget.

 

“Iya. Aku mau nempatkan Edo di tambang kita. Soalnya aku tau persis, Edo itu orang yang bisa dipercaya.”

 

“Jadi…?”

 

“Ya kita ajak dia nginap di rumah lah. Dia kan udah gak punya tempat tinggal lagi di kota ini…..” kataku, lalu kulanjutkan dengan ucapan setengah berbisik, “jadi, besok malam kamu bakal hangat…”

 

“Iiih, Abang,” istriku tersipu-sipu sambil mencubit lenganku, “Pasti Abang juga udah kangen sama Raisha kan?”

 

“Kalau aku sih bisnisnya ada di skala prioritas. Soal Raisha sih nomor…..”

 

“…Nomor satu !” istriku memotong ucapanku.

 

“Emang kita gak usah munafik lah. Kita sama-sama kangen sama mereka.”

SEBENARNYA catatan harian istriku belum selesai kubaca. Tapi waktu ia menanyakannya tadi, kubilang sudah dibaca semua. Biar ia merasa plong, tak merasa dihantui oleh dakwaan-dakwaanku. Tapi aku memang tak pernah mendakwanya. Apalagi reuni dengan Erwin dan Kemal itu kan prakarsaku sendiri.

 

Malamnya setelah istriku pulas tidur, aku melanjutkan membaca catatan hariannya tentang reuni di villa itu.

 

 

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

Tadinya kusangka reuni yang hanya dihadiri oleh tiga pasutri ini takkan semenarik petualanganku dengan brondong-brondong itu. Tapi ternyata kutemukan sosok yang menggugah masa remajaku, ya…hadirnya Erwin itu membuatku serasa di masa SMA lagi.

 

Tapi di masa SMA, ciuman bibir pun tak pernah kulakukan. Pacarku paling juga kubolehkan cium pipi.

 

Tapi dengan Erwin itu…bukan sekadar cium pipi. Dan gilanya, aku seolah menjadi wanita hypersex ketika sedang bersama Erwin itu. Setelah air mani Erwin bersemburan di dalam lubang kenikmatanku, hanya belasan mjenit kubiarkan ia terkapar di sisiku. Lalu kupegang batang kemaluannya. Batang kemaluan yang telah membuatku ternikmat-nikmat itu.

 

Dan dengan binal kuemut-emut penis Erwin yang masih lemas itu. Sehingga ia membuka matanya sambil tersenyum padaku. Oh…senyumnya pun sangat mirip gaya senyuman Aria !

 

Permainan mulutku berhasil merangsang Erwin. Dalam tempo singkat saja penisnya telah menegang dan siap tempur lagi. Lalu dengan hasrat yang menggebu-gebu, aku masukkan batang kemaluan Erwin ke dalam lubang kemaluanku, dalam posisi woman on top. Dan aku mulai aktif mengayun pinggulku, bergerak naik turun secara berirama, sehingga lubang kewanitaanku seolah sedang membesot-besot dan memilin-milin tombak kejantanan Erwin yang panjang dan menyundul-nyundul ujung liang kemaluanku.

 

Tampaknya Erwin senang dengan perlakuanku padanya. Ia pun mulai asyik mempermainkan buah dadaku yang bergelantungan di atas dadanya.

 

Setelah terasa capek aktif di atas, aku mengajak Erwin ke posisi klasik lagi. Erwin setuju, lalu menggulingkan tubuhku yang sedang berada di dalam pelukannya. Dan berusaha agar penis Erwin tidak tercabut waktu bergerak ganti posisi itu.

 

“Kalau gini sih aku bisa ketagihan ….bisa sering ngajak ketemuan nanti, Er…” bisik Erwin setelah berada di atas perutku.

 

Aku tersenyum dan menjawab, “Yang penting, harus seizin Bang Yadi. Kita kan udah punya komitmen takkan selingkuh diem-diem.”

 

“Iya…kalau cuma aku dan Yadi, kan bisa swing foursome….bisa lebih konsen lagi….mmm…tetekmu masih kencang gini Er….” cetus Erwin sambil meremas buah dadaku dengan lembut.

 

“Emang gak pernah dipake netekin bayi….anakku dikasih susu formula…”

 

“Ooo…pantesan,” Erwin makin asyik meremasi buah dadaku dengan penis masih menancap di liang kemaluanku, “Melahirkan dicezar, bayinya dikasih susu kaleng…jadi semuanya masih serba kenceng….pantesan…atas bawah masih greng…”

 

Dan ketika Erwin mulai mengayun penisnya, bermaju-mundur di dalam jepitan liang kemaluanku, kusambut dengan meraih lehernya ke dalam pelukanku. Lalu kulumat bibir Erwin sambil menikmati enaknya ayunan penisnya. Oh…lagi-lagi aku dibuai oleh terawangan masa laluku. Membayangkan Erwin sebagai Ariaku yang telah menjadi milik orang lain.

 

Entahlah, fantasiku melayang-layang terus waktu disetubuhi oleh Erwin ini. Sehingga aku pun menjadi binal sekali. Goyangan pantatku mungkin sebinal callgirl highclass..sehingga Erwin pun tampak sangat bersemangat mengenjot batang kemaluannya.

 

Mungkin aku terlalu menghayati indahnya persetubuhan dengan Erwin ini, sehingga aku berkali-kali mencapai orgasme. Sementara Erwin masih mengenjotku dengan perkasanya.

 

Setelah terdengar suara orang bercakap-cakap di luar kamar, Erwin mempercepat pompaan batang kemaluannya. Lalu terasa ada tembakan-tembakan cairan hangat di dalam liang vaginaku, dibarengi dengusan-dengusan nafas Erwin…yang kusambut dengan pelukan seerat-eratnya. Setelah Erwin selesai memuntahkan lahar surgawinya, kuciumi bibirnya dengan mesra, disertai remasan-remasan di bahunya.

 

“Gila…Bercinta denganmu mengesankan sekali, Er…” kata Erwin setelah mencabut penisnya dari jepitan vaginaku.

 

Kuraih lagi kepala Erwin. Kucium lagi bibirnya, lalu kataku, “Erwin juga mengesankan. Malah aku jadi seperti balik ke masa remaja…karena Erwin adik Aria…Tapi kalau ketemu dia, jangan bilang-bilang kita begini ya.”

 

“Ya iyalah. Kalau bilang, bisa-bisa dia ngambek.”

 

“Tapi…Aria pasti tidak sesegar Erwin,” bisikku sambil menggenggam penisnya yang sudah terkulai.

 

“Ya iyalah,” sahut Erwin bersorot bangga, “Aria kan lima tahun lebih tua dariku. Hehehee…”

 

Aku semakin terhanyut dalam perasaanku sendiri. Kupeluk Erwin dari belakang sambil membisiki telinganya, “Ntar…kapan-kapan Erwin ajak my husband swing ya. Kalau aku yang ngajak dia kan gak enak…melanggar etika…hihihi…”

 

“Oke,” Erwin mengangguk, lalu membalik ke depanku, mengepit kedua pipiku dengan kedua telapak tangannya, “aku memang suka kamu kok….mmmhhh….”

 

Ciuman Erwin mendarat lagi di bibirku. Yang kusambut dengan lumatan bergairah dan pelukan hangat…sehangat perasaanku.

 

Kemudian kami mandi bareng. Membuat tubuh jadi segar kembali.

 

Setelah mengenakan pakaian lagi, kami keluar dari kamar, menuju ruang depan, di mana suamiku sedang mengobrol dengan Kemal dan pasangan masing-masing.

 

Ada sedikit perasaan bersalah ketika melihat istri Erwin yang bernama Sinta itu. Karena aku baru saja memperoleh kepuasan dari suaminya. Tapi Sinta seperti tak peduli denganku. Ia malah merebahkan kepalanya di atas pangkuan Kemal. Sementara Ine pun duduk dengan merapatkan pipinya ke pipi suamiku.

 

Hmmm…barangkali inilah yang sering disebut “seninya swinger” oleh suamiku.

 

Hari sudah mulai malam ketika kami selesai makan dan kembali ke kamarnya masing-masing. Baik aku maupun Erwin sudah sama-sama letih dan ngantuk. Lalu sama-sama tertidur sambil berpelukan.

 

Di kamar lain, entah apa yang sedang dilakukan oleh suamiku bersama istri Kemal yang bernama Ine itu. Pasti sedang melakukan “sesuatu” yang aku tidak tahu.

 

 

ESOK paginya, aku ingin sekali merasakan lagi gumulan Erwin. Tapi waktunya sudah tiba untuk bertukar pasangan. Erwin mendapatkan pasangan Ine, suamiku mendapatkan pasangan istri Erwin yang benama Sinta itu. Sedangkan aku harus berpasangan dengan Kemal.

 

Sebenarnya Kemal itu tampan. Malah menurutku lebih tampan daripada Erwin. Tapi orangnya agak pendiam, tidak ceria seperti Erwin.

 

Tapi mau tak mau Kemal itulah pasanganku dari pagi ini sampai besok pagi.

 

Seperti kemaren, pagi ini pun kami berjalan-jalan dulu di perkebunan teh, sambil melenturkan otot-otot. Juga seperti kemaren, aku dan Kemal tidak mau saling ganggu dengan pasangan lain. Maka arahnya pun tidak sama. Sampai menemukan batu besar yang bisa dipakai duduk-duduk berduaan dengan Kemal.

 

Ternyata Kemal itu jarang bicara, tapi actionnya banyak. Baru juga duduk di atas batu besar itu, tangannya mulai merayapi betis dan lututku, bahkan lalu menyelinap ke balik gaun bawahku.

 

“Sebenarnya kemaren aku berharap dapat pasangan Erni,” kata Kemal sambil mengusap-usap pahaku. Membuatku merinding-rindiong juga, dalam hasrat yang mulai terbangkitkan.

 

“Kan sekarang sudah dapat aku,” sahutku sambil balas memijat-mijat pahanya yang terbuka, karena ia mengenakan celana pendek putih.

 

Dan…tiba-tiba saja Kemal memeluk leherku, lalu menciumi bibirku dengan lahapnya. Wow, ternyata dia kebalikan dari nato (no action talk only). Dia malah no talk action only.

 

Tidak seperti Erwin, Kemal itu senang dipanggil Bang olehku. Karena istrinya pun memanggil Bang padanya.

 

Kemal mengajakku duduk di rumput, sambil bersandar ke batu besar itu. Aku ikuti saja ajakannya.

 

“ML di sini enak kali ya,” kata Kemal sambil menggerayangi pangkal pahaku, membuatku sedikit jengah, tapi kubiarkan saja.

 

“Ah nanti aja di villa, Abang bisa ML sekenyangnya sama aku.”

 

“Kemaren waktu sama Sinta, rasanya gak senafsu ini,” kata Kemal sambil menyelinapkan tangannya ke balik celana dalamku.

 

“Bang Kemal udah kepengen?” tanyaku setengah berbisik.

 

“Iya,” sahutnya sambil menggores-goreskan hidungnya ke pipiku.

 

“Ya udah…balik lagi aja ke villa yuk. Udah mendung-mendung gitu, kalau di sini takut kehujanan pas lagi enak-enaknya.”

 

“Ntar dulu…lagi asyik nih,” sahut Kemal sambil menggerayangi kemaluanku dengan lembut tapi cukup merangsang. Sehingga diam-diam kemaluanku mulai basah.

 

Kemal kelihatan makin bernafsu, sehingga aku penasaran, ingin tahu juga apakah ia sudah benar-benar siap atau belum. Maka kuselusupkan tanganku ke dalam celana pendek putih itu. Dan…wow…dia tidak memakai celana dalam….tanganku langsung menyentuh batang kemaluannya yang sudah benar-benar tegang ! Panjang dan gede dan ngaceng !

 

“Wow…udah ngaceng gini Bang,” kataku setengah berbisik.

 

“Iya, punyamu juga udah basah gini…masukin aja yok…” sahut Kemal sambil menurunkan celana pendek putihnya sampai batang kemaluannya tersembul.

 

Aku juga sebenarnya sudah horny berat gara-gara gerayangan tangan Kemal itu. Maka tanpa basa-basi lagi kupelorotkan celana dalamku sampai terlepas dari kakiku. Dan kusingkapkan gaunku sampai ke perut.

 

Kemal tampak senang. Terlebih setelah aku menelentang di rumput dan merenggangkan sepasang pahaku. Langsung saja Kemal menempelkan moncong penisnya di mulut vaginaku dan berusaha membenamkannya. Agak sulit, karena aku menelentang di rumput, bukan di atas kasur empuk.

 

Tapi akhirnya batang kemaluan Kemal mulai membenam ke liang kewanitaanku sedikit demi sedikit. Memang terasa agak sesak, karena my hole belum terlalu basah, sementara ukuran penis Kemal tergolong king size. Tapi setelah Kemal mulai mengayun penisnya, vaginaku juga bereaksi, makin lama makin basah, sehingga makin lancar juga Kemal mengenjot liang kemaluanku.

 

Angin pegunungan yang sesekali bertiup menimbulkan gemerisik dedaunan. Seolah mengiringi keindahan senggama di alam bebas ini. Aku malah membayangkan, di zaman purbakala dulu, mungkin orang-orang bersetubuh seperti ini juga. Karena belum mengenal rumah dan pakaian.

 

Tapi kami tidak bertelanjang bulat. Aku masih mengenakan gaun, hanya celana dalamku yang dilepaskan. Kemal juga hanya memelorotkan celana pendek putihnya sampai di lutut. Tapi kemaluan kami bisa bertemu, bisa saling memberi dan menerima kenikmatan.

 

Tapi langit makin mendung. Hujan rintik-rintik mulai turun.

 

“Bang…hujan…” cetusku.

 

“Iya…ntar nanggung…” sahut Kemal tanpa menghentikan ayunan penisnya. Bahkan semakin mempercepat gerakan maju mundurnya.

 

Mungkin inilah luar biasanya nafsu birahi. Tak lagi peduli dengan apa pun yang terjadi di sekitar kami. Kemal tetap menyetubuhiku dengan garangnya. Sementara aku pun makin memperbinal goyangan pinggulku. Padahal makin lama hujan turun semakin deras. Tapi gilanya, air hujan yang membasahi tubuh dan pakaian kami malah seolah mempersegar jiwa kami.

 

Aku tidak protes sedikit pun. Karena aku sendiri belum pernah mengalami persetubuhan di dalam suasana seperti itu. Persetubuhan di alam bebas, dalam keadaan sedang hujan pula.

 

Biarlah semuanya ini terjadi. Karena kelak aku akan mengenangnya sebagai sesuatu yang sangat indah.

 

Bahkan ketika hujan turun semakin deras, aku justru mulai mencapai orgasme. Yang membuatku merengkuh tengkuk Kemal, sehingga wajahnya bertempelan dengan wajahku. Dan kami pun berciuman dengan mesranya, saling lumat dengan ganasnya.

 

Biarlah hujan turun sederas-derasnya. Kami sudah tak peduli lagi. Karena kami sedang melakukan sesuatu yang paling indah dalam hidup manusia.

 

Meski di tengah hujan lebat, aku masih merasakan tembakan-tembakan cairan kental hangat di dalam lubang kemaluanku. Yang kusambut dengan pelukan erat juga. Biarlah air mani Kemal membanjiri lubang kemaluanku. Karena aku tak mungkin hamil selama alat KB ini masih terpasang di dalam vaginaku.

 

Beberapa saat kemudian, kami berlari-lari menuju villa kembali sambil ketawa-ketiwi. Langsung masuk ke kamar. Lalu bersama-sama masuk ke kamar mandi.

 

“Tadi itu pengalaman yang gila dalam hidupku,” kataku sambil menanggalkan seluruh pakaianku yang basah kuyup. Lalu kuputar kran shower ke arah air panas.

 

“Tapi indah kan?” kata Kemal yang sudah telanjang, sambil memelukku dari belakang.

 

Aku tak menyahutnya, karena mulai menyiramkan shower air panas ke tubuhku.

 

“Dengan Ine pernah main di luar gitu?” tanyaku ketika Kemal mulai menyabuni tubuhku.

 

“Belum,” Kemal menggeleng, “Jujur…tadi itu pengalaman pertama bagiku.Hmm… tubuhmu mulus banget, Er. Bekas operasi cezar pun gak begitu kelihatan.”

 

“Kalau kulitku hitam, pasti kelihatan. Tapi memang dokter yang mengoperasiku orang asing sih.”

 

“Pantasan belas sayatannya hampir tak kelihatan begini.”

 

“Ine waktu melahirkan dicezar juga?”

 

“Gak. Lahiran normal aja. Makanya…memeknya gak semulus memekmu, Er.”

 

“Jangan jelekin istri sendiri ah. Ine itu kan cantik, Bang.”

 

“Tapi Erni jauh lebih seksi,” kata Kemal sambil menyabuni kemaluanku, membuat hasrat birahiku mulai berdesiran lagi.

 

Begitu asyik Kemal menyabuni kemaluanku, sehingga aku pun ingin membalasnya, dengan menggenggam batang kemaluannya yang masih terkulai lesu. Aku mulai meremasnya, bukan cuma memegangnya. Tentu remasan yang membuat batang kemaluan Kemal jadi bangkit lagi sedikit demi sedikit. Tapi ketika ia berusaha mau memasukkannya ke dalam vegyku, cepat kudorong dadanya, “Mandi dulu ah…nanti aja mainnya di tempat tidur. Biar bisa langsung tiduran.”

 

Tampaknya Kemal setuju. Lalu kami mandi sebersih-bersihnya dan cepat mengeringkannya dengan handuk. Baju-baju basah itu kami tinggalkan di kamar mandi, lalu berlari-lari kecil ke dalam kamar, dalam keadaan masih sama-sama telanjang.

 

Tubuh kami sudah segar ketika sama-sama melompat ke atas tempat tidur. Kesegaran yang menumbuhkan semangat untuk bergumul sejadi-jadinya. Berguling-guling seperti dua ekor anak kucing yang sedang bercanda.

 

Sampai pada suatu titik, Kemal menrerudukkan mulutnya ke kemaluanku. Menjilatinya dengan lahapnya, seolah ingin melumat sekujur kemaluanku.

 

Jelas aku semakin horny dibuatnya. Dan terasa lubang kemaluanku mulai basah, sehingga akhirnya kuberi isyarat agar Kemal segera memasukkan batang kemaluannya yang sudah ngaceng berat itu.

 

Kemal pun naik ke atas tubuhku. Mengarahkan penisnya sesaat. Lalu mendesakkannya dengan kuat. Dan melesak masuk menerobos liang kemaluanku yang sudah basah ini….blessss…!

 

Aku menahan napas, karena Kemal memasukkan batang kemaluannya disekaliguskan, sehingga membuatku seperti tersedak. Nemun ketika ia mulai menggeser-geserkan penisnya seperti sedang memompa liang kemaluanku, aku pun menyambutnya dengan pelukan hangat. Pelukan penuh hasrat birahi.

 

O indahnya bersetubuh dengan lelaki yang bukan suamiku ini. Karena ada rasa petualangan yang fantastis…yang membuatku seperti wanita hypersex. Yang tak cukup dengan cuma sekali disetubuhi lelaki.

 

Dan aku tahu, alam yang awalnya diperkenalkan oleh suamiku ini, makin lama makin indah saja rasanya. Meski terkadang gila-gilaan rasanya.

 

 

YANG paling gila dalam reuni ini adalah di malam terakhir. Di ruang tengah yang cukup luas, telah dihamparkan tiga kasur yang telah disatukan.

 

“Ini kan malam perpisahan,” kata Erwin, “Jadi kita harus bikin acara yang lebih seru daripada malam-malam sebelumnya.”

 

Lalu suamiku berunding dengan kedua temannya, mau mengatur pelaksanaan farewell party itu. Aku, Ine dan Sinta cuma menurut saja pada keputusan suami kami.

 

Lalu kami minum sampai setengah mabok. Kemudian kami diminta untuk menanggalkan seluruh pakaian kami. Setelah itu diundi untuk menentukan posisi para istri di atas kasur yang telah disatukan itu. Dari hasil pengundian itu, aku kebagian di tengah. Sinta di sebelah kananku, Ine di sebelah kiriku. Sambil ketawa-ketiwi, kami para istri menelentang semua di atas kasur.

 

“Kamu enak Er,” bisik Sinta, “kebagian di tengah, jadi paling anget…hihihi…”

 

“Sama aja lah,” sahutku sambil tersenyum. Tapi kalau dipikir-pikir posisiku yang di tengah ini memang paling menyenangkan. Karena nanti di kanan kiriku ada yang sedang bersetubuh, sementara aku sendiri sedang bersetubuh tapi entah dengan siapa.

 

Keputusan mereka, waktu start kami disetubuhi oleh suami masing-masing, tapi jangan sampai ejakulasi. Karena selanjutnya akan digilir menurut jarum jam. Jadi setelah tiba waktunya, suamiku akan diganti oleh Kemal, artinya aku akan disetubuhi oleh Kemal. Dan pada gerakan selanjutnya, Erwin yang akan menyetubuhiku…dan begitu seterusnya, sampai mereka ejakulasi semuanya.

 

Lalu puncak acara farewell party itu dimulai. Kami berenam sudah sama-sama telanjang bulat. Suamiku mulai menjilati kemaluanku, sementara Kemal dan Erwin pun melakukan hal yang sama terhadap istrinya masing-masing.

 

Lucunya, begitu yang seorang mulai memasukkan penisnya ke vegy istrinya, yang lain pun melakukan hal yang sama. Lalu serempak mereka menyetubuhi istrinya masing-masing. Termasuk suamiku, mulai mengayun batang kemaluannya di dalam liang kewanitaanku. Tapi Baik Kemal maupun Erwin sama-sama jahil padaku. Erwin menyelusupkan tangannya di bawah dada suamiku dan meremas payudara kiriku. Sementara Kemal pun meremas payudara kananku.Suamiku malah tampak enjoy saja. Tidak merasa terganggu oleh intervensi teman-temannya itu. Bahkan pada saat lain, kedua tangan suamiku meremas payudara Sinta dan Ine, sementara batang kemaluannya tetap asyik mengenjot liang surgawiku.

 

Ketiga lelaki itu seolah-olah sedang berpacu mengentot istrinya masing-masing. Suamiku juga terasa sangat bersemangat mengayun penisnya di dalam liang kemaluanku.

 

Namun pada suatu saat terdengar bunyi timer berbunyi…kliiing….!

 

Itu pertanda para suami harus bergeser menurut jarum jam (bagi mereka). Maka tanpa menunggu lama-lama lagi suamiku pindah ke atas perut Ine, Erwin pindah ke atas perutku dan Kemal pindah ke atas perut Sinta.

 

Dengan bersemangat, Erwin memasukkan batang kemaluannya ke dalam memekku. Lagi-lagi fantasiku membunung tinggi di langit indah. Membayangkan yang tengah menyetubuhiku itu adalah Aria…cinta pertamaku. Maka dengan penuh gairah kudekap pinggang Erwin, sambil menggoyang-goyangkan pinggulku sebinal mungkin.

 

Tapi Ine dan Santi pun tidak diam seperti gebok pisang. Mereka pun goyang pinggul dengan binalnya. Sementara desahan-desahan histeris mulai berkumandang di dalam ruangan itu, termasuk desahan nikmatku sendiri.

 

Pesta yang disebut “reuni” ini memang terasa lebih seru daripada reuni di Puncak, meski pesertanya hanya tiga pasutri.

Tinggalkan komentar