5.Melacak jejak Birahi

Kututup catatan harian istriku dengan perasaan bercampur aduk. Ada perasaan cemburu berat ketika istriku menulis masalah Erwin yang ternyata adik mantan pacar pertamanya itu.

Tapi seperti biasa, aku tak pernah marah tanpa sebab. Apalagi terhadap istriku sendiri. Apa pun yang telah dan akan terjadi, sudah merupakan resiko dari sesuatu yang telah kuputuskan.

Keesokan malamnya, semua itu seolah hilang dari ingatanku. Karena sepasang suami-istri yang kutunggu-tunggu telah datang

Rasanya seperti bermimpi, melihat wajah Edo dan Raisha di depan mataku. Sepasang suami istri yang paling dalam menggoreskan kenangan indah di dalam lembaran kehidupanku. Betapa tidak. Dengan merekalah pertama kalinya kami mengenal wife swap alias swinger…….

Laksana dua saudara yang sudah lama berpisah, aku dan Edo berpelukan. Istriku juga berpelukan dengan Raisha.

Ketika giliran berjabatan tangan dan berpelukan dengan Raisha, benar-benar serasa bermimpi. Sehingga secara tak sadar, aku menciumi bibirnya, tak peduli suaminya ada di dekatku. Namun ketika melirik ke sebelah, kulihat Edo pun bukan cuma berpelukan dengan istriku, melainkan juga menciumi bibir istriku dengan mesranya. Tentu aku cemburu melihatnya. Tapi bukankah aku pun lebih mesra berciuman dengan Raisha?

 

Kemudian kupersilakan Edo membawa koper besarnya ke lantai atas. Raisha dan istriku juga mengikuti langkahku dengan Edo.

 

Setelah menyimpan koper besarnya di kamar yang sebelah kanan, Edo menghampiriku yang sudah duduk di sofa kamar tengah.

 

“Karena hari sudah malam, lagian kalian pasti masih capek, bicara bisnisnya besok pagi saja,” kataku kepada Edo, “Selain daripada itu…kita sudah lama benar gak ketemu…pasti kita sama-sama kangen… bagaimana kalau kita langsung swing?”

 

“Boleh…hahahaaa…itu tawaran yang sangat menarik Bang,” sahut Edo antusias.

 

“Oke..” kataku, “jadi malam ini Edo tidur dengan Erni.”

 

“Dan Bang Yadi tidur dengan Raisha,” sambung Edo.

 

“Yap ! Ada yang keberatan?”

 

Ternyata tidak ada yang keberatan. Bahkan istriku tampak tersenyum-senyum centil.

 

“Aku mau mandi dulu ya Bang,” kata istriku sambil berdiri, lalu menuruni tangga menuju kamar yang di bawah.

 

Waktu kubuka tutup botol dry gin, Edo langsung menyambutnya, “Wow…di sini sih selalu ada bahan untuk pemanasan. Tapi saya mau mandi dulu ya Bang.”

 

“Oke, Edo mandi di kamar sana,” kataku sambil menunjuk ke kamar kiri, “Raisha kalau mau mandi di kamar situ,” sambungku sambil menunjuk ke pintu kamar yang di sebelah kanan.”

 

Aku sendiri belum lama mandi. Sehingga waktu menunggu orang-orang pada mandi, kutuangkan saja dry gin ke gelas kosong. Lalu kuminum separonya.

 

Edo pernah curhat di telepon, bahwa kehidupannya di Gorontalo seperti manusia yang tiada harganya. Karena semua yang ada di sana milik keluarga Raisha. Dan Edo merasa jadi penumpang di kampung istrinya itu.

 

Itulah sebabnya kutawari Edo untuk menjadi wakilku di Kalimantan, karena aku sendiri kurang kerasan di daerah pertambangan yang hawanya panas dengan debu yang pekat di sana-sini. Kalau Edo kerasan di Kalimantan, aku akan tinggal di sini saja, di kota kelahiranku, meski aku bukan 100% asli orang sini.

 

Ternyata Edo menyambut tawaranku. Dan menyatakan siap hidup di daerah pertambangan batubara yang pasti tidak senyaman tinggal di kota besar di pulau Jawa.

 

Yang pertama muncul setelah mandi adalah Edo.

 

Ia langsung duduk di sebelah kiriku.

 

“Jadi bener-bener udah siap hidup di pelosok Kalimantan, Do?” tanyaku sambil menuangkan dry gin ke gelas kosong, lalu menyerahkan gelas itu kepada Edo.

 

“Siap Bang,” sahut Edo sambil menjemput gelas berisi dry gin itu.

 

“Lalu anakmu gimana?”

 

Edo meneguk dry gin yang kusuguhkan, lalu berkata, “Ibunya Raisha menahan anak saya. Dia sangat sayang pada cucunya. Maka saya dan Raisha juga sepakat untuk meninggalkan anak kami di Gorontalo.”

 

“Terus Raisha sendiri gimana? Apakah dia sudah siap hidup di pelosok yang jauh ke mana-mana? Di sana itu bukan tempat untuk bersolek atau manja-manjaan. Belum lagi penyakit malaria, DBD dsb., harus dipikirin dulu sematang mungkin.”

 

“Menurut Abang gimana baiknya?”

 

“Besok lah kita rundingkan lagi,” kataku. Sengaja tak mau membicarakan masalah itu dulu, karena Raisha sudah muncul, dalam gaun tidur putih bersih, membuatnya tampak anggun.

 

“Mmmm…manisnya Raisha,” kataku setelah Raisha duduk di samping kananku.

 

Istriku juga muncul. Biasa, dalam kimono merahnya. Setelah kubawa ke alam swinger, istriku jadi senang pakai kimono.

 

Tanpa minta izin dariku lagi, istriku duduk merapat di sebelah kiri Edo. Mungkin karena melihat Raisha pun sudah duduk merapat di sebelah kananku. Dan Edo yang sudah menghabiskan dua gelas dry gin, tampak tidak canggung-canggung lagi. Langsung merayapkan tangannya ke paha istriku yang tersembul dari belahan kimononya.

 

Tentu darahku berdesir melihat hal itu dengan sudut mataku. Tapi hal seperti itu justru membuat birahiku terhadap istriku senantiasa berkobar. Kelak, setelah cuma berdua dengan istriku, semua yang tampak di mataku itu akan kuingat kembali, lalu membangkitkan gairahku…gairah bernada aneh tapi dahsyat !

 

“Bang,” kata Edo sambil meneguk habis sisa minumannya, “Saya minta izin mau istirahat dulu.”

 

“Yap,” aku mengangguk sambil bangkit juga.

 

Edo melangkah ke kamar sebelah kiri itu sambil menuntun pergelangan tangan istriku. Sementara aku menekan tombol yang terletak di belakang lemari kecil itu, tanpa menarik perhatian Raisha. Lalu kuraih tangan Raisha menuju pintu kamar yang sebelah kanan.

 

Setelah menutupkan pintu sekaligus menguncikannya, langsung kuterkam Raisha yang selama ini sangat kurindukan.

 

“Aku kangen banget sama Abang,” bisik Raisha sambil menanggalkan gaun tidur putihnya.Sehingga tinggal celana dalam dan bra yang masih melekat di tubuhnya yang senantiasa memancarkan gairah untukku.

 

“Aku apalagi,” sahutku sambil menanggalkan baju piyamaku, “Tapi aku yakin kita bakal ketemu lagi. Sekarang terbukti.”

 

Lalu kubantu Raisha melepaskan kancing kait behanya. Payudaranya pun terbuka di depan mataku. O, aku senang sekali meremas dan mencelucupi pentil payudara Raisha yang tidak sebesar payudara istriku, namun selalu terasa hangat dan kenyal.

 

Rasanya sekujur batinku bergetar indah ketika aku telah menemukan kembali sosok yang hilang selama ini.

 

Lalu, ketika mulutku makin asyik mencelucupi pentil payudara Raisha, tanganku pun merayap ke bawah perutnya. Mulai mengusap-usap pangkal pahanya yang sudah menghangat, lalu menyelusup ke balik celana dalamnya. Dan waktu jemariku sudah menyentuh kemaluannya, tubuh Raisha semakin hangat saja rasanya. Terlebih setelah jemariku menyelundup ke lubang kemaluannya, lalu mengelus kelentitnya yang terasa agak mengeras pertanda sudah horny berat….Raisha pun memagut dan melumat bibirku dengan lahapnya.

 

Sekilas bayangan wajah istriku melintas di pelupuk batinku. Membayangkan ia sedang habis-habisan saling melepaskan kangen setelah sekian lamanya tidak berjumpa. Tapi perasaan cemburuku lalu menjadi gairah dahsyat yang kulampiaskan ke tubuh Raisha.

 

Dengan agak kasar kutarik celana dalam Raisha sampai terlepas. Lalu kutekankan moncong penisku ke mulut vagina Raisha. Dan kudorong dengan kuat.

 

Terdengar Raisha merintih, “Duuuh Bang….disekaliin gini….mmm…..”

 

“Kenapa? Sakit?” tanyaku agak menyesal karena telah memasukkan penisku dengan agak kasar.

 

“Gak…gakpapa…lanjutin aja…enak kok…”

 

Mendengar ucapan Raisha itu, aku mulai mengayun batang kemaluanku, tapi kali ini kulakukan dengan lembut, karena takut menyakitinya.

 

Terasa tubuh Raisha bergetar-getar waktu aku mulai menggeser-geserkan batang kemaluanku. Sementara kedua tangannya pun mencengkram sepasang bahuku. Dan matanya kadang terpejam, kadang terbuka dengan sorot kosong seperti sedang melamun. Namun ketika kucium bibirnya, ia menyambutnya dengan lumatan hangat…hangat sekali. Terlebih setelah saling lumat ini kuiringi dengan remasan di payudaranya, terkadang juga dengan jambakan-jambakan lembut di rambutnya yang terurai lepas.

 

Lalu ia mulai berceloteh histeris, “Duuuh…aaaaah…Baaaang….kenapa ya kalau ML sama Abang rasanya kok enak banget Bang….iya Bang…entot yang kuat Bang… iyaaaaa.aaaa…aku udah mau sampai Bang…….ooooh…Baaaaaang… iyaaaaaa …aaaaaaaaaa…aaaaaa….aaaaaaaaaaaaaaahhhhhh…”

 

Lalu sekujur tubuh Raisha terasa mengejang…makin kejang…dan lalu ia menghela napas panjang, pertanda sudah mencapai titik orgasmenya.

 

Tapi aku belum apa-apa. Aku masih menikmati asyiknya menyetubuhi wanita yang kurindukan selama ini.

 

“Gantian ah,” kata Raisha sambil menyontek-nyontek ujung hidungku, “Abang di bawah sekarang…”

 

“Heheheee…pengen di atas? Oke…” sahutku sambil menggulingkan badan ke sebelah Raisha, tapi karena kurang hati-hati, penisku jadi terlepas dari jepitan lubang kemaluan Raisha.

 

Setelah aku menelentang, dengan sigapnya Raisha memegang batang kemaluanku dan mengarahkannya ke mulut vaginanya. Kemudian ia menurunkan pantatnya sambil memegang batang kemaluanku. Dan tak sulit untuk memasukkan penisku ke dalam liang vaginanya yang masih terasa basah karena habis orgasme itu.

 

Lalu ia mulai aktif menaik turunkan pinggul dengan binalnya. Aku pun tak membiarkan ia berjongkok seperti itu. Lalu kuraih Raisha agar menghimpit dadaku, supaya ia takkan letih di tengah jalan.

 

Memang kenikmatan suatu persetubuhan sangat dipengaruhi oleh perasaan terhadap partner senggama. Dan aku yang sudah sangat kangen kepada Raisha, lalu merasakan persetubuhanku dengannya jadi sangat indah. Bukan cuma nikmat fisikali.

 

Ketika batang kemaluanku terasa seperti dibesot-besot oleh jepitan liang kemaluan Raisha, rasanya sekujur batinku ikut bergetar-getar hebat. Bergetar dalam nikmat yang tiada taranya.

 

Namun belasan menit kemudian Raisha ambruk di dalam dekapanku.

 

“Kenapa? Udah orga lagi?” bisikku.

 

“Iya…terlalu enak sih,” sahut Raisha sambil tersenyum. Lalu menciumi pipiku dan akhirnya melumat bibirku dengan ganasnya.

 

Aku pun berusaha menggulingkan badan tanpa mencabut batang kemaluanku. Berhasil. Aku menjadi di atas kembali. Dan bisa melanjutkan persetubuhan meski lubang vagina Raisha terasa becek. Aku malah suka mengenjot lubang kemaluan yang sudah becek begitu. Karena itu artinya aku telah berhasil membuatnya orgasme, sehingga aku bebas mau ejakulasi kapan pun.

 

“Becek ya Bang,” bisik Raisha waktu aku sudah mengenjotnya lagi, “Mau dilap dulu?”

 

“Gak usah, aku malah suka dengan keadaan seperti ini,” sahutku sambil menciumi bibir Raisha yang sensual itu, “Masih pakai alat KB?”

 

“Masih…” sahut Raisha sambil memeluk leherku erat-erat.

 

“Asyik…jadi bisa dilepasin di dalam nanti ya.”

 

“Iya Bang…duuuuh…ini udah enak lagi Bang….entot yang kencang Bang…..iya…iya…. oooooh….enak banget Bang…oooh…Abaaaaang….barengin dong Bang….biar nikmat….”

 

Mendengar keinginan Raisha untuk mencapai klimaks berbarengan, aku pun berusaha menurutinya. Kugenjot batang kemaluanku dengan kecepatan tinggi, membuat Raisha seperti meraung-raung perlahan….lalu aku berbisik terengah….”Aku udah mau ngecrot nih…”

 

“Iya Bang…aku juga udah mau orga….ayo barengin Bang….oooooh Bang……” Raisha gedebak gedebuk menggoyang-goyangkan pinggulnya sedemikian rupa, sehingga kelentitnya berkali-kali menggesek batang kemaluanku.

 

Dan akhirnya kami seperti manusia-manusia kesurupan. Mata kami jadi beringas….kami seperti mau saling meremukkan dengan saling cengkram dan saling remas sekuat-kuatnya….dan akhirnya moncong penisku menembak-nembakkan air maniku di dalam jepitan liang kemaluan Raisha yang tengah berkedut-kedut dalam orgasmenya.

 

Lalu kami sama-sama terkapar di pantai kepuasan.

 

 

Esok paginya aku ingin melihat hasil rekaman “hidden camera”, yang merekam seluruh perilaku istriku dengan Edo tadi malam. Tapi, sialan….entah di mana errornya, semua yang telah kuatur itu tidak bekerja. Tiada gambar seekor semut pun di komputerku.

 

Ketika aku menuju ruang depan, Edo menghampiriku.

 

“Kapan saya harus terbang ke Banjarmasin, Bang?” tanyanya.

 

“Lebih cepat lebih baik,” kataku, “Nanti Herman menjemput Edo di bandara Syamsuddin Noor.”

 

“Herman yang dulu sopir Abang itu?”

 

“Iya. Dia sekarang pegang bagian logistik di sana, bukan sekadar sopir biasa. Dia juga sudah menguasai liku-liku tambang, sampai ke pengirimannya. Jadi kalau ada yang belum mengerti, tanya saja sama dia nanti. Lagian kita kan bisa contact by phone setiap saat diperlukan.”

 

“Wah…kalau gitu hari ini saja saya ke Jakarta,” kata Edo, “Nanti di Jakarta saja beli tiket pesawat ke Banjarmasinnya. Lalu…mengenai Raisha gimana Bang?”

 

“Terserah Edo lah. Dia kan istri sampeyan,” kataku sambil menepuk lutut Edo.

 

“Begini…” kata Edo yang tampak berpikir sesaat, “Abang gak keberatan kalau saya nitip Raisha dulu di sini, sampai saya merasa kerasan di sana nanti?”

 

Aku tersenyum, lalu membisiki telinganya, “Kalau dititipin di sini, bisa kuajak tidur bareng terus…gimana?”

 

“Gakpapa,” kata Edo tampak serius, “Asal dengan Abang, saya relakan.”

 

“Serius nih?”

 

“Serius Bang.”

 

Lalu kami berjabatan tangan. Seolah terjadi suatu kesepakatan yang aneh buat orang awam dalam soal wife swap dan sebangsanya. “Di Kalimantan juga banyak cewek yang cantik-cantik,” bisikku, “Tapi awas…jangan sampai lupa sama Raisha.”

 

“Ohya…istriku pasti senang nanti,” kataku kemudian, “karena sekarang dia ada kegiatan lain. Raisha bisa dijadikan asistennya.”

 

Lalu kujelaskan masalah wisma kos milikku itu. Untuk meyakinkan Edo, sekalian kuajak dia dan Raisha ke wisma kos itu. Sementara istriku entah ke mana, mungkin sedang belanja.

 

Edo dan Raisha tampak takjub menyaksikan wisma kos yang belum pernah mereka ketahui itu.

 

Raisha tertarik pada kantin yang tampak ramai siang itu. Ia berkata padaku, “Kalau disuruh oleh Mbak Erni, saya mau bantuin mengembangkan kantin itu, Bang.”

 

“Bagus,” sahutku, “dia memang sedang membutuhkan wanita yang bisa dipercaya untuk mengelola kantin itu. Nanti kita rundingkan sematang-matangnya di rumah.”

 

Waktu aku pulang bersama Edo dan Raisha, kulihat istriku sudah ada di ruang keluarga.

 

“Tadi ke mana?” tanyaku kepada istriku yang sedang nonton televisi.

 

“Gak ke mana-mana,” sahutnya.

 

“Tadi kucari-cari gak ada.”

 

“Abang nyari ke mana? Aku di ruang kerja Abang kok.”

 

“Ngapain di situ?”

 

“Kan bikin laporan buat suami tercinta.”

 

“Ohya?! Laporan yang tadi malam?”

 

“Iya,” istriku mengangguk sambil mencubit perutku.

 

Beberapa saat kemudian Edo pamitan, mau berangkat ke Jakarta. Lalu akan terbang ke Banjarmasin. Kalau tidak dapat tiket untuk hari ini, ia akan menginap dulu di rumah familinya, katanya.Sebelum berangkat, Edo cipika-cipiki dulu dengan Raisha. Dan diam-diam kuperhatikan, tiada sorot sedih di diri Raisha, meski suaminya akan pergi jauh.

 

“Bang, aku mau ngajak Raisha ke wisma kos ya,” kata istriku setelah Edo berlalu.

 

“Iya,” aku mengangguk.

 

Setelah istriku bisa nyetir sendiri, rasanya aku jadi tenang, tak usah nyari-nyari sopir lagi. Lagian sekarang susah nyari sopir yang setia seperti Herman.

 

Tapi kalau aku tidak menetap di Kalimantan lagi, rasanya aku butuh mobil satu lagi untuk keperluanku sendiri.

 

Tiba-tiba aku teringat sesuatu….yang tadi dikatakan oleh istriku sebagai “laporan” itu. Bergegas aku menuju ruang kerjaku, menyalakan komputerku, karena istriku biasa mengetik di komputer ini. Sementara laptopku selalu kusembunyikan, kuberi password pula, agar istriku tak bisa sembarangan membuka-buka isinya. Memang sejak laptopku disembunyikan dan dikasih password, istriku tidak bisa membuka [DS]…maaf ya admin [DS], aku terpaksa melakukan hal itu supaya bebas menulis pengalaman-pengalaman yang istriku tidak tahu.

 

 

Aku berhasil menemukan file “laporan” itu di folder yang diberi judul ERNI.

 

Berdebar-debar juga waktu aku membaca “laporan” yang diketik oleh istriku itu :

 

 

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

 

Aku tak menyangka bakal ketemu lagi dengan Edo yang pernah menggoreskan kenangan manis dan mendalam di dalam diriku. Betapa tidak. Aku menyerahkan tubuhku padanya, sebagai lelaki pertama yang bukan suamiku. Dan kini ia sudah berada di depan mataku. Membuatku tergetar-getar, karena teringat masa lalu, masa ketika pertama kalinya ia menciumiku, lalu meneroboskan batang kemaluannya ke liang surgawiku di villa bersejarah itu.

 

Dan kini ia sudah bersamaku di kamar lantai atas ini.Ketika aku dan Edo masuk ke dalam kamar yang pintunya sudah ia tutup dan kunci, terasa jantungku memukul kencang. Karena aku tahu pasti apa yang akan terjadi. Sebagai seorang perempuan, lengkap dengan kepekaan perasaan perempuan, tentu saja aku degdegan dibuatnya.

 

“Kangen gak sama aku, Mbak?” tanya Edo perlahan sambil memeluk pinggangku dengan sorot muka yang hangat.

 

“Ya tentu aja,” sahutku sambil balas memeluknya, “Edo kan sering memiliki tubuhku. Bagaimana aku bisa melupakannya?”

 

“Aku apalagi…sangat-sangat kangeeeen…sampai sering pengen terbang ke sini…hanya ingin bertemu dengan Mbak…”

 

Lalu kusambut ciuman Edo dengan lumatan bergairah. Yang membuat sekujur tubuhku menghangat, seolah baru pertama kalinya disentuh lelaki.

 

Dan Edo setengah mendorongku ke pinggiran tempat tidur, sampai akhirnya aku terlentang di situ.

 

Edo pun lalu melepaskan tali kimonoku. Dan tampak senang karena di balik kimono ini aku tak mengenakan apa-apa lagi. Soalnya aku tahu apa yang akan terjadi, sehingga tak mau ribet-ribet mengenakan pakaian dalam lagi.

 

Maka dengan terbukanya kimonoku, tiada apa-apa lagi yang masih melekat di tubuhku. Membuat Edo terasa sangat bergairah untuk menjilati pentil payudaraku, sementara jemarinya mulai menggerayangi kemaluanku yang selalu kucukur bersih ini.

 

Aku pun tak mau tinggal diam. Kuselusupkan tanganku ke lingkaran karet celana piyama Edo. Ternyata ia pun tak mengenakan celana dalam, sehingga aku bisa langsung menyentuh batang kemaluannya…batang kemaluan yang ternyata sudah tegang sekali. Kok bisa ya langsung ngaceng berat begini?!

 

Tapi ketika badan Edo menurun, ketika mulutnya tampak mau menjilati kemaluanku, aku tak bisa lagi memegang penisnya. Maka kataku, “Enam sembilan aja yuk…”

 

“Boleh,” Edo mengangguk sambil menurunkan celana piyamanya sampai terlepas. Lalu mengambil posisi terbalik. Kakiku berada di samping kepalanya, sementara kakinya berada di samping kepalaku.

 

“Mbak di atas aja, biar gak berat,” kata Edo sambil menelentang.

 

Aku setuju. Posisi di atas akan membuatku takkan merasa berat menahan beban tubuh Edo.

 

Aku merangkak ke atas tubuh Edo. Posisi kemaluanku tepat berada di atas mulut Edo, sementara batang kemaluan Edo tepat berada di bawah mulutku.

 

Dan ketika kurasakan kemaluanku mulai dijilati oleh Edo, oh, desir-desir nikmat itu mulai kurasakan. Membuatku jadi bersemangat untuk melahap batang kemaluan Edo yang tampaknya memang sedikit lebih panjang daripada penis suamiku.

 

Dengan binalnya kuselomoti penis Edo yang sudah sangat ngaceng ini, sementara kemaluanku pun terasa sedang dijilati habis-habisan oleh sahabat suamiku itu.

 

Ini terlalu nikmat bagiku. terlebih lagi setelah kurasakan bokongku diremas-remas terus oleh Edo. Sehingga tak sampai sepuluh menit kurasakan orgasmeku sudah mau datang. Benar…benar….oooooh….aku sudah mencapai puncak orgasme yang terlalu indah untuk dilukiskan dengan kata-kata. Aku mengejang, menahan nafas….lalu ambruk dalam kepuasan, meski Edo baru main oral dan belum memainkan peranan penisnya.

 

Aku merebahkan diri, terlentang di samping Edo sambil berkata lirih, “Aku udah orga, Do…jilatannya terlalu edan sih….”

 

Edo cuma tersenyum. Lalu merayap ke atas perutku. Dan sesaat kemudian ia sudah membenamkan batang kemaluannya ke dalam liang kewanitaanku. Lalu menariknya…lalu mendoirongnya…menariknya lagi…mendorongnya lagi… Ooooh….ini baru persetubuhan yang sebenarnya. Aku pun menyambutnya dengan sepenuh kehangatanku. Dengan pelukan dan remasan, terkadang dengan ciuman-ciuman di pipi Edo, terkadang membiarkan bibirku dilumatnya habis-habisan. Sementara pinggulku pun mulai dimainkan, dalam goyangan-goyangan terlatih, yang membuat kelentitku berkali-kali tergesek oleh penis Edo. Ini membuatku terpejam-pejam saking nikmatnya.

 

Oh indahnya alam ini. Terima kasih, suamiku tercinta. Berkat ajakanmu, aku telah berkali-kali menikmati keindahan yang tiada taranya ini. Sehingga hidupku seolah tengah berada di surga….surga dunia tentunya. Surga yang membuat kami melupakan nsegalanya. Melupakan keringat kami yang sudah bercampur aduk, melupakan air liur kami yang bercampur aduk….semuanya bercampur aduk dalam keindahan yang tak terperikan.

 

Yang aku ingat cuma satu, bahwa sodokan-sodokan batang kemaluan Edo di lubang kemaluanku, membuatku terengah-engah…membuatku merintih-rintih tak terkendalikan lagi, “Edooo…ooooh…Edoooo….ini enak sekali Edoooo…..ooooh….Edo sayaaaang…. entot terus jangan berhenti-berhenti, sayang….ooooh…..aku sedang menjadi milikmu sekarang….lakukanlah seedan mungkin…..ooooh….”

 

Oh, edannya perttemuanku dengan Edo malam ini. Ketika Edo membenamkan batang kemaluannya dalam jepitan liang kewanitaanku, terasa lorong kenikmatanku disemprot-semprot oleh cairan kental dan hangatnya…luar biasa nikmatnya, karena aku pun sedang menikmati indahnya orgasmeku yang kedua kalinya.

 

Tapi itu bukan yang berarti bahwa pelipuran kerinduan kami sudah selesai. Belum. Belum selesai. Karena ketika aku sedang mencuci kemaluanku di kamar mandi, Edo memelukku dari belakang. Menggerayangi lagi kemaluanku dengan lembut tapi sangat membangkitkan. Dan ketika kupegang batang kemaluan Edo, ternyata sudah tegang lagi !

 

Aku pun menuruti keinginan Edo. Aku berdiri menyandar ke dinding, sementara Edo berusaha memasukkan penisnya sambil berdiri pula di depanku. Untungnya vaginaku baru mengalami orgasme, sehingga tak sulit bagi Edo untuk membenamkan batang kemaluannya. Lalu ia memelukku sambil mengayun batang kemaluannya. Kusambut dengan ciuman dan lumatan bergairah, dengan pelukan di lehernya…dan berusaha menggoyang pinggulku supaya kelentitku sering bergesekan dengan batang kemaluan Edo.

 

Terkadang Edo meremas-remas sepasang payudaraku dengan lembut, terkadang mencium bibirku…dan persetubuhan di dalam kamar mandi ini berlangsung cukup lama, sehingga kakiku terasa agak pegal. Tapi aku tak mau menyerah. Kuladeni kejantanan Edo dengan sepenuh kehangatanku.

 

Ketika aku merasa sudah dekat-dekat titik orgasme, aku membisiki telinga Edo, “Ayo…barengin lagi kayak tadi yok…biar enak Do…”

 

Dan manakala Edo membenamkan batang kemaluannya dalam-dalam, sampai menyundul ujung liang kemaluanku…aku sudah mencapai orgasme, yang membuatku ingin menjerit sekuat-kuatnya, “Edaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan….. ini nikmaaaaaaaat !”

 

Tapi jeritan itu hanya jeritan batinku. Jeritan wanita yang sedang merasakan nikmatnya gasakan kejantanan.

 

Pada saat yang sama moncong penis Edo pun memuntahkan air maninya…yang kusambut dengan ciuman mesra.

 

Kemudian kami membersihkan kemaluan kami dengan sabun dan air hangat.

 

Dan berlari-lari kecil ke arah tempat tidur. Lalu kami tarik selimut, untuk menyelimuti tubuh kami yang talanjang bulat ini. O, betapa indahnya tidur dalam pelukan Edo. Rasanya aku ini seperti pengantin baru di malam pertama.

 

Lalu kami sama-sama tertidur di balik sehelai selimut tebal.

 

Tapi entah kenapa, jam empat pagi aku terbangun. Dengan gairah yang berkobar lagi. Dan dengan perlahan-lahan wajahku mendekati batang kemaluan Edo yang masih tertidur seperti pemiliknya.

 

Sepenuh gairah, aku berusaha membangkitkan penis yang terkulai itu, dengan jilatan-jilatan binal di moncongnya, di bagian bawah lehernya…dan lalu kuselomoti sekalian, kukulum penis Edo sambil menggerak-gerakkan lidahku di dalam mulutku.

 

Sedikit demi sedikit penis Edo mulai bangkit. Makin lama makin tegang. Dan ternyata Edo sudah terbangun dengan senyum di bibir.

 

Tanpa banyak bicara lagi aku berjongkok dengan kedua kaki berada di kanan-kiri pinggul Edo. Lalu kumasukkan batang kemaluan Edo yang sudah siap tempur itu ke dalam liang kewanitaanku. Lalu kedua telapak tanganku ditekankan ke kasur, untuk menahan tubuhku. Dan aku mulai beraksi. Menaik turunkan pinggulku sehingga batang kemaluan Edo jadi keluar-masuk di dalam jepitan liang kemaluanku.

 

“Aduuuh Mbak Erni….subuh-subuh sudah dikasih sarapan yang enak gini….” cetus Edo sambil membiarkanku beraksi terus.

 

Belasan menit aku melakukan itu semua. Sampai pada suatu saat, Edo bangkit, duduk berhadapan denganku, dengan batang kemaluan masih menancap di dalam liang vaginaku. Lalu kami lanjutkan persetubuhan ini sambil duduk berhadapan. Dan…oh…nikmatnya bukan main ! Sepasang buah dadaku yang bertempelan dengan dada Edo, terkadang diremas oleh sahabat suamiku itu. Dan leherku berkali kali dijilatinya…sehingga aku terpejam-pejam dalam nikmat yang sulit melukiskannya.

 

Ketika Edo mengusulkan untuk berganti posisi ke posisi doggy, aku pun setuju saja. Lalu aku menungging, sementara Edo memasukkan batang kemaluannya dari belakang.

 

Kini Edo lagi yang aktif mengenjotku.

 

Ketika fajar mulai menyingsing, persetubuhan kami belum selesai juga. Padahal aku sudah menikmati dua kali orgasme.

 

Ketika terdengar suara suamiku dan Raisha yang sudah pada bangun, persetubuhan kami belum juga.

 

Padahal posisi kami sudah kembali ke posisi klasik. Aku di bawah, Edo di atas. Rasanya Edo makin perkasa di pagi ini. Batang kemaluannya tetap asyik mengenjot liang kenikmatanku.

 

Namun setelah mendengar suara Raisha yang cekikikan di kamar tengah, Edo seperti terburu-buru mengenjotku. Maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur…….dengan gerakan cepat begitu, akhirnya ia membenamkan batang kemaluannya…terasa dalam sekali ia membenamkannya, sampai terasa kepala penisnya mendesakkan ujung lorong kenikmatanku. Lalu kurasakan lagi tembakan-tembakan air mani Edo di dalam liang kewanitaanku.

 

Oh….pagi yang indah sekali….

 

 

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

Catatan terbaru istriku itu selesai kubaca. Ada perasaan iri bercampur cemburu. Karena ternyata yang dilakukan oleh istriku bersama Edo, jauh lebih edan daripada yang kulakukan bersama Raisha. Tapi…kenapa aku harus iri? Bukankah sekarang Raisha berada di dalam kepalanku dan sudah mendapat izin dari suamiku untuk diapakan juga?

 

Maka sorenya, ketika istriku dan Raisha sudah datang, aku memanggil istriku ke dalam kamarku.

 

“Sayang…ternyata kamu lebih banyak melakukannya bersama Edo. Aku dan Raisha tadi malam cuma main satu kali,” kataku.

 

“Terus?” istriku menyunggingkan senyum menggoda.

 

“Boleh aku tidur dengan Raisha lagi malam ini?”

 

“Iya boleh,” istriku mengangguk, “tapi aku mau balik lagi ke wisma kos. Boleh kan?”

 

“Mmmm…kamu mau ngajak Leo kan?”

 

“Iya. Biar adil. Abang sama Raisha, aku sama Leo.”

 

Aku terlongong…tak bisa berbicara apa-apa lagi. Ketika mobilku yang dikemudikan sendiri oleh istriku mulai meninggalkan garasi, aku tetap tak bisa bicara apa-apa lagi, selain membayangkan akan terjadi duel habis-habisan di wisma kos sana………….

 

Keresahan melanda batinku. Membayangkan istriku sedang digeluti oleh Leo yang masih remaja itu, batinku jadi berdesir-desir terus dibuatnya. Terbayang, istriku bakal menguras kejantanan dari darah muda Leo, entah seperti apa binalnya ia di rumah kecil itu.

 

Tapi biarlah. Kenapa aku harus iri dan cemburu? Bukankah Leo adik sepupuku sendiri? Lagipula…bukankah aku punya Raisha yang kini sudah berada di kamar lantai atas?

 

Kenapa aku tak segera memanfaatkannya? Bukankah Edo juga sudah berkata bahwa ia rela kalau istrinya diapakan pun olehku?

 

Sebelum naik ke lantai atas, kuambil dulu sebotol dry gin yang masih baru dan sebotol Martini berikut dua gelas kecil. Lalu aku melangkah ke tangga menuju lantai atas.

 

“Raisha sayang….sini dong…” seruku setelah berada di kamar tengah yang lantainya sudah dihampari kasur-kasur lebar dan disatukan itu.

 

Raisha membuka pintu kamar yang sebelah kanan, “Waduh…siap-siap mau minum ya?”

 

“Ah…minum sekadar pemanasan aja. Bukan mau minum sampai teler,” sahutku sambil duduk di sofa. Raisha yang mengenakan daster batik pun duduk di sampingku.

 

“Mbak Erni udah tidur?”

 

“Udah pergi,” sahutku, “dia mau nginap di wisma kos malam ini.”

 

“Wow…jadi cuma kita berdua sekarang?”

 

“Iya,” kataku sambil melingkarkan lengan kiriku ke pinggang Raisha, sementara tangan kananku mengangkat gelas yang sudah diisi martini dan kuserahkan kepada Raisha. Sementara aku sendiri meneguk gelas yang sudah berisi dry gin.

 

Tanpa ragu-ragu Raisha meneguk martini itu.

 

“Edo sudah memasrahkan Raisha padaku. Ketika kubilang bagaimana kalau Raisha kuajak ML terus tiap malam? Edo malah menjawab, gak apa-apa. Kalau sama Abang sih saya rela, katanya. Baik hati benar ya suamimu itu.”

 

“Dia kan mau berjuang di Kalimantan, Bang. Kalau saya ikut, bisa mengganggu kegiatannya nanti,” sahut Raisha sambil memegang tanganku dan terasa remasan lembutnya, membuat perasaanku tenggelam dalam arus aneh, yang tak biasanya kurasakan. Aaaah…jangan-jangan aku mulai jatuh cinta padanya…..?!

 

Setelah menghabiskan isi gelasku, kucium bibir Raisha…cukup lama, karena Raisha menjulurkan lidahnya, maka kusedot lidah itu dan jkuelus dengan lidahku….aaaah…ini indah sekali.

 

Terlebih setelah tanganku merayap ke balik daster bagian dadanya…,ere,as payudaranya yang tak mengenakan beha….payudara yang tidak besar, tapi terasa padat kenyal, seperti payudara wanita yang belum punya anak.

 

“Tetek saya kecil ya Bang,” kata Raisha ketika tanganku masih meremas-remas payudaranya.

 

“Malah enakan yang kecil gini, bisa tergenggam semuanya…gak ada yang tersisa,” kataku sambil menarik kepala Raisha agar rebah di pangkuanku. Raisha menurut saja. Menatapku dari pangkuanku, dengan senyumnya yang….aaaaah….betapa manisnya senyum Raisha itu…!

 

Dan tanganku berpindah sasaran. Merayapi pahanya yang tidak tertutup dasternya, karena daster batik itu cukup pendek. Merayapi paha hangat itu, gairahku makin menjadi-jadi. Terlebih ketika aku membayangkan istriku yang tadi malam habis-habisan disetubuhi oleh Edo dan sekarang mungkin mulai habis-habisan disetubuhi oleh Leo…membuat gairahku semakin berkobar. Dan ketika tanganku tiba di pangkal paha Raisha, terasa jembut tipisnya mulai tersentuh. Berarti ia tak memakai celana dalam !

 

Tapi pada waktu aku menyingkapkan dasternya, sehingga kemaluannya tampak nyata di mataku, Raisha sudah berhasil menyembulkan batang kemaluanku, karena tanpa kusadari barusan diam-diam ia menurunkan celana piyamaku setelah melepaskan talinya.

 

Raisha memasukkan batang kemaluanku ke dalam mulutnya….hap ! Lalu kurasakan lidahnya bergerak-gerak di dalam mulutnya, membuat batang kemaluanku geli-geli enak…uuuh…ini luar biasa membangkitkan nafsuku…membuat batang kemaluanku semakin kencang saja rasanya.

 

Maka tanpa ampun lagi aku bergerak sedemikian rupa, sehingga Raisha jadi menelentang di sofa, dengan daster yang sudah dilepaskan, sehingga ia menjadi telanjang bulat. Sementara aku pun menanggalkan celana dan baju piyamaku. “Di sini aja biar leluasa,” kataku sambil menunjuk ke kasur yang terhampar di lantai kamar tengah ini.

 

Aku sudah siap untuk menyetubuhi Raisha, tapi tiba-tiba hpku berdering. Dari Joseph !

 

Lalu kubuka hubunganku dengan teman lamaku itu:

 

“Hallo Jos! Apakabar?”

 

“Baik-baik aja. Eh kapan kita mau bikin acara lagi? Kata teman-teman, kamu ngadain reuni kecil bersama Kemal dan Erwin ya?”

 

“Iya…emang kamu di mana sekarang?”

 

“Gak begitu jauh dari rumahmu.”

 

“Ohya? Kalau gitu ke sini aja deh.”

 

Setelah hubungan telepon ditutup, Raisha bertanya, “Siapa Bang?”

 

“Teman lamaku. Kita threesome aja yuk…biar lebih seru.”

 

“Iiiih…Abang….”

 

“Orangnya tampan banget, sayang. Nyesel deh kalau kamu gak mau. Udah pernah nyobain nikmatnya digauli sama dua lelaki kan?”

 

“Udah, tapi sama Abang dan Mas Edo.”

 

“Seru kan? Sekarang mumpung Edo jauh, istriku juga gak ada. Kapan lagi mau manfaatkan waktu yang baik begini?”

 

“Tapi…nanti Abang laporan sama Mas Edo…”

 

“Nggak. Rahasia ini kujamin takkan bocor. Sama istriku juga takkan kukasih tau.”

 

“Mmm…terserah Abang deh…”

 

“Pokoknya malam ini kita bikin acara sedahsyat mungkin, oke?!” kataku sambil mengenakan celana piyama. Dengan hanya mengenakan celana piyama tanpa bajunya, aku berlari ke lantai bawah, lalu kubuka kunci pintu ruang depan, tapi pintunya tetap dalam keadaan tertutup. Lalu kukirim sms buat Joseph, “Nanti langsung masuk saja. Pintunya tidak dikunci. Langsung naik ke atas, Jos. Aku lagi sama cewek nih. Siap-siap aja MMFan”.

 

Setelah mengirim sms itu, aku buru-buru ke lantai atas lagi.

 

“Ayo kita lanjutkan yang tadi baru mau start,” kataku sambil melepaskan celana piyamaku.

 

“Nanti temen Abang keburu datang.”

 

“Gakpapa lah…santai aja,” kataku sambil berusaha memasukkan batang kemaluanku ke liang vagina Raisha. Meski agak sulit, akhirnya aku berhasil juga membenamkannya.

 

“Memekmu emang enak banget. Rasanya legit sekali…” bisikku waktu mulai mengentotnya.

 

“Tapi Abang mau kasihin aku ke cowok lain sekarang.”

 

“Justru aku ingin pamer, bahwa aku punya cewek yang memeknya legit banget….juga ingin bikin Raisha puas…sepuas-puasnya…saking sayangnya aku sama Raisha…” bisikku yang kututup dengan ciuman hangat di bibir sensualnya. Raisha pun menyambut dengan lumatan binal…lagi-lagi dengan menjulurkan lidahnya yang kusedot sejadi-jadinya.

 

Ayunan batang kemaluanku mulai lancar. Sementara Raisha pun menggoyang-goyang pinggulnya dengan gerakan yang erotis, membuatku keenakan di atas perutnya. Namun pada saat itulah kudengar langkah manusia menaiki tangga. Berarti Joseph sudah datang dan langsung naik ke atas sesuai dengan petunjuk dariku di sms.

 

Mendengar suara langkah manusia itu, malah membuatku malah semakin bernafsu untuk menggenjot batang kemaluanku, seperti pembalap sepeda yang takut dikejar oleh saingan di sampingnya. Ya, aku seolah pelari yang sedang lari sprint menjelang finish. Sehingga Raisha tersengal-sengal diselingi oleh rintihan-rintihan histerisnya, “Baaaang…ooooh….Baaaang………Baaaang…..oooooh….ini…edan….edaaan….enak banget Baaaaang….aaaaah……aaaah….”

 

Raisha terpejam-pejam sehingga tidak menyadari bahwa Joseph sudah berada di dalam kamar asmara yang bertaburan nikmat dan kehangatan ini. Ketika aku menoleh ke arah Joseph, teman lamaku itu malah memberi isyarat agar aku melanjutkan persetubuhanku sampai selesai. Mungkin karena apa yang sedang kulakukan bersama Raisha itu merupakan tontonan yang sangat merangsang baginya.

 

Maka sengaja kuhalangi pandangan Raisha dengan tempelan pipiku, sehingga Raisha tetap tak bisa melihat kehadiran Joseph yang sudah duduk di sofa sambil meneguk minumanku sedikit demi sedikit.

 

Lumayan lama Joseph menungguku menuntaskan persetubuhan ini. Raisha tetap tak menyadari kehadiran teman lamaku itu. Karena Joseph seperti sengaja, tak mengeluarkan suara sedikit pun. Tetap asyik menonton sambil menikmati minumannya.

 

Raisha bahkan terasa mau mencapai orgasmenya. Benar. Ia merengek-rengek erotis lagi, “Baaaang….ooooh….barengin lagi Baaaang….biar enak Baaaang….ooooh……ooooh….”

 

Dan manakala Raisha terpejam sambil menahan napasnya…dengan kaki terkejang-kejang….dengan lubang kemaluan mengedut-ngedut di puncak orgasmenya, aku pun berhasil mencapai klimaks yang bukan main nikmatnya…dengan mendesakkan batang kemaluanku sekuatnya….sambil menembak-nembakkan air maniku di dalam liang kemaluan Raisha…..!

 

Pada saat itulah Joseph menanggalkan seluruh busananya. Dan turun dari sofa dalam keadaan telanjang bulat, menghampiriku dengan senyum….

 

Aku pun menarik batang kemaluanku perlahan…perlahan sekali…sementara Raisha masih terpejam, mungkin sedang menikmati kepuasannya yang baru ia rasakan.

 

Secara lembut pula Joseph perlahan-lahan merayap ke atas perut Raisha, sambil memegang batang kemaluannya yang sudah tegang sekali kelihatannya. Tangan yang satu lagi dipakainya untuk menutup mata Raisha, agar wanita muda itu tidak menyadari bahwa kedudukanku sudah diganti oleh teman lamaku itu.

 

Tak sulit bagi Joseph untuk membenamkan batang kemaluannya ke dalam liang vagina Raisha yang pasti masih sangat becek itu. Dan setelah Joseph mulai menggerak-gerakkan batang kemaluannya perlahan-lahan, barulah ia biarkan Raisha membuka matanya.

 

“Ooooh…..!” Raisha terbelalak melihat lelaki yang baru mulai menyetubuhinya itu.

 

Dengan pelukan di leher Raisha, Joseph berkata sambil tersenyum, “Namaku Joseph, sayang….”

 

Ucapan itu Joseph lanjutkan dengan ciuman yang begitu mesranya di bibir sensual Raisha.

 

Mungkin karena merasa semuanya sudah telanjur seperti itu, mungkin juga karena melihat ketampanan lelaki yang sudah menyatu dengan dirinya itu….Raisha bahkan mendekap pinggang Joseph…dan membiarkan semuanya terjadi…makin lama makin menggila.

 

Aku pun bangkit, lalu menuju kamar mandi sambil tersenyum-senyum sendiri. Soalnya aku jadi teringat dongeng tentang keluarga babah A Liem yang dirampok oleh sekawanan penjahat. Setelah menguras duit dan barang-barang berharga di rumah babah A Liem, kawanan perampok itu mengikat babah A Liem di kursi, sambil menyujmpal mulutnya dengan plakban. Lalu mereka bergiliran memperkosa istri babah A Liem yang masih cantik di usia tuanya. Hal itu mereka lakukan di depan mata babah A Liem yang sudah dibikin tak berdaya itu. Dan keesokan harinya, terjadi pertengkaran sengit antara babah A Liem dengan istrinya. Antara lain terdengar suara keras babah A Liem, “Oweh sih soal luit soal halta mah masi bisa dicaliii ! Yang oweh gak telima, kenapa waktu dientot sama olang-olang jahat itu pantat lu goyang-goyang haaaaaaaaaaaaah ???”

 

Aku teringat cerita humor itu dan membandingkan dengan apa yang sedang terjadi pada diri Raisha. Ingatan tentang cerita humor itulah yang membuatku tersenyum-senyum terus waktu sedang pipis di kamar mandi. Setelah mencuci batang kemaluanku dengan sabun, seperti yang dianjurkan oleh seorang dokter (agar selalu kencing dan mencuci alat vital setelah bersetubuh), aku pun kembali ke kamar asmara itu. DI mana kusaksikan persetubuhan Joseph dengan Raisha makin seru. Makin mengasyikkan untuk kutonton.

 

Aku tuangkan dry gin ke dalam gelasku. Kemudian kutenggak sekaligus. Dan bersila di atas kasur yang terhampar di kamar tengah ini.

 

Kulihat Raisha sudah benar-benar menikmati apa yang sedang dialaminya. Tentu saja. Bukankah istriku juga pernah mengakui, bahwa sosok yang paling mengesankan dalam reuni di Puncak itu adalah Joseph?

 

Hmm…kalau istriku tahu apa yang sedang terjadi di kamar tengah lantai atas ini, pasti ia cemburu kepada Raisha. Tapi…hmmmm…entah apa pula yang sedang terjadi pada diri istriku di rumah kecil itu. Mungkin dia sedang menggoyang pinggulnya seedan mungkin dan terus-terusan minta disetubuhi oleh Leo yang masih remaja itu.

 

Sementara itu Raisha berkali-kali melirik padaku yang sedang bersila di dekatnya. Entah apa yang sedang ia rasakan saat itu. Tapi aku memang ingin memanjakannya. Maka ketika ia melirik lagi padaku, kurayapkan tanganku ke payudaranya yang tidak tertutup oleh himpitan dada Joseph. Kupermainkan pentil payudara mungilnya. Sehingga ia terpejam-pejam, pasti karena sedang menikmati enaknya disetubuhi oleh lelaki tampan bernama Joseph itu. Namun ia tidak sepenuhnya lupa daratan. Tangannya masih sempat menjulur, sampai berhasil menggenggam penisku yang masih terkulai letih ini. Telapak tangan halus dan hangat itu mulai meremas-remas penisku, bukan cuma menggenggamnya.

 

Ketika mereka melanjutkannya dalam posisi doggy, suasananya terasa lebih seru lagi. Karena ketika Joseph mengenjot Raisha dari belakang, aku bisa berlutut di depan Raisha. Dan Raisha bisa menyelomoti batang kemaluanku, sambil menikmati enaknya enjotan Joseph.

 

Begitu binalnya Raisha menyelomoti batang kemaluanku, sehingga dalam tempo singkat saja aku jadi bergairah kembali. Penisku sudah siap tempur lagi. Joseph juga kelihatannya tahu itu. Karena tak lama kemudian ia mendengus sambil berejakulasi di dalam lubang kemaluan Raisha.

 

Joseph dan Raisha pun terkapar. Sama-sama terlentang letih. Dan ketika tahu aku bermaksud menyetubuhinya lagi, Raisha cepat bangkit sambil mendorong dadaku, “Ntar dulu Bang…pengen pipis dulu, sekalian cuci-cuci…”

 

Lalu Raisha melangkah dan masuk ke kamar mandi. Mungkin Raisha takut dianggap jorok, sehingga ia merasa perlu membersihkan kemaluannya di kamar mandi sebelum meladeniku.

 

“Wow…luar biasa…” cetus Joseph sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya dengan tissue yang kusediakan di atas meja kecil.

 

“Legit kan?” bisikku di dekat Joseph.

 

“Iya…legit banget,” sahut Joseph sambil tersenyum.

 

Tak lama kemudian Raisha muncul lagi. Langsung memelukku dengan sikap manja. Tapi matanya berkali-kali melirik ke arah Joseph. Dan aku yakin, hati Raisha sudah runtuh oleh ketampanan Joseph, tapi masih malu-malu memperlihatkannya secara terang-terangan. Entahlah kalau mereka hanya berduaan saja, pasti lain ceritanya.

 

Tapi aku tak peduli dengan itu semua. Aku membayangkan istriku sedang gila-gilaan digauli oleh Leo remaja. Dan aku seolah ingin balas dendam dengan melampiaskannya kepada Raisha.

 

Maka setelah Raisha meneguk martini setengah gelas kecil, lalu menelentang kembali di atas hamparan kasur lebar itu, langsung kusambut dengan sergapan mulutku ke kemaluannya. Sehingga Raisha seperti kaget pada mulanya, tapi lalu terdiam pasrah. Kemaluan Raisha yang habis dicuci tercium harum sabun mandi. Membuatku bersemangat sekali untuk menjilati kemaluannya. Celah di antara sepasang labia mayoranya kujilati habis-habisan. Jilatanku lebih menggila lagi di kelentit Raisha. Bahkan di bagian terpekanya itu aku menyedot-nyedot sambil mengelusinya dengan ujung lidahku.

 

Dan Joseph pun tidak tinggal diam. Ketika aku sedang asyik-asyiknya menjilati kelentit Raisha, Joseph pun mulai menciumi dan mencelucupi pentil buah dada istri Edo itu.

 

Dalam tempo singkat saja Raisha mulai mengejang-ngejang, sementara celah kemaluannya sudah membasah. Aku pun tak mau berlama-lama lagi. Kumasukkan batang kemaluanku ke liang yang sudah basah itu. Josssssssss…….!

 

Aku tidak menjatuhkan dadaku ke dada Raisha, karena ingin memberi kesempatan pada Joseph untuk memuasi Raisha dari perut ke atasnya. Aku meluruskan kedua tanganku, menahan tubuhku, sehingga tubuhku jadi seperti kalajengking, menjengking ke atas. Memberi kesempatan kepada Joseph yang mulai asik melumat bibir Raisha dari pinggir, sementara tangannya masih bisa meremas-remas payudara Raisha.

 

Bahkan aku memberi isyarat kepada Joseph, untuk berlutut dengan posisi lutut di kanan kiri leher Raisha, sehingga Raisha bisa menyelomoti batang kemaluan Joseph.

 

Untungnya Joseph langsung mengerti maksudku. Ya sambil berlutut dengan kedua pahanya agak mengangkang di kanan kiri leher Raisha, Joseph bisa menurunkan batang kemaluannya sampai masuk ke dalam mulut Raisha. Dan aku tetap asyik mengenjot batang kemaluanku di dalam jepitan liang kewanitaan Raisha sambil berpegangan ke bahu Joseph yang sedang membelakangiku.

 

Raisha tak lagi bisa merengek atau merintih, karena mulutnya tersumpal oleh penis Joseph. Raisha hanya bisa mengeluarkan suara dari hidungnya yang cuma terdengar mmmm…mmmmm…..mmmm….mmm…dan mmmmmm…..!

 

Lalu aku menepuk bahu Joseph, “Mau gantian?”

 

“Oke,” Joseph mengangguk.

 

Lalu kucabut batang kemaluanku dari liang licin dan hangat itu. Dan posisiku digantikan oleh Joseph. Dengan mudah ia membenamkan tombak kejantanannya ke dalam kemaluan Raisha. Sementara aku merasa lumayan letih dan ingin beristirahat dulu sambil menikmati dry gin yang kutuangkan lagi ke gelasku.

 

Menyaksikan Joseph yang mulai ganas mengenjot liang kemaluan Raisha, adalah tontonan yang sangat merangsang dan mengasyikkan bagiku. Membuat penisku tegang sekali, jauh lebih merangsang daripada nonton film-film bokep yang sering membosankan dan sama sekali tidak merangsang.

 

Setelah belasan menit menunggu, sementara Joseph malah makin asyik menyetubuhi Raisha, sambil berciuman pula dengan mesranya, membuatku tak sabaran. Karena penisku seolah anak kecil yang meronta-ronta minta dibelikan mainan. Sudah tegang sekali. Untungnya, tak lama kemudian Joseph menarik penisnya sampai terlepas dari kemaluan Raisha. Lalu air maninya melejit-lejit dari moncong penisnya. Berhamburan ke atas perut Raisha. Entah kenapa Joseph harus melepaskannya di luar. Mungkin karena ingin menghargaiku, agar aku tidak kebagian lubang kemaluan Raisha yang sudah kebanjiran air mani Joseph.

 

Kuambil sachet tissue basah dan kub erikan kepada Raisha, untuk membersihkan air mani Joseph dari perutnya.

 

Waktu aku memasukkan batang kemaluanku ke dalam vagina Raisha, Joseph bahkan pergio ke kamar mandi. Mungkin mau mencuci penisnya di sana. Tapi kudengar ia sedang menerima telepon di kamar mandi. Dan tak lama kemudian ia tampak tergesa-gesa keluar dari kamar mandi.

 

Joseph mengenakan pakaian sambil berkata, “Yad, sorry Yad…mmm Raisha juga sorry ya….aku harus pulang…istriku sakit.”

 

“Sakit apa?” tanyaku sambil menghentikan gerakan penisku yang sedang enak-enaknya mengenjot Raisha.

 

“Gak tau,” sahut Joseph sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan, “Barusan adikku yang telepon. Katanya sih demam sampai menggigil gitu.”

 

“Ya udah…pulang aja. Semoga Mila cepat sembuh ya.”

 

“Iya, thanks,” sahut Joseph sambil membungkuk dan mencium pipi Raisha yang sedang kusetubuhi, “Lain kali kita sambung lagi ya sayang.”

 

Raisha cuma mengedipkan matanya ke arah Joseph.

 

“Tolong tutup lagi pintu depan Jos,” seruku waktu Joseph sudah melangkah mau menuruni tangga, “Aku lagi nanggung nih…”

 

“Oke !” sahut Joseph.

 

Kacau, pikirku, acara ini jadi terganggu, membuat moodku hampir padam.

 

Tapi kupaksakan melanjutkan persetubuhanku dengan Raisha, meski moodku sudah ngedrop.

 

Dan akhirnya aku bisa ejakulasi juga di dalam liang kemaluan Raisha. Tanpa mengetahui apakah Raisha sudah puas atau belum.

 

 

Keesokan harinya, ketika hari masih pagi, datang utusan dari dealer, mengantarkan mobil baru yang sudah kubayar lunas beberapa hari sebelumnya. Sebuah jeep built in U.S.A. Bukan mobil mewah seperti mobil-mobil Mbak Lies. Tapi harganya jauh lebih mahal daripada sedan Jepang yang sudah kubiarkan jadi pegangan istriku.

 

Istriku belum datang. Mungkin ia sedang sibuk mengurusi wisma kos atau kantinnya. Mungkin juga sedang sibuk menikmati kejantanan Leo remaja. Entahlah. Biar saja. Aku malah lebih tertarik untuk menguji coba jeep baruku yang suspensinya senyaman sedan itu.

 

Kuhampiri Raisha yang baru selesai mandi di lantai atas.

 

“Aku mau ke wisma kos,” kataku, “mau ikut?”

 

“Iyalah…masa saya ditinggal sendirian di sini Bang? Tapi tunggu sebentar yaaa….saya mau dandan dulu…”

 

“Oke,” aku mengangguk, “aku tunggu di garasi ya.”

 

“Iya.”

 

Beberapa saat kemudian Raisha sudah duduk di samping kiriku, di dalam mobil baruku yang terasa masih sangat enak dikemudikannya.

 

“Ini mobil baru lagi Bang?” tanya Raisha setelah jeep baruku sudah kujalankan di jalan ramai.

 

“Iya, baru tadi diantarkan dealer ke rumah,” sahutku, “yang sedan kan sudah jadi pegangan istriku.”

 

“Abang makin kaya aja.”

 

“Halaaaaaah….cuma mobil kreditan,” kataku berbohong. Padahal aku sudah kapok ngredit mobil, karena bertahun-tahun harus menyiapkan duit tiap bulan untuk cicilan mobil (yang harganya jadi jauh lebih mahal). Telat sedikit ditagih-tagih oleh debt collectors. Nagihnya pun seperti ngejar maling atau rampok.

 

“Tapi Abang sudah punya wisma kos yang kayak hotel gitu, punya tambang batu bara dan sebagainya.”

 

“Semuanya itu duit Bank, sayang,” kataku lagi-lagi berbohong. Karena seumur hidupku, kalau bisa aku takkan pernah mau punya hutang ke bank. Urusanku dengan bank, hanya simpan uang. Bukan untuk berhutang (yang biar keren disebut kredit nasabah).

 

Setibanya di depan rumah kecil dekat ketiga bangunan wisma kos itu, istriku muncul dan tampak terkagum-kagum setelah kukatakan bahwa jeep Amrik itu mobil baruku. Sementara Raisha langsung menuju kantin.

 

“Bagus banget mobilnya Bang,” cetus istriku sambil mengelus-elus jeep baruku, “Tapi jangan dipakai nyari cewek mulu ya.”

 

“Nggak lah. Kalaupun ada cewek numpang di mobil ini, pasti aku laporan sama kamu,” sahutku, “Justru kamu tuh…tadi malem habis-habisan sama Leo ya?”

 

“Nggak Bang. Dia kan lagi ujian. Dalam seminggu ini, aku gak mau ganggu. Biar dia konsen ke ujiannya.”

 

“Jadi tadi malam gak ngapa-ngapain sama dia?” tanyaku setengah berbisik.

 

“Cuma satu kali Bang,” sahut istriku sambil mencubit perutku.

 

Haaa?! Dia bilang “cuma” satu kali? Bukankah itu berarti bahwa tadi malam istriku disetubuhi oleh Leo sampai terkejang-kejang? Lalu kejadian itu disebut “cuma”?

 

“Abang sama Raisha tadi malam berapa kali? Ayooo…ngakulah Bang,” cetus istriku setengah berbisik lagi.

 

“Cuma dua kali,” sahutku dengan senyum.

 

O, percakapanku dengan istriku ini, kalau terdengar oleh orang “awam”, pasti merasa heran. Mungkin juga akan dianggap percakapan gila. Tapi justru itulah salah satu sudut seninya kehidupanku. Kehidupan yang mulai terbiasa dengan swinger, wife sharing, threesome dan sebangsanya.

 

 

Seperti yang pernah kukatakan dalam judul awal kisah nyata ini, ada saja jalannya seseorang masuk dan menggoreskan kisah sendiri di dalam lembaran kehidupanku. Padahal aku tidak sengaja mencarinya.

 

Seperti pada hari itu, sehabis mencoba mobilbaruku, aku melakukan meeting dengan team bisnis dari Cirebon, di mall langgananku. Team itu menawarkan gudang batu bara di pelabuhan Cirebon, karena aku sendiri berminat untuk menampung kiriman batu bara dari Kalimantan, untuk diedarkan ke pabrik-pabrik di Jawa Barat. Selesai meeting dengan orang-orang Cirebon itu, aku masih tetap ingin nongkrong di smoking area, sambil menikmati rokok dan sisa kopi panasku.Dan bahkan minta secangkir black coffee lagi ke café yang di dekat smoking area. Aku juga bermaksud mau pulang setelah menghabiskan kopi cangkir kedua yang terhidang di mejaku.

 

Tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seorang wanita cantik, “Yadi…?!”

 

Aku agak kaget. Memandang wanita cantik yang usianya kira-kira sebaya denganku itu. Wow…dia itu adik bungsu ibu tiriku !

 

“Tante Via…?!” aku bangkit dari kursiku, menjabat tangannya dan mempersilakan duduk di kursi sebelahku, “Kok malam-malam bisa ada di sini?”

 

“Tadi kan pulang dari rumah mamie kamu, Yad. Terus lihat-lihat pakaian dari toko ke toiko lain. Gak terasa hari sudah malam gini. Masih ada travel ke Tasik gak ya?”

 

“Ngapain pulang malem-malem gini? Eh…gak sama Om Farid?”

 

“Lho…emangnya kamu belum dengar dari mamie?”

 

“Dengar soal apa?”

 

“Aku udah cerai sama dia, Yad.”

 

“Haaa?” aku kaget juga mendengarnya, “Kapan?”

 

“Udah enam bulanan.”

 

“Ooo…saat itu aku masih di Kalimantan, Tante. Makanya gak denger soal itu. Kok bisa cerai sih?”

 

“Aaah…panjang ceritanya. Yang jelas aku gak suka punya suami yang kerjanya cuma main judi terus gitu.”

 

“Oh, iya….aku juga sering dengar dari Mamie, bahwa suami Tante Via itu seneng judi.”

 

“Ngobrolnya nanti lagi, Yad. Anterin nyari bis atau travel ke Tasik dong.”

 

“Ngapain pulang malem-malem gini? Besok aja pulangnya.”

 

“Terus mau tidur di mana? Balik lagi ke rumah Mamiemu, gak enak. Masa udah pamitan malah balik lagi…”

 

“Di sini kan ada hotel, biar aku yang bayarin hotelnya. Tante pulang besok aja.”

 

“Hotel?! Di mana?”

 

“Itu ada pintu lift menuju hotel, Tante. Tinggal melangkah beberapa langkah juga bisa langsung masuk hotel.”

 

“Ohya? Di mall ini ada hotelnya segala?”

 

“Ada,” aku mengangguk sambil berdiri, “Yok cek in aja sekarang.”

 

Kujinjing tas Tante Via yang umurnya cuma setahun lebih tua dariku itu (karena dia anak bungsu, sementara ibu tiriku anak sulung, jadi perbedaan usianya cukup jauh).

 

Tante Via pun mengikuti langkahku ke arah pintu lift yang tak jauh dari smoking area itu.

 

Di dalam lift tidak ada orang lain kecuali aku berdua dengan Tante Via.

 

“Nanti aku tidur sendirian? Takut juga Yad.”

 

“Emang mau ditemenin?”

 

“Kalau bisa sih…”

 

“Tante gak takut kuperkosa nanti?”

 

“Hihihi…!” Tante Via mencubit perutku, “Kalau mau sih minta aja baik-baik, pasti dikasih. Gak usah maen perkosa segala.”

 

Aku terkejut mendengar pernyataan Tante Via itu. Kata-katanya mengandung arti yang sangat luas bagiku.

 

“Serius nih?” tanyaku, langsung memeluk pinggangnya. Tapi pintu lift keburu terbuka. Dan perasaanku jadi berbunga-bunga waktu menghampiri resepsionis di kantornya.

 

Setelah berada di dalam kamar yang telah ditentukan oleh resepsionis, kupegang kedua pergelangan tangan Tante Via. Kutatap wajahnya yang mirip artis India, dengan mata bundar dan bibir mencuat sensual.

 

“Beneran mau ditemenin tidur di sini?” tanyaku dengan senyum menggoda.

 

“Bener,” sahutnya dengan senyum juga, “aku kan takut ditinggal sendirian di sini. Tapi…istrimu marah gak?”

 

“Gak lah…nanti mau ditelepon aja. Biasa juga hilang berhari-hari gak pernah marah. Asal laporan aja.”

 

“Ya udah…telepon dulu istrimu gih. Aku mau mandi dulu.”

 

“Pengen ikut mandi…” kataku sambil memegang pergelangan tangan adik ibu tiriku itu.

 

“Kamu sejak kecil masih aja ceriwis sampai sekarang,” kata Tante Via sambil mencium pipiku. Maaaak…ini pertama kalinya aku merasakan dicium oleh Tante Via.

 

“Sejak kecil juga kamu suka padaku kan?” cetus Tante Via lagi.

 

“Iya. Tapi Mamie seperti sengaja menjauh-jauhkan kita.”

 

“Iya sih. Mungkin dia takut kita melakukan hal-hal yang tidak diinginkan. Kita kan masih sama-sama ABG saat itu. Terus sekarang masih suka padaku?”

 

“Masih banget…iiih…Tante sekarang makin sexy…”

 

“Ya udah…call dulu istrimu gih. Biar tenang. Aku mandi dulu ya.”

 

Setelah Tante Via masuk ke kamar mandi, aku memijat nomor istriku. Lalu :

 

“Sayang…ini aku ada urusan di Cirebon. Aku mau nginap di dekat pelabuhan ya.”

 

“Iya Bang. Hati-hati ya.”

 

Begitu hubungan telepon dengan istriku ditutup, kulanjutkan dengan mengirim sms kepada seseorang. Lalu terdengar suara Tante Via memanggilku dari kamar mandi, “Yaaaadiii…!”

 

“Yaaa…” sahutku sambil melangkah ke pintu kamar mandi yang terbuka sedikit.

 

Pintu kamar mandi kubuka. Dan tampak pemandangan yang sangat mendebarkan. Tante Via memunggungiku dalam keadaan telanjang bulat

 

“Sabunin dong punggungku, Yad.”

 

“Siiip lah !” seruku sambil melepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhku. Lalu mengambil sabun cair dari dinding kamar mandi.

 

“Wow…kamu telanjang juga? Biar jangan kebasahan ya pakaianmu…” cetus Tante Via sambil memandang batang kemaluanku yang sudah agak menegang, “Edan ! Kamu apain penismu itu, Yad? Kok gede banget sih?”

 

“Hehehee…ini belum ngaceng bener Tante. Kan malam ini mau dikasihin buat Tante.”

 

“Mmm…ayo dong sabunin punggungku, Yad.”

 

Kuturuti permintaan Tante Via dengan menyabuni punggungnya sampai berbusa-busa. “Cuma punggungnya, Tante? Ininya gak?” tanyaku sambil mencolek kemaluan Tante Via.

 

“Terserah,” sahut Tante Via yang seperti penasaran dan tiba-tiba memegang batang kemaluanku, lalu menatapku dengan sorot pasrahnya seorang wanita, “malam ini aku kan milikmu, Yad…”

 

“Mmm…” gumamku ssambil menyabuni kemaluan Tante Via yang ternyata jembutnya tipis sekali ini, sehingga bentuk aslinya tidak terhalang, “Hanya malam ini jadi milikku? Lalu besok dan hari-hari selanjutnya milik siapa?”

 

Tante Via mulai menyabuni batang kemaluanku juga, lalu mengocoknya perlahan, sehingga alat kejantananku makin tegang saja rasanya.

 

“Aku gak mau nikah dulu lah,” sahut Tante Via, “Jadi aku ingin nikmati aja dulu masa jandaku.”

 

“Kalau gitu ikut komunitasku aja, Tante.”

 

“Komunitas apa?”

 

Lalu kujelaskan secara singkat, tentang wife share, wife swap dan sebagainya. Membuat Tante Via serius mendengarnya. Terlebih setelah aku menceritakan bahwa komunitasku bertampang di atas rata-rata semua, baik prianya maupun wanitanya.

 

“Iiiih…kayak apa ya rasanya digauli sama dua cowok sekaligus?” gumam Tante Via tanpa menghentikan remasan lembutnya di penisku yang sudah siap tempur ini, “Apalagi kalau tititnya segede-gede punyamu ini…iiiihh…gak kebayang…”

 

“Kita tes aja nanti. Kalau Tante gak mau, boleh nolak kok.”

 

“Yadi…aku udah horny berat nih,” bisik Tante Via yang mulai kuyakini bahwa nafsunya gede juga, “tapi jangan di sini…di tempat tidur aja…soalnya aku rada kedinginan di sini…”

 

Aku setuju. Lalu kami mandi bareng. Dan keluar dari kamar mandi. Tante Via mengeringkan rambutnya beberapa saat dengan handuk hotel. Dan aku diam-diam membuka kunci pintu kamar hotel itu, tanpa sepengetahuan Tante Via. Kemudian kuhampiri adik ibu tiriku yang sudah meletakkan handuknya di atas kasur. Mungkin untuk mengelap sesuatu kalau sudah melakukan sesuatu nanti.

 

Setelah Tante Via menelentang di atas kasur bertilam seprai putih bersih itu, aku langsung menghimpitnya. Menciumni bibirnya dengan gairah baru, karena aku memang belum pernah menyetubuhinya meski sudah mengenalnya sejak sama-sama masih kecil.

 

Sengaja aku ingin membangkitkan nafsu Tante Via sehebat mungkin. Dengan jilatan di lehernya, di pentil payudaranya. Bahkan aku berkali-kali menghisap-hisap pentil payudaranya yang tampak mancung menantang itu.

 

Tak cuma itu. Mulutku turun ke bawah…sampai tepat berada di depan kemaluannya yang berjembut tipis itu. Lalu dengan penuh gairah aku mulai menjilati kemaluan Tante Via yang masih tercium harum sabun mandi. Kemaluan yang baru dibersihkan, terasa segar dan membuatku sangat bersemangat menggelutkan bibir dan lidahku dari celah yang terjangkau di mulut vaginanya sampai terkonsentrasi untuk menjilati kelentitnya.

 

Ketika aku semakin ganas menjilati dan menyedot-nyedot kelentitnya, sepasang kaki Tante Via terasa mengejang-ngejang.

 

RIntihan histeris Tante Via pun mulai terdengar, “Duuuh….Yaaaad….ooooh….oooh…ini enak banget Yaaaad…ooooh……udah…udah…..masukin aja Yadi sayaaaaang…..”

 

Kuturuti permintaan Tante Via. Aku naik ke atas perutnya, sambil mengarahkan batang kemaluanku agar ngepas moncongnya menempel di mulut vagina adik ibu tiriku itu. Dan kudesakkan batang kemaluanku agak kuat, sehingga kepalanya mulai membenam ke dalam liang kewanitaan Tante Via.

 

Pada saat itulah diam-diam kuraih hp dari bawah bantal dan kupijat call ke nomor yang sudah janjian denganku. Hanya misscall yang kulakukan.

 

“Haduuuh…kontolmu gede banget sih Yad…sampe seret gini….padahal udah dibasahin sama air liurmu barusan….iyaaaa…dorong lagi…iya…entotin dulu dikit-dikit…ntar juga masuk semua…” desah Tante Via sambil memeluk leherku, sehingga pipiku bertempelan dengan pipinya. Oh…ini persis seperti waktu aku pertama kalinya menyetubuhi ibu tiriku dahulu !

 

Dan…pada saat itulah kulihat pintu kamarterbuka perlahan. Seorang lelaki muda yang tampan berjingkat-jingkat memasuki kamar ini setelah pitunya ditutupkan kembali tanpa menimbulkan suara. Cepat kuhalangkan kepalaku ke pipi Tante Via lagi, supaya tidak melihat kedatangan lelaki tampan itu, yang tak lain dari Jaka. Ya, tadi setelah menelepon istriku, aku smsan dengannya. Dan semuanya sudah kuatur bersama Jaka lewat smsan itu. Bahwa ia akan segera merapat ke hotel ini. Akan menunggu misscall dariku, sebagai tanda bahwa ia sudah boleh masuk lewat pintu yang tidak kukunci.

 

Sambil mengayun batang kemaluanku, masih sempat aku berbisik ke telinga Tante Via, “Kalau ada cowok seorang lagi pastgi jauh lebih asyik. Tante bisa menikmati entotanku sambil menikmati belaian dan remasan cowok yang satunya lagi. Atau bahkan Tante bisa nyelomotin kontol cowok satunya lagi itu…”

 

“Jangan ngelamun yang nggak-nggak ah,” sahut Tante Via, “itu kan hal yang mustahil buatku saat ini.”

 

“Siapa bilang mustahil? Aku bisa membuktikannya sekarang…sim salabim !!!”

 

“Selamat malam Tante….” kata Jaka yang sudah berdiri di dekat tempat tidur.

 

“Aaaau !” Tante Via kaget sekali kelihatannya. Mungkin karena munculnya Jaka justru ketika tubuhnya sedang telanjang bulat…sedang disetubuhi pula olehku. Tapi aku yakin Tante Via akan tergiur melihat ketampanan sahabatku itu.

 

Jelas Tante Via takkan bisa ke mana-mana, karena sedang berada di dalam himpitan dan pelukanku, sedang kugenjot pula kemaluannya.

 

“Biar sama-sama enak, telanjang dulu, lalu naik ke sini,” kataku kepada Jaka yang dijawab dengan anggukan kepalanya.

 

Tante Via cuma menatapku terus, seperti tidak berani memandang Jaka yang sedang menelanjangi dirinya.

 

Tak lama kemudian Jaka pun naik ke atas tempat tidur, tentu dalam keadaan sudah telanjang bulat seperti yang kusuruh tadi. Jaka langsung duduk di dekat kepala Tante Via.

 

“Kenalan dulu dong….pake cium mesra aja kenalannya,” kataku sambil menghentikan enjotanku sesaat.

 

Tanpa ragu Jaka mendekatkan bibirnya ke bibir Tante Via. Dan…hahahaaaaa….Tante Via menyambut ciuman itu dengan rengkuhan di leher Jaka ! Itu berarti Tante Via sudah menerima Jaka untuk bergabung dalam perahu kenikmatan ini.

 

“Namanya Jaka,” kataku sambil melanjutkan ayunan batang kemaluanku yang sedang enak-enaknya bergesekan dengan dinding liang kemaluan Tante Via.

 

Tante Via berusaha tersenyum ke arah Jaka. Pasti dia suka melihat tampannya temanku itu. Maka sambil mengayun batang kemaluanku, masih sempat kutarik tangan Tante Via dan kutempelkan ke penis Jaka yang sudah duduk di dekat dada adik ibu tiriku itu. Ternyata Tante Via memang mengenggam batang kemaluan Jaka, lalu meremas-remasnya….sementara aku semakin asyik mengenjot penisku di dalam jepitan lubang kemaluan adik ibu tiriku itu.

 

“Aaaaaah….aaaaah….aaaa….aaaaaah….” Tante Via mulai mendesah-desah histeris, karena aku mulai mempercepat gerakan batang kemaluanku.

 

Namun solidaritasku kepada teman cukup tinggi. Ketika aku memandang ke arah Jaka, kulihat sorot matanya seperti mengharapkan belas klasihan. Mungkin ia sudah tak tahan lagi dirangsang oleh persetubuhanku dengan Tante Via ini. Maka kukasih isyarat, dengan maksud agar ia menggantikanku untuk menyetubuhi Tante Via. Ia mengangguk senang. Tante Via tidak menyadari pembicaraan lewat isyarat itu.

 

Tante Via cuma tercengang, ketika menyadari bahwa kedudukanku sudah diganti oleh Jaka. Bahwa yang sedang mengenjot liang vaginanya itu batang kemaluan Jaka. Bukan batang kemaluanku lagi.

 

Ketika Tante Via menoleh padaku, spontan aku berkata, “Enjoy aja Tante…jangan canggung-canggung gitu…”

 

Sementara Jaka mulai asyik mengayun batang kemaluannya.

 

Dan akhirnya, meski dengan sikap malu-malu, Tante Via mulai memeluk leher Jaka. Bahkan pinggul Tante Via pun mulai bergoyang-goyang dengan gerakan yang begitu binalnya.

Jaka memang punya solidaritas tinggi. Meski belum ejakulasi dan tampak sedang enak-enaknya mengentot adik ibu tiriku, Jaka memberi isyarat agar aku menggantikannya dulu. Aku mengangguk. Jaka pun mencabut batang kemaluannya dari jepitan liang kewanitaan Tante Via.

 

Jaka melangkah ke kamar mandi, sementara aku sudah berada di atas perut Tante Via sambil berusaha memasukkan batang kemaluanku ke dalam meqi adik ibu tiriku itu. “Enak kan sama dua cowok?” bisikku setelah berhasil membenamkan batang kemaluanku.

 

“Hmmm…emang…”

 

“Tampan pula temanku itu kan?”

 

Tante Via menjawabnya dengan bisikan, “Tapi punyamu lebih panjang…lebih gede…lebih terasa…”

 

“Terus enakan siapa?”

 

Tante Via berbisik lagi, “Enakan kamu, sayang. Ayo genjot lagi…masa direndem terus?”

 

Aku menahan tawaku sambil mulai mengayun kembali batang kemaluanku, maju mundur di dalam jepitan lubang kemaluan Tante Via yang terasa masih sangat kecil ini. Maklum dia kan belum pernah melahirkan, seperti Mamie.

 

Beberapa saat kemudian Jaka pun muncul lagi dan langsung duduk sambil menyandar dan melonjorkan kakinya.

 

Menyadari kehadiran temanku, Tante Via pun tidak mengabaikannya. Meski tengah merem-melek disetubuhi olehku, Tante Via masih bisa menggerakkan tangannya, untuk menggenggam batang kemaluan Jaka yang masih greng itu.Sekilas pun tampak bahwa Tante Via sedang enjoy sekali dengan suasana ini. Suasana MMF (male-male-female) ini. Apalagi ketika Jaka mulai intervensi, menyelipkan tangannya ke arah payudara Tante Via yang terhimpit oleh dadaku. Aku pun mengangkat dadaku, dengan menahan tubuhku lewat sikutku di kasur, sehingga Jaka bisa meremas-remas payudara Tante Via, sementara aku tetap asyik mengenjot batang kemaluanku bermaju-mundur di dalam jepitan meqi Tante Via.

 

Tapi aku teringat sesuatu. Maka lalu kataku, “Kita main doggy Tante yuk,” ajakku.

 

Tante Via menatapku sesaat. Tapi lalu mengiyakan. Lalu kucabut dulu batang kemaluanku sambil memberi instruksi kepada Jaka, “Kamu celentang, Jak.”

 

Jaka langsung mengerti. Tante Via pun lalu mengerti setelah kuberi petunjuk singkat. Maka setelah Jaka celentang, tante Via merangkak di antara kedua kaki Jaka yang direntangkan, sampai wajah Tante Via berada tepat di atas batang kemaluan Jaka.

 

Maka ketika Tante Via sudah menungging sambil memegangi batang kemaluan Jaka yang masih ngaceng itu, aku pun memasukkan batang kemaluanku dari arah bokong Tante Via.

 

Sesaat kemudian Tante Via bukan hanya memegang penis Jaka, tapi juga mulai menyelomotinya, laksana anak kecil yang sedang mengemut permen loli. Sementara pinggulnya bergoyang-goyang mengikuti irama ayunan batang kemaluanku yang tengah mengenjotnya dari belakang.

 

Tapi hanya belasan menit aku mengenjot Tante Via dalam posisi doggy begitu. Kemudian Tante Via ambruk…karena telah mencapai orgasmenya. Tewrpaksa kulanjutkan dalam p[osisi klasik, aku di atas, Tante Via di bawah. Dan aku pun tak mau berlama-lama lagi. Tongkat kejantananku memompa liang kewanitaan Tante Via dengan gerakan agak cepat dan keras, sampai akhirnya terasa seperti mau ejakulasi, maka kubisiki Tante Via, “Lepasin di mana Tante?”

 

Singkat saja Tante Via menjawab, “Di dalam.”

 

Maka sambil membenamkan batang kemaluanku sedalam mungkin, terasa moncong penisku menembak-nembakkan air mani, yang membuatku mendengus……..uu…uu.. uuuuuuuuu……..uuuuuuughhhhhhhhh………….

 

Setelah mencabut batang kemaluanku dari dalam liang kewanitaan Tante Via, aku melangkah ke kamar mandi, sementara Tante Via mengeluarkan tissue basah dari dalam tas kecilnya, untuk membersihkan dan mengeringkan liang kemaluannya. Disusul dengan merayapnya Jaka ke atas perut adik ibu tiriku itu.

 

Waktu keluar dari kamar mandi, kulihat Tante Via sudah bersetubuh lagi dengan Jaka. Kali ini Tante Via di atas, Jaka menelentang di bawah. Seru juga kelihatannya….

 

 

Tante Via sudah berada di dalam genggamanku. Satu sosok lagi yang bisa kumanfaatkan untuk pemuasku. Bahkan aku merasa lebih leluasa bersamanya, karena ia seorang janda tanpa anak. Bebas untuk melakukan apa pun. Tidak seperti Raisha, meskipun diberi kebebasan oleh suaminya sendiri, tetap saja statusnya itu istri orang.

 

Bahkan di hari-hari berikutnya, Raisha dimanfaatkan oleh istriku untuk membantunya di kantin wisma kos yang sudah diperluas dengan bangunan serba bambu dan atap jerami.

 

Di belakang rumah kecil itu pun sedang dibangun beberapa kamar lagi, karena dua kamar terasa kurang. Sementara puri yang sudah kubeli itu pun sedang direnovasi di sana-sini. bahkan cat kayu dan cat temboknya pun diganti dengan warna yang sesuai dengan seleraku.

 

Untuk kegiatan bisnisku, maka aku mengontrak tempat untuk kantor yang letaknya cukup bagus, tapi bukan di jalan ramai yang sering macet. Di kantor itu aku menempatkan 18 orang pegawai.

 

Sementara itu, pertemuan demi pertemuan dengan Mbak Lies tetap dilaksanakan secara rutin di rumah yang sudah dibeli di kompleks perumahan elit itu. Meskipun rumah itu sudah dibayar oleh Mbak Lies, balik nama sertifikatnya memakai namaku. Entah mau diberikan padaku atau gimana, entahlah.

 

Memang kuakui, sejak punya hubungan rahasia dengan Mbak Lies, taraf kehidupanku menanjak terus dengan pesatnya.

 

Dan hari demi hari berputar terus……..

Pada suatu hari, ketika aku sedang mengecek laporan keuangan dari Kalimantan, handphoneku berdering. Kulihat nomornya tidak kukenal. Tapi kubuka juga :

 

“Hallo…”

 

“Hallo…ini Yadi kan?”

 

“Iya. Dengan siapa ya?”

 

“Aku Tommy. Masih ingat gak?”

 

“Tommy? Tommy mana ya?”

 

“Tommy teman sekelas waktu di SMA dulu. Masa lupa lagi.”

 

“Hai…Tommy ?! Di mana kamu sekarang?”

 

“Aku sekarang di luar kota, Yad. Aku dapat nomor hpmu juga dari Erwin.”

 

“Iya, iya….aku jadi pengen ketemu sama kamu Tom !”

 

“Sama ! Jadi ingat masa ABG dulu ya? Aku pengen ketemu sama kamu, penting banget. Kapan kamu ada waktu?”

 

“Aku sih orang bebas, Tom. Kapan juga bisa ketemu, asal nelepon aja dulu, kalau-kalau akunya lagi di luar kota.”

 

“Kalau gitu, besok kita ketemuan ya.”

 

“Boleh.”

 

“Di mana ketemuannya?”

 

“Mending di mall aja lah. Biar sambil cuci mata. Hahahahaaa !”

 

“Besok pagi bisa ketemuan gak? Sekitar jam sepuluh gitu lah.”

 

“Oke.”

 

“Di mall mana?” tanya Tommy.

 

Lalu kusebutkan nama mall itu.

 

“Iya, iya…kirain mau ketemuan di mall yang dekat sekolah kita dulu.”

 

“Enakan di mall yang kusebutkan tadi. Lebih nyantai. Cari aku di smoking area aja, di lantai tiga.”

 

“Oke ! Salam buat istrimu Yad.”

 

“Iya…salam juga buat istrimu, Tom.”

 

Setelah hubungan telepon ditutup, aku saving nomor hp bekas teman sekelasku itu. Dan berpikir…apa yang dimaksud penting banget oleh temanku itu? Mau kerja? Ah, tak mungkin. Karena kudengar Tommy sudah lama menikah dengan anak tuan tanah yang kaya, istrinya itu anak tunggal pula katanya. Tapi kenapa tidak mungkin? Bukankah Edo juga akhirnya balik lagi, karena tak kerasan hidup seolah menumpang di daerah mertuanya?

 

Esok paginya, kutepati janjiku dengan teman lamaku itu. Sebelum jam sepuluh aku sudah nongkrong di smoking area mall yang dijanjikan.

 

Jam sepuluh lebih sedikit, Tommy muncul di depan mataku. Kami saling peluk dan saling tonjok sambil ketawa-ketiwi.

 

Lalu kami mengobrol ke barat ke timur. Berbincang tentang teman-teman SMA yang masih kami ingat nama-namanya. Juga berbincang tentang guru-guru kami.

 

Akhirnya Tommy membicarakan hal yang dia anggap penting itu. Dengan suara dipelankan, Tommy bekata, “Aku udah denger mengenai pesta dalam reuni di Puncak itu. Sayang aku gak bisa hadir. Karena istriku gak mau setelah mendengar acaranya…tentang swing-swingan itu. ”

 

“Terus?”

 

“Terakhir aku dengar dari Erwin, tentang asyiknya waktu mengadakan reuni kecil di villa itu. Aku ngiler Yad. Pengen banget ngerasain seperti apa wife swap itu. Sayangnya istriku malah marah mendengar keinginanku itu. Eeee…setelah sekian lama membujuk dia terus-terusan, akhirnya aku berhasil juga….akhirnya dia mau.”

 

“Hahahaaaa…terus?”

 

“Dia cuma mau tukar pasangan dengan satu pasangan aja. Gak mau rame-rame seperti di Puncak gitu. Maklum dia kan belum pernah ngerasainnya.”

 

“Iya, iya….terus?”

 

“Lalu kusuruh pilih di antara foto-foto kita waktu pesta perpisahan itu. Tau gak? Dia milih kamu, Yad !”

 

“Hah?! Salah lihat kale….foto-foto waktu perpisahan SMA itu kan udah lama sekali. Gak sama dengan kenyataan sekarang. Kenapa dia gak milih Joseph atau Albert, misalnya?”

 

“Dia gak suka tampang indo gitu. Dia suka sama kamu. Malah dia bilang, kalau yang namanya Yadi itu kelihatan macho. Gitu Yad…”

 

“Hahahaaaa….kok bisa ya? Padahal aku bukan yang paling ganteng semasa di SMA dulu.”

 

“Jangan merendahkan diri, Yad. Waktu di SMA dulu, kamu memang paling gagah di antara kita semua. Sekarang apalagi…makin macho kelihatannya.”

 

“Hihihihi, gak punya duit recehan, Tom.”

 

“Terus gimana? Kamu mau swing sama aku gak?”

 

“Istrimu kayak apa sih?”

 

Sebagai jawaban, Tommy mengeluarkan hp dari saku jaket kulitnya. Lalu diperlihatkannya foto-foto istrinya, “Ini foto-foto istriku…Dyah namanya.”

 

“Wooow….cantik dan putih istrimu ya?” komentarku setelah melihat foto-foto istri Tommy yang katanya bernama Dyah itu.

 

“Alaaa…istrimu juga cantik kan? Aku dengar dari Erwin bagaimana cantik dan seksinya istrimu itu.”

 

“Mmm…ada foto istrimu yang nude gak?”

 

“Hah? Gak ada tuh. Tapi dijamin deh badannya mulus. Gak ada bekas-bekas korengan sedikit pun.”

 

“Iya, aku percaya. Kudengar istrimu kan anak tunggal tuan tanah. Tentu aja dirawat sebaik-baiknya sama mertuamu dulu. Takkan dibiarkan jatoh, luka…apalagi korengan…hahahaaa….ini foto-foto istriku,” kataku sambil memperlihatkan foto-foto istriku yang kusimpan di hpku. Semuanya foto-foto telanjang bulat.

 

“Anjriiit….!” seru Tommy tertahan, takut menarik perhatian orang-orang di smoking area itu.

 

Setelah mengamati foto-foto di hpku itu, Tommy menyerahkan kembali hpku. Sambil berkata, “Kayaknya kita seimbang, Yad. Istriku dan istriku gak jauh beda nilainya. Cuma tetek istriku lebih kecil daripada tetek istrimu. Kapan kita bisa laksanakan acaranya?”

 

“Emang mental kamu udah siap?”

 

“Siap seratus persen, Yad.”

 

“Istrimu udah siap juga mentalnya?”

 

“Udah. Kan dia udah milih kamu, artinya udah siap juga mentalnya. Eh…ntar…aku foto kamu dulu ya…biar istriku lihat keadaanmu setelah dewasa sekarang,” kata Tommy sambil menyetel kamera hpnya. Lalu berkali-kali memotretku dengan hpnya.

 

“Hahahaaaa…kamu bikin aku kayak artis aja. Pake difoto-fotoin segala.”

 

“Kan untuk semakin meyakinkan istriku. Terus kapan bisa kita laksanakan acara istimewa ini, Yad?”

 

“Kalau bisa sebelum akhir bulan ini. Soalnya tanggal satu aku mau ke Kalimantan.”

 

“Aku sih udah ngebet banget pengen ngerasain wife swap. Istriku baru kemaren bersih dar menstruasinya. Mmm…sekarang kan hari Senin. Kalu Rabu lusa bisa gak?”

 

Aku berpikir sesaat. Serasa diingatkan pada jadwal menstruasi istriku sendiri. Lalu kujawab, “Boleh. Mau di mana?”

 

“Ya terserah kamu lah yang udah punya pengalaman,” kata Tommy bernada pasrah.

 

“Kalau mau yang praktis, kita cek in di hotel aja. Kita booking dua kamar. Nanti kamu dan istriku ke kamar yang satu, aku dan istrimu ke kamar satunya lagi,” kataku, “Tapi kalau mau yang terasa indah dan bebas, ya mending nyewa villa. Tapi tarifnya lumayan mahal, karena villanya memang bagus.”

 

“Aaaah…berapa benar sih sewa villa?!” cetus Tommy terdengar sombong, “Ya udah di villa aja. Kan kata kamu indah dan bebas. Kayaknya istriku perlu suasana seperti itu, karena belum pernah mengelaminya. Kalau di hotel, nanti berbaur sama orang banyak, pasti bikin hatinya gak enak. Sewa villanya biar aku yang bayar,”

 

Aku mengangguk. Sejak dulu Tommy suka begitu. Suka berlagak boss. Tentu dia belum tahu levelku sekarang. Karena terman-temanku tiada yang tahu seperti apa aku sekarang ini. Dan aku memang tidak suka main pamer kepada siapa pun. Maka kataku, “Siiip ! Ada boss….tuan tanah muda….ohya…tanah mertuamu ditanamin apa aja Tom?”

 

“Sekarang semuanya sudah jadi milik istriku. Kan orang tua istriku udah pada meninggal. Tanahnya ya kebun buah-buahan lah. Ada pohon jeruk, duren, rambutan, dukuh dan sebagainya.”

 

“Wow…kalau gitu, kapan-kapan aku mau main juga lah ke rumahmu. Aku juga ada cita-cita ingin punya kebun di luar kota. Sambil bikin gubuk buat istirahat.”

 

“Oke…kapan pun pintu rumahku selalu terbuka buat kedatanganmu. Tapi jangan diketawain, rumahku di kampung Yad.”

 

“Zaman sekarang orang-orang malah terobsesi ingin punya rumah di kampung, yang udaranya masih bersih, jalannya gak macet dan banyak alasan lainnya. Ohya, kalau ada fotomu yang berdua sama istrimu kirim ke hpku, pake bluetooth aja, buat dilihatin sama istriku juga.”

 

“Oke,” Tommy mengangguk, lalu mengaktifkan bluetoothnya dan mengirimkan foto yang kuminta ke hpku.

 

“Biasanya acara itu bisa dua atau tiga hari. Tapi ya terserah kamu. Kan kamu yang mau bayarin villanya. Tapi mentalmu harus bener-bener siap. Soalnya pada malam itu istrimu tidur sama aku, istriku tidur sama kamu.”

 

“Siap, Yad. Siap !” kata Tommy sambil mengepalkan tangannya.

 

 

Malamnya, aku laporkan semuanya itu kepada istriku. Foto Tommy dan istrinya yang sudah tersimpan di hpku, juga kuperlihatkan kepada istriku.

 

Istriku tersenyum-senyum setelah melihat foto itu.

 

“Kenapa? tanyaku.

 

“Pantesan Abang semangat…istrinya cantik sih.”

 

“Lho…mereka yang pilih kita, bukan aku yang milih mereka.”

 

“Emang kapan acaranya?”

 

“Rabu lusa. Kamu gak lagi mens kan?”

 

“Gak lah…baru aja lima hari bersihnya juga…”

 

“Sip…!.” kataku sambil mengacungkan jempol, “Acaranya di villa yang pernah kita pakai bersama Edo dulu.”

 

“Mmmm…boleh usul gak Bang?” tanya istriku sambil menatapku.

 

“Boleh lah. Mau usul apa?”

 

“Biar berkesan, gimana kalau tambah lagi satu pasangan. Jadi acaranya kayak waktu dengan Erwin dan Kemal itu.”

 

“Kamu pengen nambah satu pasangan…siapa yang kamu pilih?”

 

“Joseph sama istrinya,”sahut istriku tampak malu-malu.

 

“Hahahaa…Joseph kan yang paling berkesan di antara teman-temanku ya?”

 

“Kan Abang yang nyuruh supaya aku punya favorit, biar Abang cemburu.”

 

“Iya, iya. Gak masalah sih. Tapi berarti aku harus tanya kesiapan Joseph dan istrinya dulu. Tommy juga harus diajak berunding lagi, apa dia mau bikin acara seperti itu atau tidak. Tadinya dia kan hanya ingin sama kita.”

 

Beberapa saat kemudian, kutelepon Joseph. Kubahas rencana pertemuan tiga pasang pasutri di villa itu. Joseph langsung setuju. Lalu kutelepon Tommy, juga ingin merundingkan rencana penambahan peserta acara istimewa di villa itu. Kata Tommy, “Aku secara pribadi malah lebih senang dengan masuknya Joseph dan istrinya ke rencana kita. Tapi istriku…harus diyakinkan dulu…atau begini saja…nanti jangan main undian-undian untuk menentukan pasangan. Di hari pertama langsung aja istriku sama kamu, supaya dia gak kaget. Kan kamu yang dipilih olehnya.”

 

Oke…beigini aja…di hari pertama itu aku dengan istrimu. Kamu dengan istri Joseph. Dan Joseph sama istriku.”

 

“Hahaaahaaa…jadi aku gak sama istrimu ya?”

 

“Kalau istrimu sama aku, lalu istriku sama kamu…lalu Joseph sama siapa? Masa sama istrinya sendiri?”

 

.”Iya ya….kalau sama istri sendiri sih di rumah aja. Ngapain gabung sama kita. Oke deh…berarti di malam pertama aku dengan istri Joseph, kamu dengan istriku, Joseph sama istrimu… terus di hari kedua gimana?”

 

“Di hari kedua, kamu sama istriku, Joseph sama istrimu, aku sama istri Joseph. Beres kan?”

 

“Acaranya cuma itu?”

 

“Kalau waktu dengan Erwin dan Kemal sih ada farewell party di malam ketiga. Ketiga pasutri main di satu ruangan…lalu ada rolling game….istri-istri diam di tempat, tapi para suami bergantian posisi dengan teman di sebelahnya menurut jarum jam, begitu.”

 

“Woow asyiiiik….ya udahlah, aku setuju aja ! Soal istriku, nanti akan kubujuk dia habis-habisan. Pasti mau juga lah. Acaranya tetap dimulai pada hari Rabu sore kan?”

 

“Iya, waktu dan tempatnya gak ada perubahan. Cuma ada penambahan pesertanya aja, ya Joseph dengan istrinya itu.”

 

 

Rabu yang dijanjikan sudah tiba. Siangnya kopor besarku sudah dimasukkan ke dalam bagasi sedan istriku. Ketika istriku bertanya, “Gak pakai mobil baru Bang?”, kujawab dengan senyum dingin, “Gak usah pamer lah. Paling juga cuma menimbulkan iri teman-teman.”

 

Aku memang tak suka pamer harta benda. Sifat itu pula yang membuat Mbak Lies makin lama makin menyayangiku.

 

Jam 15.00 aku duduk di samping istriku yang sudah berada di balik setir sedannya. Sengaja aku membiarkan ia nyetir, supaya makin tinggi jam terbangnya. Dan rasanya ia sudah cukup trampil mengemudikan sedan matic ini. Entahlah kalau dikasih mobil manual apakah masih bisa strampil ini atau harus belajar lagi. Tapi aku pernah membaca berita, bahwa pada suatu saat mobil-mobil manual takkan diproduksi lagi, diganti oleh mobil-mobil matic, tapi dengan system transmisi yang semakin disempurnakan.

 

Sejam kemudian kami sudah tiba di depan villa berkamar tiga itu. Villa yang pernah dipakai reuni mini dengan Kemal, Erwin dan istrinya masing-masing. Kami datang paling awal. Tommy dan Joseph belum datang.

 

Tapi tak lama kemudian mobil Tommy pun datang, didahului dengan bunyi klakson satu kali.

 

“Udah lama nunggu Yad?” tanya Tommy setelah turun dari mobilnya.

 

“Baru sepuluh menitan gitu. Oh ini istrimu?” tanya ku sambil memandang ke arah wanita berperawakan tinggi semampai, mengenakan celana denim biru tua dan baju kaus biru ultramarine dengan tulisan New Orleans di bawah payudaranya (kelihatannya ia berpayudara mungil).

 

“Iya,” sahut Tommy, “Kenalin dulu…dan ini istrimu kan?”

 

“Iya…ayo sama-sama kenalan dulu, Er,” kataku kepada istriku yang sore itu mengenakan gaun shanghai terbuat dari sutra hitam dengan mitif coretan-coretan abstrak.

 

Lalu Erni dan istri Tommy berjabatan tangan, disusul dengan cipika-cipiki. Diam-diam aku kagum pada kecantikan istri Tommy itu. Pandai juga Tommy mencari istri, sudah cantik anak orang kaya pula.

 

Pada waktu berjabatan tangan denganku, istri Tommy yang bernama Dyah itu tampak agak grogi. Tangannya pun terasa agak bergetar. Mungkin karena ia sudah tahu bahwa malam nanti ia akan menjadi milikku. Atau mungkin juga ada sesuatu di dalam hatinya, sehingga ia memilihku sebagai pasangan swingernya. Hahaaa, mana aku tahu ?

 

Tak lama kemudian Joseph dan istrinya pun datang. Aku masih ingat benar beberapa hari yang lalu Joseph bergegas pulang dari rumahku, dalam acis (acara istimewa) dengan Raisha, karena istrinya sakit. Tapi sekarang kelihatannya Mila sudah segar bugar kembali, bahkan terlihat lebih montok dari biasanya.

 

Seperti biasa, sebelum masuk ke kamar masing-masing, kami minum dulu sampai agak leyengan. Barulah kemudian kami membawa pasangan masing-masing yang telah ditentukan untuk semalam itu.

 

 

Setelah berada di dalam kamar yang pintunya sudah ditutup dan dikunci, ternyata sikap istri Tommy yang bernama Dyah ini sangat berbeda dengan waktu ngobrol di luar tadi. Ia tidak malu-malu lagi. Ia bahkan duluan melingkarkan lengannya di pinggangku, sambil menatapku dan berkata, “Mas Yadi jauh lebih macho daripada di fotonya.”

 

“Ohya ?!” sahutku sambil mengepit sepasang pipinya dengan kedua telapak tanganku, “Tommy bilang, Dyah yang memilihku setelah lihat foto perpisahan SMA itu. Benar?”

 

“Iya,” Dyah mengangguk sambil tersenyum. O, oo..manisnya senyum Dyah itu, “Begitu melihat wajah Mas Yadi, aku langsung klop…suka deh pokoknya.”

 

“Mmm…makasih…senengnya hatiku karena disukai oleh wanita secantik ini,” ucapanku perlahan, yang kuikuti dengan kecupan mesra di bibir Dyah.

 

“Ini yang pertama kalinya aku bersentuhan dengan lelaki yang bukan suamiku,” desisnya ketika aku mulai menciumi lehernya.

 

“Tadinya susah banget diajak jalanin acara ini ya?”

 

“Iya. Tapi Mas Tommy maksa-maksa terus…akhirnya…ya enjoy aja lah. Sekarang sih aku siap mau diapa-apain juga sama Mas Yadi.”

 

“Aku memang bakal abis-abisan menikmati wajahmu yang cantik, tubuhmu yang semampai dan…semuanya. Siap?”

 

“Siap, Mas…” desis Dyah dengan senyum lagi…senyum yang begitu manis lagi…

 

Aku gemas melihat bibirnya yang tipis merekah itu, terlebih pada waktu tersenyum, manis sekali. Maka kuraih Dyah agar duduk di sampingku, di sofa. Lalu kuciumi bibir tipis merekah itu. Dan akhirnya kulumat dengan hasrat yang menghangat.

 

DYah pun membalas lumatanku. Terkadang sambil memeluk leherku erat-erat. Dan semakin erat pelukannya ketika aku berhasil menyelusupkan tanganku ke balik baju kausnya, mengelus perutnya yang berkulit halus hangat, menyelundup dengan paksa ke balik behanya…lalu kutemukan payudara yang sedang-sedang saja besarnya. Kegedean nggak, kekecilan pun nggak.

 

“Ntar Mas…buka dulu behanya ya, takut putus kancingnya,” kata Dyah sambil menarik baju kausnya ke atas, lalu melepaskan baju kaus itu tanpa ragu. Sehingga kulit mulusnya makin tampak di mataku.

 

Aku pun membantunya untuk melepaskan kancing kait behanya yang terletak di bagian punggungnya.

 

“Mas…tau gak? Sebenarnya aku degdegan nih sekarang,” kata Dyah yang belum melepaskan behanya, meski kancing kaitnya sudah kulepaskan.

 

“Kenapa degdegan? AKu gak bakalan gigit kok,” sahutku sambil menjilati daun telinganya, “paling juga ngemut…atau jilatin kayak gini….”

 

Tampaknya Dyah sedang penuh perasaan padaku. Mendengar ucapanku itu, ia langsung mencium bibirku, lumayan lama dia melumat bibirku. Dan membiarkanku menarik behanya yang masih dipergunakan menutupi payudaranya. Setelah beha itu terlempar ke atas meja kecil di depan sofa yang kami duduki, giliran aku menyerangnya. Menciumi putting payudaranya yang tampak indah itu.

 

Seperti kukatakan tadi, payudara Dyah itu tidak kegedean, tapi tidak pula kekecilan. Bahkan ketika tangan kiriku meremas payudara yang satu, sementara payudara yang satu lagi sedang kuselomoti pentilnya, jujur saja…payudara Dyah terasa lebih kencang.

 

Celucupanku di pentil payudara istri Tommy itu, membuat tubuhnya terasa menghangat. Mungkin ia sudah semakin horny. Tapi pada suatu saat, ia lari dan melompat ke atas tempat tidur, sambil ketawa cekikikan. Lalu di atas tempat tidur ia melepaskan celana denimnya, sehingga tinggal celana dalam berwarna merah yang masih melekat di tubuh putih mulusnya.

 

Aku pun cepat menanggalkan pakaianku sehelai demi sehelai, sehingga tinggal celana dalam saja yang masih melekat di tubuhku. Lalu aku melompat ke atas tempat tidur berseprai putih bersih itu. Dan kuterkam tubuh semampai itu ke dalam pelukanku, “Masih degdegan?” bisikku.

 

“Gak…malah seneng…soalnya Mas Yadi romantis sih…” sahutnya sambil menatapku. Padahal tanganku mulai menggerayangi perutnya, lalu turun ke bawah dan menyelinap ke balik celana dalam merahnya

 

Au yakin Dyah sudah horny berat, sehingga tak usah main jilmem, dengan permainan jari saja pasti meqinya akan basah.

 

Ternyata prediksiku benar. Setelah beberapa menit saja tanganku memainkan kemaluan Dyah di balik celana dalamnya, mulailah ia menatapku dengan sorot meminta belas kasihanku. Dan memang lubang kemaluannya sudah terasa basah sekali.

 

Sementara penisku juga sudah ngacung dari tadi. Maka kuturunkan celana dalamku, sehingga tongkat kejantananku tampak jelas di mata istri Tommy itu. Dan…ia memekik tertahan, “Maaas…waaaw…itunya kok gede amat sih?”

 

“Ah, punya orang lain ada yang lebih panjang dan gede lagi,” sahutku sambil memperhatikan Dyah yang sedang menurunkan celana dalam merahnya, dengan pandangan tertuju ke arah penisku terus.

 

Lalu ia menelentang sambil berkata, “Kalau abis main sama Mas Yadi, lalu main sama Mas Tommy, pasti longgar…hihihi…”

 

“Emang punya Tommy kecil?” tanyaku sambil merayap ke atas perut Dyah.

 

“Banget,” sahutnya, “Kalau dibandingin sama punya Mas Yadi sih gak ada apa-apanya….aaau…pelan-pelan Mas….” Dyah meringis, karena aku mulai membenamkan puncak penisku…lalu kutekan-tekan tidak terlalu kuat….mulai masuk separonya…lalu kuayun perlahan-lahan…sehingga makin lama makin membenam jauh ke dalam liang kewanitaan Dyah.

 

Dan akhirnya, manakala penisku kudorong, ujungnya sudah bisa menyentuh dasar lubang kewanitaan Dyah.

 

Pada saat itulah Dyah mulai memeluk leherku sambil menciumi bibirku dengan binalnya.

 

Ketika aku mulai benar-benar mengayun batang kemaluanku, Dyah pun mulai berceloteh tak terkendalikan lagi, “Hadaaaah….Maaas….gak nyangka bakal dapat kenikmatan di sini, Mas….ooooh….iya Mas….ini sih enak banget Mas……..ooooh…..ooooh….sampai merinding sekujur-kujur, Mas…..saking enaknya kali……….aaaaaaah….padahal ini pertama kalinya aku disetubuhi lelaki yang bukan suamiku Mas………ooooooooooohhhhhhhhh….”

 

Aku pun menjawabnya dengan bisikan, “Memek Dyah ternyata enak banget …..lebih legit dari dodol Garut….”

 

“Mmmm…Mas samain sama dodol sih? Mmmm…iya Mas…entot terus Mas….oooh…enak banget Mas…enaaak….aaaaah…gila…terasa banget gesekannya Mas….ooooh….ini sih bakal bikin aku ketagihan nanti, Mas…..”

 

Celotehan Dyah makin lama terdengar makin keras. Terpaksa kusumpal mulutnya dengan ciuman dan lumatan ganas, agar raungan dan celotehannya tidak terdengar ka kamar lain.

 

Tampaknya usahaku berhasil. Dyah jadi lebih menikmati lumatanku, lalu membalasnya dengan lumatan yang makin lama makin binal. Bahkan terkadang ia menggigit-gigit daun telingaku.

 

Namun di saat aku sedang enak-enaknya mengenjotnya, tiba-tiba ia berdesah dan tersengal, “Mas…aku…aku udah mau nyampe…Masss…emut tetekku Maaas….bi…biar nikmat…..ooooh….iya gitu Mas…oooooh…ohhhh….”

 

Dyah gedebak-gedebuk, lalu terkejang-kejang sambil memejamkan matanya. Dan akhirnya terasa lubang kemaluannya berkedut-kedut….kemudian terasa seperti digenangi cairan hangat…pertanda ia telah mencapai orgasme yang sempurna.

 

Namun aku masih belum apa-apa. Aku tetap asyik mengayun alat kejantananku di ddalam liang meqi yang sudah banjir itu. Tapi aku suka ini. Suka liang kemaluan yang sudah mencapai orgasme ini, karena terasa lebih licin dan lebih mudah dienjotnya.

Aku heran, karena Dyah waktu belum masuk ke kamar ini kelihatan malu-malu sekali. Tapi setelah berada di dalam kamar, ia laksana orang kelaparan yang lalu begitu rakusnya setelah menemukan makanan lezat.

 

Setelah menyelesaikan persetubuhan pertamaku dengan istri Tommy itu, aku mencoba menjajaki jiwanya. Kalau bisa aku ingin mengetahui latar belakang kehidupannya. Dan banyak lagi yang ingin kuketahui darinya. Soalnya Dyah itu cantik. Kapan pun Tommy mengajak wife swap denganku, pasti aku bersedia.

 

Akhirnya terbuka juga. Meski dengan berat hati, Dyah menceritakan keadaan Tommy yang sebenarnya. Bahwa Tommy sangat lemah dalam soal sex. Bukan cuma ukuran penisnya yang kecil, tapi juga nafsu Tommy sulit dibangkitkan. Sekalinya Dyah berhasil membangkitkan nafsu Tommy, selalu kecewa dan kecewa terus yang Dyah alami. Karena Tommy selalu mengalami ejakulasi prematur. Baru saja Dyah “manasin mesin”, Tommy sudah keburu ngecrot.

 

“Tapi Mas Yadi jangan bilang-bilang sama siapa pun nanti ya,” kata Dyah di ujung penuturannya, “Soalnya aku merasa kasihan juga sama dia. Malah ada satu lagi rahasia kami…”

 

“Apa tuh rahasianya kalau boleh aku tahu?”

 

“Aku gak pernah punya anak, Mas.”

 

“Lho…katanya sudah punya anak cowok seorang.”

 

“Itu anak pungut, Mas. Aslinya sih kami belum punya anak. Padahal aku sudah lima tahun kawin sama Mas Tommy.”

 

Aku terlongong mendengar pengakuan baru itu. Pantasan tadi aku merasa seperti bersetubuh dengan seorang gadis. Rupanya Dyah memang belum punya anak.

 

Lalu kata Dyah lagi, “Itulah sebabnya, waktu dia ngajak wife swap tadinya kutolak terus. Bukan apa-apa sih…tapi emang dia bisa apa dengan istri-istri temannya di sini? Tapi dia berkeras, entah sengaja ingin membuatku puas atau dia ingin mengobati dirinya sendiri. Entahlah.”

 

Dan di puncak pengakuannya, Dyah berkata lirih, “Mas…terus terang…baru sekali ini aku mendapatkan kepuasan. Baru sekali ini aku merasakan bahwa sex itu indah sekali, Mas.”

 

Ucapan itu Dyah ikuti dengan ciuman bertubi-tubi, mwuah…..mwuah……mwuaaahhh ……mwuaaaaaaaahhhh…mwuaaah…..!

 

Lalu ia mengelus dadaku yang masih telanjang, seperti dadanya juga, “Sekarang aku sudah benar-benar Mas miliki….membuatku bahagia, Mas.”

 

“Dyah juga membuatku bahagia hari ini,” sahutku untuk mengimbangi, “Ohya, para istri yang pernah ikut dalam acara komunitas kita, kuanjurkan untuk menulis semacam catatan dan pengakuan sejujurnya tentang apa yang telah mereka rasakan setelah mengalami wife swap…lalu kuminta untuk mengemailkannya padaku. Nanti Dyah juga bikin tulisan ya. Mmm…minimal berupa catatan kesan-kesan dari acara istimewa ini.”

 

“Iya Mas. Nanti kasih aja alamat emailnya.”

 

(sebenarnya sudah banyak email dari komunitasku, berikut foto-fotonya juga, lumayan banyak untuk dijadikan bahan tulisanku nanti)

 

“Sekarang kita mandi dulu yok. Biar seger lagi badannya,” kataku sambil bangkit dan turun dari tempat tidur.

 

“Malem-malem gini mau mandi?” Dyah tampak sangsi.

 

“Kan pake air panas. Emangnya Dyah gak mau kumandiin, kusabuni dan sebagainya?”

 

“Mau…mauuu…” Dyah langsung bangkit dan mengikuti langkahku ke kamar mandi.

 

Di kamar mandi, Dyah jadi manja sekali. Dan tampak enjoy waktu kusabuni sekujur tubuhnya. Terlebih waktu aku menyabuni kemaluannya, ia bahkan terpejam-pejam sambil memegang bahuku.

 

Namun seperti biasa, pada suatu saat, ketika kemaluan Dyah terasa sudah sangat licin oleh air sabun, kusandarkan ia ke dinding. Dan kubenamkan batang kemaluanku ke liang kewanitaannya. Tak sulit melakukannya, karena licinnya air sabun membantuku untuk memasukkan tongkat kejantananku.

 

Dyah menyambutku dengan pelukan di leherku, sementara aku melakukannya sambil meremas-remas sepasang bokongnya yang mulus dan masih kencang.

 

Bahkan Dyah memagut bibirku, lalu melumatnya. Kubiarkan ia berbuat sesukanya, karena memang enak. Setelah ciumannya terlepas, giliran aku menjilati lehernya. Terkadang disertai dengan gigitan-gigitan kecil, membuatnya mulai merengek-rengek histeris, “Maaaa….ooooh….Maaaas……….iya Massss….enjot terus Maaaas…..ini enak sekali Maaas…..”

 

Kali ini aku ingin menyelesaikannya di kamar mandi juga, karena Dyah mengajakku untuk menacapai titik klimaks berbarengan. Maka kugenjot batang kemaluanku sehebat mungkin, membuat Dyah merem melek dan mendesah-desah seperti orang kepedasan.

 

Jam terbangku sudah cukup tinggi. Sehingga aku tahu persis kapan air maniku harus dihamburkan. Tepat di saat Dyah mengejang dan memeluk leherku erat-erat…lalu terasa lubang kemaluannya berkedut-kedut, berbarengan dengan kejutan-kejutan batang kemaluanku waktu menembak-nembakkan air maniku.

 

“Haduuuuuuh….lututku lemesss….” ucap Dyah setelah batang kemaluanku terlepas dari jepitan liang kemaluannya.

 

Kemudian shower menyemprotkan air hangat ke tubuh kami, untuk membilas air sabun dan keringat kami sampai bersih sekali. Waktu keluar dari kamar mandi, Dyah memeluk pinggangku dengan sikap manja dan mesra. Seolah sedang berbulan madu bersama suaminya.

 

Setelah menyisir rambutku yang masih basah kelimis, kuajak Dyah nyari makanan. Karena makanan malam yang dihidangkan sudah dingin semua.

 

Dyah mau saja. Karena dalam perjanjian, setiap istri yang sedang wife swap boleh dibawa ke mana pun, asalkan si istri setuju.

 

Maka tanpa ragu Dyah pun masuk ke dalam sedan istriku, yang kunci cadangannya ada padaku.

 

Pada waktu menyalakan mesin sedan ini, ingatanku melayang-layang tak menentu.

 

Membayangkan apa yang sedang terjadi pada diri istriku bersama Joseph. Seperti biasa, kecemburuanku berdesir hebat. Tapi aku tak mau mendramatisir perasaan cemburu ini. Justru mendapatkan kompensasi yang lebih dari seharusnya. Dyah ini kompensasinya. Ia tak hanya lebih cantik daripada Mila (istri Joseph), tapi juga lebih cantik daripada istriku sendiri.

 

Maka ketika aku membawanya duduk di rumah makan yang menyediakan sate dan gulai kambing, rasanya aku bangga berada di sisinya, dengan sikap manjanya yang berulang-ulang menyandarkan kepalanya di bahuku. Bangga ketika beberapa pasang mata lelaki di rumah makan itu memperlihatkan sorot kagumnya. Maklum hari sudah malam, otak kaumku biasanya mulai ngeres kalau melihat wanita secantik Dyah ini. Meski Dyah tidak mengenakan pakaian sexy saat itu, cuma mengenakan celana legging jeans, dengan baju kaus hitam ditutupi jaket jeans juga.

 

Aku sendiri setelah makan sate kambing 20 tusuk tanpa nasi, sementara Dyah hanya makan nasi dengan sop kambing, membuat badan kami tidak kedinginan lagi di daerah ketinggian ini.

 

Setelah berada di dalam villa lagi, justru Dyah yang tampak seperti mengharapkanku lagi. Dengan sengaja ia menanggalkan jaket jeansnya, baju kaus hitamnya yang tiada beha di baliknya. Dan terakhir ia menanggalkan celana legging jeansnya yang ketat. Lalu tampak lagi bagian yang paling indah di tubuhnya itu, karena ia tak mengenakan celana dalam di balik legging jeans itu.

 

Entah karena sate kambing setengah matang itu atau karena sinar erotis yang terpancar dari aura Dyah, entahlah. Yang jelas, aku sudah terangsang lagi sepenuhnya….meski di luar udara gelap dan dingin sekali…

Acara “reuni 3 pasang” yang kedua itu kuanggap kurang sukses. Mungkin karena kelemahan Tommy itu penyebabnya. Tapi aku tak mau menceritakan kekurangan temanku sendiri. Karena itu aku ingin memantau tulisan istriku saja. Mungkin ia lebih objektif menulisnya, terutama mengenai kelemahan Tommy itu.

 

Yang jelas aku sendiri terkesan dengan kehadiran Dyah itu. Tapi beberapa hari kemudian aku lalu sadar bahwa istriku lebih terkesan lagi, seperti kubaca dari pengakuan di catatan hariannya itu :

 

 

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

 

Alangkah indahnya alam yang telah suamiku bentangkan ini. Bahwa aku bisa melampiaskan hasratku kepada lelaki-lelaki yang kusukai. Meski demikian, aku tetap mencintai suamiku dengan sepenuh hati. Dan semua yang kudapatkan dari lelaki lain, kuanggap sebagai hiburan semata.

 

Tapi benarkah aku menganggap Joseph sebagai sosok penghiburku belaka?

 

Entahlah. Suamiku juga tahu bahwa di antara para peserta reuni di puncak dahulu itu, yang paling kusukai adalah Joseph. Terus terang, melihat gerak-geriknya saja aku suka. Terlebih jika ia sedang mencium bibirku, rasanya sekujur batinku jadi hangat dan indah.

 

Karena itu dengan sejujurnya aku memilih Joseph untuk menjadi tambahan peserta dalam acara wife swap di villa itu.

 

Maka ketika aku dan Joseph sudah masuk ke dalam kamar, kulampiaskan desir-desir hasratku dengan pelukan hangat dan senyum manisku. Yang lalu ditanggapi dengan ciuman mesra Joseph…ciuman yang selalu mampu menggetarkan nuraniku.

 

“Aku kangen banget, Jos,” kataku setengah berbisik setelah ciuman Joseph terlepas.

 

“Sama,” sahut Joseph sambil menyunggingkan senyum di bibirnya. Senyum yang selalu.

 

Dan…ketika Joseph mengajakku duduk di sofa…ketika tangan Joseph mulai merayapi lutut dan pahaku, aneh…baru disentuh begitu saja hasratku langsung berdesir-desir. Terlebih lagi setelah ia melengkapi elusan hangatnya itu dengan kecupan, jilatan dan lumatannya di seputar leher dan wajahku.

 

O, Joseph yang tampan dan romantis…aku sepenuhnya runtuh ke kaki kejantananmu! Baru tersentuh sedikit pun hasratku langsung berdesir. Apalagi setelah Joseph merebahkanku di atas tempat tidur, dengan kecupan dan gigitan-gigitan kecil di leherku, di payudaraku dan bahkan di ketiakku. Oh, Joseph…ini indah sekali !

 

Maka ketika Joseph menanggalkan gaunku, rasanya hasrat birahiku sudah makin memuncak. Terlebih setelah ia menanggalkan behaku, lalu mencelucupi pentil payudaraku, oh….aku pun tak kuasa lagi menahan nafsuku. Maka dengan penuh hasrat, kutarik ritsleting celana panjang Joseph. Lalu kumasukkan tanganku ke dalamnya. Kugenggam tombak kejantanannya dengan penuh gairah.

 

Pada saat yang sama, tangan Joseph pun sudah berada di balik celana dalamku. Dan ketika aku mulai meremas-remas penisnya yang sudah menegang itu, jemari Joseph pun sudah menyelusup-nyelusup ke dalam liang kemaluanku. Oooh…permainan sederhana ini tidak kecil artinya bagiku. Karena api birahiku dibuat berkobar dengan hebatnya. Membuat liang kemaluanku basah. Sehingga tanpa malu-malu aku membisiki telinga Joseph, “Mulai aja Jos…aku udah horny berat….”

 

Joseph mengangguk dengan senyum. Lalu menelanjangiku, kemudian menelanjangi dirinya sendiri. Dan menerkamku dengan hangatnya. Aku langsung memegang batang kemaluannya dan kuarahkan agar pas menuju lubang kemaluanku. Lalu kukedipkan mataku sebagai isyarat agar ia mendorong. Dan ia melakukannya. Mendesakkan batang kemaluannya sampai membenam ke dalam liang kemaluanku yang sudah basah ini.

 

Ooooh…untuk kesekian kalinya aku merasakan nnikmat yang luar biasa. Nikmat yang membuatku inegin menciumi bibir Joseph, ingin memeluk pinggang Joseph seerat-eratnya, seolah tak mau renggang lagi sedikit pun. Terlebih setelah kurasakan gesekan-gesekan dari batang kemaluan Joseph yang mulai diayun perlahan…makin lama makin mantap…makin mantap lagi….sungguh nikmat rasanya. Membuat mataku kadang terbuka kadang terpejam.

 

Dahulu aku menganggap sex hanya kembang kehidupan. Boleh ada boleh tidak. Tapi sekarang aku menganggap sex sebagai suatu kebutuhan. Yang membuatku semakin ketagihan.

 

Mungkin karena aku sudah terlalu kangen kepada Joseph, sehingga birahiku seolah bom yang siap meledak setelah detonatornya dinyalakan.

 

Baru beberapa menit Josesph menyetubuhiku, aku langsung merasakan seperti melesat ke angkasa…yang membuatku terkejang-kejang sambil menahan nafas dalam nikmat yang tiada taranya, membuatku memekik perlahan, “Ooooh….oooooooooohhh, Jooooosssssss………..”

 

Tampaknya Joseph mengerti apa yang terjadi pada diriku. Ia mencium bibirku, lalu bertanya setengah berbisik, ” Udah orga lagi?”

 

“Iya,” sahutku dengan perasaan malu, “udah terlalu kangen sih sama Jos.”

 

Tapi tidak seperti biasanya, meski sudah mencapai orgasme, gesekan penis Joseph di jepitan liang kewanitaanku tetap terasa enak…enak sekali. Sehingga aku bukannya mengeluh ngilu dan sebagainya. Aku bahkan membisiki telinga Joseph, “Yang keras genjotnya, Jos.”

 

Joseph meluluskan permintaanku. Gerakan penisnya jadi keras. Sehingga lubang kemaluanku mennimbulkan suara berkecipak-kecipuk, karena memang sudah banjuir dengan lendir birahiku sendiri.

 

Tak cuma mengenjot batang kemaluannya. Joseph juga mengentotku sambil mencelucupi leherku, menjilati ketiakku dan lalu menyelomoti pentil payudaraku. Sehingga api birahiku berkobar kembali dengan dahsyatnya. Maka kusambut keindahan ini dengan goyangan pinggulku, dengan gerakan sebinal-binalnya. Terkadang meliuk-liukdan bergelombang. Terkadang menghentak-hentak dari atas ke bawah, sehingga kelentitku bergesekan kencang dengan batang kemaluan Joseph.

 

Dalam keadaan seedan ini, aku tak bisa mengendalikan diri lagi. Kuremas-remas bahu Joseph sambil meraung-raung perlahan, “Iya Jos…..duuuuh…enak banget Jossss….iya…iyaaaaaaaaaaaaaaaaa….aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh……aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh….enak banget sayang….oooohhhhhhhhh……entot terus Jossss……. mmmmm……..ini enak banget Jooooooooooooossss……”

 

Terkadang suaraku seperti orang kepedasan, terkadang seperti tercekik…dan terkadang aku menahan nafasku…dalam indah dan nikmatnya disetubuhi oleh teman suamiku yang paling kusukai itu.

 

“Jos…barengin yuk…” ajakku ketika aku merasakan mau mencapai puncak kenikmatanku. Josepsh pun setuju. Dengan gencar ia mengenjot penisnya, sementara aku pun menggoyang pinggulku seedan dan sebinal mungkin. Sampai akhirnya kami mencapai puncak yang paling indah dalam persetubuhan kami.

 

Bahwa kamisaling cengkeram, saling remas seperti ingin saling meremukkan. Lalu kami saling dekap sekuat-kuatnya…sementara batang kemaluan Joseph pun dibenamkan sekuat-kuatnya…disusul dengan tembakan-tembakan air maninya yang terasa membanjiri lubang kemaluanku…semuanya itu terjadi pada saat lubang kemaluanku berkedut-kedut di puncak orgasmeku.

 

Oh, Joseph…ini teramat sangat indah !

 

Lalu kami terkapar di pantai kepuasan.

 

“Dirimu selalu membuatku puas, Er.” kata Joseph ketika kami berada di kamar mandi untuk membersihkan kemaluan kami sebersih-bersihnya.

 

Aku pun ingin mengucapkan hal yang sama. Tapi ada perasaan ingin menjaga harga diri suamiku. Maka aku malah bertanya, “Emangnya kalau dengan Mila gimana?”

 

“Mmm…biasa-biasa saja,” sahut Joseph, “tapi denganmu…luar biasa.”

 

Aku cuma tersenyum. Sementara shower air hangat yang sedang kupegang lalu kusemburkan ke sekujur tubuhku, untuk mengusir keringat yang masih melekat di tubuhku. Kemudian kusabuni, kubilas lagi dengan air hangat dan akhirnya kukeringkan dengan handuk. Joseph juga melakukan hal yang sama.

 

Kukenakan kimono bersih yang kubekal tadi ke kamar mandi, tanpa mengenakan pakaian dalam, lalu keluar dari kamar mandi.

 

Joseph pun keluar dari kamar mandi dalam piyama sutra putih bermotif garis-garis hitam dan abu-abu. Lalu membuka pintu dan melangkah ke luar. Tak lama kemudian ia kembali ke dalam kamar sambil berkata, “Kita cari makanan yuk. Abis em-el malah jadi lapar.”

 

Aku menurut saja. Mengikuti langkah Joseph menuju mobilnya. Tak sadar sedikit pun bahwa saat itu aku cuma mengenakan kimono yang terbuat dari kain handuk putih polos, sementara di balik kimono itu tiada apa-apa lagi yang melekat di tubuhku.

 

Setelah berada di dalam mobil Joseph, barulah aku menyadarinya.

 

“Jos…” kataku ketika Joseph sudah menggerakkan mobilnya di jalan aspal, “aku gak pakai celana dalam nih.”

 

Joseph menoleh dan tersenyum, “:Biar aja. RUmah makan juga jam segini mah udah pada sepi.”

 

“Gak pakai beha pula.”

 

“Hehehehee…gakpapa lah. Jangan dibuka aja talinya,” kata Joseph sambil mengelus pahaku yang muncul di belahan kimonoku, “lagian enak gini…bisa megang langsung ininya.”

 

Di belakang setirnya, tangan kiri Joseph merayapi kemaluanku.

 

“Jangan pegang-pegang dulu dong,” kataku sambil menepiskan tangan Joseph, “Nanti kalau aku horny lagi gimana?”

 

“Ya main lagi aja,” sahut Joseph santai, “waktu kita kan masih panjang.”

 

“Tapi Jos kan harus simpan tenaga buat istri Tommy besok,” kataku yang tiba-triba saja dijalari perasaan cemburu. Membayangkan Joseph akan menggeluti tubuh istri Tommy yang sekarang sedang bersama suamiku itu. Perasaan cemburu yang membuatku berniat ingin menguras kejantanan Joseph, supaya besok tidak punya power lagi pada waktu sedang bersama istri Tommy yang bernama Dyah itu.

 

“Biar aja, istri Tommy bukan prioritasku,” sahut Joseph sambil membelokkan mobilnya ke pekarangan rumah makan yang masih buka.

 

“Lalu yang jadi prioritas siapa?” tanyaku dengan sikap manja.

 

“Ini nih prioritasku,” sahut Joseph sambil menggamit-gamit kemaluanku. Padahal ia sudah menghentikan mobilnya di depan rumah makan.

 

“Sudah dong, entar keliatan orang,” kataku sambil mengeluarkan tangan Joseph dari dalam kimonoku, “katanya lapar. Makan dulu lah. Kalau udah kenyang, nanti dikasih sekenyangnya…sekuatnya…”

 

“Bener ya…janji yaaaaa…” Joseph membuka pintu mobil.

 

“Iya, janji,” sahutku, “Aku gak usah turun ya. Gak enak pake kimono gini, ntar diketawain orang.”

 

“Terus? Beli nasi bungkus aja ya?”

 

“Iya, kita makan di villa aja nanti. Pasti lebih tenang.”

 

Pada waktu kembali ke villa, aku baru sadar bahwa mobilku gak ada. Lalu kulihat pintu kamar yang dipakai oleh Dyah dan suamiku. Ada tanda “OUT” di dekat handle pintu. Berarti suamiku sedang keluar bersama Dyah. Entah nyari makan juga atau lagi nyari udara segar.

 

Tapi biarlah. Malam ini suamiku memang sedang menjadi milik Dyah. Dan aku menjadi milik Joseph.

 

Dan aku harus mengakuinya secara jujur, bahwa detik-detik bersama Joseph ini adalah detik-detik yang sangat menyenangkan. Detik-detik yang senantiasa bergelimang keindahan dan kehangatan.

 

Betapa tidak. Lewat tengah malam, ketika tubuh kami sudah telanjang lagi, aku tidak defensif lagi. Dan Joseph tampak senang dengan seranganku yang bertubi-tubi. Menciumi bibirnya yang jantan, menciumi hidungnya yang mancung (maklum dia keturunan bule), menciumi lehernya, menciumi perutnya, menciumi penisnya yang sudah tegang kembali…bahkan lalu mengulumnya, menjilatinya sebinal mungkin, sehingga akhirnya aku memasukkannya ke dalam liang kewanitaanku dalam posisi WOT. Ooo, indahnya mengayun pinggulku naik turun dengan penis Joseph yang terbesot-besot oleh jepitan liang kemaluanku…dan aku melakukannya dengan sebinal mungkin…sehingga Joseph tampak senang, celentang sambil memainkan sepasang payudaraku. Terkadang penis Joseph terasa mendesak, terkadang terasa menjauh….seandainya suamiku melihat ini semua, pasti ia cemburu…karena aku melakukan semuanya ini dengan gairah yang gila-gilaan. Tapi bukankah ia juga tengah berdua dengan Dyah yang cantik itu?

 

Namun sayangnya dalam posisi di atas seperti ini, aku cepat sekali mencapai orgasme. Hanya belasan menit, aku ambruk di atas dada Joseph. Lalu membiarkan Joseph menggulingkan tubuhku jadi celentang, tapi dalam keadaan penisnya tetap berada di dalam jepitan liang kemaluanku yang sudah basah oleh lendir birahiku.

 

Giliran Joseph yang aktif kini. Dengan jantannya ia mulai mengentotku. Menggerak-gerakkan batang kemaluannya maju-mundur dengan mantapnya di dalam liang kemaluanku. Dan aku yang sudah telanjur suka padanya, menyambutnya dengan dekapan hangat. Terkadang dengan ciuman demi ciuman…mesra dan hangat dan nikmat !

 

Joseph pun tak sekadar mengayun penisnya. Kedua tangannya aktif meremasi buah dadaku, terkadang mengelus rambutku dan terkadang meremas-remas buah pinggulku.

 

Kedua tanganku juga terkadang meremas bahunya, terkadang mendekap pinggangnya, terkadang juga mengacak-acak rambutnya.

 

Dan ketika aku merasa sudah mau mencapai orgasme lagi, kubisiki Joseph, “Jos…barengin lagi Jos…tadi juga enak banget….duuuuh…aku mau lepas lagi Joooossss….”

 

Joseph selalu mengikuti apa yang kuinginkan. Ia mengayun batang kemaluannya dengan gerakan cepat dan mantap. Sampai akhirnya ia membenamkannya sedalam mungkin, yang kusambut dengan kedutan-kedutan di lubang kemaluanku. Oooh…betapa indahnya semua ini. Merasakan semprotan-semprotan air mani Joseph pada saat aku sedang mencapai orgasmeku. Luar biasa indah dan nikmatnya !

 

Mmmmm…gemessssss….sangat enak sekali !

 

“Jos…” bisikku pada waktu Joseph masih terkapar di atas tubuhku, “ML sama Jos kok enak banget sih?!”

 

“Aku juga merasakan hal yang sama, sayang,” kata Joseph disusul dengan kecupan mesranya di bibirku, “Tiap kali bersetubuh denganmu….jujur…paling enak di antara semua wnaita yang pernah kugauli.”

 

“Nanti siang Jos kan bakal dapet Dyah. Mana tau dia lebih enak daripada aku.”

 

“Ah, melihat bentuk tubuhnya aja aku sudah bisa naksir…pasti gak seenak Erni…”

 

“Masa sih? Ntar kalau udah sama dia, bilang yang sama juga…Dyah…kamu enak banget sih?” sindirku dengan desir cemburu yang mendadak bergejolak di dalam diriku.

 

Lalu…ketika kecemburuanku ini semakin menggila, ada sesuatu yang tumbuh di dalam hatiku. Bahwa aku harus menguras tenaga Joseph malam ini, supaya besok tiada tenaga yang tersisa lagi buat Dyah.

Dan aku tidak tahu seperti apa lemahnya Joseph di keesokan harinya. Sedangkan aku sendiri malah menemui lelaki yang bermasalah dengan kelelakiannya. Ya, Tommy itu ternyata lemah sekali. Sehingga malam farewell party tidak jadi dilaksanakan, karena Tommy itu…yah…aku tak mau menceritakan secara mendetail. Cuma mau menulis singkat saja, Tommy itu sangat lemah. Meski umurnya baru tigapuluhan, kelelakiannya seperti lelaki delapanpuluh tahunan. Itu saja.

 

 

++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

Istriku baru menulis sampai di situ. Membuatku tersenyum sendiri, meski ada kecemburuan besar ketika membaca tulisan mengenai Joseph itu.

 

Dan berbeda dengan yang dialami oleh istriku, aku justru merasa beruntung karena malam pertama bisa menikmati Dyah yang seperti wanita kehausan, di malam kedua pun aku menemukan Mila.

 

Istri Joseph itu memang seorang wanita yang penuh gairah. Entah gairah itu hanya ditujukan padaku atau kepada setiap lelaki yang dijumpainya. Yang jelas, ketika aku sudah membawanya masuk ke dalam kamar, sebagai pasangan seksualku hari itu, Mila langsung mendekapku sambil berkata, “Tiap kali bertemu denganmu, aku selalu horny, Yad.”

 

Lalu ia meraihku ke atas tempat tidur. Saat itu ia mengenakan blouse bermotif kulit macan tutul dan celana jeans ketat potongan tigaperempat, sehingga betis mulusnya tampak jelas di mataku.

 

“Tommy itu kok gitu ya?” cetus Mila waktu aku sedang merayapkan tanganku ke balik blouse bermotif kulit macan tutul itu

 

“Gitu gimana?”

 

“Penisnya kecil, kayak kontol monyet…hihihihi….gak mau hidup-hidup pula.”

 

“Masa?” aku tercengang.

 

“Tanya aja sama istrimu besok.”

 

“Jadi tadi malam ngapain aja?”

 

“Dia cuma mengoralku…gak sampai ML.”

 

“Lho…” lagi-lagi aku tercengang, “Padahal dia yang ngotot pengen bikin acara ini.”

 

“Mungkin dia ingin ngasih kepuasan buat istrinya aja.”

 

Aku memang sudah mendengar kekurangan Tommy itu dari istrinya sendiri. Dan berita dari Mila semakin meyakinkanku, bahwa Dyah bicara sesungguhnya kemaren.

 

Kalau dipikir-pikir kasihan juga Tommy itu. Tadinya kusangka Tommy itu normal-normal saja. Ternyata…hmmm…kata-kata Mila itu jadi terngiang-ngiang terus di telingaku di hari-hari berikutnya, “….penisnya kecil, kayak kontol monyet…gak mau hidup-hidup pula…”

 

Tapi aku melupakannya beberapa saat, karena Mila mulai menggumuliku, sehingga aku harus menjawabnya dengan segala kejantanan yang kumiliki. Terlebih setelah celana jeans potongan tigaperempat itu terlepas, disusul dengan pelepasan blouse dan celana dalamnya. Hmmm…betapa menggiurkannya tubuh istri Tommy ini.

 

Dan manakala batang kemaluanku mulai menerobos liang kewanitaannya, ia menyambutku dengan pelukan yang erat sekali, seakan gemas dan ingin meremukkan tubuhku. Mungkin ia ingin mendapatkan kompensasi atas kekecewaannya waktu bersama Tommy kemaren.

 

Dan seolah berhadapanm dengan wanita kelaparan, aku harus menguras kejantananku bersama Mila malam itu.

 

 

Aku ingin melupakan kekecewaan semua pihak atas tidak terlaksananya farewell party yang seharusnya akan berlangsung seru itu.

 

Dan aku malah mengalami kejadian-kejadian lain di beberapa minggu kemudian. Seperti yang kubaca dari catatan harian istriku berikutnya :

 

 

+++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++++

 

 

Saat itu menurut ceritanya, suamiku sedang berada di Kalimantan. Tapi entahlah dia ada di Kalimantan atau di Jakarta. Yang jelas Leo dan Raisha juga dibawa. Raisha akan diserahkan kepada suaminya, karena kasihan juga kalau terlalu lama bepisah dengan Edo. Sementara Leo, akan melanjutkan kuliahnya di Banjarmasin, sambil membantu pekerjaan-pekerjaan suamiku.

 

Katakanlah aku seperti kehilangan segalanya. Padahal aku sedang sangat membutuhkan lelaki, karena…entahlah..belakangan ini aku sering horny sendiri, sehingga kadang-kadang aku terpaksa harus bermasturbasi, untuk meredakan hasrat birahiku. Tapi sejak dahulu aku nyadar, bahwa masturbasi bukan pemecahan yang sempurna. Karena menurutku, hasrat birahi wanita hanya akan reda dengan sempurna jika ada seorang lelaki yang menggaulinya.

 

Maka ketika Herman tiba-tiba muncul di ambang pintu depan, membuatku terpaku beberapa saat.Karena ia jadi berubah sekali. Jadi ganteng di balik pakaian yang tampak mahal pula.

 

“Kamu Herman?” tegurku dengan perasaan tak percaya pada penglihatanku sendiri.

 

“Iya Bu, masa baru setahun Ibu sudah bisa lupa sama saya,” sahut Herman dengan sikap sopan.

 

“Soalnya kamu kok jadi ganteng, Man?”

 

“Ah Ibu bisa aja.”

 

“Beneran, kamu jadi berubah Man. Bisa-bisa mantan istrimu ngajak rujuk lagi kalau udah ketemu nanti.”

 

“Ah, nggak lah Bu. Saya sudah kapok punya istri kayak gitu. Ada uang abang saya, gak ada uang abang ditendang.”

 

Aku ketawa mendengar kata-kata Herman itu. “Lalu kenapa kamu meninggalkan Kalimantan? Apakah Bapak nyuruh kamu?” tanyaku setelah Herman duduk di ruang depan.

 

“Gak Bu,” Herman menggeleng, “Saya lagi dapet cuti sebulan. Jadi ya pulang dulu lah. Tapi Ibu kan tahu, saya sudah cerai sama istri saya. Jadi mungkin besok mau pulang kampung aja. ”

 

Aku sering mencuri pandang dengan sudut mataku. Gila, si Herman sekarang tampak ganteng dan macho gitu. Ah…gilakah aku kalau pikiranku mendadak berbeda kepada mantan sopirku yang sekarang sudah diangkat oleh suamiku sebagai kepala bagian logistik di pertambangannya?

 

“Sekarang mandi aja dulu gih,” kataku, “Di atas kan ada kamar yang lengkap dengan kamar mandinya. Mandi dulu gih. Nanti anter aku nyari makanan untuk makan malam.”

 

“Iya Bu. Di atas?”

 

“Iya. Handuk, sabun dan shampoo ada di atas.”

 

“Iya Bu, terimakasih,” kata Herman sambil berdiri, kemudian melangkah menuju tangga.

 

Aku pun bergegas masuk ke dalam kamarku. Bergegas mandi juga sebersih-bersihnya. Setelah mandi, kukenakan celana dalamku. Lalu kukenakan gaun biruku yang ada belahan di paha kanan-kiriku., tanpa mengenakan bra di dalamnya. Lalu aku mematut-matut diri di depan cermin riasku.

 

Ketika aku keluar dari kamarku, Herman sudah duduk lagi di sofa ruang depan. Anehnya hasrat birahiku ini semakin bergejolak saja rasanya.

 

Hasrat yang membuatku duduk tanpa ragu di samping Herman.

 

“Mau berangkat sekarang Bu?” tanya Herman.

 

“Ntar ah, baru juga jam tujuh,” sahutku, “Dua jam lagi lah. Di langgananku biasanya ramai setelah lewat jam sembilan. Bukanya sampai subuh.”

 

“Iya Bu.”

 

“Kamu kan udah cerai sama istrimu, tapi di Kalimantan pasti banyak cewek yang jadi sasaran kamu ya?”

 

“Wah, nggak Bu. Selama di Kalimantan, saya puasa terus soal itu sih.”

 

“Bohong ah…terus ininya diapain?” cetusku sambil memegang celana Herman pas di bagian “itu”nya.

 

Herman tampak kaget. Karena sebelumnya aku tak pernah memperlakukannya seperti itu. Tapi ia diam saja. Padahal aku mulai menekan-nekankan jempol tanganku di bagian yang terasa menonjol.

 

“Gak diapa-apain Bu…ya..pu…puasa aja…” kata Herman sementara tanganku tetap berada di tempat yang menonjol itu. Dan yang mengganjal itu terasa mulai membesar.

 

Herman tampak salah tingkah. Terlebih lagi setelah aku menarik ritsleting celananya, lalu menyelundupkan tanganku ke dalamnya….menyelusup lagi ke balik celana dalamnya. Woooow ! Kusentuh batang kemaluan yang begitu besarnya….yang aku yakin lebih besar daripada penis suamiku !

 

“Bu…aaaah…Bu….” Herman mendesah ketika aku mulai meremas-remas penisnya dengan lembut. Remasan yang berhasil membuat penis Herman menegang dengan pesatnya.

 

“Langsung ngaceng gini, Man,” kataku perlahan.

 

“Iii…iya Bu…duuuh…kalau saya jadi kepengen gimana nanti Bu?”

 

“Nanti aku kasih…tapi jilatin dulu ya….punyamu gede gini sih, kalau langsung dimasukin pasti sakit memekku.”

 

Herman tercngang. Lalu katanya, “I…iya…Bu…ta…tapi kalau ketahuan Boss, saya bisa dipecat Bu.”

 

“Ya rahasiain dong…jangan ngomong sama siapa-siapa,” aku menelentang di sofa sambil menyingkapkan gaunku sampai perut, kemudian kulepaskan celana dalamku. Membuat Herman melotot dan ternganga.

 

“Ayo,” ajakku, “Nunggu apa lagi?”

 

“I…iya Bu…” Herman bergerak ke antara kedua pahaku.

 

Tapi aku mendorong dadanya sambil berkata, “Lepasin dulu celanamu…biar nanti gampang.”

 

Herman mengangguk dan buru-buru melepaskan celana panjang berikut celana dalamnya juga. Gila…batang kemaluan Herman yang sudah ngaceng itu memang lebih besar dan lebih panjang daripada penis suamiku !

 

Seperti yang kuminta tadi, Herman lalu membungkuk di antara kedua belah pahaku. Mendekatkan mulutnya ke kemaluanku. Dan mulai menjilati kemaluanku dengan ganasnya.

 

Oooh…aku mulai menggelinjang-gelinjang nikmat. Terlebih lagi setelah Herman mulai tekun menjilati kelentitku. Kuremas-remas rambut Herman yang berada di bawah perutku ini…oooh…ini nikmat sekali…kemunculan Herman tepat di saat aku membutuhkan lelaki !

 

“Udah Man…masukin aja….” kataku setelah merasa orgasmeku hampir tercapai akibat jilatan dan isapan mulut Herman.

 

Herman menurut saja. Sambil memegang batang kemaluannya, ia mulai merayap; ke atas perutku. Dan terasa moncong penisnya sudah menempel tepat di mulut kemaluanku. Aku pun membantunya, memegang batang kemaluannya yang aduhai itu supaya sasarannya tepat.

 

“Kontolmu gede banget Man….mmmm…iya…dorongin…” desahku sambil menatap langit-langit ruang depan.

 

Dan…Herman mendesakkan batang kemaluannya….blesssss….membenam ke dalam liang kemaluanku yang sudah basah oleh air liur Herman ini.

 

“Iya Man….iya…ooooh…masuk Maaaan…oooooh…..” cetusku sambil mendekap pinggang Herman.

 

Dan Herman mulai mengayun tongkat kejantanannya di dalam liang kemaluanku. Oooh, luar biasa nikmatnya. Sehingga aku tak bisa mengendalikan diri lagi. Aku mendesah-desah terus, “Iya Man…entot terus Maaaaan…ooooh….punyamu luar biasa Maaaaan…enak banget….ooooh…oooh….”

 

 

Tapi ketika aku sedang merasa enak-enaknya disetubuhi oleh mantan sopirku yang sudah dijadikan kepala bagian logistik di perusahaan tambang suamiku itu, tiba-tiba aku merasa bahuku digoyang-goyang. Dan kudengar suara suamiku, “Sayang….kenapa sayang? Siang-siang gini mimpi?”

 

Aku membuka mataku. Ooooh….ternyata aku sedang bermimpi tadi ?! Jadi persetubuhanku dengan Herman hanya sebuah mimpi? Sialan!

 

Dan aku jadi malu sendiri ketika suamiku bertanya, “Mimpi apa barusan? Sampai meraung-raung gitu…kayak suara yang sedang disetubuhi….”

 

Aku tersipu malu. Dan tak menjawab pertanyaan suamiku.

 

Aku bangkit, turun dari tempat tidurku. Jam dinding menunjukkan pukul lima sore. Gila…sore-sore gini pake mimpi gituan segala, pikirku.

 

“Wow, sekarang udah main rahasia-rahasiaan segala ya?” terdengar suara suamiku yang masih berdiri di dekat tempat tidur.

 

“Rahasia apa Bang?” aku menatapnya dengan perasaan takut. Memang takut menceritakan mimpiku tadi.

 

“Mana aku tau?!”: suamiku angkat bahu, “Yang jelas, kutanya barusan mimpi apa, gak mau jawab. Padahal aku tau, kamu pasti mimpi bersetubuh barusan kan?”

 

Dengan berat aku mengangguk dan mengiyakan.

 

“Tadi kamu terus-terusan menyebut Man, Man-Man melulu. Siapa itu Man? Norman? Darman? Maman atau….”

 

“Herman !” sahutku menegarkan diri.

 

“Herman? Herman mana?”

 

“Herman sopir kita yang sekarang Abang bawa ke Kalimantan itu,” sahutku sejujurnya, meski merasa malu sekali.

 

“Ohya?! Hahahaaaa….jadi Erni yang cantik dan sexy pernah ada skandal dengan sopirnya sendiri yang bernama Herman? Luar biasa…”

 

“Jangan ngaco Bang. Aku belum pernah ada skandal sama si Herman. Tapi tadi aku memang mimpi digauli sama dia. Namanya juga mimpi. Suka sembarangan aja datangnya. Tapi aku berani bersumpah apa pun, bahwa aku belum pernah punya skandal apa pun dengan si Herman itu, Bang.”

 

Suamiku cuma menatapku sesaat, lalu terdiam.

 

“Abang marah ya?” ucapku sambil merangkul leher suamiku.

 

“Gak,” suamiku menggeleng, “aku justru heran, karena feelingmu kuat sekali. Aku baru saja menerima sms dari si Herman. Besok pagi dia terbang ke sini. Padahal aku belum pernah bicara soal dia kan?”

 

Aku cuma menggelengkan kepala. Dan gilanya, mimpiku tadi benar-benar mempengaruhi jiwaku. Membuatku seperti dilanda rasa penasaran yang hebat. Membayangkan enaknya disetubuhi oleh Herman. Gila ! Sudah semurah inikah diriku? Membayangkan enaknya disetubuhi oleh anak buah suamiku sendiri? Gila, gila, gila! Aku harus membuang pikiran itu jauh-jauh !

 

Tapi suamiku bahkan berkata, “Besok, pas dia datang, aku akan nginap di wisma kos. Lalu ajak dia bersetubuh ya.”

 

“Gak mau ah !” aku menggelengkan kepala, meski batinku masih sangat membayangkan enaknya disetubuhi oleh anak buah suamiku itu.

 

Suamiku memegang kedua bahuku dan berkata, “Sayang…ini ada kaitannya dengan bisnis. Si Herman sudah sangat menguasai seluk beluk pertambangan kita. Dan kelihatannya ada perusahaan lain yang akan membajaknya. Mau merekrut dia dengan gaji yang jauh lebih besar.”

 

“Lalu?”

 

“Sekarang kasusnya sama seperti waktu kamu menganjurkanku untuk menggauli si Mimin.”

 

“Jadi?”

 

“Rayu dia besok…sampai dia bisa kamu miliki. Supaya dia tidak pindah ke perusahaan lain,” kata suamiku, “aku sangat membutuhkan dia. Karena di zaman sekarang ini susah mencari orang sejujur si Herman itu, sayang.”

 

“Ini Abang serius?”

 

“Sangat-sangat serius, sayang. Kapan sih aku gak serius dalam soal yang peka seperti ini?”

 

Lalu suamiku membahas masalah Herman panjang lebar. Tentang bahayanya kalau Herman sampai pindah kerja ke perusahaan lain, karena sudah tahu banyak rahasia perusahaan suamiku. Dan suamiku sangat berharap bantuanku, dengan cara menjebak Herman ke dalam pelukanku, agar tetap bertahan di perusahaan suamiku.

 

Kemudian suamiku menguraikan skenario penjebakan Herman besok. Dan aku cepat memahaminya.

 

Apakah aku merasa dimanfaatkan oleh suamiku untuk kepentingan bisnisnya? Jujur saja, aku tidak merasa dimanfaatkan. Aku bahkan dengan senang hati akan melaksanakan skenario itu, karena aku sendiri sudah terobsesi oleh mimpi itu. Mimpi disetubuhi oleh Herman itu. Maka dengan adanya saran suamiku untuk melaksanakan kejadian dalam mimpi itu ke dalam kenyataan, aku benar-benar seperti diberi jalan.

 

Maka kupersiapkan diri sambil menunggu kedatangan Herman yang kata suamiku akan datang besok sore. Sementara suamiku akan “menghilang” dari rumah sebelum Herman datang.

 

 

Tepat seperti yang dikatakan oleh suamiku, besok sorenya Herman datang. Dan aku sudah “mempersiapkan” diriku, dengan mandi sebersih-bersihnya dan mengenakan kimono, seperti biasa.

 

Memang dengan pakaian yang lebih perlente jika dibandingkan dengan waktu ia masih menjadi sopirku. Aku pun harus mengakuinya secara jujur, bahwa kini Herman jadi ganteng. Tak seperti waktu masih jadi sopir, yang senantiasa tampak lusuh.

 

“Herman ?!” kataku pura-pura kaget dan heran, sambil memegang kedua bahu Herman, “Kamu kok jadi ganteng gini, Man?”

 

“Masa sih Bu? Hehehee….” sahut Herman dengan sikap malu-malu, “Boss ada Bu?”

 

“Dia ada urusan mendadak di luar kota. Tadi dia bilang kalau ada Herman, suruh nginap aja di sini, suruh menunggu sampai dia datang. Duduklah…” kataku sambil meraih pergelangan tangannya. Dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu.

 

Ini untuk pertama kalinya aku meraih-raih tangannya segala. Pada waktu ia masih menjadi sopirku dahulu, tak pernah aku memperlakukannya seperti itu.

 

“Aku kangen banget sama kamu, Man,” kataku sambil duduk di samping Herman.

 

“Hehehee…sama Bu…saya sih sampai termimpi-mimpi…rasanya seperti masih jadi sopir di sini…”

 

“Ohya? Mimpiin aku gak?” tanyaku sambil memegang tangannya.

 

“Se…sering…” sahut Herman tergagap.

 

“Man…percaya gak? Aku malah pernah mimpi gituan sama kamu,” kataku sambil menepuk lutut mantan sopirku.

 

“Gi…gituan gi…gi…gimana Bu?” tanya Herman tergagap.

 

Tanpa ragu kudekatkan mulutku ke telinga Herman, lalu menjawabnya dengan bisikan, “Mimpi bersetubuh sama kamu….”

 

Herman terbelalak, “Masa sih Bu?”

 

“Iya,” sahutku, “dan rasanya enaaaak banget Man…”

 

Herman cuma terlongong.

 

“Kamu pernah mimpi bersetubuh sama aku gak? Ayo ngaku aja terus terang….”

 

“Per…pernah Bu…heheheeee…Ibu bikin saya malu aja….”

 

“Hmmm…emang selama di Kalimantan gak dapet cewek?” tanyaku sambil merayapkan tanganku ke ritsleting celana Herman.

 

“Saya kan tugasnya di tengah hutan. Mana ada cewek, Bu?”

 

“Jadi selama di Kalimantan ngapain aja?”

 

“Kerja aja Bu. Sama sekali gak mikirin cewek. Oooh…Bu….” Herman tampak gelagapan ketika aku sudah berhasil menyelusupkan tanganku ke balik celana dalamnya dan menyentuh batang kemaluannya.

 

Dan sesuatu yang kuanggap aneh menjadi kenyataan. Penis Herman persis seperti dalam mimpiku, lebih panjang dan lebih besar daripada penis suamiku ! Bukankah ini sesuatu yang aneh bagiku? Bahwa yang kumimpikan kemaren, saat ini menjadi kenyataan semua. Bahwa Herman jauh lebih ganteng daripada waktu masih jadi sopirku. Dan bahwa penis Herman benar-benar aduhai, seperti dalam mimpiku.

 

“Langsung ngaceng gini, Man,” kataku sambil meremas-remas batang kemaluan Herman yang masih berada di balik celana dalamnya. Dan kubisiki telinganya, “Kita wujudkan mimpi kita yuk…”

 

“I…iya Bu….di…di mana?” Herman menatapku dengan sorot ragu.

 

“Di atas aja yuk,” ajakku sambil bangkit dan memegang tangan Herman, lalu mengajaknya menuju kamar di lantai atas.

 

Di kamar tengah lantai atas, tanpa ragu lagi kupeluk pinggang Herman sambil mendekatkan bibirku ke bibirnya. Tapi Herman malah berkata, “Saya takut Boss tiba-tiba datang…”

 

“Jangan takut. Dia baru pulang besok malam,” sahutku sambil memagut bibirnya, lalu melumatnya dengan sepenuh gairahku. Dan ciuman itu kuiringi dengan penurunan celana panjang dan celana dalam Herman. Karena aku sudah penasaran, ingin segera melihat seperti apa bentuk penisnya itu.

 

Setelah celana panjang dan celana dalam Herman terjatuh ke lantai, wooow…memang luar biasa alat kejantanan anak buah suamiku itu. Dilihat sepintas saja aku bisa menilai bahwa penis Herman itu jauh lebih panjang-gede daripada penis suamiku.

 

Sungguh tak kusangka kalau lelaki muda yang sudah kukenal bertahun-tahun itu ternyata memiliki alat kejantanan yang demikian gagahnya.

 

“Ini diapain, Man?” kataku sambil memegang batang kemaluan Herman yang sudah tegang ini, “Kok bisa panjang gede gini….digedein pakai alat ya?”

 

“Gak Bu…hehehe…masa harus digedein pakai alat segala,” sahut Herman mulai berani mengusap-usap pahaku yang tersembul di belahan kimonoku.

 

“Sebelum dimasukin, jilatin dulu ya memekku,” kataku setengah berbisik ke telinga Herman, “Kalau langsung dimasukin pasti sakit.”

 

“Iya Bu…” Herman makin berani. Melepaskan tali kimonoku, lalu menanggalkan kimonoku, sehingga aku tinggal mengenakan celana dalam saja, karena sejak tadi aku tidak mengenakan bra.

 

Di kamar tengah lantai atas ini, tidak ada hamparan kasur di atas karpet lagi. Yang ada cuma sofa-sofa dan beberapa perabotan lainnya.

 

Ketika aku duduk di atas sofa, Herman masih kelihatan kebingungan. Mungkin karena masih menganggapku istri bossnya. Tapi aku ingin mencairkan kecanggungan itu. Kuraih pergelangan tangan Herman, lalu menempelkan telapak tangannya di payudaraku sambil berkata, “Ayolah…lakukan apa yang kamu mau, Man.”

 

“I…iya Bu…terus terang aja, saya ma…masih merasa se…seperti bermimpi,” kata Herman

 

“Jangan buang-buang waktu, Man. Nanti kamu nyesel lho…” sahutku sambil merengkuh lehernya ke dalam pelukanku, sehingga wajahnya terjerembab ke atas payudaraku.

 

Dan ia mulai mengulum pentil buah dada kiriku, tak ubahnya bayi yang sedang menetek pada ibunya. “Nah gitu dong…mmmm….enak Man….iya…..aku jadi semakin horny nih…” bisikku sambil berusaha memegang batang kemaluan Herman yang dahsyat itu.

 

Setelah terpegang, kuremas dengan lembut batang kemaluan yang sudah tegang itu. Lalu kataku, “Lepasin dulu dong bajumu, Man. Kalau gak telanjang kurang sip.”

 

Herman mengangguk, lalu menanggalkan kemeja tangan pendeknya. Pada saat yang sama kulepaskan pula celana dalamku, sebagai satu-satunya benda yang masih melekat di tubuhku.

 

Herman yang sudah telanjang bulat, terpana menyaksikan tubuhku yang sudah telanjang ini. Lalu terdengar suaranya, “Ooooh…tubuh Ibu…luar biasa mulusnya….”

 

“Emangnya tubuh mantan istrimu gak mulus?” tanyaku sambil duduk mengangkang dan sengaja mengelus-elus kemaluanku sendiri.

 

“Mantan istri saya banyak noda di paha dan perutnya….tidak seperti tubuh ibu ini, mulus sekali,” kata Herman sambil mengelus perutku dengan lembut.

 

“Tapi kalau kamu perhatikan, nih…ada bekas operasi cezar di perutku. Hanya saja sudah dihilangkan sedikit demi sedikit di salon langgananku,” kataku sambil menunjuk ke bekas sayatan cezar dahulu.

 

“Ah…gak begitu kelihatan, Bu…cuma samar-samar,” kata Herman sambil menciumi pusar perutku.

 

Kemudian Herman mulai menjadi seorang lelaki muda yang aktif. Usianya yang baru 27 tahun terasa sudah sangat berpengalaman, karena ia pernah beristri meski cuma dua tahun saja.

 

Ketika mulut Herman mulai menerkam kemaluanku, dengan lidah terjulur menjilati celah kemaluanku, oooooh…ini nikmat sekali. Terlebih ketika ia menjilati kelentitku yang sangat peka ini, luar biasa geli-geli enaknya !

 

Sambil menjilati kemaluanku, kedua tangan Herman menjadi alas bokongku…terasa remasan-remasannya semakin kencang ketika jilatannya semakin mengganas. Ini membuatku terkejang-kejang dalam nikmat yang tiada bandingannya. Mulutku pun mulai menceracau tak menentu, tanpa bisa dikendalikan lagi, “Oooohhhh…Maaaan…enak banget Maaaan….ooooh….iya Maaaan…iyaaaaaaaa….itilnya jilatin terus Maaaan….naaah…iya itu…jilatin terus yang kuat Maaaan…oooh…ini enak banget Maaaan…..ooohhhhhhhhhhhhhhhhhh…. iyaaaaaaaaaaaa…ooooooooohhhhhhhhhhhh…..aaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhh….”

 

Gila…saking enaknya jilatan Herman, aku tak kuasa lagi menahan arus kenikmatanku, sehingga liang kemaluanku terasa berkedut-kedut dan akhirnya terasa membasah. Pada saat berikutnya, kuajak Herman untuk melanjutkannya di kamar yang sebelah kanan.

 

Lalu bergegas kami masuk ke kamar itu. Dan aku duluan melompat ke atas tempat tidur, lalu menelentang dan merentangkan kedua kakiku selebar-lebarnya.

 

Sambil memegang batang kemaluannya yang sudah ngaceng itu Herman naik ke atas tempat tidur dan bertanya, “Masukin aja Bu?”

 

“Ya iyalah. Emangnya mau dipelototin doang?” sahutku sambil menarik batang kemaluan Herman agar menempel ke mulut memekku.

 

Dan…ketika Herman mulai mendesakkan batang kemaluannya yang sangat gede dan panjang itu…ooooh…terasa benar melesak sedikit demi sedikit ke dalam lubang kemaluanku yang sudah basah ini.

 

“Duuuuh…kontolmu edan, Man…gede banget…..” cetusku sambil mendekap pinggang Herman yang bertubuh tinggi tegap itu.

 

Dan ketika Herman mulai menggeser-geserkan batang kemaluannya di dalam jepitan lubang kewanitaanku, oooh nikmatnya ! Terasa sekali dinding liang kemaluanku digesek-gesek oleh penis Herman dengan kuatnya.

 

“Oooh…Man…Maaaan…enak banget, Maaan…” kataku sambil berusaha menggoyang pinggulku ketika Herman sudah benar-benar mengentotku.

 

Herman menjawabnya dengan bisikan, “Memek Ibu masih rapet gini, seperti memek gadis aja…ooooh…enak sekali, Bu….”

 

“Aku kan dioperasi cezar, Man…memekku belum pernah ngeluarin kepala bayi…” sahutku sambil menarik kepala Herman agar mulutnya menempel ke pentil buah dadaku, “sambil sedot-sedot tetekku, Man…biar lebih enak…nah…gitu…iya, sambil jilatin pentilnya Man…ooooh…jadi makin enak Maaaan….Maaaan…iyaaaa…entot terus Maaaaan….ooooh…ini enak sekali Maaaaan….”

 

Makin lama penis Herman semakin lancar menggenjot liang kemaluanku. Sehingga batinku serasa melayang-layang di langit biru yang indah sekali.

 

Jujur, aku merasa persetubuhanku dengan Herman ini ternikmat di antara persetubuhan-persetubuhan yang pernah kualami. Aku tidak tahu apakah ini karena ukuran penis Herman yang aduhai, atau memang aku pas sudah cukup lama tidak digauli lelaki lain kecuali suamiku sendiri. Entahlah. Yang jelas, ketika Herman sedang mantap-mantapnya mengentotku, aku sudah terkejang-kejang di puncak orgasmeku yang kedua kalinya. Puncak orgasme yang membuatku lupa daratan. Sementara kepala penis Herman terus-terusan menyundul-nyundul ujung liang kewanitaanku, sehingga aku bukan cuma terkejang-kejang dibuatnya Kuremas-remas rambut Herman sampai acak-acakan sambil merintih histeris, “Maaaan….aaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhh…aku mau lepas lagi, Maaaaaaaaaan… aaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh……”

 

Aku berkelojotan. Lalu menggeliat dengan nafas tertahan. Dan akhirnya kucapai puncak yang sangat indah itu. Puncak kenikmatanku yang luar biasa indahnya. Sementara Herman tetap mengayun batang kemaluannya di dalam liang kewanitaanku yang sudah mulai dibanjiri lendirku sendiri ini.

 

“Uuuuh….istirahat dulu sebentar, Man,” kataku sambil menahan bokongnya agar tidak menggerakkan penisnya dulu, karena keringatku sudah membasahi leher dan dadaku.

 

Tapi Herman malah menjilati keringat di leherku, di dadaku dan bahkan juga di ketiakku. Aku merinding-rinding dalam nikmat dibuatnya.

 

“Nanti kalau saya mau lepas, lepasin di mana Bu?” tanya Herman sambil mengelus payudaraku dengan lembut.

 

“Di dalam juga gakpapa. Aku kan ikut KB,” sahutku, “Mmm…bagusnya malah dibarengin nanti ya.”

 

“Iya Bu,” desis Herman sambil menggerak-gerakkan lagi batang kemaluannya, maju mundur dengan perlahan…makin lama makin cepat. Keletihanku juga sudah hilang. Malah jadi bersemangat lagi untuk meladeni ayunan batang kemaluan Herman, dengan goyangan pinggulku sebinal mungkin.

 

Edan memang kelakuan kami saat itu. Aku dan Herman sama-sama seperti yang sedang kerasukan. Herman mengentotku dengan mata yang menjadi beringas, dengan ayunan batang kemaluan yang garang pula, sementara aku pun menggoyang pinggulku sebinal mungkin, dengan remasan dan terkadang cakaran di bahu Herman.

 

Aku merintih-rintih sejadi-jadinya, sementara Herman pun mendengus-dengus di atas perutku.

 

Terlebih setelah aku meletakkan kedua kakiku di bahu Herman, sehingga Herman bisa membenamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya. Membuat ujung liang kemaluanku terus-terusan disundul-sundul oleh moncong penis Herman yang gagah perkasa itu.

 

Dan aku menceracau terus tanpa bisa dikendalikan lagi, “Duuuh Maaaan…kontolmu panjang banget…terasa nonjok-nonjok terus…iiiih…ini enak sekali Maaaan……aaaaahhh….aku sampai merinding-rinding gini saking enaknya Maaaaaaaan……iya….entot terus Man…jangan brenti-brenti, Maaaan….”

 

Herman pun berkata tersengal-sengal, “Memek Ibu juga…enak banget….ooooh….belum pernah sa…saya merasakan me…memek seenak ini Buuuu…oooooooohhhhhhh….”

 

Gila, makin lama makin menggila saja nikmatnya bersenggama dengan Herman ini. Sehingga aku tak mau berjaim-jaim lagi. Kupeluk lehernya dan kulumat bibirnya sambil menggoyang-goyangkan pinggulku seedan mungkin, dengan gerakan meliuk-liuk dan menghentak-hentak. Akibatnya, kelentitku terus-terusan bergesekan dengan batang kemaluan Herman. Dan ini…wuiiih…nikmat banget !

 

Nikmat yang membuatku seolah melesat-lesat ke langit tinggi…langit yang ketujuh….langit birahi yang indah tiada bandingannya.

 

Sungguh aku tak menduga akan memperoleh kenikmatan dari Herman yang dulu hanya kuanggap sopir yang tak perlu mendapat perhatian khusus. O, kalau tahu begini, mungkin sejak lama aku meminta disetubuhi olehnya !

 

Dan ketika aku merasa akan mencapai orgasme lagi, terengah-engah aku berkata, “Man…aku udah mau lepas lagi….ayo barengin Man…biar enaak….oooh…iya…cepetin Maaan…Maaaan…”

 

Lalu kami jadi sama-sama beringas. Saling cengkram, saling remas….dan…oooh…ketika lubang kemaluanku berkedut-kedut nikmat di puncak kenikmatanku, Herman pun membenamkan batang kemaluannya sedalam-dalamnya, sampai terasa medesak ujung liang kemaluanku…lalu terasa moncong penisnya menembak-nembakkan cairan kental dan hangat yang begitu banyaknya, sampai meluap ke luar, terasa mengalir ke anusku. Ooooh…ini indah sekali !

 

Terasa Herman berkelojot di atas perutku. Kemudian mendengus dan terkapar dalam dekapanku.

 

 

“Gak nyangka, dientot sama kamu enak banget,” kataku sambil mencubit hidung Herman dengan mesranya.

 

“Saya juga belum pernah merasakan yang seenak ini Bu. Huuuh…keringat saya sampai bercucuran gini,” sahut Herman sambil mengusap-usapkan telapak tangan ke wajahnya yang bersimbah keringat.

 

Dalam keadaan masih telanjang, aku turun dari tempat tidur, “Mandi bareng yuk,” ajakku.

 

Herman mengangguk dan mengikuti langkahku ke kamar mandi.

 

Di dalam kamar mandi, tiada batasan lagi antara diriku dengan anak buah suamiku itu. Bahkan dengan mesranya kami saling menyabuni di bawah semburan shower air panas. Bahkan ketika Herman menyabuni kemaluanku, ketika jemarinya sering menyelinap ke celah kemaluanku, ooo….aku jadi horny lagi. Maka aku pun membalasnya dengan menyabuni batang kemaluan Herman yang masih lemas itu. Lalu kuremas-remas dengan lembut, sirami lagi dengan sabun cair dan kukocok-kocok sebagaimana lazimnya lelaki bermasturbasi.

 

Tak lama kemudian batang kemaluan Herman sudah tegang lagi. Pada saat itulah aku berusaha memasukkannya ke dalam liang kemaluanku. Berhasil ! Dan Herman mengerti apa yang kuinginkan saat itu. Lalu ia mulai mengayun batang kemaluannya di dalam jepitan lubang kewanitaanku. Sambil berdiri menyandar ke dinding, ternyata aku bisa mendapatkan kenikmatan lagi.

 

Bahwa aku bisa mendekap pinggang Herman, sementara ia mulai lancar menggenjot batang kemaluannya yang perkasa itu di dalam jepitan liang kenikmatanku.

 

Cukup lama kami bersetubuh dalam posisi berdiri di kamar mandi ini. Dan ketika Herman memuncratkan lagi air maninya di dalam kemaluanku, sebenarnya aku sudah duluan mencapai orgasme sebelumnya.

 

Lalu air hangat membilas tubuh kami yang sudah disabuni sebelum bersetubuh tadi.

 

Setelah menghanduki tubuhku dengan telaten, Herman pun menghanduki tubuhnya sendiri yang tinggi tegap itu. Kemudian kami keluar dari kamar mandi, menuju tempat tidur lagi, masih masih dalam keadaan sama-sama telanjang.

 

Herman memungut celana dalamnya yang tergeletak di lantai. Seperti mau mengenakan celana dalamnya lagi. Tapi kudorong dadanya sampai terlentang di atas tempat tidur.

 

“Gak usah pakai apa-apa. Kita tidur telanjang aja Man,” kataku sambil menelungkup di atas tubuh Herman, sehingga terasa kemaluanku menghimpit penis Herman yang masih terkulai lemas itu.

 

Entah kenapa, aku jadi merasa sayang kepada anak buah suamiku itu. Mungkin karena ia telah memberi kepuasan yang berarti padaku. Maka tanpa ragu-ragu kuciumi bibir Herman, sambil mengelus rambutnya yang ikal.

 

“Masih kuat main lagi?” tanyaku sambil memegang batang kemaluan Herman yang masih terkulai letih itu.

 

“Kuat… tapi harus istirahat dulu sebentar Bu,” sahut Herman sambil mempermainkan payudaraku yang bergantung-gantung di atas perutnya.

 

“Masa?” cetusku yang lalu kulanjutkan dengan mendekatkan mulutku ke batang kemaluan Herman yang sedang kugenggam ini.

 

“Bu…” desah Herman ketika dengan binal aku mulai menjilati moncong penisnya. Leher penisnya juga kujilati. Bahkan biji pelirnya tak luput dari jilatanku.

 

Lalu tanpa ragu lagi kukulum dan kuselomoti batang kemaluan “giant size” itu.

 

Dalam soal oral sex, jam terbangku sudah tinggi. Karena suamiku sering minta dioral kalau gairahnya sedang menurun.

 

Tak berapa lama kemudian “usahaku” mendapatkan “hasilnya”. Batang kemaluan Herman membesar…memanjang dan menegang….! Makin lama makin tegang dan akhirnya kuanggap sudah siap tempur !

 

Aku tak mau buang-buang waktu lagi. Aku berjongkok dengan kemaluan berada di atas penis Herman yang sudah ngaceng itu.

 

Herman cuma senyum-senyum ketika aku sedang berusaha memasukkan batang kemaluannya ke dalam liang kewanitaanku. Meski sulit (karena saking besarnya penis Herman itu), akhirnya aku berhasil juga membenamkan penis perkasa itu ke dalam liang kenikmatanku.

 

Dan kini aku yang aktif menaik-turunkan pinggulku, sehingga lubang kemaluanku membesot-besot batang kemaluan Herman, sambil menahan tubuhku agar jangan ambruk ke dada Herman. Sehingga sepasang buah dadaku bergelantungan di atas dada Herman. Dan Herman tidak cuma diam pasif. Kedua payudaraku ditahannya dengan kedua telapak tangannya, sekaligus diremasnya dengan cara yang ngepas dengan keinginanku.

 

Tapi aku selalu saja cepat mencapai orgasme kalau bersetubuh dalam posisi di atas seperti ini. Dan belasan menit kemudian aku memekik lirih dalam nikmat yang tak terperikan. Berkelojotan di puncak nikmatku, kemudian terkapar di atas perut Herman.

 

Aku membaca catatan harian istriku itu tanpa kecemburuan sedikit pun. Aneh memang. Apakah jiwaku sudah mengutamakan bisnis di atas segalanya? Tidak. Masalahnya ada sesuatu juga yang kulakukan waktu meninggalkan rumah tua itu.

 

Memang tadinya aku akan tidur di rumah dalam kompleks wisma kos. Tapi entah kenapa, aku membelokkan setir mobilku menuju pintu tol. Aku merasa ingin menengok kebun yang baru kubeli di luar kota. Ya, sejak kubeli kebun jeruk dan duren itu dari istri Tommy yang bernama Dyah itu, aku belum pernah menengoknya. Mungkin sekarang pohon-pohon jeruk dan duren itu sedang musim berbunga dan beberapa minggu lagi akan bisa dipanen.

 

Tapi setelah keluar dari pintu tol, kulihat seorang wanita setengah baya mengenakan celana legging hitam dan atasan yang cukup panjang sampai lututnya. Aku tahu benar siapa wanita berkulit bersih dan bertubuh sexy itu. Dia adalah Mbak Tiara, pemilik rumah di sebelah rumah tuaku. Rumahnya berdampingan dengan garasiku. Dan sesungguhnya sudah lama aku tertarik padanya, karena ia pun sering melayangkan tatapan yang menggodaku, sering pula menyunggingkan senyum manisnya waktu aku berada di depan garasiku. Tapi selama itu aku selalu menjaga diri, tak mau macam-macam, karena ia tetangga sebelahku.

 

Ia sedang berdiri di pinggir jalan, tak terlalu jauh dari pintu tol. Yang aku tahu, biasanya orang-orang berdiri di situ untuk mencegat bis arah ke luar kota.

 

Maka kuhentikan mobilku tepat di depannya. Dan kubuka pintu mobilku yang di sebelah kiriku, “Mbak lagi ngapain?” tanyaku agak keras.

 

Mbak Tiara tampak agak kaget dan memandang ke arahku. Dan menyahut ceria, “Eeee….Mas Yadi?! Saya lagi nungguin bus….mau ke Sukabumi, Mas.”

 

Kugerakkan mobilku ke pinggir, lalu keluar dari mobilku, menghampiri Mbak Tiara yang menyambutku dengan senyum manisnya itu.

 

“Tujuan kita sama Mbak,” kataku, “Saya juga mau ke Sukabumi. Mau ikut saya?”

 

“Mmm…boleh deh. Nasib saya bagus banget hari ini ya. Bisa dapet tumpangan gratis,” sahut Mbak Tiara.

 

Kubukakan pintu kiri depan mobilku, Mbak Tiara pun masuk ke dalam jipku. Setelah menutupkan pintu kiri depan, aku melangkah ke pintu depan kanan.

 

Tak lama kemudian aku sudah menjalankan mobilku semakin menjauhi daerah pintu tol Padalarang dan mulai berada di jalan ke arah Cianjur.

 

“Ada urusan apa di Sukabumi Mbak?” tanyaku beberapa saat kemudian.

 

“Kampung saya kan di Sukabumi Mas.”

 

“Oh gitu? Kita tetangga bersebelahan tapi gak saling kenal latar belakang ya. Orang tua Mbak masih ada?”

 

“Tinggal ibu yang masih ada. Ayah saya sudah gak ada. Ohya…Mas…beli dong rumah saya tuh. Tanahnya kan luas, bisa dikembangin jadi ruko.”

 

“Lho…kenapa mau dijual?”

 

“Suami saya kan sudah mulai pensiun dua bulan yang lalu. Jadi saya pengen tinggal di kampung aja, biar bisa sambil nemenin ibu saya.”

 

“Suami Mbak udah mulai pensiun?”

 

“Iya.”

 

“Mmm…perbedaan umur Mbak sama suami agak jauh ya,” kataku sambil menepuk lutut kanan wanita itu.

 

“Jauh sekali. Bukan cuma agak jauh,” kata Mbak Tiara, “Bedanya seperempat abad. Waktu nikah dengan saya, dia sudah duda ditinggaql mati sama istrinya, Mas.”

 

“Mmm…emang usia Mbak berapa sekarang?”

 

“Tigapuluh tiga. Tapi udah kelihatan tua ya?”

 

“Hush ! Siapa bilang? Mbak kelihatan di bawah tigapuluhan kok.”

 

“Masa sih?”

 

“Iya. Saya pikir seusia dengan istri saya.”

 

“Istri Mas Yadi belum tigapuluh tahun kan?”

 

“Ya, kira-kira begitulah. Ohya…emang rumah Mbak mau dijual berapa?”

 

Mbak Tiara menyebutkan nominal harga rumahnya.

 

“Bisa ditawar kan?” tanyaku.

 

“Bisa sedikit. Harga yang saya tawarkan sudah murah Mas.”

 

Pikirku, memang cukup murah harga yang ia tawarkan itu.

 

“Begini deh…harga matinya berapa, Mbak?” tanyaku.

 

Mbak Tiara menyebutkan harga mati rumahnya itu.

 

Sebenarnya aku sudah berani membeli rumah Mbak Tiara dengan harga yang sudah diputuskannya itu. Tapi aku belum memutuskan apa-apa.

 

Aku bahkan membelokkan mobilku ke pekarangan rumah makan di samping kiri jalan, “Kita makan dulu yuk. Nanti kita rundingkan lagi soal rumah sih,” kataku.

 

Mbak Tiara mengangguk. Aku buru-buru turun dari mobil dan melangkah ke pintu kiri depan. Kubuka pintu mobilku. Dan kupegangi tangan Mbak Tiara waktu turun dari mobilku yang memang cukup tinggi buat seorang wanita. Wow, terasa hangat tangan Mbak Tiara itu, membuatku mulai berpikiran macam-macam. Terlebih ketika kulihat lagi senyum manisnya itu.

 

Lalu kami melangkah masuk ke dalam rumah makan itu. Dan kupilih meja yang paling sudut.

 

“Kalau Mbak udah pindah ke Sukabumi, kita jadi jauh dong. Kalau mau ketemu juga pasti susah,” kataku sambil meletakkan tas kerjaku di kursi sebelah kananku. Sementara Mbak Tiara duduk di depanku.

 

“Kan Mas Yadi bisa main ke Sukabumi. Atau….”

 

“Atau apa Mbak?”

 

“Gak jadi ah….takut salah ngomong,” sahutnya tersipu.

 

Aku tahu bahwa Mbak Tiara juga tertarik padaku sejak lama. Tapi mungkin ia tak mau memulai, karena ia seorang wanita. Sementara aku pun belum memulai juga, mengingat ia tetangga di sebelah rumahku benar.

 

“Mmm…saya ngerti deh. Mungkin Mbak mau bilang, kita kan bisa ketemuan di satu tempat…gitu?” tanyaku.

 

“Hihihi….emang kalau ketemuan mau ngapain?” Mbak Tiara menatapku.

 

Kupegang tangan Mbak Tiara yang berada di atas meja, “Mbak maunya ngapain?”

 

“Lho…saya kan perempuan Mas. Biasanya pihak pria lah yang membuka jalan,” sahut Mbak Tiara, lagi-lagi dengan senyum dan tatapan yang menggoda.

 

“Oke…soal rumah Mbak, saya setuju dengan harga matinya itu,” kataku sambil meremas tangan Mbak Tiara dengan lembut, “Tapi setelah makan, kita cek in di hotel yang terlewati nanti ya.”

 

“Mau ngapain?” Mbak Tiara menatapku, tetap dengan senyumnya yang menggoda.

 

“Kita ngobrol aja panjang lebar.”

 

“Cuma ngobrol?”

 

“Sambil saling curahin perasaan kita aja Mbak. Sekarang saya mau jujur aja. Bahwa saya sudah lama memperhatikan Mbak.”

 

“Sama,” kata Mbak Tiara membuat dadaku plong. Sementara terawanganku semakin menjadi-jadi. Membayangkan Mbak Tiara seandainya sudah berada di dalam kamar nanti.

 

Setelah selesai makan, aku mengeluarkan buku cek dari tas kerjaku. Kutulis sepuluh juta di selembar cek. Lalu kuserahklan kepada Mbak Tiara.

 

“Lho…ini untuk apa?” tanya Mbak Tiara sambil memperhatikan cek itu.

 

“Hanya sekadar tanda jadi pembelian rumah Mbak. Sisanya akan saya selesaikan di rumah Mbak nanti. Sertifikat aslinya ada kan?”

 

“Ada,” Mbak Tiara tampak senang menerima cek itu.

 

“Mbak kapan pulang dari Sukabumi?”

 

“Rencananya sih besok juga pulang,” sahut Mbak Tiara sambil memasukkan cek itu ke dalam tas kecilnya, “Tapi gimana baiknya ya Mas?”

 

“Nanti aja di hotel kita bicarakan,” kataku sambil bangkit. Ia pun berdiri lalu melangkah di sampingku.

 

Aku bantu dulu Mbak Tiara naik ke dalam jipku, kemudian aku naik ke belakang setir. Tapi tidak langsung menghidupkan mesin mobilku. Aku bahkan memegang pergelangan tangan Mbak Tiara yang bentuk badannya mirip Mbak Lies itu, “Gak nyangka saya bakal ketemu sama Mbak dalam suasana yang enak gini.”

 

“Saya juga gak nyangka,” sahutnya dengan senyum manis lagi, “Padahal udah lama saya suka perhatikan Mas Yadi. Tapi Mas Yadi cuek-cuek terus.”

 

“Saya kan takut disalahkan, karena Mbak punya suami. Mmm…udah aja gak usah ke SUkabumi. Mending nginap aja di hotel nanti. Besok kita transaksi rumah Mbak. Gimana?”

 

“Terserah Mas Yadi aja,” kata Mbak Tiara sambil menyandarkan kepalanya ke bahuku.

 

Gila ! Sandaran kepalanya itu membuat dadaku berdenyut. Karena secara tidak langsung ia sudah memperlihatkan penyerahan dirinya padaku.,

 

Maka sebelum menghidupkan mesin mobilku, kusempatkan memeluk lehernya, lalu kukecup bibirnya.

 

“Mas…ntar keliatan orang,” Mbak Tiara terkejut. Tapi tidak kelihatan marah.

 

“Mbak liat sendiri, kaca mobilku ini gelap sekali. Kita bisa melihat keluar, tapi dari luar gak bisa melihat ke dalam mobil ini.”

 

“Iya,” Mbak Tiara tersenyum, “Nanti di hotel mau apa juga saya kasih, Mas.”

 

“Wooow, bahagianya hatiku saat ini !!!” seruku sambil menghidupkan mesin mobil.

 

Dan Mbak Tiara tetap menyandarkan kepalanya di bahuku.

 

Beberapa saat kemudian kutemukan hotel yang lumayan bagus dan bersih. Kamar-kamarnya berdinding kaca yang bisa melihat pepohonan di luar sana.

 

Setelah berada di dalam kamar hotel yang pintunya sudah kututup dan kukuncikan, Mbak Tiara langsung melingkarkan lengannya di leherku, sambil berucap perlahan, “Sekarang silakan cium bibir saya sepuasnya.”

 

Kusambut “penawaran” itu dengan bersemangat. Kukecup dan kulumat bibir Mbak Tiara sambil mendekap pinggangnya erat-erat. Mbak Tiara pun menyambutku dengan pelukan di leherku.

 

Dan setelah ciuman itu kulepaskan, “Cium ini boleh gak?” tanyaku sambil menepuk bagian yang di bawah perutnya, yang masih tertutup oleh celana leggingnya.

 

“Mmm…pastilah ujungnya ke sini,” kata Mbak Tiara sambil mengusap-usap bagian yang barusan kutepuk.

 

“Boleh kan?” tanyaku sambil menciumi pipinya.

 

“Mas yang bukain semuanya ya,” sahut Mbak Tiara sambil duduk di pinggiran tempat tidur.

 

“Boleh,” kataku bersemangat. Lalu kutarik celana legging hitam wanita itu sampai terlepas darfi kakinya. Berikutnya kubuka juga baju atasannya yang panjang seperti baju kurung itu. Ternyata masih ada pakaian dalam yang tipis transparant, berwarna pink dengan motif bunga merah tua. Sepintas pun tampak payudara Mbak Tiara itu lumayan gede, karena ia tak mengenakan bra di balik pakaian dalam tipisnya itu.

 

Sambil melepaskan baju kausku, mataku tertuju ke arah payudara Mbak Tiara yang tampak jelas di balik pakaian dalam transparan itu.

 

“Payudara Mbak…indah sekali,” kataku sambil melemparkan baju kausku ke atas sofa.

 

Seperti sengaja ingin mempamerkan keindahan tubuhnya, Mbak Tiara malah menurunkan pakaian dalamnya, sehingga sepasang payudara montoknya tersembul keluar, “Mau diapain Mas?”

 

“Mau saya miliki,” kataku sambil memegang payudara yang sudah tersembul itu. Meremasnya sedikit. Lalu kulepaskan lagi, karena aku mau melepaskan celana jeansku.

 

Ketika hanya tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku, Mbak Tiara pun sudah menanggalkan pakaian dalam transparan itu, sehingga ia pun tinggal mengenakan celana dalam saja.

 

Kuperhatikan sekujur tubuh indah wanita itu sesaat. Tubuh yang tinggi montok itu membuatku teringat pada Mbak Lies. Karena banyak kemiripannya. Hanya rambutnya yang berbeda. Kalau rambut Mbak Lies selalu dipotong pendek, rambut Mbak Tiara ini cukup panjang. Tergerai sampai hampir mencapai pinggulnya. Lain-lainnya mirip semua. Bahkan usia Mbak Tiara ini lebih muda daripada Mbak Lies.

 

Aku tak mau buang-buang waktu lagi. Kurebahkan diriku di samping Mbak Tiara. Lalu kupagut dan kusedot-sedot pentil payudara montok itu, sementara tanganku meremasi payudara satunya lagi. Tubuh Mbak Tiara pun langsung menghangat. Terlebih setelah tanganku beraksi, menyelinap ke balik celana dalamnya…menyentuh kemaluannya yang terasa pendek-pendek jembutnya, mungkin biasa dicukur habis tapi belum sempat dicukur lagi.

 

Setelah jemariku berhasil menynyelinap ke celah kemaluannya yang masih bercelana dalam itu, Mbak Tiara langsung menyergap bibirku. Menciumiku dan melumat bibirku dengan binalnya.

 

Sementara tangan Mbak Tiara pun melakukan hal yang sama dengan tanganku. Menyelinap ke balik celana dalamku. Dan memegang batang kemaluanku yang sudah tegang ini.

 

“Iiiih…punya Mas Yadi panjang gede gini….” bisik Mbak Tiara sambil meremas-remas batang kemaluanku perlahan-lahan.

 

“Sebentar lagi akan Mbak miliki….” sahutku.

 

“Sekujur tubuh saya juga akan Mas miliki…”

 

Aku semakin bergairah. Nafsuku sudah kian memuncak. Terlebih setelah Mbak Tiara menanggalkan celana dalamnya. Kutanggapi dengan pelepasan celana dalamku sendiri. Sehingga kemaluan kami tak tertutup apa-apa lagi kini.

 

“Mas….saya horny banget Mas….” desis Mbak Tiara keitka aku mulai menciumi kemaluannya, sementara kedua tanganku menjulur ke atas, meremas-remas sepasang payudara montoknya.

 

Aku belum mau berhenti merangsang wanita sexy itu. Kujilati celah kemaluannya dengan ganasnya, sehingga wanita itu mulai mengejang-ngejang sambil meremas-remas rambutku yang berada di bawah perutnya.

 

“Maaaas…..ooooh….Maaaaaas…..ooooooooooooohhhh…..ooooooooooooooooohhhhhhh.” Mbak Tiara mendesah dan merintih ketika aku mulai menjilati kelentitnya secara intensif.

 

“Maaas…ntar saya bisa lepas kalau diginiin terus….masukin aja Mas…please…”

 

Tanpa banyak basa-basi lagi kuikuti permintaan Mbak Tiara itu. Aku merayap ke atas perutnya sambil memegang batang kemaluanku yang puncaknya akan kutempelkan di mulut kemaluan Mbak Tiara. Terasa lubang kemaluan Mbak Tiara sudah basah, sehingga tanpa kesulitan aku berhasil membenamkan batang kemaluanku, meski hanya separohnya dulu.

 

“Ooooh…Maaaas….udah masuk Mas….ini pertama kalinya saya diginiin oleh lelaki yang bukan suami saya…duuuh…punya Mas kok gede banget sih…..mmmmm….” cetus Mbak Tiara ketika aku sudah berhasil membenamkan batang kemaluanku, yang lalu mulai kuayun perlahan-lahan…makin lama makin membenam dan sampai membenam semuanya. Maka tanpa banyak berhitung lagi aku mulai benar-benar mengentot wanita yang usianya sedikit lebih tua dariku itu.

Begitu batang kemaluanku melesak masuk, terasa legitnya memek Mbak Tiara ini. Memang sudah basah tapi mencengkram sekali. Bahkan pada waktu kuenjot, terasa seperti ada yang menyedot-nyedot dari dalam liang kewanitaan Mbak Tiara itu. Apakah ini yang disebut memek empot ayam? Entahlah. Yang jelas aku jadi sangat bersemangat mengayun batang kemaluanku, sambil meremas-remas buah dadanya yang memang rada gede itu.

 

Mbak Tiara sendiri malah mulai berdesah-desah seperti yang makan kepedasan. Bahkan terkadang sambil merintih-rintih histeris, “Uuuu…uuuuh….Maaaas….uuuuh…aaaaaah….kok enak banget Maaaassss….iya Maaaaas….enak banget Maaaas….oooh Maaaas….”

 

Meski tidak semahir istriku, tapi goyangan pinggul Mbak Tiara enak juga, membuat batang kemaluanku seperti tertarik ke sana sini, sehingga aku merasa tidak seperti sedang menyetubuhi boneka. Dan goyangan pinggul Mbak Tari makin menggila ketika aku menggenjotnya sambil menyelomoti pentil buah dadanya, terkadang malah kusedot-sedot agak kuat, sehingga rintihan histerisnya makin menjadi-jadi. Terkadang aku pun mencelucupi leher Mbak Tiara yang mulai keringatan. Aku senang melakukannya, karena keringat Mbak Tiara tidak berbau apa-apa, sehingga tanpa ragu aku pun sering menjilati lehernya. Diperlakukan seperti itu, Mbak Tiara semakin mempererat dekapannya, sementara goyangan pinggulnya semakin menggila.

 

“Mas…sa…saya udah mau lepas nih…barengin aja yooo….” ucap Mbak Tiara tersengal, sambil meremas-remas bahuku dengan kuatnya, seperti orang yang takutjatuh di ketinggian.

 

“Lepasin aja…saya paling suka merasakan perempuan orga…” sahutku yang memang masih asyik mengayun batang kemaluanku, masih jauh dari ejakulasi.

 

“I…ini udah mau lepas Mas….oooh….Maaaasssssssssssssss…..” Mbak Tiara berkelojotan, lalu mengejang, sementara dinding liang kemaluannya terasa berkejut-kejut…ooo, nikmatnya merasakan wanita orgasme, seolah aku sendiri yang sedang berada di puncak kenikmatan.

 

Setelah Mbak Tiara selesai dengan orgasmenya, sengaja kuhentikan dulu ayunan batang kemaluanku. Kurendam saja penisku dalam liang kemaluan Mbak Tiara yang sudah basah ini. Lalu kuamati wajahnya dengan seksama. Memang benar kata orang, bahwa wanita yang sudah orgasme, wajahnya suka tampak lebih cantik.

 

Lalu kuciumi bibir Mbak Tiara dengan perasaan bahagia. Dan ia tampak senang sekali diciumi seperti itu. Lalu balas menciumku, memelukku dengan mesra dan berkata lirih, “Jujur, baru sekali ini saya merasakan yang luar biasa enaknya, Mas.”

 

Aku tidak menjawabnya dengan kata-kata. Melainkan dengan gerakan batang kemaluanku yang mulai bermundur maju lagi di dalam jepitan lubang kemaluan Mbak Tiara.

 

Makin lama enjotanku makin lancar. Terlebih setelah Mbak Tiara terasa bergairah lagi. Menciumi bibirku sambil mencengkram, kedua bahuku, sementara pinggulnya pun mulai bergoyang-goyang lagi.

 

“Nanti barengin ya…biar indah dan berkesan…” kata Mbak Tiara.

 

“Emang boleh lepasin di dalam?” tanyaku sambil memperlambat gerakan penisku.

 

“Boleh, saya kan ikut KB,” sahut Mbak Tiara tanpa menghentikan ayunan pinggulnya yang begitu binalnya.

 

“Duuh..punya Mas panjang banget, bukan cuma gede. Ini terasa nonjok-nonjok dasar lubang saya, Mas,” kata Mbak Tiara pada satu saat.

 

“Tapi gak sakit kan?”

 

“Gak lah. Malah…enak banget…rasanya jadi lengkap.”

 

Cukup lama aku menyetubuhi Mbak Tiara. Sehingga keringatku terasa sudah bercucuran. Sampai pada suatu saat Mbak Tiara berkata tersengal-sengal, “Mas…ayo…barengin…saya udah…udah mau lepas lagi.”

 

“Iya,” sahutku sambil mempercepat ayunan batang kemaluanku, berusaha agar lebih cepat ejakulasi, untuk memenuhi keinginan Mbak Tiara.

 

Batang kemaluanku maju-mundur-maju-mundur-maju-mundur…denganb gerakan yang cepat. Sampai akhirnya aku berhasil mencapai klimaks yang bersamaan dengan orgasme Mbak Tiara.

 

Saat itu kami sama-sama seperti orang kesurupan. Saling cengkram, saling remas…lalu sama-sama berkelojotan diiringi rintihan nikmat Mbak Tiara…dibarengi dengus nafasku pula.

 

Ooooh…nikmatnya, sulit kulukiskan dengan kata-kata.

 

Aku pun terkapar di atas perut Mbak Tiara, dengan rasa puas yang luar biasa.

 

Setelah aku mencabut batang kemaluanku liang kewanitaan Mbak Tiara, aku menggulingkan diri ke samping Mbak Tiara, dengan keringat yang masih tetap membanjir.

 

Mbak Tiara turun dari tempat tidur, menuju kamar mandi. Tak lama kemudian ia kembali menghampiriku sambil memegang dua helai handuk hotel. Yang sehelai digunakan untuk menyeka keringatku, sementara yang sehelai lagi kugunakan untuk menyeka keringatnya, sementgara lelehan air maniku sudah tidak tampak lagi di seputar kemaluan dan pangkal pahanya. Mungkin barusan dia sudah mencucinya di kamar mandi.

 

“Biar seger lagi, mendingan kita mandi yok,” ajak Mbak Tiara sambil memegang pergelangan tanganku.

 

Aku pun mengikuti langkahnya ke kamar mandi.

 

“Sekarang mau nginep di sini apa mau lanjut ke Sukabumi?” tanyaku di kamar mandi.

 

“Mending ke Sukabumi dulu, Mas,” sahut Mbak Tiara sambil menyemprotkan shower air panas ke tubuhnya, “Soalnya saya takut suami nelepon ibu saya. Nanti dia malah curiga, kenapa saya belum nyampe-nyampe juga di rumah ibu saya.”

 

Aku mengangguk. Mbak Tiara memelukku sambil berkata, “Kalau belum kenyang, nanti gampang kita ketemuan lagi. Saya kan sudah milik Mas sekarang.”

 

“Iya…iya…saya sendiri juga ada yang sangat penting di Sukabumi.”

 

“Nanti saya ikut sampai terminal SUkabumi aja, ya Mas. Kalau sampai rumah, takut banyak pertanyaan dari ibu saya. Maklum orang kampung, masih kolot pendiriannya Mas.”

 

“:Iya. Gakpapa. Tapi hari ini mau nginep di rumah orang tua?”

 

“Iya Mas. Nanti dari rumah ibu saya mau nelepon suami saya, supaya menyiapkan surat-surat untuk transaksi besok. Eh…beneran mau dilunasi besok Mas?”

 

“Iya, di notaris,” kataku sambil memberikan kartu nama seorang notaris yang biasa kupakai jasanya, “:Besok kita ketemuan di notaris saja.”

 

 

Sepulangnya dari Sukabumi, aku langsung menuju notaris yang sudah dijanjikan, untuk menandatangani akte jual beli rumah Mbak Tiara itu. Kemudian aku ketemuan dengan Mbak Arini, arsitek sexy itu, minta dibuatkan gambar ruko. Karena setelah diperhitungkan dengan matang, tanahku dengan tanah yang baru dibeli dari Pak Bono (suami Mbak Tiara), ternyata bisa dibangun delapan ruko dengan ukuran yang cukup besar.

 

Rencanaku, rumah tua itu mau dirobohkan saja. Begitu pula rumah yang baru kubeli dari Mbak Tiara, akan kurobohkan juga, karena kondisinya juga sudah tua. Maka ruko-ruko itu akan dibangun di atas tanah yang sudah kosong.

 

Kebetulan batas belakang tanahku segaris dengan tanah Mbak Tiara, sehingga kalau rumah-rumahnya sudah dirobohkan, akan terhampar tanah ngotak, berbentuk persegi panjang, tidak ada bengkok-bengkoknya. Jadi ideal sekali untuk dibangun ruko-ruko di sana nanti. Tentang aku dan istriku, bisa tinggal di rumah dalam kompleks wisma kos itu. Pindah selamanya, karena rencananya ruko-ruko itu akan dijual setelah selesai dibangun nanti.

 

Semuanya itu baru kusampaikan kepada istriku setelah tiba di rumah.

 

“Bang?! Beneran rumah Mbak Tiara sudah dibeli?” tanya istriku seperti tak percaya pada pendengarannya sendiri.

 

“Iya, tanah punya Mbak Tiara malah lebih luas daripada tanah kita. Hanya rumahnya memang gedean punya kita. Tapi semuanya itu untuk dibongkar. Kita jadikan delapan ruko tiga lantai. Lalu kita jual.”

 

“Lalu kita pindah ke rumah puri itu?”

 

“Rumah puri itu akan dikontrak sama orang asing. Tau gak? Dikontrak selama tiga tahun duitnya lebih tinggi daripada pembeliannya dahulu. Kamu setuju kalau rumah puri itu dikontrakkan?”

 

“Iya Bang. Setuju banget. Kita kan sudah punya rumah gede di kompleks wisma kos. Banyak-banyak rumah kalau tidak dimanfaatkan buat apa? Malah biaya perawatan mengalir tiap hari. Sedangkan kita kan punya anak juga cuma seorang, masih kecil pula.”

 

“Syukurlah kalau setuju, besok juga akan kujadikan kontraknya. Sementara itu, aku mau ke Kalimantan juga. Makanya Herman akan kusuruh standby di sini, biar ada yang ngatur angkut-angkut barang ke wisma kos, sekalian tata lagi di sana. Kalau sudah kosong, rumah ini akan segera dirobohkan. Berbarengan dengan rumah Mbak Tiara itu, akan dirobohkan juga.”

 

“Emangnya Herman gak dibutuhkan di Kalimantan?”

 

“Ada Edo dan Leo kan di sana. Nanti aja kalau aku sudah pulang, baru Herman kusuruh ke Kalimantan lagi. Kamu bisa kan berdiri sendiri untuk mengatur semuanya di sini selama aku di Kalimantan?”

 

“BIsa lah. Kapan Abang mau ke Kalimantan?”

 

“Setelah gambar rukonya selesai dibuat sama arsiteknya. Juga setelah uang kontrakan rumah puri itu selesai pembayarannya.”

 

Istriku tidak tahu bahwa aku sudah janjian akan ke Kalimantan bersama Mbak Lies, seperti yang diputuskan beberapa hari yang lalu.

 

Aku masih ingat benar awal pembicaraan itu terjadi setelah aku selesai menyetubuhi Mbak Lies, dalam kondisi yang memaksakan diri, karena malam-malam sebelumnya aku habis “bertempur” dengan Dyah dan Mila dalam acara reuni mini itu.

 

Pada saat itulah aku punya ide untuk memberikan kepuasan kepada Mbak Lies.

 

Kataku, “Mbak mau nyobain threesome?”

 

“Threesome?”

 

“Iya. Cowoknya berdua, aku sama temanku. Pasti seru dan sangat memuaskan, Mbak.”

 

“Ih gila ! Emangnya kamu rela melihat tubuhku digasak sama orang lain?”

 

“Bukan masalah rela atau tidak rela Mbak. Tau gak? Erni aja sering kuajak threesome bersama temanku.”

 

“Emang kamu gak cemburu melihat istrimu disetubuhi lelaki lain?”

 

“Tentu aja cemburu, Mbak. Tapi dari cemburu itu gairahku jadi bangkit. Aku jadi horny lagi. Malah jadi jauh lebih horny daripada biasanya. Dan Erni malah jadi ketagihan…”

 

“Emang rumah tanggamu aman-aman aja?”

 

“Aman Mbak. Malah jadi lebih hangat daripada dulu-dulu.”

 

Mbak lies tercenung. Seperti berpikir.

 

Lalu Mbak Lies berkata, “Aku di kota ini terlalu dikenal orang. Kalau ada yang tahu, bisa rusak namaku, Yad. Lagian denganmu aja udah puas kok.”

 

“Kalau sama dua orang akan lebih puas lagi, Mbak. Percaya deh sama aku.”

 

“Iya, aku percaya. Tapi seperti kataku tadi…aku terlalu dikenal oprang di kota ini.”

 

“Begini Mbak, seminggu lagi aku mau ke Banjarmasin,” kataku ketika Mbak Lies seperti yang sedang mempertimbangkan, “Di Banjarmasin aku punya sahabat yang sekarang jadi asistenku. Usianya hanya beda beberapa bulan denganku. orangnya ganteng kok Mbak.”

 

“Terus?”

 

“Mbak ikut aja ke Banjarmasin. Hitung-hitung jalan-jalan aja. Nanti sahabatku itu akan kuajak gabung di hotel tempat kita menginap. Lalu…ya terserah Mbak nanti. Kalau berkenan, mari kita lakukan. Kalau tidak berkenan, ya jangan dipaksain.”

 

“Iya, aku juga ingin maen ke pasar terapung di Banjarmasin. Sekaligus mau nyari berlian di Martapura.”

 

“Sip Mbak. Aku sudah tau penjual berlian di Martapura. Nanti kita ke sana.”

 

“Tapi awas kalau pulang dari sana hubungan kita jadi retak. Aku udah telanjur dalam mencintai kamu, Yad.”

 

“Aku jamin Mbak. Malah sebaliknya, kita bakal tambah mesra. Lagian acara threesome gitu jangan sering-sering. Setahun sekali atau enam bulan sekali gitu deh.”

 

“Aku gak janji mau threesome. Yang penting jalan-jalan aja dulu ke Kalimantan, sekalian ingin lihat tambang batubaramu.”

 

“Sip Mbak.”

 

Pulang dari rumah yang biasa dipakai untuk ketemuan dengan Mbak Lies itu, aku langsung menelepon Edo. Minta dipesankan hotel yang layak, terutama untuk Mbak Lies itu. Aku pun menceritakan rencanaku, akan mengajak Edo untuk “join” denganku. Tentu Edo menyambutnya dengan nada gembira.

 

“Tapi yang satu ini bukan orang biasa,” kataku di depan mic handphoneku, “Aku sendiri aja selalu bersikap sopan padanya. Jadi harus lembut dalam pelaksanaannya nanti, ya.”

 

“Siap Boss !” sahut Edo di speaker handphoneku.

 

Dua hari kemudian, pembayaran kontrak rumah puri sudah dilunasi oleh utusan orang asing itu. Gambar ruko pun sudah kuterima dari Mbak Arini. Langsung kupanggil orang yang biasa memborong proyek-proyek kecilku. Semuanya sudah deal. Setelah rumahku dan rumah Mbak Tiara dikosongkan, kedua rumah itu akan dirobohkan, lalu dibangun sembilan ruko. Ternyata menurut perhitungan Mbak Arini, di tanah seluas itu bisa dibangun sembilan ruko, bukan delapan.

 

 

Sebelum berangkat ke Banjarmasin, aku berkata kepada istriku, “Baik-baik selama aku di Kalimantan ya. Besok mulai saja barang-barang kita diangkut ke rumah di kompl;eks wisma kos. Kalau sudah selesai, kasihtau pemborongnya. Mereka yang akan membongkar rumah ini kemudian membangun ruko-ruko itu.”

 

“Iya Bang. Semoga penerbangannya lancar ya,” kata istriku setelah kukecup bibirnya.

 

“Jangan habis-habisan sama si Herman ya. Seminggu dua kali aja sih boleh. Asal jangan terus-terusan.”

 

“Ih Abang…mulai besok kan semuanya sibuk pindahin barang-barang, lalu menata di rumah baru kita. Boro-boro sempat mikirin yang gituan.”

 

“Mikirin boleh, melakukan juga boleh, yang penting jangan terus-terusan. Dan jangan lupa, semuanya harus dibuka dalam catatan harianmu itu ya.”

 

“Abang mau pakai apa ke Jakarta?”

 

“Pakai travel aja lah. Biar hemat,” sahutku berbohong. Padahal aku akan ke rumah Mbak Lies, lalu berangkat ke Jakarta dengan mobilnya. (Dalam hal ini aku licik juga. Aku bisa tahu semua perilaku istriku lewat catatan hariannya, yang aku yakin diketik dengan sejujurnya. Sementara ia tidak bisa tahu beberapa hal yang kurahasiakan, karena aku tak punya catatan harian, sedangkan istriku tak bisa lagi membuka [DS]).

 

“Selamat jalan ya Bang. Semoga selamat sampai tujuan dan pulang lagi dalam keadaan selamat juga.”

 

“Iya sayang,” sahutku sambil mengecup kedua belah pipinya, kemudian bibirnya juga.”

 

 

Empat jam kemudian aku sudah berada di bandara Soekarno Hatta, di dalam pesawat yang akan terbang menuju Banjarmasin.

 

Menurut penglihatanku, dahulu sebelum ada hubungan rahasia denganku, Mbak Lies senantiasa berpakaian glamour. Tapi mungkin ia terpengaruh oleh prinsipku, yang tak perlu menonjolkan diri di depan orang-orang, kini Mbak Lies lebih suka berpakaian casual. Dalam penerbangan menuju Banjarmasin itu pun Mbak Lies hanya mengenakan celana panjang corduroy berwarna deep blue, dengan baju kaus berwarna hitam dengan tulisan berwarna putih: L’amour est une beller chose

 

Sesaat setelah pesawat take off, aku berkata kepada Mbak Lies perlahan (supaya tidak terdengar oleh penumpang lain), “Nanti Edo yang akan jemput kita di bandara Syamsuddin Noor, Mbak.”

 

“Edo…yang…yang kamu ceritakan itu?” tanya Mbak Lies sambil meremas tanganku.

 

“Iya. Sekalian Mbak cermati aja orangnya nanti. Dijamin takkan mengecewakan deh.”

 

“Iiih, aku kan udah bilang…gak janji soal itu. Aku hanya ingin jalan-jalan di Kalsel aja.”

 

“Iya. Santai aja Mbak. Takkan ada yang berani memaksa Mbak,” kataku yang lalu kulanjutkan dengan bisikan, “Aku justru ingin membuat Mbak sangat-sangat puas.”

 

Mbak Lies menatapku dengan senyum manis. O, senyum Mbak Lies itu…membuatku makin sayang saja padanya.

Pesawat landing menghentak dan agak terseok-seok di Bandara Syamsuddin Noor. Membuatku agak kuatir dan membuat Mbak Lies geleng-geleng kepala.

 

“Mungkin landasannya licin, karena habis hujan,” kataku.

 

Mbak Lies cuma menghela nafas panjang. Maklum dia sering terbang ke luar negri, yang kualitas penerbangannya jauh lebih baik.

 

Baik aku maupun Mbak Lies, masing-masing cuma membawa tas pakaian yang tidak terlalu besar, sehingga kami simpan di atas tempat duduk kami saja. Dan kami tak usah menunggu keluarnya dulu barang di ban berjalan. Langsung kami keluar, sementara udara panas Banjarmasin mulai terasa menyengat. Apalagi saat itu kami mendarat pas tengah siang.

 

Di pintu keluar, kulihat Edo sudah menunggu.

 

“Selamat siang, Boss,” ucap Edo padaku setelah aku dan Mbak Lies keluar dari pintu kedatangan.

 

“Siang…kenalin dulu ini teman saya, Do,” kataku kepada Edo. Memang tadi di pesawat Mbak Lies sudah mewanti-wanti agar jangan mengatakan ia sebagai bagian dari keluarga besarku. Sebut saja aku temanmu, katanya.

 

Aku juga sudah mewanti-wanti agar jangan mengajak Leo ke bandara, karena ia pasti kenal pada Mbak Lies. Bukankah Leo saudara sepupuku, yang berarti saudara sepupu Bang Yana juga?

 

Lalu Edo dan Mbak Lies berjabatan tangan sambil menyebutkan namanya masing-masing.

 

Dengan sigap Edo mengambil tasku dan tas Mbak Lies, lalu melangkah duluan menuju pelataran parkir.

 

Aku berbisik ke telinga Mbak Lies, “Edo ganteng kan?”

 

Mbak Lies mencubit tanganku sambil melotot. Mungkin maksudnya jangan ngomongin Edo, takut kedengaran sama orangnya yang sedang berjalan di depan kami.

 

Kedua tas itu Edo letakkan di dalam mobil double cabin yang kubeli khusus untuk inventaris kantor.

 

Mbak Lies kubantu untuk naik ke dalam mobil yang lumayan tinggi itu, kemudian aku duduk di sampingnya, di jok belakang. Edo langsung menghidupkan mesin mobil sambil bertanya, “Langsung ke hotel Boss?”

 

“Alaaa…bas-bos-bas-bos lagi. Kan biasa juga manggil abang. Kenapa jadi boss lagi?” sahutku, “Jangan langsung ke hotel, kita nyari makan siang dulu Do.”

 

“Siap Bang,” sahut Edo sambil menjalankan mobil keluar dari parkiran bandara.

 

“Mbak seneng makan telur ikan gabus kan?” tanyaku kepada Mbak Lies.

 

“Iya,” Mbak Lies mengangguk, “Emang ada rumah makan yang jual?”

 

“Ada. Bakar ikan papuyu juga ada.”

 

“Iya…ikan papuyu primadonanya ikan di Banjarmasin,” sahut Mbak Lies.

 

Kutepuk bahu Edo dari belakang sambil berkata, “Ke Jalan Pangeran Samudra, Do.”

 

“Siap…mmm…di Banjar kan?”

 

“Iya, sambil dekatin hotelnya. Kalau di Banjar Baru, aku belum nemu rumah makan yang cocok. Hotelnya di jalan S.Parman kan?”

 

“Iya Bang. Biar dekat ke kantor.”

 

Di jalan dari Banjar Baru menuju Banjarmasin, Mbak Lies tiada bosannya meremas-remas tanganku. Sehingga pada suatu saat aku balas dengan ciuman mesra di bibirnya. Mbak Lies menunjuk-nunjuk punggung Edo, seolah memperingatkan agar jangan main cium sembarangan karena ada orang ketiga.

 

Tapi entah kenapa, membayangkan Edo akan ikut bergabung dalam kegiatan seksualku dengan Mbak Lies, hasrat birahiku jadi bergejolak begini. Sehingga dalam perjalanan menuju Banjarmasin itu, penisku tegang terus. Seolah-olah tak sabar lagi, ingin segera dibenamkan ke dalam memek Mbak Lies.

 

Sejam kemudian kami bertiga sudah berada di dalam rumah makan yang selalu menyediakan sate telor ikan gabus itu. Senang sekali Mbak Lies mendapatkan makanan kesukaannya itu. Tapi bakar ikan papuyunya seekor pun tidak habis, karena di daerah perutnya memang banyak durinya.

 

Waktu sedang makan itu tampaknya Mbak Lies pun mulai mengajak Edo berbicara, seperti ingin tahu banyak mengenai sehabatku yang sekarang jadi asistenku itu.

 

“Sudah lama kenal Yadi?” tanyanya pada Edo.

 

“Sudah bertahun-tahun, Mbak,” sahut Edo dengan sikap sopan.

 

“Udah punya anak berapa?” tanya Mbak Lies lagi. Langsung menebak bahwa Edo sudah punya istri.

 

“Baru seorang.”

 

“Istrinya di sini juga?”

 

“Iya, tapi jauh dari sini. Perjalanan enam jam kalau naik mobil.”

 

“Istrinya pasti cantik ya?”

 

Aku mau nyeletuk, bahwa MbakLies lebih cantik daripada istri Edo. Tapi gak jadi, takut Edo tersinggung.

 

Dan Edo menjawab singkat, “Biasa aja, Mbak.”

 

Mbak Lies memandangku, lalu memandang Edo, seperti membandingkan antara aku dengan sahabatku itu.

 

Selesai makan, kami langsung menuju hotel.

 

Seorang bellboy menjinjing kedua tas kami ke arah kamar yang sudah dibooking oleh Edo. Sementara Edo kusuruh duduk dulu di lobby.

 

Setelah berada di dalam kamar, kudekati Mbak Lies yang tampak keringatan, meski sudah berada di dalam kamar yang ACnya cukup dingin.

 

“Gimana? Mbak udah izinkan Edo gabung sama kita?” tanyaku sambil memeluknya dengan mesra.

 

“Gak ah,” Mbak Lies menggelengkan kepalanya.

 

“Gak?” aku tercengang dan kecewa sekali, “Beneran gak?”

 

“Iya. Gak menolak,” sahut Mbak Lies sambil mencubit perutku.

 

“Hahahaaaa….Mbak memang kekasihku yang selalu mengikuti keinginanku,” katakusambil mengecup pipi dan bibirnya.

 

“Tapi janji ya…jangan campakkan aku nanti.”

 

“O my God ! Jangan punya pikiran seperti itu Mbak sayang….” lagi-lagi kukecup pipi dan bibir Mbak Lies, “Justru acara itu untuk membuat Mbak puas sepuas-puasnya. Dan gairahku akan menggila nanti. Buktikan aja sama Mbak nanti.”

 

“Mmm…kamu bikin aku makin horny aja Yad. Tapi aku mau mandi dulu ya. Gak enak keringetan gini. Bekas di rumah makan tadi.”

 

“Iya. silakan,” sahutku dengan perasaan senang dan bergairah, “Edo panggil ke sini aja ya.”

 

“Terserah…dan iiih, Yad…aku kok jadi degdegan gini sih?”

 

“Santai aja lah. Aku tak mungkin menjerumuskan Mbak. Bahkan aku selalu ingin memberikan yang terbaik buat Mbak.”

 

Mbak Lies tersenyum, lalu mengeluarkan alat mandi dari dalam tasnya, lalu masuk ke kamar mandi sambil mengepit sehelai kimono berwarna putih polos.

 

Setelah Mbak Lies masuk ke kamar mandi, aku males turun ke lobby. Maka lalu kucall saja Edo, menyuruhnya naik dan masuk ke dalam kamar ini.

 

Tak lama kemudian Edo pun muncul, karena pintunya sudah kubuka sebelumnya.

 

Pelan-pelan aku bilang, “Dia udah setuju. Tapi kita harus tetap bermain cantik ya. Ingat Do….gak ada tambang itu kalau gak ada dia.”

 

“Iya Bang,” sahut Edo, yang lalu disambung dengan bisikan, “Dia cantik dan sexy banget Bang…”

 

Lama juga Mbak Lies berada di dalam kamar mandi, sehingga aku dan Edo bisa mengatur strategi, supaya Mbak Lies tidak merasa dipaksa memasuki alam yang belum pernah ia masuki.

 

Ketika Mbak Lies keluar dari kamar mandi dalam kimono sutra putih polosnya, aku langsung berdiri dan menghampirinya. Lalu kupeluk ia dari belakang sambil menghadapkannya ke arah Edo.

 

“Lihat Do…kekasih hatiku ini cantik sekali kan?” kataku.

 

“Iya Bang. Luar biasa cantiknya.”

 

Lalu aku berbisik ke telinga Mbak Lies, “Mbak…aku udah horny berat nih…langsung aja ya?”

 

Mbak Lies menoleh padaku. Bertanya perlahan, “Edo gimana?”

 

“Biar dia nonton aja dulu,” bisikku, “Kan nanti juga dia dapat giliran. Atau dia disuruh duluan?”

 

“Terserah…” sahut Mbak Lies hampir tak terdengar.

 

“Oke, aku malah seneng nonton dulu. Kita suruh dia duluan aja ya,” bisikku.

 

“Aku degdegan Yad…” sahut Mbak Lies sambil memelukku erat-erat.

 

“Jangan kayak anak kecil yang mau disuntik dong, nanti boleh Mbak hentikan kalau emang gak menyenangkan.”

 

Mbak Lies tidak menjawab. Tapi kulihat matanya berkali-kali melirik ke arah Edo yang sedang duduk di sofa.

 

“Do…!” panggilku.

 

“Ya Bang…” Edo bangkit dari sofa dan menghampiriku. Pada saat itulah aku mulai beraksi, melepaskan tali kimono Mbak Lies. Aku tahu saat itu Mbak Lies tidak mengenakan bra. Maka ketika kubuka kimononya, payudara langsung tampak di mataku dan mata Edo. Semuanya ini membuatku semakin sayang kepada Mbak Lies. Karena ia selalu mengikuti apa pun yang kuinginkan.

 

“Ayo Do, kita manjakan dia. Kita harus membuat hari ini sebagai hari yang terindah buat Mbak Lies,” kataku sambil melemparkan kimono putih itu ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Sementara Mbak Lies cuma tinggal mengenakan celana dalam.

 

“Wah…lutut saya jadi gemetaran gini Bang…Mbak ini sangat mulus dipandang dari arah mana pun.”

 

Aku tersenyum, sementara Mbak Lies masih tampak salah tingkah. Lalu aku meraihnya ke atas tempat tidur. Aku duduk bersila di tempat tidur pada bagian kepala. Sementara bantalnya kuletakkan di atas pahaku. Kutepuk bantal itu sambil berkata kepada Mbak Lies, “Mbak rebahin kepalanya di sini. Supaya aku tetap bisa memanjakan Mbak.”

 

Mbak Lies menurut juga. Ia terlentang dan merebahkan kepalanya pada bantal di atas pahaku. Aku pun langsung menyambutnya dengan menangkap dan meremas sepasang payudaranya, sambil berkata kepada Edo, “Ayo buka dulu dong pakaiannya ! Kan Edo yang akan duluan memanjakan Mbak Lies.”

 

“Oooh…saya duluan?” Edo tampak kaget campur girang. Lalu ia menanggalkan pakaiannya sehelai demi sehelai, bahkan celana dalamnya pun ditanggalkan. Sehingga tampak batang kemaluannya yang sudah ngaceng itu.

 

Edo langsung merayap ke arah Mbak Lies. Sementara Mbak Lies kulihat memejamkan matanya. Mungkin ia masih malu-malu kepada Edo yang baru dikenalnya dua jam yang lalu, tapi sudah akan melakukan sesuatu yang mendebarkan.

 

Edo sudah beberapa kali kuajak threesome, sehingga ia tidak kaku lagi waktu merayap ke antara sepasang paha Mbak Lies yang sudah direnggangkan. Dan Edo mulai menjilati jari-jari kaki Mbak lies yang selalu bersih itu. Mbak lies membuka matanya sedikit. Tapi lalu terpejam lagi setelah aku meremas-remas payudaranya lagi dengan remasan lembut.

 

Namun tampaknya Mbak Lies pun sudah mulai mengikuti jalanku. Ketika Edo sedang menjilati betisnya, Mbak Lies membuka matanya dan berkata kepada Edo, “Lepasin dong celana dalamnya, biar jangan ganggu.”

 

“Iya Mbak,” Edo mengangguk dengan sikap sopan namun tampak semakin bergairah. Ditariknya celana dalam itu sampai terlepas dari kaki Mbak Lies.

 

Edo terpana…menatap kemaluan Mbak Lies yang sudah terbentang di depan matanya itu. Lalu dengan bersemangat Edo menjilati paha Mbak Lies…naik terus..naik terus sampai ke pangkalnya.

 

Tak berhenti cuma sampai pangkal paha Mbak Lies yang mulus itu. Jilatan Edo lalu merambah ke kelopak kemaluan Mbak Lies yang senantiasa tercukur rapi itu. Mbak Lies mulai tergeliat-geliat sambil memegangi kedua pergelangan tanganku yang tengah memainkan kedua pentil payudaranya. Dan Edo semakin intensif menjilati kemaluan Mbak Lies, sehingga Mbak Lies mulai mendesah-desah dan terpejam-pejam. Pastilah ia sedang merasakan sesuatu yang nikmat sekali, sehingga kedua pergelangan tanganku terkadang dicengkramnya kuat-kuat. Apalagi setelah Edo mulai menjilati kelentitnya…sepasang kaki Mbak Lies pun tampak terkejang-kejang dibuatnya.

 

Melihat kondisinya sudah seperti itu, aku pun laksana seorang instruktur, memberi instruksi kepada Edo, “Oke Do…sudah bisa dimasukkan. Tapi jangan dilepas di dalam ya…supaya jangan banjir itunya…”

 

“Iya Bang….sahut Edo sambil bergerak ke atas sambil memegang batang kemaluannya yang tampak sudah ngaceng sekali itu.

 

Dan ketika Edo sedang berusaha membenamkan tongkat kejantanannya ke liang kemaluan Mbak Lies…sebenarnya hatiku menjerit…cemburu…karena wanita yang kusayangi akan mulai disetubuhi oleh sahabatku. Tapi cemburu itu berbunga hasrat birahi yang mulai bergolak di dalam diriku, sehingga penisku juga mulai ngaceng berat. Tapi aku harus membiarkan Edo duluan menyetubuhi Mbak Lies, supaya pikiran Mbak Lies tidak berubah lagi.

 

Edo sudah berhasil membenamkan batang kermaluannya meski belum semuanya. Tapi ia tetap menahan tubuhnya agar tidak ambruk ke dada Mbak Lies.

 

Pada saat itulah Mbak Lies menatap ke atas, ke arahku, sambil berkata lirih, seperfti mau menangis, “Yadi sayang…cium aku, sayang…cium aku….”

 

Meski agak susah, aku berhasil juga mengikuti keinginan Mbak Lies. Kucium bibirnya dengan hangat, sementara Edo sudah mulai mengayun batang kemaluannya, tapi tetap dalam posisi menahan tubuhnya dengan kedua tangannya yang ditekankan ke kasur.

 

Setelah ciumanku terlepas, Mbak Lies berkata perlahan, “Maafkan aku ya sayang. Semua ini kan keinginanmu.”

 

“Iya Mbak. Mari kita nikmati aja semua ini,” sahutku sambil mengelus rambutnya yang ikal dan panjang tergerai.

 

Sementara Edo mulai lancar mengenjot batang kemaluannya. Sehingga aku pun kembali bersila dian meletakkan kepala Mbak Lies di pangkuanku lagi.

 

Dan kini kubiarkan Edo menindihkan dadanya ke atas payudara Mbak Lies. Kubiarkan Edo menjilati leher Mbak Lies yang mulai mengkilap karena keringat. Bahkan terkadang Mbak Lies meraih leher Edo ke dalam dekapannya, lalu mereka berciuman dengan mesranya. Ketika aku melihat mereka berciuman, darahku selalu berdesir dibuatnya. Namun harus kurelakan, meski kecemburuanku merajalela di dalam jiwaku. Bukankah Edo juga merelakan Raisha untuk kunikmati sesering mungkin selama Raisha masih tinggal di rumahku?

 

Tapi “dosis”nya sekarang mungkin terlalu berat buatku. Karena aku bisa melihat dengan jelas maju mundurnya batang kemaluan Edo di dalam memek perempuan yang sangat kusayangi tak ubahnya istriku sendiri.

 

Mbak Lies mulai merintih dan mendesah, “Aaaaah….. aaaaaa….aaaaah…..aaaaaak… aaaaa…..aaaaaah…aaaaaaaaaaaa….aaaaaaaaaaaaaahh…”

 

Sepasang tangan Mbak Lies pun tak canggung lagi mendekap pinggang Edo, terjada meremas-remas bahu Edo, terkadang meremas-remas rambut Edo, sehingga rambut sahabat sekaligus asistenku itu jadi acak-acakan sekali.

 

Sebenarnya aku bisa saja meminta Mbak Lies mengubah posisi jadi doggy, supaya ia bisa menikmati persetubuhan dengan Edo sekaligus menyelomoti penisku yang sudah ngaceng berat ini. Tapi biarlah semuanya berjalan dulu. Aku ingin supaya persetubuhan Mbak Lies dengan Edo berjalan mulus, tanpa diganggu olehku. Bukankah sejak berangkat dari rumah aku berkeinginan agar Mbak Lies benar-benar menikmati persetubuhan bertiga ini?

 

Beberapa saat kemudian Mbak Lies tampak seperti sudah mau mencapai orgasme. Ia menggoyang pinggulnya dengan binalnya, lalu matanya terbeliak-beliak dan akhirnya terpejam….sekujur tubuhnya mengejang. Dan tanpa melontarkan kata-kata lagi ia melepaskan nafas panjangnya, “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah….”

 

Namun rupanya Edo pun sudah mau ejakulasi. Ia mengenjot batang kemaluannya dengan gerakan yang cepat dan mantap, lalu buru-buru ia mencabutnya dan meletakkannya di atas perut Mbak Lies….lalu moncong penisnya menyemprot-nyemprotkan air maninya ke atas perut dan payudara Mbak Lies….craaaaat….crooot…. creeeet….creeeet…creeeet….creeeet……!!

 

Edo buru-buru mengambil tissue basah dari meja kecil di dekat tempat tidur, kemuaian disekanya air mani yang bergenangan di atas perut dan payudara Mbak Lies itu.

 

Pada saat itulah aku cepat menelanjangi diriku sendiri, lalu naik ke atas perut Mbak Lies, sambil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini.

 

Mbak Lies tersenyum ketika menatapku sambil berusaha membenamkan penisku ke memeknya. Ketika Edo bergegas menuju kamar mandi, aku berbisik pada Mbak Lies, “Dia ganteng dan menyenangkan toh?”

 

Mbak Lies tersenyum dan menyahut, “Yes…he is handsome. But you’re still the best for me, honey.”

 

AKu sudah berhasil membenamkan batang kemaluanku sepenuhya. Tapi aku masih berkata perlahan, “Nanti setelah aku ejakulasi, dia pasti siap maju lagi. Dan setelah dia ejakulasi lagi, aku siap maju lagi.”

 

“Iya,” sahut Mbak Lies, “menurut curhat para wanita di majalah-majalah kewanitaan, katanya kalau threesome begini, pihak lelaki akan terus-terusan horny waktu menyaksikan temannya menyetubuhi partnernya…lalu bisa terjadi persetubuhan lebih dari enam kali dalam semalam…betulkah begitu?”

 

“Iya,” sahutku, “itulah salah satu keistimewaannya. Dan Mbak akan kami bikin puas yang benar-benar puas. Karena biar gimana juga hasil kerja dua orang tentu lebih baik daripada seorang.”

 

Mbak Lies mencium bibirku dengan mesra,”Mmmm….mwuaaaaaaaaaahhhhh…”, lalu berkata, “Ayo gerakin penismu sayang…aku udah horny lagi nih…”

 

Aku membalas ciuman itu dengan lumatan yang lama sekali, dengan pelukan yang ketat sekali, sementara penisku sudah kugenjot lagi tak ubahnya pembalap sepeda yang sedang beraksi di jalanan…awalnya perlahan, makin lama makin cepat.

 

Mbak Lies pun ah-oh lagi…sementara Edo sudah keluar lagi dari kamar mandi. Maka aku hentikan dulu pergerakan batang kemaluanku sambil mengajukan usul agar persetubuhanku dengan Mbak Lies dilanjutkan dalam posisi doggy. Tapi Mbak Lies menyahut dengan bisikan, “Nanti aja kalau sedang dengan Edo main doggynya. Biar bisa sambil ciuman sama kamu atau sambil ngemut tititmu.”

 

Oke deh. Posisi klasik gini juga enak, pikirku.

 

Dan aku seolah ingin membuktikan kepada Mbak Lies, bahwa aku lebih perkasa daripada Edo.

 

Maka sambil melumat bibit Mbak Lies, penisku mulai ganas mengenjot liang vagina istri abangku itu.

 

“Yadi…oooh…Yadiii….oooh…ML sama kamu kok enak mulu, Yad….” Mbak Lies mulai berceloteh, sementara Edo sudah menghampiri kami dalam keadaan masih telanjang bulat. Sepintas kulihat penisnya masih terkulai, karena baru ejakulasi tadi. Tampaknya Mbak Lies juga tahu itu. Karena ketika Edo sudah duduk di dekatku yang sedang menyetubuhi Mbak Lies, perlahan-lahan tangan Mbak Lies merayap ke arah penis Edo. Lalu memegangnya. Lalu meremasnya. Sementara aku masih tetap asyik mengayun batang kemaluanku.

 

Lebih dari setengah jam aku menyetubuhi Mbak Lies, sementara kulihat penis Edo sudah tegang kembali, mungkin karena menyaksikan persetubuhan kami, mungkin juga akibat remasan Mbak Lies tadi.

 

“Ayo sayang…kita…kita barengin yok…jangan dilepas di luar…” cetus Mbak Lies terengah-engah.

 

Tadinya aku ingin melepaskan air maniku di luar memek Mbak Lies. Tapi mungkin Mbak Lies ingin menikmati enaknya mencapai klimaks bareng-bareng. Maka untuk menuruti keinginan Mbak Lies itu kupercepat ayunan batang kemaluanku, sambil meremas-remas payudara Mbak Lies.

 

Mbak Lies makin menggila mengayun pinggulnya, dengan gerakan seolah ingin menggesekkan kelentitnya dengan penisku. Terkadang pinggulnya menghentak-hentak dari atas ke bawah, terkadang seolah membuat angka delapan.

 

Dan akhirnya Mbak Lies mencengkram bahuku sambil meraung tertahan, “Yad…ayo barengin sayang…aku udah mau lepasssssssssssssss….Yaaaaaaaaaaaaadiiiii….”

 

Lubang kemaluan Mbak Lies terasa mengejut-ngejut pada saat kubenamkan penisku sedalam-dalamnya…sambil memuntahkan air maniku.

 

Pada saat itulah aku dan Mbak Lies saling cengkram….sama-sama mengejang dan sama-sama mencapai puncak kenikmatan kami.

 

Mbak Lies benar-benar terkapar, semoga ia mendapatkan kepuasan yang sejati. Namun ketika aku melirik ke arah Edo…wah…tampaknya ia sudah siap tempur juga. Maka ketika mata Mbak Lies masih terpejam, saat itulah aku dan Edo bertukar tempat. Begitu kucabut batang kemaluanku yang mulai melemah, Edo langsung memasukkan tongkat kejantanannya ke dalam liang kemaluan Mbak Lies, tanpa peduli masih banjirnya liang itu dengan air maniku.

 

Sambil tersenyum ke arahku, Edo mulai mengayun batang kemaluannya. Barulah Mbak Lies sadar bahwa aku sudah menjauh dan Edo mulai menyetubuhinya lagi.

 

“Iiiih…Edo…tadinya mau dicuci dan dilap dulu memeknya, biar jangan becek gini,” kata Mbak Lies kepada Edo.

 

“Gak usah Mbak, begini juga enak kok,” sahut Edo yang malah semakin mempergencar entotannya.

 

Lalu kulihat Mbak Lies mulai bergairah lagi ketika gerakan maju-mundurnya penis Edo begitu lancarnya, seolah pelari yang sedang sprint.

 

Dan aku turun dari tempat tidur, melangkah ke kamar mandi. Lalu mandi dengan air hangat, membersihkan setiap sela di tubuhku dengan sabun sebersih-bersihnya. Sehingga aku merasa segar kembali. Lalu menghanduki tubuhku sampai kering dan kembali menghampiri tempat tidur.

 

Rupanya Mbak Lies mewujudkan kata-katanya tadi. Begitu keluar dari kamar mandi, aku melihat mereka sudah dalam posisi doggy. Bukankah tadi Mbak Lies bilang akan melakukan posisi doggy supaya bisa sambil mengemut penisku?

 

Aku pun naik lagi ke atas tempat tidur dan duduk persis di depan Mbak Lies yang tengah menungging, sementara Edo tampak asyik mengentotnya dari belakang.

 

Tampaknya Mbak Lies cukup mengerti apa yang harus dilakukannya. Meski sambil terpejam-pejam (pasti karena sedang merasakan enaknya digenjot oleh Edo dari belakang), Mbak Lies cepat mendekatkan mulutnya ke penisku yang sudah digenggamnya. Lalu dimasukkannya penisku ke dalam mulutnya. Sesaat kemudian kurasakan selomotannya yang begitu binalnya…sehingga dengan cepat batang kemaluanku menegang kembali.

 

Sepertinya Mbak Lies ingin membuatku sangat terangsang oleh selomotan mulutnya. Dan ia berhasil. Dalam tempo singkat batang kemaluanku sudah menegang kembali. Tapi Mbak Lies tetap menyelomotinya, karena memeknya masih dipakai oleh Edo.

Akhirnya Edo ejakulasi juga. Tapi dia tetap konsisten pada instruksiku tadi. Air maninya ditembak-tembakkan ke atas bokong dan punggung Mbak Lies. Lalu buru-buru dia mengambil tissue basah dan mengelap[ bagian tubuh Mbak Lies yang tersemprot air maninya.

 

Mbak Lies buru-buru turun dari tempat tidur. Lalu melangkah menuju kamar mandi. Terdengar suara pipis Mbak Lies, membuatku tersenyum. Edo juga.

 

“Bang…saya harus segera ke pelabuhan malam ini. Ada bongkar muat di laut. Dua vessel menunggu yang untuk tujuan Korea. Gimana? Boleh saya pamit sekarang?” tanya Edo sambil meraih pakaiannya. Aku cuma menjawabnya dengan anggukan kepala.

 

Mbak Lies pun muncul lagi dari kamar mandi, masih dalam keadaan telanjang bulat.

 

 

Setelah mengenakan pakaiannya, Edo pamitan kepada Mbak Lies.

 

“Lho…kok malam-malam gini udah mau pulang? Takut ditegor sama istrinya ya?” cetus Mbak Lies waktu Edo sudah mencium bibirnya (atas isyarat dariku, agar Mbak Lies dicium dulu).

 

“Bukan,” sahut Edo, “Saya mau ke pelabuhan, mau ngawasi pemuatan batubara ke tongkang-tongkang. Bukan mau pulang ke rumah, Mbak.”

 

“Iya,” selaku, “di musim hujan begini harus pandai-pandai pilih waktu. Kalau malam gak ada hujan, ya malam juga bongkar muatnya, terutama dari tongkang ke atas vessel. Apalagi sekarang, sedang mempersiapkan untuk pengiriman ke Korea. Kalau terlambat ngirimnya, bisa kena claim.”

 

“O, gitu…” Mbak Lies mengangguk-angguk.

 

Aku mengantarkan Edo sampai lobby. Sekaligus berpesan agar besok dikondisikan, supaya Leo ditugaskan ke tempat lain pada waktu aku dan Mbak Lies akan mengunjungi daerah pertambanganku. Karena Leo itu saudara sepupu Bang Yana juga. Dan Mbak Lies pasti kaget kalau lihat dia ada di daerah tambangku.

 

Setelah Edo berlalu, aku kembali ke kamar. Kulihat Mbak Lies sudah rapi lagi, sudah mengenakan kimono lagi, sambil menikmati makanan malam yang tadi dipesannya lewat telepon hotel.

 

“Asyik kan Mbak?” kataku sambil mencium pipinya yang terasa dingin, karena habis mandi.

 

Mbak Lies menoleh padaku, dengan senyum manisnya. “Kamu kayaknya bersahabat banget sama Edo ya?”

 

“Iya Mbak. Kami sudah seperti dua saudara yang selalu kompak dalam segala hal. Kami malah sering swinger sama dia…” kataku yang lalu membuatku kaget sendiri, karena keceplosan bicara.

 

“Jadi…Erni sama dia, lalu istrinya sama kamu, gitu?” tanya Mbak Lies dengan pandangan seperti menyelidik.

 

“Iya…dahulu…sebelum kita punya hubungan gini,” sahutku, “Gimana kesannya tadi Mbak? Dahsyat kan?”

 

Mbak Lies mengangguk dan tersipu.

 

“Kalau gak kasihan sama Mbak, tadi aku dan Edo bisa masing-masing tiga kali. Jadi semalam ini bisa enam kali Mbak Lies kami puasi,” kataku.

 

“Weeeh…ini aja udah capek gini, apalagi kalau harus meladeni kalian enam kali.”

 

“Tapi aku baru sekali lho Mbak.”

 

“Iya…kalau sama kamu sih sepuluh kali lagi juga aku ladenin,” kata Mbak Lies sambil melepaskan klimononya.

 

Aku pun menanggalkan semua pakaian yang masih melekat di tubuhku.

 

Ketika batang kemaluanku membenam ke dalam liang kewanitaan Mbak Lies, masih sempat aku berkata, “Besok malam Edo kita panggil lagi ke sini. Mudah-mudahan besok dia bisa menginap di sini. Biar seru. Mbak siap-siap aja besok…”

 

“Nanti kalau aku ketagihan gimana ayo? Masa kita harus ke Banjarmasin terus-terusan?”

 

“Edo wajib datang ke kantorku tiga bulan sekali. Kita bisa manfaatkan waktunya di sana nanti. Atau dengan teman-teman di sana juga bisa. Malah ada teman seSMAku di sana. Jauh lebih tampan daripada Edo.”

 

“Gak ah. Sama orang sekota sih aku gak mau. Takut heboh ke mana-mana beritanya,” kata Mbak Lies, “Ayo mainin…mau direndam terus sampai pagi?”

 

“Hihihiii….” aku tertawa kecil, lalu mulai beraksi menyetubuhi Mbak Lies.

Meski cuma tiga hari berada di Banjarmasin, tampaknya Mbak Lies cukup puas dengan apa yang telah aku dan Edo lakukan. Malam kedua, tidak ada kejadian apa-apa, karena aku dan Mbak Lies sampai larut malam masih berada di lokasi tambang, tepatnya di kantor dekat lokasi tambang. Lewat tengah malam kami baru pulang ke Banjarmasin. Dan jam enam pagi baru tiba di hotel.

 

Pada malam ketiga, barulah terjadi aksi habis-habisan di antara aku, Edo dan Mbak Lies. Entah kenapa aku dan Edo seolah punya power dahsyat, sehingga aku kuat empat kali menggauli Mbak Lies, sementara Edo pun sama…empat kali juga. Maka kalau dijumlahkan, Mbak Lies delapan kali disetubuhi oleh aku dan Edo secara bergiliran. Memang pada waktu menyaksikan Edo menyetubuhi Mbak Lies, aku jadi sangat terangsang. Begitu pun kalau aku sedang menyetubuhi Mbak Lies, merupakan perangsang dahsyat bagi Edo.

 

Menjelang fajar menyingsing, barulah kami sama-sama terkapar di pantai kepuasan.

 

Namun aku dan Mbak Lies harus mandi dan berdandan, karena tiket sudah Edo belikan dan jam tujuh pagi kami harus sudah cek in di bandara Syamsuddin Noor.

 

Dalam penerbangan dari Banjarmasin ke Jakarta, Mbak Lies tertidur terus. Mungkin karena semalaman tidak tertidur, lalu dibayar dalam penerbangan yang cuma sejam empatpuluh menit itu.

 

Aku pun tak mau mengganggu Mbak Lies sampai pesawat landing di bandara Soekarno-Hatta.

 

Setelah keluar dari pintu kedatangan, Mbak Lies berkata, “Jangan langsung pulang. Kita nginep aja di Jakarta semalam dua malaman, sampai badanku segar lagi. Rasanya aku letih banget Yad.” Lalu Mbak Lies lanjutkan dalam bisikan, “Kalian edan….tadi malam sampai delapan kali….!”

 

“Betul Mbak…aku sendiri belum pernah seedan itu,” sahutku, “Mungkin itulah manfaat yang bisa kita petik…jadi perkasa semua, seolah dapat obat perangsang dari surga.”

 

Mbak Lies menatapku dengan mata sayu, sambil memeluk pinggangku menuju parkiran taksi.

 

Ke sopir taksi kusebutkan nama sebuah hotel bintang lima. Sopir taksi mengangguk, sambil membukakan pintu belakang untuk aku dan Mbak Lies. Tak lama kemudian taksi itu pun meluncur keluar dari wilayah bandara.

 

Di dalam taksi yang sedang meluncur di jalan tol itu aku memijat nomor telepon hotel yang akan kutuju. Untunglah yang menerima teleponku bilang masih ada kamar untuk kami. Sementara di dalam taksi pun Mbak Lies ketiduran lagi. DIpikir-pikir kasihan juga wanita yang pemurah itu. Maka sengaja kutarik kepalanya agar rebah di pangkuanku.

 

Berkendaraan di jalan tol zaman sekarang tiada jaminan tanpa macet. Dari bandara ke hotel, yang biasanya kutempuh setengah jam, kini dua jam baru tiba di hotel yang kutuju.

 

Di dalam kamar hotel yang sudah disediakan, Mbak Lies langsung menyerbu tempat tidur dan tertidur nyenyak. Aku pun menemaninya tidur di sampingnya, sambil memeluk guling. Aku tak mau mengganggu Mbak Lies yang sudah tepar itu, maka bantal guling saja yang kupeluk, bukan tubuh Mbak Lies.

 

Aku jadi tertidur nyenyak juga, sehingga waktu Mbak Lies bangun dan mandi, aku belum sadar juga. Waktu Mbak Lies menciumi pipiku, barulah aku membuka mataku.

 

“Udah sore, sayang. Mandi dulu gih. Setelah mandi, kita makan di resto hotel ini aja, biar gak usah pergi jauh-jauh.”

 

“Wow…Mbak udah cantik banget,” kataku sambil duduk dan menatap wajah Mbak Lies yang sudah dipoles kosmetik, “Mbak udah mandi ya? Aku jadi ikut-ikutan tidur pulas.”

 

Sebelum masuk ke kamar mandi, masih kusempatkan mencium bibir Mbak LIes yang sudah harum itu. Lalu melangkah masuk ke kamar mandi.

 

Tapi baru saja aku menanggalkan pakaianku di dalam kamar mandi, hpku berbunyi, hp yang selalu kubawa meski sedang di kamar mandi ataupun toilet. Call dari nomor yang belum kukenal. Tapi kuangkat juga, “Hallo…dengan siapa nih?” tanyaku.

 

Terdengar suara perempuan di hpku, “Dari Nur, Mas. Udah lupa ya?”

 

“Nur mana ya?”

 

“Nuryati, Mas.”

 

“Ooooh…iya, iya….apa kabar Nur?”

 

“Baik-baik aja, Mas. Justru aku mau laporan, usahaku udah berkembang Mas. Semuanya kan atas kebaikan Mas. Tapi sayang Mas gak mau nengok-nengok ke sini.”

 

“Aku sibuk terus bolak-balik ke Kalimantan, Nur. Ini juga baru beberapa jam pulang dari sana. Nanti kalau udah ada waktu, pasti aku tengok ke sana ya.”

 

“Iya Mas. Aku tunggu ya.”

 

“Iya. Ini nomor barumu, Nur?”

 

“Iya Mas. Nomor lama kan hilang sama hape-hapenya.”

 

“Oke deh, aku saving nomornya ya. Semoga usahanya lancar ya Nur.”

 

“Iya Mas. Terimakasih.”

 

Kumasukkan handphoneku ke saku celanaku yang tergantung di dinding. Kemudian aku mandi sebersih-bersihnya. Tapi ingatanku melayang-layang ke masa lalu. Ke masa yang ada sangkut pautnya dengan perempuan yang menelepon tadi.

 

 

 

Aku masih ingat benar, saat itu mobilku masuk bengkel untuk service yang butuh lama pengerjaannya. Sedangkan mobilku baru satu-satunya itu. Sehingga untuk menghadiri meeting bisnisku di Semarang, terpaksa kupakai bus.

 

Pada perjalanan itulah terjadi tabrakan maut antara bus yang kutumpangi dengan sebuah truk gandengan. Kejadiannya di antara Sumedang dengan Kadipaten. Aku tau bahwa yang bersalah adalah sopir bis yang kutumpangi, karena dalam tikungan ke kiri terlalu banyak tekornya, terlalu ke kanan. Sehingga truk yang datang dari arah berlawanan tak bisa menghindar lagi, karena di sebelah kiri truk itu curam sekali tanahnya. Lalu truk itu menghantam badan bis sebelah kanan. Untungnya nasibku baik. Aku duduk di belakang sopir, sehingga tidak mengalami cedera. Tapi beberapa deret kursi di bagian tengah dan belakang, banyak yang meninggal.

 

Aku bergegas turun dengan sulit. Dan sesampainya di bahu jalan, kulihat pemandangan menyeramkan. Para korban yang berlumuran darah dikeluarkan dari bis. Pecahan kaca berserakan di sana-sini.

 

Aku cuma bengong dengan batin yang belum lepas dari perasaan kaget dan ngeri. Namun ada rasa bersyukur juga karena aku ditakdirkan selamat, tak mengalami luka sedikit pun.

 

Namun dalam suasana musibah mengerikan itu, mata lelakiku masih sempat melihat seorang cewek 20 tahunan yang tampak ketakutan menyaksikan akibat dari tabrakan itu, meski dia sendiri termasuk yang selamat seperti aku. Manis sekali cewek bercelana jeans dan berkaus biru tua itu.

 

Rasanya aku punya jalan untuk mendekatinya. “Mau ke mana Dik?” tanyaku.

 

“Mau ke Tegal. Mas mau ke mana?” sahutnya sambil balik bertanya.

 

“Ke Semarang,” sahutku, “Ya sudah kita pake bis lain saja, ngecer aja. Dari sini ke Cirebon dulu, dari Cirebon lanjutkan ke Tegal. Kalau langsung ke Tegal mungkin rada sulit. Aku juga mau ngecer, biar cepet sampainya di Semarang.”

 

“Terus ongkos yang sudah dibayar di Bandung tadi dikembaliin gak?” dia masih tampak kebingungan. Mungkin duitnya pas-pasan, sehingga tampak mengharapkan uang tiket dikembalikan. Tapi melihat keadaan busnya juga sudah ringsek begitu, sementara polisi belum datang juga, rasanya tipis harapan duitnya cerpat-cepat dikembalikan. Kalaupun dikembalikan, tentu ada proses dulu.

 

“Sudahlah jangan mengharapkan pengembalian uang tiket. Biar aku yang bayar tiketnya sampai Tegal nanti,” kataku berlagak jadi dewa penolong. Kebetulan saat itu duitku emang cukup banyak.

 

Cewek itu menatapku. O, manisnya cewek berperawakan tinggi langsing itu. Lalu terdengar suaranya, “Jadi ngerepotin Mas dong….”

 

“Gak lah..masa segitu aja ngerepotin. Tuh ada bis jurusan Cirebon. Yok kita pakai bis itu aja. Mendingan ngecer, biar lebih cepat sampainya di Tegal. Jadi dari Cirebon nanti disambung dengan bus Cirebon-Tegal.”

 

Cewek itu mengangguk, lalu bergegas mengambil tasnya yang diletakkan di bahu jalan.

 

Itulah awal perkenalanku dengan Nuryati, demikian nama cewek itu. Banyak yang kami obrolkan di dalam bis yang sedang menuju Cirebon. Dari Cirebon kami lanjutkan ke Tegal dengan bis lain.

 

Di dalam bis itu aku mengetahuinya, bahwa dia baru saja selesai menamatkan program D3 di salah satu universitas di kotanya. Dia ke Bandung untuk mempelajari sikon kota itu, memungkinkan atau tidaknya bekerja di Bandung.

 

 

Setelah pulang ke Bandung, aneh…bayang-bayang wajah Nuryati sering menggoda terawanganku. Apakah aku jatuh cinta lagi? Hahaha…aku harus menepiskan hal itu jauh-jauh, karena aku sudah punya istri dan anak-anak.

 

Tapi gerak-geriknya memang masih jelas di pelupuk terawanganku. Ketika kuantarkan sampai rumahnya di Tegal, berkali-kali ia mengucapkan kalimat yang sama, “Mas baik sekali.”

 

Bahkan kedua orang tuanya tampak kaget setelah kuceritakan musibah yang terjadi di Jabar itu. Lalu mereka sangat berterimakasih padaku.

 

Waktu aku mau melanjutkan perjalanan ke Semarang, Nuryati mau mengantarkanku ke terminal. Tapi kularang, “Gak usah Nur. Nanti malah saling antar, gak ada ujungnya. Istirahatlah di rumah. Sambil bersyukur karena kita selamat dari musibah itu.”

 

Saat itu Nur memegang pergelangan tanganku sambil mengucapkan terimakasih untuk kesekian kalinya, dan: “Kapan kita ketemu lagi Mas? Pulang dari Semarang mampir dulu ya.”

 

Tapi pulang dari Semarang aku tak bisa mampir dulu, karena saat itu aku masih trauma dengan musibah di antara Sumedang dan Kadipaten itu. Aku pulang pakai kereta api ke Jakarta, karena masih takut naik bis. Dari Jakarta ke Bandung pun pakai kereta api lagi. Saat itu belum ada kereta api yang langsung dari Semarang ke Bandung.

 

Begitulah…hari demi hari berlalu tanpa ada kejadian penting. Sampai pada suatu hari kuterima surat dari Nuryati yang dialamatkan ke basecampku, yakni rumah Edo sebelum banyak kisah dengan sahabatku itu. Memang aku merahasiakan alamat rumahku dan nomor handphoneku (karena kulihat dia tak punya handphone, jadi percuma ngasih nomor hp juga). Nomor telepon rumah pun kurahasiakan.Jadi komunikasi hanya lewat surat.

 

Dan dua-tiga bulan kemudian Edo memberikan sepucuk surat padaku, “Ada surat buat Boss nih,” katanya.

 

Ternyata surat dari Nuryati. Isi surat dari Nur itu berbunyi,

 

 

Mas Yadi yang baik,

 

Setibanya surat ini di tangan Mas Yadi, aku mendoakan dari jauh, semoga Mas Yadi sehat walafiat tak kurang suatu apa pun. Demikian juga dengan aku, pada saat menulis surat ini ada di dalam lindungan Allah, sehat walafiat.

 

Sebenarnya sejak Mas Yadi berangkat ke Semarang, aku ingat terus pada Mas dan segala kebaikan Mas yang tak bisa aku balas. Aku pikir Mas mau datang lagi sepulangnya dari Semarang. Tapi aku tunggu-tunggu tak kunjung datang. Karena itu aku memberanikan diri menulis surat ini.

 

Ohya Mas, sebenarnya aku ingin sekali bekerja di Bandung. Bagaimana ya caranya? Bisakah Mas Yadi membantu agar cita-cita aku bisa terwujud?

 

Kalau aku bekerja di Bandung kan bisa sering ketemuan dengan Mas Yadi yang baik hati.

 

 

 

Banyak lagi yang ditulis di suratnya itu, yang pada intinya dia sudah ingin meninggalkan kampung halamannya, ingin mengadu nasib di Bandung.

 

Lama aku memikirkan isi surat itu. Aku memang banyak koneksi, rasanya tak sulitmencarikan lapangan kerja untuk cewek itu. Tapi ada perasaan lain di hatiku, karena aku baru saja mendapat fee yang jumlahnya cukup banyak, dari bisnisku sebagai arranger dalam penjualan kabel tembaga bekas sebuah perusahaan telepon seluler. Dan aku belum melaporkan hal itu kepada istriku. Bahkan mungkin aku takkan melaporkannya, karena tiba-tiba saja muncul rencana baru di benakku.

 

Dan kubalas surat itu dengan kalimat yang pada intinya agar dia secepatnya saja datang ke Bandung, nanti segala sesuatunya dirundingkan di Bandung.

 

Yang jelas, aku ingin menolong cewek itu. Tapi terus terang, ada pamrih di balik niat baik itu.

 

Beberapa hari kemudian kuterima surat bahwa pada tanggal sekian Nur akan berangkat ke Bandung. “Kalau bisa jemput aku di terminal ya Mas. Aku kan belum hapal jalan di Bandung. Katanya jam delapan pagi juga busnya tiba di terminal Cicaheum”, demikian antara lain isi surat itu.

 

 

Di hari yang sudah dijanjikan, sebelum jam 8 pagi aku sudah nongkrong di terminal Cicaheum. Sampai jam 08.15 busnya belum datang juga. Tapi aku tidak terlalu gelisah, karena kalau bus antar propinsi, terlambat lebih dari sejam juga sering terjadi.

 

Dan memang cukup lama aku menunggu. Hampir jam 10.00 bus itu baru tiba (nama perusahaan busnya sudah dicantumkan dalam surat Nur).

 

Cepat aku bangkit dari bangku tunggu. Memperhatikan orang demi orang yang turun dari bus itu. Dan tampaklah seorang cewek manis berkulit kuning langsat turun dari bus. Itu Nuryati !

 

Gila…kelihatannya makin cantik saja tu cewek di mataku.Nur pernah menerangkan bahwa ia bukan asli Jawa. Ayahnya memang orang Jawa, tapi ibunya dari Manado. Makanya kulit Nur putih bersih begitu, mungkin karena menurun dari ibunya.

 

Lalu tampak tatapan dan senyum hangatnya ditujukan padaku. Dan aku merasa harus memeluknya…mencium pipinya….meski dia bukan apa-apaku.

 

Ternyata Nur tidak meronta. Malah tersenyum dan bertanya, “Sudah lama menunggu Mas?”

 

“Sebelum jam delapan aku sudah di sini,” sahutku.

 

“Duh…kasihan…lama banget nunggunya ya? Soalnya bus itu tadi mogok di Cirebon. Dibetulin dulu, lama banget.”

 

“Gak apa-apa. Lagian kalau hari Minggu gini kan gak ada kegiatan. Ngomong-ngomong mau tidur di mana?”

 

“Aku nggak punya saudara di Bandung, Mas. Ada juga teman…tapi gimana ya? Bagusnya di mana?”

 

“Dulu waktu ke Bandung tidur di mana?”

 

“Ya di rumah teman itu. Tapi dia juga cuma kost….jadi kurang enak juga nginep di rumah dia Mas.”

 

“Kalau gitu di hotel aja ya.”

 

Nuryati menatapku, seperti ada yang dipikirkannya. Mungkin masalah biaya sewa kamar hotel. Maka cepat kusambung kata-kataku, “Biar aku yang bayar hotelnya, tenang aja.”

 

“Jadi ngerepotin lagi Mas…” katanya sambil tersenyum manis.

 

 

Tak sampai sejam kemudian, aku dan Nur sudah berada di dalam kamar sebuah hotel sederhana, bukan hotel berbintang tapi cukup bersih dan suasananya sangat tenang.

 

“Berani tidur sendirian di sini?” tanyaku sambil duduk di salah satu kursi rotan yang ada di dalam kamar itu.

 

“Takut juga sih….” sahutnya dengan nada ragu.

 

Pikiranku mulai digerayangi bayangan yang bukan-bukan. “Mau ditemenin?” tanyaku sambil memperhatikan sikapnya dengan cermat.

 

“Nanti istri Mas marah dong,” katanya. Aku memang sudah terus terang bahwa aku sudah beristri dan beranak seorang.

 

“Mmm…bisa cari akal lah….pokoknya soal istri sih tanggung jawab aku. Selama Nur di sini, biar aku temenin. Mau dua tiga bulan juga aku temenin terus.”

 

“Tapi aku gak mau kalau Mas bertengkar sama istri Mas nanti gara-gara aku.”

 

Aku tercenung sesaat. Berpikir, menebak-nebak tentang sosok cewek bernama Nuryati itu. Apakah dia masih perawan atau tidak? Kalau masih perawan, kenapa dia tidak memperlihatkan rasa takut di dalam kamar tertutup bersama seorang lelaki? Kalau tidak perawan lagi….lain soalnya.

 

Akhirnya kupegang bahu Nur sambil berkata, “Aku mau cari alasan. Sekarang aku mau pulang dulu. Nur istirahat aja dulu ya. Tenang deh. Pasti ada jalan agar aku bisa bersama Nur.”

 

Nuryati mengangguk dengan senyum. Aku memberanikan diri memeluknya sambil berkata perlahan, “Boleh cium bibir Nur?”

 

Sebagai jawabannya, Nuryati malah mendekatkan bibirnya ke bibirku. Dan, ah, apa yang sedang terjadi ini? Rasanya indah sekali waktu bibirku bertemu dengan bibirnya. Sehingga aku jadi lupa semuanya. lupa bahwa aku sudah berkeluarga. Begitu lama kulumat bibir cewek itu. Lalu kataku, “Wah, jangan-jangan aku sudah jatuh hati sama Nur….perasaan aku jadi beda sekali, Nur…”

 

Tiba-tiba Nur memelukku, erat sekali. Dan kudengar suaranya bergetar, “Mas baru merasakan sekarang ya? Aku sudah merasakannya sejak bersama dalam bus setelah musibah itu, Mas…”

 

“Masa ?” aku terpana dan jadi merasa berat meninggalkannya.

 

“Kalau masih ada suratnya, Mas baca lagi deh isi surat pertamaku. Kan aku bilang ingat terus sama Mas….perempuan kan gak bisa bicara terlalu blak-blakan Mas. Tapi kalau Mas menafsirkan surat itu secara luas, pasti Mas bisa menilai keadaan hati aku saat itu.”

 

Aku mengangguk-angguk perlahan. Dan merebahkan diri di atas tempat tidur. Dalam beberapa hal Nur itu punya kemiripan dengan istriku. Dari bentuk wajah, kemulusan kulitnya juga yang putih cemerlang, bahkan mata dan bibirnya mirip-mirip istriku. Bedanya Nur itu jauh lebih muda.

 

“Mas…aku mau mandi dulu ya,” kata Nuryati, “Rasanya badan aku kotor sekali bekas perjalanan jauh begitu.”

 

“Iya, mandilah dulu, sayang…” kataku (untuk pertama kalinya kulantunkan kata “sayang” padanya).

 

“Mas….” tiba-tiba Nuryati memegang tanganku, “Aku bahagia sekali saat ini Mas.”

 

“Sama…” jawabku seadanya.

 

“Katanya Mas mau pulang dulu. Silakan aja kalau mau pulang dulu Mas. Asal jangan terlalu lama ninggalin aku di sini.”

 

“Nggak ah. Hatiku jadi berat meninggalkan Nur…biar nanti sore juga gak apa-apa pulangnya, lalu balik lagi ke sini sambil bawa pakaian.”

 

“Mending pulang dulu gih, aku pengen tidur dulu. Tadi di jalan aku gak bisa tidur sekejap pun. Takut kejadian tabrakan seperti dulu lagi.”

 

“Baiklah…kalau gitu aku pulang dulu ya. Nanti menjelang malam ke sini lagi,” kataku akhirnya, disusul dengan kecup mesra di pipi Nur yang hangat, “Nanti kalau mau makan minta aja sama pelayan ya. Aku sudah simpan deposit di

 

Kemudian kutinggalkan hotel itu. Di jalan pulang ke rumah, kuputar otak mencari alasan kepada istriku. Tapi untuk membohongi istriklu rasanya tak sulit. Kukatakan saja padanya bahwa aku mau meeting di Jakarta dan akan menginap di sana.

 

Dan seperti biasa, istriku tidak banyak bertanya, cuma berpesan agar baik-baik selama berada di Jakarta.Kemudian kusuruh dia mengemasi pakaianku ke dalam tas besarku.

 

“Hati-hati ya Bang,” kata istriku setelah kucium kening dan kedua pipinya.

 

“Hmh,” aku mengangguk disusul dengan kecupan di bibirnya.

 

 

Sebelum menuju hotel, aku arahkan dulu mobilku ke toko obat langgananku. Kubeli lotion pelicin dan pil anti hamil. Jelas sudah tujuanku. Bahwa lotion itu disiapkan untuk melicinkan jalan tongkat kejantananku (seandainya Nur benar-benar masih perawan). Dan pil hamil itu, supaya Nur jangan hamil dulu sebelum aku benar-benar siap menyimpannya di tempat yang aman.

 

 

Ketika tiba di kamar hotel, kulihat Nur mengenakan daster batik dan tampak ceria menyambut kedatanganku, “Kirain Mas gak balik lagi….” katanya sambil memeluk pinggangku.

 

“Ngaco,” kugigit daun telinganya dengan lembut, “mana mungkin aku tega meninggalkanmu sendiri di sini. Sudah makan?”

 

“Sudah, baru saja selesai makan tuh piringnya juga masih ada,” Nur melepaskan pelukannya dan menunjuk ke piring bekas makannya yang masih terletak di meja kecil.

 

Aku duduk di kursi rotan, lalu menepuk pahaku sambil berkata, “Sini duduk di pangkuanku sayang.”

 

Nur mengerling manja, lalu duduk di atas pahaku. Hawa hangat tersiar dari tubuhnya yang terasa padat.

 

“Nanti malam kita tidur bareng ya,” kataku sambil memeluk pinggangnya erat-erat.

 

“Iya,” Nur mengangguk.

 

“Sayang…aku mau nanya…tapi jangan marah ya.”

 

“Iya, mau nanya apa?”

 

Aku terdiam sesaat. Lalu tanyaku perlahan, “Kamu masih virgin gak?”

 

“Masih virgin Mas. Yang namanya ciuman aja baru dengan Mas sekarang. Dulu ada yang pernah nyuri-nyuri cium pipi aja kukejar dan kupukuli dengan buku.”

 

“Lantas kok berani bersamaku di kamar tertutup begini? Bagaimana kalau nanti terjadi hal yang di luar batas?”

 

“Karena aku yakin Mas orang baik. Kalaupun terjadi sesuatu, masa sih Mas tega membuangku?”

 

“Jadi…kamu benar-benar masih perawan?” tanyaku, sebenarnya dengan perasaan kurang enak karena menanyakan hal itu lagi. Tapi aku takut terjadi peristiwa seperti yang dialami oleh temanku, dapat cewek yang sangat jinak dan terang-terangan ngajak ML, tak tahunya perut cewek itu sudah hamil sebulan. Karena itu aku merasa harus berhati-hati dengan cewek yang tak tahu asal usulnya.

 

“Ludahi aja mukaku kalau ternyata aku gak perawan lagi.”

 

“Nanti malam kita buktikan ya,” kataku dengan tangan mulai merayapi lutut dan pahanya yang terasa hangat.

 

“Silakan aja asal Mas mau bertanggungjawab.”

 

“Bener nih?” aku jadi semakin berani. Tanganku sudah tiba di pangkal pahanya. Lalu kuselinapkan ke balik celana dalamnya. Wow, aku mulai menyentuh rambut tipis di daerah kemaluannya yang masih tertutup celana dalam. Terasa hangat sekali.

 

Aku sendiri heran, kenapa aku ketiban rejeki nomplok hari ini. Ketemuan lagi setelah bersama di dalam bus dari Sumedang ke Tegal itu, langsung bisa melangkah sejauh ini.

 

Ketika tanganku mulai menyentuh kelentitnya, Nur memeluk leherku seperti orang yang takut jatuh dari ketinggian. Dari sentuhan sepintas ini saja aku sudah mulai percaya bahwa dia masih perawan. Kemaluannya masih terasa kencang di sana sini. Tapi untuk membuktikannya secara akurat tentu saja harus dilihat dulu nanti. Mengenai hal ini aku sudah punya pengalaman. Bahkan foto-foto vagina yang masih virgin pun aku punya.

 

“Kayaknya sekarang juga aku mau membuktikan virginitasmu sayang..” bisikku di telinga cewek yang tampak sudah pasrah itu.

 

“Tapi Mas Yadi jangan buang aku nanti ya…” sahutnya dengan nada menghiba dan pasrah.

 

“Siapa yang mau membuang cewek secantik kamu?” kataku disusul dengan gelutan bibir dan lidahku di lehernya.

 

Ketika tanganku menyelinap ke balik daster batiknya, kutemukan sepasang bukit kembar yang masih sangat padat dan hangat. Dan aku baru menyadarinya bahwa saat itu ia tak mengenakan beha di balik dasternya. Terus terang, kalau aku membandingkan dengan payudara istriku yang sudah menyusui seorang anak, jauh berbeda. Payudara Nuryati ini kencang sekali dan ukurannya pun sedang, mungkin behanya berukuran 34.

 

“Oh, Mas…kok remasan Mas enak sekali sih Mas….” bisik Nuryati yang tampak menikmati remasanku, karena dibarengi dengan elusan-elusan lembut di puting payudaranya.

 

“Buka aja dasternya ya…biar bisa ngemut payudaramu…” bisikku.

 

“Terserah Mas…mau diapain juga silakan…asal Mas jangan buang aku nanti.”

 

“Sttt…jangan bilang buang-buang mulu. Ntar ditulisin setan lho. Mending berdoa, agar aku bisa menempatkanmu di posisi yang pas nanti,” kataku ketika Nur sedang menanggalkan dasternya, sehingga tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuh mulusnya.

 

Dalam keadaan cuma bercelana dalam begitu, Nur memelukku dan berkata, “Iya Mas…maafin aku ya…aku suka ngomong tanpa dipikir dulu.”

 

Sebagai jawaban, bibir tipis yang tampak lucu itu kukecup dengan mesra. Lalu kuangkat tubuh yang nyaris telanjang itu ke atas tempat tidur. Kurebahkan dengan hati-hati di atas kasur bertilam seprai putih bersih itu. Dan kulucuti pakaianku sehelai demi sehelai, sehingga tinggal celana dalam saja yang masih melekat di tubuhku.

 

Lotion dan obat anti hamil yang kubeli dari toko obat tadi kuletakkan di atas atas meja kecil yang bersatu dengan tempat tidur.

 

Lalu…aku mulai beraksi, merayap ke atas perut Nur yang terasa hangat…lalu menciumi bibirnya yang tipis merekah indah itu…sementara tanganku merayap ke payudaranya yang masih sangat kencang itu. Bukan main, segalanya serba mulus dan kencang. Sementara tubuhnya pun begitu mulusnya, tiada noda setitik pun. Lalu..cewek secantik dan semulus ini sekarang memasrahkan semuanya padaku? Apakah aku tidak bermimpi?

 

Namun kenyataannya memang begitu. Bahwa aku sering mendapatkan sesuatu yang jauh melebihi kapasitasku. Tapi mungkin orang lain memandang semuanya itu berbeda dengan kacamata pribadiku.

 

Yang jelas, kini mulutku mulai menjilati pentil payudara Nur, sehingga gadis itu tampak terpejam-pejam. Lalu kuturunkan mulutku ke pusar perutnya, sambil menurunkan celana dalam Nur perlahan-lahan…makin lama makin turun…dan akhirnya terbukalah sebentuk kemaluan yang begitu indahnya, yang hanya dihiasi rambut tipis sekali, sedikit pun tak mengganggu pandangan untuk menatap bentuk kemaluannya yang sebenarnya.

 

Setelah melepaskan celana dalam Nur dari kakinya, tanpa ragu lagi aku mulai mengangakan mulut vaginanya. Mengamatinya sesaat.

 

Benar ! Ia masih perawan !

 

Dan sebagai rasa kagumku pada keperawanan Nur yang masih utuh itu, mulutku langsung menyergap bagian yang merangsang di tubuhnya itu. Aku mulai menjilatgi kemaluan Nur, mulai dari labia mayora, labia minora dan juga clitorisnya (sebagai bagian yang terpeka di kemaluan wanita).

 

Nur pun mulai mendesah, dengan kaki mengejang-ngejang. Terlebih setelah aku mulai memfokuskan jilatan dan isapanku pada kelentitnya.

 

“Maaas…duuuuh…kok rasanya…seperti melayang-layang gini ya? Mas…duuuuh enak banget Mas….” cetus Nur sambil membelai-belai rambutku yang berada di bawah perutnya.

 

Pada waktu menjilati kemaluan Nur itu sengaja kukeluarkan air liurku sebanyak mungkin, dengan maksud agar lubang kemaluannya yang masih virgin itu agak mudah diterobos oleh batang kemaluanku yang ukurannya di atas rata-rata ini. Bahkan ketika berniat mau mulai penetrasi, kukeluarkan isi botol lotion pelicin itu ke mulut vagina Nur, agak banyak.

 

“Buat apa itu Mas?” tanya Nur ketika menyadari tanganku sedang membantu agar lotion itu masuk ke lubang kemaluannya.

 

Kujawab sambil menanggalkan celana dalamku, sehingga batang kemaluanku yang sudah ngaceng berat ini tampak di mata Nur, “Untuk mempermudah masuknya penisku ke dalam vaginamu.”

 

Nur cuma terpana, menatap ke arah batang kemaluanku yang sedang kupegang ini. Lalu kutempelkan moncong penisku di mulut kemaluan Nur yang sudah basah kuyup oleh air liur dan lotion itu. Dan mulai kudorong kuat-kuat. Langsung berhasil menyelusup ke dalam liang kemaluan Nur, meski belum setengahnya.

 

Pada saat itulah aku menjatuhkan dadaku ke atas dada Nur. Sambil memeluk leher Nur, aku pun mulai mengayun batang kemaluanku dengan gerakan pendek, karena baru masuk sedikit. Lalu sambil mengayun penis ini, makin lama aku makin memperkuat dorongannya pada waktu sedang bergerak maju.

 

Meski sudah dibantu dengan lotion dan air liurku, tetap saja liang kemaluan Nur ini terasa sempit sekali. Tapi aku sudah berhasil menerobos keperawanannya tanpa kesulitan yang berarti. Padahal lelaki awam tidak semudah ini menembuskan penisnya ke dalam memek perawan.

 

“Sakit gak?” tanyaku tanpa menghentikan ayunan penisku meski dengan gerakan perlahan dulu.

 

“Tadi agak sakit…tapi sekarang gak Mas….” sahut Nur sambil menatapku dengan sorot kepasrahan seorang gadis yang sedang diambil kegadisannya.

 

“Kamu benar-benar masih perawan, sayang,” kataku, Nah…sekarang aku akan benar-bnenar menyetubuhiku ya.”

 

“Iiii..iya Mas…”

 

Maka berlangsunglah petualangan baruku. Bahwa batang kemaluanku mulai bergerak m,aju-mundur dengan gerakan yang makin lama makin mantap. Sementara desahan-desahan Nur mulai terdengar. Namun sering kusumpal dengan lumatanku di bibirnya. Sementara aku pun tak mau banyak variasi dulu. Hanya memeluk lehernya sambil terus-terusan menciuminya.

Aku masih ingat benar. setelah ejakulasi di dalam liang kemaluan Nur yang masih sangat sempit itu, perlahan-lahan batang kemaluanku melemah. Kemudian kucabut sampai terlepas dari lubang kemaluan Nur. Dan kulihat ada genangan kecil…genangan darah di kain seprai yang putih itu. Darah perawan Nuryati yang mirip istriku (bahkan harus kuakui, Nur sedikit lebih cantik daripada istriku).

 

Nur pun bangkit. Duduk di atas tempat tidur sambil memperhatikan darah perawannya yang menjadi genangan kecil di kain seprai.

 

“Kamu benar-benar perawan, sayang,” kataku sambil membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang.

 

“Dan aku benar-benar sudah menjadi milik Mas sekarang,” sahutnya sambil merebahkan kepalanya di atas pahaku.

 

Aku teringat bahwa tadi aku memuntahkan spermaku di dalam lubang kemaluan Nur. Maka cepat kuambil pil anti hamil itu berikut air minum yang sudah tersedia di gelas.

 

“Nih…minum ini dulu, sayang. Sebutir aja,” kataku sambil memberikan pil dan air minum itu kepadanya.

 

“Untuk apa ini Mas?” Nur tampak ragu menerimanya.

 

“Supaya jangan hamil dulu,” kataku.

 

“Ah…biarin aja hamil…tapi minimal kita harus nikah siri dulu,Mas.”

 

“Jangan hamil dulu, sayang,” kataku, ” Nanti kalau aku sudah menempatkanmu di tempat yang benar-benar aman, barulah kamu boleh hamil.”

 

“Jadi kaplet ini harus diminum?”

 

“Iya. Selama belum siap hamil, minumlah secara teratur, satu kaplet aja sehari. Nanti kalau sudah benar-benar siap, kamu boleh hamil…punya anak sepuluh juga aku siap.”

 

“Aaah…jangan banyak-banyak gitu Mas. Satu aja dulu. Kan dari istri Mas juga baru satu kan?”

 

“Iya,” aku mengangguk dan tersenyum waktu melihat Nur mengikuti saranku, diminumnya pil anti hamil itu. Lalu diletakkannya gelas itu di tempatnya semula.

 

“Besok akan kubawa ke satu tempat, agak di luar kota,” lanjutku, ” Ada ruko yang akan dikontrakkan di situ. Kalau kamu setuju, buka toko aja di situ. Gak usah cari kerja segala.”

 

“Iya Mas,” Nur mengangguk, “aku sih terserah Mas aja. Karena aku yakin Mas tau jalan terbaik buatku di kota ini.”

“Hey ! Kok ngelamun?” tepukan Mbak Lies membuat terawanganku buyar seketika, “Ngelamunin siapa?”

 

“Ah, gak ngelamun siapa-siapa. Cuma mikirin perusahaan di Kalsel itu aja, Mbak,” sahutku berdusta. Padahal tadi aku sedang memikirkan masalah Nuryati, yang sudah lama sekali tidak kutengok. Terakhir aku menengok Nuryati pada waktu belum semapan sekarang. Biarlah nanti kalau sudah di kotaku lagi, akan kutengok Nur…tambatan hatiku, yang senantiasa membuat kasih-sayangku tergugah itu.

 

Hari sudah malam ketika aku dan Mbak Lies kembali ke kamar hotel. Tadi di resto hotel kudengar Mbak Lies menelepon sopirnya, minta agar dijemput ke Jakarta lusa. Berarti besok kami masih berada di hotel ini.

 

Tapi ingatanku pada Nuryati, membuatku jadi bergairah. Dan aku punya Mbak Lies, yang kuyakini bisa meredakan gejolak birahi ini.

 

Ketika Mbak Lies kuterkam, kudengar protesnya, “Ya ampuuuun…kemaren sudah empat kali…belum kenyang juga?”

 

“Belum sayang…dirimu senantiasa membangkitkan birahiku begini hebatnya…” kataku sambil melucuti pakaian Mbak Lies sehelai demi sehelai, sampai akhirnya telanjang bulat…telanjang yang sempurna di mataku.

 

Mbak Lies menatapku, tetap dengan senyum manisnya. Dan ia tidak complain sedikit pun ketika aku merenggangkan sepasang pahanya, lalu menjilati kemaluannya seganas mungkin. Bahkan tak lama kemudian kurasakan rambutku dielusnya dengan lembut. Sementara sepasang kakinya mulai terkejang-kejang, diiringi sengal-sengal nafasnya yang semakin merangsangku.

 

Dan setelah veggynya terasa basah, tanpa basa-basi lagi kubenamkan batang kemaluanku ke dalamnya…blesssssss…..

 

Mbak Lies ternganga dan memelukku samil menciumi bibirku.

 

Tapi tahukah dia bahwa pikiranku melayang-layang terus ke arah Nuryati yang sudah lebih dari setahun tak kutengok sama sekali?

 

 

Pada waktu taksi berhenti di depan ruko itu, kulihat Nur sedang berdiri di belakang etalase tokonya. Dan ia kaget setelah melihatku turun dari taksi.

 

“Mas Yadi !” serunya sambil menghampiriku, “Lama banget Mas gak datang. Sehat-sehat aja kan?”

 

“Sehat,” kataku sambil mencium kedua pipinya, “Mana Yona?”

 

“Lagi bobo,” sahut Nur sambil meraih pergelangan tanganku dan mengajak naik ke lantai dua. Ke dalam kamarnya. Ke dekat tempat tidur di mana seorang anak dua tahunan sedang tidur nyenyak.

 

Itu adalah anakku, yang sudah kuberi nama Yona. Anak dari nikah siriku dengan Nuryati.

 

Rasa haru menyelinap ke dalam kalbuku. Betapa tidak. Nuryati dan anakku seolah sudah kulupakan, sehingga lebih dari setahun aku tidak menjenguknya.

 

Kuelus dahi dan rambut Yona yang sedang tidur nyenyak, lalu kucium pipinya dengan penuh perasaan sayang. Namun ciumanku membuat Yona terbangun. Cepat Nur naik ke atas tempat tidur, “Yona sayang…lihat tuh, Ayah datang. Ayo salim sama Ayah…”

 

Yona memandangku, seperti bingung. Pasti sudah lupa, karena terakhir aku datang ke ruko ini pada waktu ia baru berumur delapan bulan.

 

Tapi meski masih canggung, Yona menurut saja waktu kupeluk dan kupangku. Lalu kubawa ke bawah.

 

Pada waktu menuruni tangga ke arah ruko itu, baru aku sadar bahwa ruko ini tidak ideal untuk anak dua tahunan seperti Yona. Malah berbahaya, kalau dia bangun tidur, lalu turun sendiri, bisa terjatuh di tangga. Aku tak boleh membiarkan hal itu. Karena Yona itu darah dagingku sendiri.

 

Seorang wanita muda, yang kutaksir usianya beberapa tahun lebih tua dari Nur, datang menjabat tanganku sambil berkata, “Ini Dek Yadi?”

 

“I…iya…” aku bingung karena ia memanggilku Dek.

 

“Mas,” kata Nur, “Ini kakakku, Mbak Tina. Sudah hampir setahun Mbak Tina nemenin aku di sini.”

 

“Ohya? Syukurlah…kalau gitu Nur gak kesepian,” kataku sambil duduk di sofa, di belakang etalage, dengan tetap memangku Yona.

 

“Mmm…sekarang dandan dulu, Nur. Aku mau mengajakmu untuk sesuatu yang sangat penting.”

 

“Iya Mas. Yona bawa jangan?”

 

“Bawa aja, biar bisa sekalian beliin baju buat dia.”

 

Masih seperti dulu, Nuryati tak pernah lama-lama berdandan. Hanya belasan menit kemudian ia sudah muncul lagi, dengan Yona di pangkuannya. Ah, apakah aku ini tolol atau memang pelupa? Kenapa wanita muda secantik Nuryati selama ini seolah kulupakan? Kenapa pula anakku yang begitu cantik dan lucunya seolah kusia-siakan?

 

Tanpa Nuryati sadari, diam-diam mataku berlinang-linang. Aku merasa bersalah. Sangat bersalah, karena lebih dari setahun kubiarkan Nuryati begitu saja.

 

Dan di dalam hatiku timbul tekad. Semuanya itu harus kuperbaiki. Wajib kuperbaiki !

 

Pada waktu menuju taksi yang masih menunggu di depan, Nuryati bertanya, “Kenapa pakai taksi Mas? Mobil Mas ke mana?”

 

“Ada, di rumah,” sahutku, “Kan aku baru pulang dari Kalimantan, langsung ke sini. Nginjek rumah pun belum.”

 

Sopir taksi membukakan pintu belakang mobilnya. Lalu menutupkannya kembali setelah aku dan Nur dan Yona sudah berada di dalamnya. Kusebutkan tujuanku kepada sopir taksi, yang langsung dijawab dengan anggukan, “Baik Boss.”

 

“Sini duduknya sama ayah,” kataku kepada Yona yang tampak lucu banget siang itu.

 

Yona menurut saja. Duduk di pangkuanku sambil kupeluk dan berkali-kali kuciumi.

 

“Maafkan ayah, ya sayang. Ayah sibuk banget, sampai lupa keluarga sendiri,” kataku kepada Yona, yang sebenarnya kutujukan kepada Nur.

 

Tapi tentu saja Yona tidak menjawabnya, karena belum fasih berbicara.

 

“Nanti kita beli baju dan mainan yang banyak ya,” kataku lagi kepada Yona, “Biar Yona bisa asyik maen di rumah.”

 

 

Setengah jam kemudian kami tiba di depan sebuah rumah kosong. Rumah yang akan kuberikan kepada Nuryati, sebagai tanda cintaku padanya dan tanda sayangku kepada Yona.

 

Kuambil kunci rumah itu di lubang ventilasi sebelah samping kanan. Lalu kubuka pintunya.

 

Waktu kubeli, rumah itu cuma sebuah rumah tua. Tapi aku tertarik karena letaknya cukup strategis. Ke pasar dekat, ke mall pun dekat. Dan setelah kubangun ulang, rumah itu jadi lumayan megah. Kamarnya ada tiga di lantai bawah dan dua di lantai atas. Bentuknya yang minimalis, sudah sangat berbeda dengan asalnya.

 

Di dalam rumah itu belum ada perabotan apa-apa. Karena pembangunannya juga baru selesai sebulan yang lalu. Lagipula tadinya aku berniat menjual rumah itu, dalam rangka mencari untung di bidang properti. Tapi setelah melihat Nur dan Yona niatku langsung berubah.

 

“Bagus gak rumahnya?” tanyaku sambil memeluk pinggang Nur, sementara Yona asyik mengamati ikan-ikan kecil di kolam hias pekarangan belakang.

 

“Bagus banget,” sahut Nur, “Ini rumah siapa, Mas?”

 

“Rumahmu, sayang,” sahutku sambil mencium pipi Nur.

 

“Mas…jangan becanda ah…”

 

“Nggak, aku gak becanda. Aku harus menempatkanmu dan Yona di rumah yang layak. Memang rumah ini merenovasinya juga hampir setahun. Makanya meski gak muncul-muncul, sebenarnya aku sedang menyediakan kejutan untukmu.”

 

“Mas…oooh…” cuma itu yang trerdengar dari mulut Nuryati, sambil memelukku erat-erat.

 

“Perabotannya dalam beberapa hari ini akan kubeli dan kukirim ke sini,” kataku, “kuncinya nanti bawa ya sayang.”

 

“Iya Mas,” sahut Nur dengan mata berlinang-linang, “Mimpi pun gak kalau hari ini Mas memberikan sesuatu yang sangat berharga ini. Terima kasih Mas…terima kasih…”

 

“Rumah ini gak jauh dari kantorku. Jadi nanti sih bakal sering nginep di sini,” kataku ketika Nur sedang meneliti kamar demi kamar dengan sorot kagum dan senang.

 

“Ohya,” kataku lagi, “di sini Yona harus dikasih kamar di bawah. Jangan naik-naik ke atas dulu. Tadi juga di ruko aku kaget sendiri, karena dia tidur sendirian di atas. Kalau bangun langsung turun dan terjatuh gimana?”

 

“Iya Mas. Tapi di ruko juga Yona suka manggil-manggil dulu kalau bangun. Gak berani turun sendiri.”

 

“Kontrak ruko itu berapa bulan lagi? Kalau gak salah kontraknya habis tahun ini kan?”

 

“Tiga bulan lagi Mas. Tapi aku udah nabung terus. Kalau untuk ngontrak tiga tahun lagi sih punya Mas.”

 

“Begini,” kataku, “daripada ngontrak lagi di ruko itu, mending bangun di depan tuh. Tanah halaman depan rumah ini kan lumayan luas. Buat bikin toko aja sih bisa. Jadi duit buat kontrak ruko itu mending dipakai untuk membangun di sini. Biar gak capek bolak-balik ke ruko nanti.”

 

“Iya Mas,” sahut Nur langsung setuju pada saranku.

 

“Kalau dana untuk membangun toko itu kurang, nanti kutambahin.”

 

 

Aku membuktikan janjiku. Beberapa hari kemudian segala perabotan yang dibutuhkan untuk rumah Nur itu mulai kukirimkan sampai selengkap-lengkapnya. Dari pedralatan dapur, kelima kamar tidur, ruang makan, ruang tamu, teras depan, teras belakang semuanya kulengkapi. Tentu bukan barang-barang murahan yang kubelikan itu. Dan Nuryati cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum melihat isi rumah yang sudah lengkap dan mahal-mahal itu.

 

Di halaman depan ada tanah kosong yang tadinya mau kubuat taman. Di tanah kosong itulah akan dibangun toko untuk kegiatan Nur sehari-hari di rumah.

 

Aku jadi teringat rumah lamaku yang sekarang sudah mulai dibongkar itu. Posisinya sangat mirip dengan rumah Nur sekarang. Kalau melihat gambar dari arsiteknya, di samping toko itu ada jalan menuju garasi. Sangat mirip dengan posisi rumah lamaku dulu.

 

Semoga semuanya itu bisa dijadikan penawar kepiluan Nur yang lebih dari setahun tidak kujumpai sama sekali. Minimal aku sudah menyediakan tempat yang layak untuk anakku yang cantik dan lucu itu.

 

Kelihatannya Nuryati sangat bahagia dengan apa yang telah kuhadiahkan padanya itu. Aku pun senang kalau bisa membahagiakan hatinya.

 

Tapi yang namanya godaan, selalu saja hadir dan hadir terus di dalam kehidupanku.

 

Pada suatu hari, ketika aku sedang asyik mengajak Yona bermain di rumah baru itu, Nur menghampiriku dan berkata, “Mas… Mbak Tina mau pulang dulu selama dua atau tiga hari. Mau ngurus surat cerainya di pengadilan agama sana.”

 

“Terus?”

 

“Aku takut dia gak kembali lagi ke sini. Selama ini aku kan sangat mengandalkan dia untuk jagain toko, jagain Yona dan banyak lagi.”

 

“Lalu maumu gimana?”

 

“Maunya sih…ada yang nganterin dan bawa lagi dia ke sini.”

 

“Tar dulu…kalau hari Senin aku bisa nganterin dia. Soalnya aku juga ada urusan di Semarang. Tapi kira-kira lama gak dia di Tegalnya?”

 

“Katanya sih paling lama juga tiga hari.”

 

“Kalau ada sih sekalian bawa pembantu empat atau lima orang aja sih dari sana.”

 

“Wuih…buat apa pembantu banyak-banyak gitu Mas?”

 

“Buat di sini seorang, buat di rumah empat orang. Kan sekarang ngurus makan yang kos-kosan segala. Ada ratusan orang yang kos di tempatku.”

 

“Ogitu. Ya soal pembantu sih gampang, bisa dicariin di sana. Tapi emang Mas mau gitu nganterin dan bawa lagi Mbak Tina ke sini?”

 

“Kalau hari Senin mendatang bisa.”

 

“Sekarang kan hari Rabu. Jadi lima hari lagi, ya Mas?”

 

“Iya.”

 

“Ya udah…nanti kutanyain dulu sama Mbak Tinanya. Dia kan udah di ruko lagi sekarang.”

 

“Telepon aja, biar jelas.”

 

“Iya Mas.”

 

 

Di Senin sore yang sudah dijanjikan, aku sudah nongkrong di rumah Nur. Kepada istriku, aku cuma mengatakan ada urusan bisnis, tanpa menyebut tujuanku ke mana. Dan istriku seperti biasanya, cuma berpesan, “Hati-hati di jalan ya Mas.”

 

Aku mau nyetir sendiri, karena Herman masih kusuruh mengawasi orang-orang yang sedang membongkar rumah lamaku dan rumah Mbak Tiara itu.

 

Sementara itu, kepada Nur aku cuma berpesan, “Kalau perlu toko ditutup aja dulu, sampai Mbak Tina pulang nanti. Yang penting jaga Yona sebaik mungkin.”

 

“Iya Mas,” sahut Nur, “Aku emang pengen istirahat juga, sambil bersih-bersih rumah. Ati-ati di jalan, ya Mas.”

 

Lalu tampak Mbak Tina menjinjing tas pakaiannya ke arah mobilku. Aku cuma melirik sepintas. Tapi, maaak…kenapa setelah berdandan begitu Mbak Tina jadi tampak menarik sekali di mataku?

 

Ingatanku pun melayang ke arah Uni Erna, yang juga pernah membuatku terpesona, lalu berhasil memilikinya, sampai kini. Pada saat-saat tertentu aku suka menyempatkan ke Jakarta dan mengajak Uni ketemuan.

 

Lalu apakah nanti akan terjadi hal yang sama pada kakak Nur itu?

 

Entahlah. Yang jelas, hari sudah mulai gelap ketika aku mulai memacu mobilku di jalan tol menuju Cileunyi. Dan setelah keluar dari pintu tol, aku mulai berbicara serius dengan Mbak Tina.

 

“Kenapa sepertinya penting benar mengurus surat cerai itu, Mbak? Bukankah Mbak sudah dua tahun bercerai dengan suami Mbak?” tanyaku di belakang setirku.

 

“Sampai saat ini aku belum megang surat cerai,” sahut Mbak Tina yang malam itu mengenakan gaun beludru hitam dengan fayet di sekeliling lehernya, “Kalau ada yang ngajak nikah, kan susah jadinya nanti.”

 

“Emang Mbak udah punya calon suami baru?”

 

“Belum sih.”

 

“Wah, berarti aku harus berpacu nih.”

 

“Berpacu gimana?”

 

“Jangan keduluan sama lelaki yang mau nikahin Mbak nanti.”

 

“Iiiih…gitu ya?” cetus Mbak Tina sambil mencubit lengan kiriku.

 

“Kan mumpung Mbak masih janda. Kalau udah nikah, pintunya harus ditutup.”

 

“Emang Dek Yadi seneng gitu sama aku?”

 

“Kalau gak seneng, masa aku mau nyetirin sendiri buat nganter Mbak jauh-jauh ke Jateng segala?”

 

“Hihihi…jadi ada tujuan terselubung nih?”

 

“Mbak keberatan kalau aku punya tujuan ?”

 

“Gak,” Mbak Tina menggeleng, “Aku malah seneng. Berarti masih ada lelaki yang suka padaku. Tapi susahnya…lelaki itu suami adikku sendiri.”

 

“Nur jangan sampai tau dong Mbak.”

 

Mbak Tina terdiam sesaat. Akhirnya ia berkata, “Ya udah…atur-atur aja. Yang penting rapi.”

 

“Hahahaaa…terimakasih Mbak. Nanti di Sumedang kita istirahat dulu ya.”

 

“Terserah Dek Yadi aja.”

 

 

Itulah garis takdirku. Selalu mudah saja untuk mencapai sasaran birahiku.

 

Dan di Sumedang, aku tak mau pilih-pilih, langsung kubelokkan saja mobilku ke hotel yang terlewati di sebrang kanan.

 

“Serius nih?” Mbak Tina menatapku waktu aku sudah mematikan mesin mobilku di tempat parkir hotel itu.

 

“Serius, Mbak. Tunggu sebentar ya, mau cek dulu masih ada kamar gak,” kataku sambil turun dari mobilku dan melangkah ke arah resepsionis.

 

Meskipun memanggil “Dek” padaku, sebenarnya usia Mbak Tina cuma setahun di atas Nur. Berarti tujuh tahun lebih muda dariku. Maka wajar ia agak canggung waktu melangkah masuk ke dalam hotel yang lumayan bagus dan bersih itu.

 

Setelah berada di dalam kamar, barulah kecanggungannya mencair.

 

Dan aku pun makin berani memeluknya. “Begitu melihat Mbak, aku langsung suka. Makanya waktu Nur minta nganterin Mbak, aku langsung mau.”

 

“Jujur, aku juga langsung suka. Makanya aku langsung nyamperin dan ngajak salaman,” sahutnya, “Tapi aku sadar bahwa Dek Yadi suami adikku sendiri….”

 

Kalau dibandingkan dengan Nur, memang Nur sedikit lebih cantik. Payudara Nur juga lebih terawat, sementara payudara Mbak Tina kelihatan sudah pernah menyusui. Tapi secara keseluruhan, Mbak Tina lebih sexy. Terutama bokong Mbak Tina itu lebih indah daripada bokong adiknya. Menurut cerita Nur, Mbak Tina itu sejak umur 15 tahun sudah menikah. Dan umur 16 tahun sudah punya anak. Kini usianya sudah 23 tahun. Berarti anaknya sudah berusia 7 tahun, ditinggalkan bersama orang tua Nur dan Mbak Tina.

 

“Makanya jangan mikirin kawin dulu deh Mbak,” kataku sambil memeluknya sambil sedikit m,eremas bokongnya yang indah itu.

 

“Aku cuma mikirin anakku satu-satunya yang ditinggalkan di Tegal itu, Dek. Dia udah mulai sekolah…”

 

“Iya, aku mengerti. Soal kebutuhan anak, pasti aku bantu nanti secara diam-diam di belakang Nur,” sahutku yang kulanjutkan dengan ciuman hangat di bibirnya yang sensual itu.

 

Dan Batinku bergejolak indah, karena Mbak Tina menyambut ciumanku dengan hangat. Bahkan ia yang duluan melumat bibirku.

 

Diam-diam tanganku memeluk Mbak Tina sambil menarik ritsleting gaun beludru hitamnya yang terletak di punggungnya. Dan ia pasrah saja ketika kupelorotkan gaun itu sampai terjatuh di kakinya.

 

Setelah gaun itu tak melekat lagi di tubuh Mbak Tina, aku terlongong dibuatnya. Menyaksikan indah dan mulusnya tubuh kakak iparku yang tinggal mengenakan celana dalam dan beha saja itu. Terlebih lagi setelah beha itu pun kutanggalkan, membuat gejolak birahiku makin menjadi-jadi.

 

Memang payudaranya yang sedang-sedang saja itu sudah agak turun. Tapi secara keseluruhan, rasanya tubuh Mbak Tina lebih sexy daripada tubuh Nuryati. Sangat menggiurkan.

 

Maka akupun mendorong tubuh sexy itu ke atas tempat tidur. Lau kulepaskan jaket, kemeja kaus dan celana panjangku. Tinggal celana dalam yang masih melekat di tubuhku, sama seperti Mbak Tina yang tinggal bercelana dalam juga.

 

Kuterkam Mbak Tina yang sudah rebah pasrah di atas tempat tidur. Benar-benar dengan sepenuh gairahku.

 

Dan ketika aku mulai menciumi leher jenjangnya, lalu menjilati pentil payudaranya, Mbak Tina menyambutku dengan remasan-remasan di bahuku. Terkadang pun ia memelukku dengan eratnya. Dan manakala mulutku sudah menurun ke arah perutnya, ia cuma menatap plafon kamar hotel. Sambil menjilati pusar perutnya, kedua tanganku mulai menurunkan celana dalamnya. Dan Mbak Tina bahkan membantuku menanggalkan celana dalamnya.

 

O, indah dan menggiurkan sekali kemaluan Mbak Tina yang tampak tercukur sampai plontos dan mengkilap itu. Mengingatkanku pada kemaluan Mbak Lies, yang selalu dicukur licin.

 

Berbeda dengan kemaluan Nur yang rambut halusnya dibiarkan tetap tumbuh, namun permukaan kemaluannya tetap tampak jelas, karena rambutnya tipis sekali.

 

Dengan hasrat birahi yang semakin bergejolak, kuciumi kemaluan tanpa rambut itu. Lalu kujilati sekujur permukaannya, labia mayoranya, labia minoranya dan juga clitorisnya…sehingga Mbak Tina mulai mengejang-ngejang dengan nafas tertahan-tahan.

 

Bahkan ketika aku memusatkan jilatan dan isapanku di kelentitnya, Mbak Tina mulai merengek-rengek perlahan, “Deeeek….aaaa….aaaah…Deeeek….Dek Yadiiii….aaaaah Deeeek….aaa…aku udah lama gak diapa-apain…..ini…ini enak banget Deeeek….aaaaah…udah pake titit aja Deeek…”

 

Menyadari bahwa kemaluan Mbak Tina sudah basah oleh air liur bercampur dengan lendir kewanitaannya, aku pun tak mau berlama-lama lagi disiksa oleh nafsuku sendiri. Kulepaskan celana dalamku dan Mbak Tina memekik tertahan, “Deeeek….oooh…itunya kok panjang gede gitu? Ooooh…pantesan Nur abis-abisan cintanya sama Dek Yadi….!”

 

Aku cuma menjawabnya dengan senyuman, sambil memegang batang kemaluanku yang sudah ngaceng abis ini, meletakkan moncongnya menempel ke mulut kemaluan kakak iparku.

 

Lalu kudesakkan tongkat kelelakianku dengan agak kuat. Sedikit demi sedikit mulai membenam ke dalam lubang kemaluan Mbak Tina.

Ketika aku mulai menggerak-gerakan batang kemaluanku, maju mundur dengan mantapnya dalam jepitan liang kemaluan Mbak Tina, aku mulai bisa menilai bahwa kemaluan Mbak Tina ini luar biasa enaknya. Karena ketika aku sedang mengentotnya, terasa sekali batang kemaluanku berada di dalam jepitan liang kemaluan yang dindingnya bergerinjal-gerinjal….sehingga menimbulkan sensasi lain…sensasi yang membuatku makin bersemangat untuk menggasaknya habis-habisan.

 

Mbak Tina pasti tahu betapa bergairahnya aku pada waktu menyetubuhinya ini. Karena ia mulai menanggapiku dengan goyangan pinggulnya yang aduhai (Nur belum setrampil ini dalam hal goyang pinggul). Namun tiada hentinya ia berceloteh histeris, mungkin karena sedang menikmati enjotan batang kemaluanku. Mungkin juga karena sudah terlalu lama ia tak merasakan bersetubuh. “Deeek…aduh, Dek Yadiii….ini enak banget Deeeek….hajar terus Deeek….aku udah mau lepas neh…duuuh….keenakan ini Deeeek….”

 

Beberapa saat kemudian, Mbak Tina bergetar-getar, lalu mengejang tegang dan memelukku erat-erat….disusul dengan elahan nafas panjangnya, bersamaan dengan kedutan-kedutan di liang kemaluannya.

 

“Waaaah…aku udah lepas Dek….udah dua tahun aku puasa…baru dapet sekarang ini…sekalinya dapet, ketemu yang panjang gede gini….iiiiih….enak tenan….” cetus Mbak Tina sambil menciumi pipiku, dengan sorot mata seperti mengandung rasa terima kasih.

 

Tapi aku masih asyik mengayun batang kemaluanku. Bahkan semakin lancar maju-mundurnya, karena liang kemaluan Mbak Tina sudah membecek. Sehingga terdengar suara crek, cuk, crek, cruk crek….

 

Tapi aku tak pernah mempermasalahkan beceknya liang kemaluan wanita yang sudah mencapai orgasme. Karena bagiku beceknya itu pertanda keberhasilanku untuk memberikan kepuasan padanya.

 

“Nanti boleh dilepasin di dalam?” tanyaku sambil menghentikan pompaan penisku sesaat.

 

“Iya, gakpapa. Sejak melahirkan, aku dipasangi alat KB, sampai sekarang belum dicabut, hanya sesekali diperiksa oleh dokter di Tegal.”

 

“Asyik dong, bisa bareng-bareng nanti,” kataku sambil melanjutkan enjotan batang kemaluanku, sambil menjilati leher Mbak Tina yang sudah dibanjiri keringat…..

 

 

Sebelum fajar menyingsing, aku sudah berada di belakang setir mobilku kembali, meluncur di tengah jalan yang masih sepi.

 

“Dek Yadi…kayaknya aku bakal ketagihan nanti….gimana ayo?” tanya kakak iparku setelah kami agak jauh meninggalkan kota Sumedang.

 

“Gampang lah. Di Bandung kan banyak hotel,” sahutku, “Ohya, kayaknya Mbak mendingan panggil namaku aja. Gak usah pake dek-dekan.”

 

“Mmm…iya deh.”

 

“Usia Mbak kan tujuh tahun lebih muda dariku.”

 

“Tapi dalam kedudukan keluarga, aku tetap harus manggil adek sih.”

 

“Kedudukan keluarga…hihihi….kita kan sudah saling memiliki, seperti suami-istri. Harusnya Mbak manggil Mas padaku.”

 

“Iya ya…hmmmm…kayaknya aku bakal kerasan tinggal di Bandung, gara-gara Dek…eeeh…gara-gara Yadi yang nakal ini…nakal tapi sangat menyenangkan.”

 

“Aku juga berharap begitu. Nanti paling sedikit aku bakal minta jatah seminggu dua kali.”

 

“Iya…kapan juga Yadi mau, aku kasih. Tapi…aku takut ketahuan Nur. Pasti ngamuk dia kalau tau kita begituan…”

 

“Nur itu sangat menurut padaku, Mbak. Tenang aja. Nanti kita atur gimana baiknya.”

 

Tapi benarkah semuanya itu gampang diatur?

Tinggalkan komentar