1.Cerita Eliza

Namaku Eliza. Cerita ini terjadi saat usiaku masih 17 tahun. Waktu itu, aku duduk di kelas 2 SMA swasta yang amat terkenal di Surabaya. Aku seorang Chinese, tinggi 157 cm, berat 45 kg, rambutku hitam panjang sepunggung. Kata orang orang, wajahku cantik dan tubuhku sangat ideal. Namun karena inilah aku mengalami malapetaka di hari Sabtu, tanggal 18 Desember. Seminggu setelah perayaan ultahku yang ke 17 ini, dimana aku akhirnya mendapatkan SIM karena sudah cukup umur, maka aku ke sekolah dengan mengendarai mobilku sendiri, mobil hadiah ultahku. Sepulang sekolah, jam menunjukkan waktu 18:30 (aku sekolah siang, jadi pulangnya begitu malam), aku merasa perutku sakit, jadi aku ke WC dulu. Karena aku bawa mobil sendiri, jadi dengan santai aku buang air di WC, tanpa harus kuatir merasa sungkan dengan sopir yang menungguku. Tapi yang mengherankan dan sekaligus menjengkelkan, aku harus bolak balik ke wc sampai 5 kali, mungkin setelah tak ada lagi yang bisa dikeluarkan, baru akhirnya aku berhenti buang air. Namun perutku masih terasa mulas. Maka aku memutuskan untuk mampir ke UKS sebentar dan mencari minyak putih. Sebuah keputusan fatal yang harus kubayar dengan kesucianku.

 

Aku masuk ke ruang UKS, menyalakan lampunya dan menaruh tas sekolahku di meja yang ada di sana, lalu mencari cari minyak putih di kotak obat. Setelah ketemu, aku membuka kancing baju seragamku di bagian perut ke bawah, dan mulai mengoleskan minyak putih itu untuk meredakan rasa sakit perutku. Aku amat terkejut ketika tiba tiba tukang sapu di sekolahku yang bernama Hadi membuka pintu ruang UKS ini. Aku yang sedang mengolesi perutku dengan minyak putih, terkesiap melihat dia menyeringai, tanpa menyadari 3 kancing baju seragamku dari bawah yang terbuka dan memperlihatkan perutku yang rata dan putih mulus ini. dan belum sempat aku sadar apa yang harus aku lakukan, ia sudah mendekatiku, menyergapku, menelikung tangan kananku ke belakang dengan tangan kanannya, dan membekap mulutku erat erat dengan tangan kirinya. Aku meronta ronta, dan berusaha menjerit, tapi yang terdengar cuma “eeemph… eeemph…”. Dengan panik aku berusaha melepaskan bekapan pada mulutku dengan tangan kiriku yang masih bebas. Namun apa arti tenaga seorang gadis yang mungil sepertiku menghadapi seorang lelaki yang tinggi besar seperti Hadi ini? Aku sungguh merasa tak berdaya.

 

“Halo non Eliza… kok masih ada di sekolah malam malam begini?” tanya Hadi dengan menjemukan. Mataku terbelalak ketika masuk lagi tukang sapu yang lain yang bernama bernama Yoyok. “Girnooo”, ia melongok keluar pintu dan berteriak memanggil satpam di sekolahku. Aku sempat merasa lega, kukira aku akan selamat dari cengkeraman Hadi, tapi ternyata Yoyok yang mendekati kami bukannya menolongku, malah memegang pergelangan tangan kiriku dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mulai meremasi payudaraku. “Wah baru kali ini ada kesempatan pegang susu amoy.. ini non Eliza yang sering kamu bilang itu kan Had?” tanya Yoyok pada Hadi, yang menjawab “iya Yok, amoy tercantik di sekolah ini. Betul gak?” tanya Hadi. Sambil tertawa Yoyok meremas payudaraku makin keras. Aku menggeliat kesakitan dan terus meronta berusaha melepaskan diri sambil berharap semoga Girno yang sering kuberi tips untuk mengantrikan aku bakso kesukaanku tiap istirahat sekolah, tidak setega mereka berdua yang sudah seperti kerasukan iblis ini. Tapi aku langsung sadar aku dalam bahaya besar. Yang memanggil Girno tadi itu kan Yoyok. Jadi sungguh bodoh bila aku berharap banyak pada Girno yang kalau tidak salah memang pernah aku temukan sedang mencuri pandang padaku. Ataukah… ?

 

Beberapa saat kemudian Girno datang, dan melihatku diperlakukan seperti itu, Girno menyeringai dan berkata, “Dengar! Kalian jangan gegabah.. non Eliza ini kita ikat dulu di ranjang UKS ini. Setelah jam 8 malam, gedung sekolah ini pasti sudah kosong, dan itu saatnya kita berpesta kawan kawan!”. Maka lemaslah tubuhku setelah dugaanku terbukti, dan dengan mudah mereka membaringkan tubuhku di atas ranjang UKS. Kedua tangan dan kakiku diikat erat pada sudut sudut ranjang itu, dan dua kancing bajuku yang belum lepas dilepaskan oleh Hadi, hingga terlihat kulit tubuhku yang putih mulus, serta bra warna pink yang menutupi payudaraku. Aku mulai putus asa dan memohon “Pak Girno.. tolong jangan begini pak..”. Ratapanku ini dibalas ciuman Girno pada bibirku. Ia melumat bibirku dengan penuh nafsu, sampai aku megap megap kehabisan nafas, lalu ia menyumpal mulutku supaya aku tak bisa berteriak minta tolong. “Non Eliza, tenang saja. Nanti juga non bakalan merasakan surga dunia kok”, kata Girno sambil tersenyum memuakkan. Kemudian Girno memerintahkan mereka semua untuk kembali melanjutkan pekerjaannya, dan mereka meninggalkanku sendirian di ruang UKS sialan ini. Girno kembali ke posnya, Hadi dan Yoyok meneruskan pekerjaannya menyapu beberapa ruangan kelas yang belum disapu. Dan aku kini hanya bisa pasrah menunggu nasib.

 

Aku bergidik membayangkan apa yang akan mereka lakukan terhadapku. Dari berbagai macam cerita kejahatan yang aku dengar, aku mengerti mereka pasti akan memperkosaku ramai ramai. Sakit perutku sudah hilang berkat khasiat minyak putih tadi. Detik demi detik berlalu begitu cepat, tak terasa setengah jam sudah berlalu. Jam di ruang UKS sudah menunjukkan pukul 20:00. tibalah saatnya aku dibantai oleh mereka. Hadi masuk, diikuti Yoyok, Girno, dan celakanya ternyata mereka mengajak 2 satpam yang lain, Urip dan Soleh. “Hai amoy cantik.. sudah nggak sabar menunggu kami ya?”, kata Hadi. Dengan mulut yang tersumpal sementara tangan dan kakiku terikat, aku hanya bisa menggeleng nggelengkan kepala, dengan air mata yang mengalir deras aku memandang mereka memohon belas kasihan, walaupun aku tahu pasti hal ini tak ada gunanya. Mereka hanya tertawa dan dengan santai melepaskan baju seragam sekolahku, hingga aku tinggal mengenakan bra dan celana dalam yang warnanya pink. Mereka bersorak gembira, mengerubutiku dan mulai menggerayangi tubuhku, tanpa aku bisa melawan sama sekali. Aku masih sempat memperhatikan, betapa kulit mereka itu hitam legam dan kasar dibandingkan kulitku yang putih mulus, membuatku sedikit banyak merasa jijik juga ketika memikirkan tubuhku dikerubuti mereka, untuk kemudian digangbang tanpa ampun..

Aku terus meronta, tapi tiba tiba perasaanku tersengat ketika jari-jari Girno menyentuh selangkanganku, menekan nekan klitorisku yang masih terbungkus celana dalam. Aku tak tau sejak kapan, tapi bra yang aku pakai sudah lenyap entah kemana, dan payudaraku diremas remas dengan brutal oleh Hadi dan Yoyok, membuat tubuhku panas dingin tak karuan. Selagi aku masih kebingungan merasakan sensasi aneh yang melanda tubuhku, Urip mendekatiku, melepas sumpalan pada mulutku, dan melumat bibirku habis habisan. Ya ampun.. aku semakin gelagapan, apalagi kemudian Soleh meraba dan membelai kedua pahaku. Dikerubuti dan dirangsang sedemikan rupa oleh 5 orang sekaligus, aku merasakan gejolak luar biasa melanda tubuhku yang tanpa bisa kukendalikan, berkelojotan dan mengejang hebat, berulang kali aku terlonjak lonjak, ada beberapa saat lamanya tubuhku tersentak sentak, kakiku melejang lejang, rasanya seluruh tubuhku bergetar. “oh.. oh… augh.. ngggg.. aaaaaaagh…” aku mengerang dan menjerit keenakan dan keringatku membanjir deras. Lalu aku merasa kelelahan dan lemas sekali, dan mereka menertawakanku yang sedang dilanda orgasme hebat. “Enak ya non? Hahaha… nanti Non pasti minta tambah”. Aku tak melihat siapa yang bicara, tapi aku tahu itu suara Yoyok, dan aku malas menanggapi ucapan yang amat kurang ajar dan merendahkanku itu.

 

Kemudian Girno berkata padaku, “Non Eliza, kami akan melepaskan ikatanmu. Jika nona tidak macam macam, kami akan melepaskan nona setelah kami puas. Tapi jika nona macam macam, nona akan kami bawa ke rumah kosong di sebelah mess kami. Dan nona tahu kan apa akibatnya? Di situ nona tidak hanya harus melayani kami berlima, tapi seluruh penghuni mess kami. Mengerti ya non?”. Mendengar hal itu, aku hanya bisa mengangguk pasrah, dan berharap aku cukup kuat untuk melalui ini semu. “Iya pak. Jangan bawa saya ke sana pak. Saya akan menuruti kemauan bapak bapak. Tapi tolong, jangan lukai saya dan jangan hamili saya. Dan lagi, saya masih perawan pak. Tolong jangan kasar. Tolong jangan keluarkan di dalam ya?” pintaku sungguh sungguh, dan merasa ngeri jika aku harus dibawa ke mess mereka. Aku tahu penghuni mess itu ada sekitar 60 orang, yang merupakan gabungan satpam, tukang sapu dan tukang kebun dari SMA tempat aku sekolah ini, ditambah dari SMP dan SD yang memang masih sekomplek, maklum satu yayasan. Daripada aku lebih menderita digangbang oleh 60 orang, lebih baik aku menuruti apa mau mereka yang ‘cuma’ berlima ini. Dan aku benar benar berharap agar tak ada yang melukaiku, berharap mereka tidak segila itu untuk menindik tubuhku, trend yang kudengar sering dilakukan oleh pemerkosanya… menindik puting susu korbannya. Aku benar benar takut.

 

“Hahaha, non Eliza, sudah kami duga non memang masih perawan. Nona masih polos, dan tidak mengerti kalo kami suka memandangi tubuh nona yang sexy, dan selalu memimpikan memperawani non Eliza yang cantik ini sejak non masih kelas 1 SMA. Minggu lalu, ketika non ulang tahun ke 17 dan merayakannya di kelas, bahkan memberi kami makanan, kami sepakat untuk menghadiahi non kenikmatan surga dunia. Tenang saja non. Kami memang menginginkan tubuh non, tapi kami tak sekejam itu untuk melukai tubuh non yang indah ini. Dan kalo tentang itu tenang non, kami sudah mempersiapkan semua itu. Seminggu terakhir ini, aqua botol yang non titip ke saya, saya campurin obat anti hamil. Sedangkan yang tadi, saya campurin obat anti hamil sekaligus obat cuci perut. Non Eliza tadi sakit perut kan? Hahaha…” jelas Girno sambil tertawa, tertawa yang memuakkan. Jadi ini semua sudah direncanakannya! Kurang ajar betul mereka ini. Aku memberi mereka makanan hanya karena ingin berbagi, tanpa memandang status mereka. Tapi kini balasannya aku harus melayani mereka berlima. Aku akan digangbang mereka, dan mereka akan mengeluarkan sperma mereka di dalam rahimku sepuasnya tanpa kuatir menghamiliku. Lebih tepatnya, tanpa aku kuatir harus hamil oleh mereka. Membayangkan hal ini, entah kenapa tiba tiba aku terangsang hebat, dan birahiku naik tak terkendali.

 

Mereka semua mulai melepas semua pakaian mereka, dan ternyata penis penis mereka sudah ereksi dengan gagahnya, membuat jantungku berdegup semakin kencang melihat penis penis itu begitu besar. Girno mengambil posisi di tengah selangkanganku, sementara yang lain melepaskan ikatan pada kedua pergelangan tangan dan kakiku. Girno menarik lepas celana dalamku, kini aku sudah telanjang bulat. Tubuhku yang putih mulus terpampang di depan mereka yang terlihat semakin bernafsu. “Indah sekali non Eliza, memeknya non. Rambutnya jarang, halus, tapi indah sekali”, puji Girno. Memang rambut yang tumbuh di atas vaginaku amat jarang dan halus. Semakin jelas aku melihat penis Girno, yang ternyata paling besar di antara mereka semua, dengan diameter sekitar 6 cm dan panjang yang sekitar 25 cm. Aku menatap sayu pada Girno. “Pak, pelan pelan pak ya..” aku mencoba mengingatkan Girno, yang hanya menganguk sambil tersenyum. Kini kepala penis Girno sudah dalam posisi siap tempur, dan Girno menggesek gesekkannya ke mulut vaginaku. Aku semakin terangsang, dan mereka tanpa memegangi pergelangan tangan dan kakiku yang sudah tidak terikat, mungkin karena sudah yakin aku yang telah mereka taklukkan ini tak akan melawan atau mencoba melarikan diri, mulai mengerubutiku kembali.

 

Kedua payudaraku kembali diremas remas oleh Hadi dan Yoyok, sementara Urip dan Soleh bergantian melumat bibirku. Rangsangan demi rangsangan yang kuterima ini, membuat aku orgasme yang ke dua kalinya. Kembali tubuhku berkelojotan dan kakiku melejang lejang, bahkan kali ini cairan cintaku muncrat menyembur membasahi penis Girno yang memang sedang berada persis di depan mulut vaginaku. “Eh.. non Eliza ini.. belum apa apa sudah keluar 2 kali, pake muncrat lagi. Sabar non, kenikmatan yang sesungguhnya akan segera non rasakan. Tapi ada bagusnya juga lho, memek non pasti jadi lebih licin, nanti pasti lebih gampang ditembus ya”, ejeknya sambil mulai melesakkan penisnya ke vaginaku. “Aduh.. sakit pak” erangku, dan Girno berkata “Tenang non, nanti juga enak”. Kemudian ia menarik penisnya sedikit, dan melesakkannya sedikit lebih dalam dari yang tadi. Rasa pedih yang amat sangat melanda vaginaku yang sudah begitu licin, tapi tetap saja karena penis itu terlalu besar, Girno kesulitan untuk menancapkan penisnya ke vaginaku, namun dengan penuh kesabaran, Girno terus memompa dengan lembut hingga tak terlalu menyakitiku.

Lambat laun, ternyata memang rasa sakit di vaginaku mulai bercampur rasa nikmat yang luar biasa. Dan Girno terus melakukannya, menarik sedikit, dan menusukkan lebih dalam lagi, sementara yang lain terus melanjutkan aktivitasnya sambil menikmati tontonan proses penetrasi penis Girno ke dalam vaginaku. Hadi dan Yoyok mulai menyusu pada kedua puting payudaraku yang sudah mengeras karena terus menerus dirangsang sejak tadi. Tak lama kemudian, aku merasakan selangkanganku sakit sekali, rupanya akhirnya selaput daraku robek. “Ooooooh… aaaauuuugggh… hngggkk aaaaaaagh… “Aku menjerit kesakitan, seluruh tubuhku mengejang, dan air mataku mengalir, dan kembali aku merasakan keringatku mengucur deras. Aku ingin meronta, tapi rasa sesak di vaginaku membatalkan niatku. Aku hanya bisa mengerang, dan gairahku pun padam dihempas rasa sakit yang nyaris tak tertahankan ini. “Aduh.. sakit pak Girno.. ampun”, erangku, namun Girno hanya tertawa tawa puas karena berhasil memperawaniku, dan yang lain malah bersorak, “terus.. terus..”. Aku menggeleng gelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri menahan sakit, sementara bagian bawah tubuhku mengejang hebat, tapi aku tak berani terlalu banyak bergerak, dan berusaha menahan lejangan tubuhku supaya vaginaku penuh sesak itu tak semakin terasa sakit. Namun lumatan penuh nafsu pada bibirku oleh Urip ditambah belaian pada rambutku serta dua orang tukang sapu yang menyusu seperti anak kecil di payudaraku ini membuat gairahku yang sempat padam kembali menyala.

 

Tanpa sadar, dalam kepasrahan aku mulai membalas lumatan itu. Girno terus memperdalam tusukannya penisnya yang sudah menancap setengahnya pada vaginaku. Dan Girno memang pandai memainkan vaginaku, kini rasa sakit itu sudah tak begitu kurasakan lagi, yang lebih kurasakan adalah nikmat yang melanda selangkanganku. Penis itu begitu sesaknya walaupun baru menancap setengahnya, dan urat urat yang berdenyut di penis itu menambah sensasi yang luar biasa. Sementara itu Girno mulai meracau, “Oh sempitnya non. Enaknya.. ah.. “ sambil terus memompa penisnya sampai akhirnya amblas sepenuhnya, terasa menyodok bagian terdalam dari vaginaku, mungkin itu rahimku. Aku hanya bisa mengerang tanpa berani menggeliat, walaupun aku merasakan sakit yang bercampur nikmat. Mulutku ternganga, kedua tanganku mencengkeram sprei berusaha mencari sesuatu yang bisa kupegang, sementara kakiku terasa mengejang tapi kutahan. Aku benar benar tak berani banyak bergerak dengan penis raksasa yang sedang menancap begitu dalam di vaginaku.

 

Dan setelah diam untuk memberiku kesempatan beradaptasi, akhirnya Girno memulai pompaanya. Aku mengerang dan mengerang, mengikuti irama pompaan si Girno. Dan erangangku kembali tertahan ketika kali ini dengan gemas Urip memasukkan penisnya ke dalam mulutku yang sedang ternganga ini. Aku gelagapan, dan Urip berkata “Isep non. Awas, jangan digigit ya!” Aku hanya pasrah, dan mulai mengulum penis yang baunya tidak enak ini, tapi lama kelamaan aku jadi terbiasa juga dengan bau itu. Penis itu panjang juga, tapi diameternya tak terlalu besar disbanding dengan penisnya Girno. Tapi mulutku terasa penuh, dan ketika aku mengulum ngulum penis itu, Urip memompa penisnya dalam mulutku, sampai berulang kali melesak ke dalam tenggorokanku. Aku berusaha supaya tidak muntah, meskupun berulang kali aku tersedak. Selagi aku bejruang beradaptasi terhadap sodokan penis si Urip ini, Soleh meraih tangan kananku, menggengamkan tanganku ke penisnya. “Non, ayo dikocok!”, perintahnya. Penis itu tak hampir tak muat di genggaman telapak tanganku yang mungil, dan aku tak sempat memperhatikan seberapa panjang penis itu, walaupun dari kocokan tanganku, aku sadar penis itu panjang. Aku menuruti semuanya dengan pasrah, ketika tiba tiba pintu terbuka, dan pak Edy, guru wali kelasku masuk, dan semua yang mengerubutiku menghentikan aktivitasnya, tentu saja penis Girno masih tetap bersemayam dalam vaginaku.

 

Melihat semuanya ini, pak Edy membentak, “Apa apaan ini? Apa yang kalian lakukan pada Eliza?”. Aku merasa ada harapan, segera melepaskan kulumanku pada penis Urip, dan sedikit berteriak “Pak Edy, tolong saya pak. Lepaskan saya dari mereka”. Pak Edy seolah tak mendengarku, dan berkata pada Girno, “Kalian ini.. ada pesta kok tidak ngajak saya? Untung saya mau mencari bon pembelian kotak P3K tadi. Kalo begini sih, itu bon gak ketemu juga tidak apa apa… hahaha…”. Aku yang sempat kembali merasa ada harapan untuk keluar dari acara gangbang ini, dengan kesal melanjutkan kocokan tanganku pada penis Soleh juga kulumanku pada penis Urip. Memang aku harus mengakui, aku menikmati perlakuan mereka, tapi kalau bisa aku juga ingin semua ini berakhir. Setelah sadar bahwa pak Edy juga sebejat mereka, semuanya tertawa lega, dan sambil mulai melanjutkan pompaan penisnya pada vaginaku, Girno berkata, “Pak Edy tenang saja, masih kebagian kok. Itu tangan kiri non Eliza masih nganggur, kan bisa buat ngocok punya pak Edy dulu. Tapi kalo soal memeknya, ngantri yo pak. Abisnya, salome sih”. Pak Edy tertawa. “Yah gak masalah lah. Ini kan malam minggu, pulang malam juga wajar kan?” katanya mengiyakan sambil melepas pakaiannya dan ternyata (untungnya) penisnya tidak terlalu besar, bahkan ternyata paling pendek di antara mereka.

 

Tapi aku sudah tak perduli lagi. Vaginaku yang serasa diaduk aduk mengantarku orgasme yang ke tiga kalinya. “aaaaagh.. paaak… sayaaa… keluaaaar….”, erangku yang tanpa sadar mulai menggenggam penis pak Edy yang disodorkan di dekat tangan kiriku yang memang menganggur. Pinggangku terangkat sedikit ke atas, kembali tubuhku terlonjak lonjak, entah ada berapa lamanya tersentak sentak, namun kini cairanku tak keluar karena vaginaku yang masih sangat sempit ini seolah dibuntu oleh penis Girno yang berukuran raksasa. Dalam kelelahan ini, aku harus melayani 6 orang sekaligus. Sodokan sodokan yang dilakukan Girno membuat gairahku cepat naik walaupun aku baru saja orgasme hebat. Tapi aku tak tahu, kapan Girno akan orgasme, ia begitu perkasa. Sudah 15 menit berlalu, dan ia masih memompaku dengan garangnya. Desahan kami bersahut sahutan memenuhi ruangan yang kecil ini. Kedua tanganku mengocok penis dari Soleh dan pak Edy, wali kelasku yang ternyata bejat, membuatku bingung memikirkan apa yang harus kulakukan jika bertemu dengannya mulai senin besok dan seterusnya saat dia mengajar.

Urip mengingatkanku untuk kembali mengulum penisnya yang kembali disodokkannya ke kerongkonganku, membuat aku tak sempat terlalu lama memikirkan hal itu.. Kini aku sudah mulai terbiasa, bahkan sejujurnya mulai menikmati saat saat tenggorokanku diterjang penis si Urip ini. Kepasrahanku ini membuat mereka semua semakin bernafsu. Tiba tiba Girno menarikku hingga aku terduduk, lalu dia tiduran di ranjang, hingga sekarang aku berada dalam posisi woman on top, dan penis itu terasa semakin dalam menancap dalam vaginaku. Aku masih tak tahu apa yang ia inginkan, tiba tiba aku ditariknya lagi hingga rebah dan payudaraku menindih tubuhnya. Urat penisnya terasa mengorek ngorek dinding vaginaku. “Eh, daripada satu lubang rame rame, kan lebih nikmat kalo dua, eh, tiga sekalian, tiga lubang rame rame?” tanya Girno pada yang lain, yang segera menyetujui sambil tertawa. “Akuuur… “, seru mereka, dan Urip segera ke belakangku, kemudian meludahi anusku. “Oh Tuhan… aku akan disandwich.. bagaimana ini..”, kataku dalam hati. “Jangaaaan…. Jangan di situuu…!!” teriakku ketakutan. Namun seperti yang aku duga, Urip sama sekali tidak perduli. Aku memejamkan mata ketika Urip menempelkan kepala penisnya ke anusku, dan yang lain bersorak kegirangan, memuji ide Girno. “aaaaaagh…” erangku ketika penis Urip mulai melesak ke liang anusku. Mataku terbeliak, tanganku menggenggam erat sprei kasur tempat aku aku dibantai ramai ramai, tubuhku terutama pahaku bergetar hebat menahan sakit yang luar biasa.

 

Ludah Urip yang bercampur dengan air liurku di penis Urip yang baru kukulum tadi, tak membantu sama sekali. Rasa pedih yang menjadi jadi mendera anusku, dan aku kembali mengerang panjang. “aaaaaaaaaaaaagh…. sakiiiiiit…. Jangaaaaan…..”, erangku tanpa daya ketika akhirnya penis itu amblas seluruhnya dalam anusku. Selagi aku mengerang dan mulutku ternganga, Soleh mengambil kesempatan itu untuk membenamkan penisnya dalam mulutku, hingga eranganku teredam. Sial, ternyata penis Soleh ini agak mirip punya Urip yang sedang menyodomiku. Begitu panjang, walaupun diameternya tidak terlalu besar, tapi penis itu cukup panjang untuk menyodok nyodok tenggorokanku. Kini tubuhku benar benar bukan milikku lagi. Rasa sakit yang hampir tak tertahankan melandaku saat Urip mulai memompa anusku. Setiap ia mendorongkan penisnya, penis Soleh menancap semakin dalam ke tenggorokanku, sementara penis Girno sedikit tertarik keluar, tapi sebaliknya, saat Urip memundurkan penisnya, penis Soleh juga sedikit tertarik keluar dari kerongkonganku, tapi akibatnya tubuhku yang turun membuat penis Girno kembali menancap dalam dalam di vaginaku, ditambah lagi Girno sedikit menambah tenaga tusukannnya, hingga rasanya penisnya seperti menggedor rahimku. Sedikit sakit memang, tapi perlahan rasa sakit pada anusku sudah berkurang banyak, dan ketika rasa sakit itu reda, aku sudah melayang dalam kenikmatan. Hanya 2 menit dalam posisi ini, aku sudah orgasme hebat, namun aku hanya bisa pasrah. Tubuhku hanya bisa bergetar, aku tak bisa bergerak banyak karena semuanya seolah olah terkunci. Dalam keadaan orgasme, mereka tanpa ampun terus bergantian memompaku, membuat orgasmeku tak kunjung reda bahkan akhirnya aku mengalami multi orgasme!

 

Tanpa terkendali lagi, aku mengejang hebat susul menyusul, dan cairan cintaku keluar berulang ulang, sangat banyak mengiringi multi orgasmeku yang sampai lebih dari 3 menit. namun semua cairan cintaku yang aku yakin sudah bercampur darah perawanku tak bisa mengalir keluar, terhambat oleh penis Girno. Tanganku yang menumpu pada genggaman tangan Girno bergetar getar. Sementara Soleh membelai rambutku dan Urip meremas remas payudaraku dari belakang. Sungguh, aku tak kuasa menyangkal. Kenikmatan yang aku alami sekarang ini benar benar dahsyat, belum pernah sebelumnya aku merasakan yang seperti ini. Aku memang pernah bermasturbasi, namun yang ini benar benar membuatku melayang. Mereka terus menggenjot tubuhku. Desahan yang terdengar hanya desahan mereka, karena aku tak mampu mengeluarkan suara selama penis Soleh mengorek ngorek tenggorokanku. Entah sudah berapa kali aku mengalami orgasme, sampai akhirnya, “hegh.. hu… huoooooooh..”, Girno melenguh, penisnya berkedut, kemudian spermanya yang hangat menyemprot berulang ulang dalam liang vaginaku, diiringi dengan keluarnya cairan cintaku untuk yang ke sekian kalinya. Akhirnya Girno orgasme juga bersamaan denganku, dan penisnya sedikit melembek, dan terus melembek sampai akhirnya cukup untuk membuat cairan merah muda meluber keluar dengan deras dari sela sela mulut vaginaku, yang merupakan campuran darah perawanku, cairan cintaku dan sperma Girno.

 

“Oh.. enake rek, memek amoy seng sek perawan…” kata Girno, yang tampak amat puas. Nafasku sudah tersengal sengal. Untungnya, Urip dan Soleh cukup pengertian. Urip mencabut penisnya dari anusku, dan Soleh tak memaksaku mengulum penisnya yang terlepas ketika aku yang sudah begitu lemas karena kelelahan, ambruk menindih Girno yang masih belum juga melepaskan penisnya yang masih terasa begitu besar untukku. Kini aku mulai sadar dari gairah nafsu birahi yang menghantamku selama hampir satu jam ini. Namun aku tidak menangis. Tak ada keinginan untuk itu, karena sejujurnya aku tadi amat menikmati perlakuan mereka, bahkan gilanya, aku menginginkan diriku digangbang lagi seperti tadi. Apalagi mereka cukup lembut dan pengertian, tidak sekasar yang aku bayangkan. Mereka benar benar menepati janji untuk tidak melukaiku dan menyakitiku seperti menampar ataupun menjambak rambutku. Bahkan Girno memelukku dan membelai rambutku dengan mesra dan penuh kasih saying, setidaknya menurut perasaanku, sehingga membuatku semakin pasrah dan hanyut dalam pelukannya. Apalagi yang lain kembali mengerubutiku, membelai sekujur tubuhku seolah ingin menikmati tiap senti kulit tubuhku yang putih mulis ini. Entah kenapa aku merasa aku rela melayani mereka berenam ini untuk seterusnya, membuatku terkejut dalam hati. “Hah? Apa yang baru saja aku pikirkan? Aku ini kan diperkosa, kok aku malah berpikir seperti itu?” pikirku dalam hati. Tapi tak bisa kupungkiri, tadi itu benar benar nikmat, belum pernah aku merasakan yang seperti itu ketika aku bermasturbasi. Lagian, apakah ini masih bisa disebut perkosaan? Selain aku pasrah melayani apa mau mereka, aku juga menikmatinya, bahkan sampai orgasme berkali kali.

 

Lamunanku terputus saat Girno mengangkat tubuhku hingga penisnya yang sudah mengecil terlepas dari vaginaku. “Non, kita lanjutin ya”, kata Soleh yang sudah tiduran di bawahku yang sedikit mengkangkang. Aku hanya menurut saja dan mengarahkan vaginaku ke penisnya yang tegak mengacung. Aku memegang dan membimbing penis itu untuk menembus vaginaku yang sudah tidak perawan lagi ini. “Ooh… aaah….”, erang Soleh ketika penisnya mulai melesak ke dalam vaginaku. Lebih mudah dari punya Girno tadi, karena diameter penis si Soleh memang lebih kecil. Namun tetap saja, panjangnya membuat aku sedikit banyak kelabakan. “Ooh.. aduuuuh… “, erangku panjang seiring makin menancapnya penis Soleh hingga amblas sepenuhnya dalam vaginaku. Penisnya terasa hangat, lebih hangat dari punya si Girno yang kini duduk di kursi tengah ruang ini sambil merokok. Mereka memberiku kesempatan untuk bernafas sejenak, kemudian Urip mendorongku hingga aku kembali telungkup, kali ini menindih Soleh yang langsung mengambil kesempatan itu untuk melumat bibirku. Baru aku sadar, Soleh ini pasti tinggi sekali. Dan rupanya si Urip belum puas dan ingin melanjutkan anal seks denganku. Kembali aku disandwich seperti tadi. Namun kali ini aku lebih siap. Aku melebarkan kakiku hingga semakin mengkangkang seperti kodok, dan… perlahan tapi pasti, anusku kembali ditembus penis Urip yang amat keras ini, membuat bagian bawah tubuhku kembali terasa sesak. Walaupun memang tidak sesesak tadi, namun cukup untuk membuatku merintih mengerang antara pedih dan nikmat.

 

Kini Hadi dan Yoyok ikut mengepungku. Mereka masing masing memegang tangan kiri dan kananku, mengarahkanku untuk menggenggam penis mereka dan mengocoknya. Selagi aku mulai mengocok dua buah penis itu, wali kelasku yang ternyata bejat ini mengambil posisi di depanku, memintaku mengoral penisnya. “Dioral sekalian El, daripada nganggur nih”, katanya dengan senyum yang memuakkan. Tapi aku terpaksa menurutinya daripada nanti ia berbuat atau mengancam yang macam macam. Kubuka mulutku walaupun dengan setengah hati, membiarkan penis pak Edy yang berukuran kecil ini masuk dalam kulumanku. Jadi kini aku digempur 5 orang sekaligus, yang mana justru membuat gairahku naik tak karuan. Apalagi Soleh dan Urip makin bersemangat menggenjot selangkanganku, benar benar dengan cepat membawaku orgasme lagi. “eeeeeemmmmph….”, erangku keenakan. Tubuhku mengejang, dan kurasakan cairan cintaku keluar, melumasi vaginaku yang terus dipompa Soleh yang juga merem melek keenakan. Tiba tiba penis pak Edy berkedut dalam mulutku, dan tanpa ampun spermanya muncrat membasahi kerongkonganku. Baru kali ini aku merasakan sperma dalam mulutku, rasanya aneh, asin dan asam. Mungkin karena sudah beberapa kali melihat film bokep, tanpa disuruh aku sudah tahu tugasku. Kubersihkan penis pak Edy dengan kukulum, kujilati, dan kusedot sedot sampai tidak ada sperma yang tertinggal di penis yang kecil itu.

 

Soleh mengejek pak Edy, “Lho pak, kok sudah keluar? Masa kalah sama sepongannya non Eliza? Bagaimana nanti sama memeknya? Seret banget lho pak”, kata Soleh, yang disambung tawa yang lain. Pak Edy terlihat tersenyum malu, dan tak berkata apa apa, hanya duduk di sebelah si Girno. Aku tertawa dalam hati, namun ada bagusnya juga, kini tugasku menjadi sedikit lebih ringan. Hadi yang juga ingin merasakan penisnya kuoral, pindah posisi ke depanku, dan mengarahkan penisnya ke mulutku. Aku mengulum penis itu tanpa penolakan, dan kocokan tangan kananku pada penis Yoyok kupercepat, mengimbangi cepatnya sodokan demi sodokan penis Soleh dan Urip yang semakin gencar menghajar vagina dan anusku. Urip tiba tiba mendengus dengus dan melolong panjang “oooooooouuuuggghh…. “, seiring berkedutnya penisnya dalam anusku, dan menyemprotkan maninya berulang ulang. Terasa hangat sekali anusku di bagian terdalam. Kini aku tinggal melayani 3 orang saja, namun entah aku sudah orgasme berapa kali. Aku amat lelah untuk menghitungnya. Dan Yoyok menggantikan Urip membobol anusku. Baru aku sadar, dari genggaman tanganku tadi pada penis Yoyok, aku tahu penis Yoyok tidak panjang, tapi… diameternya itu.. rasanya seimbang dengan punya si Girno. Oh celaka… penis itu akan segera menghajar anusku. “ooooh… oooooogh… sakiiiit…”, erangku ketika Yoyok memaksakan penisnya sampai akhirnya masuk. Namun seperti yang tadi tadi, rasa sakit yang menderaku hanya berlangsung sebentar, dan berganti rasa nikmat luar biasa yang tak bisa dilukiskan dengan kata kata. Aku semakin tersengat birahi ketika Soleh yang ada di bawahku meremas remas payudaraku yang tergantung di depan matanya, sementara Hadi menekan nekankan kepalaku untuk lebih melesakkan penisnya ke kerongkonganku. Di sini aku juga sadar, ternyata penis si Hadi ini setipe dengan punya Urip atau Soleh.

 

Dengan pasrah aku terus melayani mereka satu per satu sampai akhirnya mereka orgasme bersamaan. Dimulai dari kedutan penis Soleh dalam vaginaku, tapi tiba tiba penis Hadi berkedut lebih keras dan langsung menyemburkan spermanya yang amat banyak dalam rongga mulutku. Aku gelagapan dan nyaris tersedak, namun aku usahakan semuanya tertelan masuk dalam kerongkonganku. Selagi aku berusaha menelan semuanya, tiba tiba dari belakang Yoyok menggeram, penisnya juga berkedut, kemudian menyemprotkan sperma berulang ulang dalam anusku, diikuti Soleh yang menghunjamkan penisnya dalam dalam sambil berteriak penuh kenikmatan. “Oooooooohh… aaaaaaargh”, seolah tak mau kalah, aku juga mengerang panjang. Bersamaan dengan berulang kali menyemprotnya sperma Soleh di dalam vaginaku, aku juga mengalami orgasme hebat. Hadi jatuh terduduk lemas setelah penisnya kubersihkan tuntas seperti punya pak Edy tadi. Lalu Soleh yang penisnya masih menancap di dalam vaginaku memeluk dan lembali melumat bibirku dengan ganas, sampai aku tersengal sengal kehabisan nafas. Yoyok yang penisnya tak terlalu panjang hingga sudah terlepas dari anusku, juga duduk bersandar di dinding. Kini tinggal aku dan Soleh yang ada di atas ranjang, dan kami bergumul dengan panas. Soleh membalik posisi kami hingga aku telentang di ranjang ditindihnya, dan penisnya tetap masih menancap dalam vaginaku meskipun mulai lembek, mungkin dikarenakan penis Soleh yang panjang. Tanpa sadar, kakiku melingkari pinggangnya Soleh, seakan tak ingin penisnya terlepas, dan aku balas melumat bibir si Soleh ini.

 

Pergumulan kami yang panas, menyebabkan Girno terbakar birahi. Tenaganya yang sudah pulih seolah ditandai dengan mengacungnya penisnya, yang tadi sudah berejakulasi. Namun ia dengan sabar membiarkan aku dan Soleh yang bergumul dengan penuh nafsu. Namun penis Soleh yang semakin mengecil itu akhirnya tidak lagi tertahan erat dalam vaginaku, dan Soleh pun tampaknya tahu diri untuk memberikanku kepada yang lain yang sudah siap kembali untuk menggenjotku. Girno segera menyergap dan menindihku, tanpa memberiku kesempatan bernafas, dengan penuh nafsu Girno segera menjejalkan penisnya yang amat besar itu ke dalam vaginaku. Aku terbeliak, merasakan kembali sesaknya vaginaku. Girno yang sudah terbakar nafsu ini mulai memompa vaginaku dengan ganas, membuat tubuhku kembali bergetar getar sementara aku mendesah dan merintih merasakan nikmat berkepanjangan ini. Gilanya, aku mulai berani mencoba lebih merangsang Girno dengan pura pura ingin menahan sodokan penisnya dengan cara menahan bagian bawah tubuhnya. Benar saja, dengan tatapan garang ia mencengkram kedua pergelangan tanganku dan menelentangkannya, membuatku tak berdaya. Dan sodokan dem sodokan yang menghajar vaginaku terasa semakin keras. Aku menatap Girno dengan pandangan sayu memelas untuk lebih merangsangnya lagi, dan berhasil. Dengan nafas memburu, Girno melumat bibirku sambil terus memompa vaginaku. Kini aku yang gelagapan. Orgasme yang menderaku membuat tubuhku bergetar hebat, tapi aku tak berdaya melepaskannya karena seluruh gerakan tubuhku terkunci, hingga akhirnya Girno menggeram nggeram, semprotan sperma yang cukup banyak kembali membasahi liang vaginaku.

 

Girno melepaskan cengkramannya pada kedua pergelangan tanganku, namun aku sudah terlalu lelah dan lemas untuk menggerakkannya. Ia turun dari ranjang, setelah melumat bibirku dengan ganas, lalu memberi kesempatan pada pak Edy yang sudah ereksi kembali. Kali ini, ia terlihat lebih gembira, karena mendapatkan jatah liang vaginaku, yang kelihatannya sudah ditunggunya sejak tadi. Dengan tersenyum senang, yang bagiku memuakkan, ia mulai menggesekkan kepala penisnya ke vaginaku yang sudah banjir cairan sperma bercampur cairan cintaku. Tanpa kesulitan yang berarti, ia sudah melesakkan penisnya seluruhnya. Aku sedikit mendesah ketika ia mulai memompa vaginaku. Namun lagi lagi seperti tadi, belum ada 3 menit, pak Edy sudah mulai menggeram, kemudian tanpa mampu menahan lagi ia menyemprotkan spermanya ke dalam liang vaginaku. Yang lain kembali tertawa, sedangkan aku yang belum terpuaskan dalam ‘sesi’ ini, memandang yang lain, terutama Hadi yang belum sempat merasakan selangkanganku. Hadi yang seolah mengerti, segera mendekatiku. Terlebih dulu ia mencium bibirku dengan dimesra mesrakan, membuatku sedikit geli namun cukup terangsang juga. Tak lama kemudian, Hadi sudah siap dengan kepala penis yang menempel di vaginaku, lalu mulai melesakkan penisnya dalam dalam. Ia terlihat menikmati hal ini, sementara aku sedikit mengejang menahan sakit karena Hadi cukup terburu buru dalam proses penetrasi ini. Selagi kami dalam proses menyatu, yang lain sedang mengejek pak Edy yang terlalu cepat keluar. Ingin aku menambahkan, penisnya agak sedikit lembek. Tapi aku menahan diri dan diam saja, karena aku tak ingin terlihat murahan di depan mereka.

 

Hadi mulai memompa vaginaku. Rasa nikmat kembali menjalari tubuhku. Pinggangku bergerak gerak dan pantatku sedikit terangkat, seolah menggambarkan aku yang sedang mencari kenikmatan. Selagi aku dan Hadi sudah mulai menemukan ritme yang pas, aku melihat yang lain yaitu Yoyok dan Urip akan pergi ke wc, katanya untuk mencuci penis mereka yang tadi sempat terbenam dalam anusku. Sambil keluar Urip berkata, “nanti kasihan non Eliza, kalo memeknya yang bersih jadi kotor kalo kontolku tidak aku cuci”. “iya, juga, kan kasihan, amoy cakep cakep gini harus ngemut ****** yang kotor seperti ini”, sambung Yoyok. Oh.. ternyata mereka begitu pengertian padaku. Aku jadi semakin senang, dan menyerahkan tubuhku ini seutuhnya pada mereka. Kulayani Hadi dengan sepenuh hati, setiap tusukan penisnya kusambut dengan menaikkan pantatku hingga penis itu bersarang semakin dalam. Tanpa ampun lagi, tak 5 menit kemudian aku orgasme disusul Hadi yang menembakkan spermanya dalam liang vaginaku, bersamaan dengan kembalinya Yoyok dan Urip. Namun mereka berdua ini tak langsung menggarapku. Setelah Hadi kembali terduduk lemas di bawah, mereka berdua mengerubutiku, tapi hanya membelai sekujur tubuhku, memberiku kesempatan untuk beristirahat setelah orgasme barusan. Mereka berdua menyusu pada payudaraku, sambil meremas kecil, membuatku mendesah tak karuan. Kini jam sudah menunjukkan pukul 21:00 malam. Tak terasa sudah satu jam aku melayani mereka semua.

 

Dalam keadaan lelah, aku minta waktu sebentar pada Urip dan Yoyok untuk minum. Keringat yang mengucur deras sejak tadi membuatku haus. “Sebentar bapak bapak, saya mau minum dulu ya”, kataku. Kebetulan di tasku ada sekitar setengah botol air Aqua, sisa minuman yang tadi sore, tapi aku langsung teringat, minuman itu dicampur obat cuci perut yang mengantarku ke horor di ruang UKS ini. “Pak Girno. Itu air sudah bapak campurin obat cuci perut kan? Tolong pak, belikan saya minuman dulu. Tapi jangan dicampurin apa apa lagi ya pak”, kataku sambil akan turun dari ranjang untuk mencari uang dalam dompet yang ada di dalam tas sekolahku. Tapi Girno berkata, “Gak usah non. Saya belikan saja”. Girno pergi ke wc sebentar untuk mencuci penisnya, kemudian kembali dan mengenakan celana dalam dan celana panjangnya saja. Lalu ia keluar untuk membeli air minum untukku. Sambil menunggu, yang lain menggodaku, merayuku betapa cantiknya aku, betapa putih mulusnya kulit tiubuhku yang indah dan sebagainya. Aku hanya tersenyum kecil menanggapi itu semua. Tak lama kemudian, Girno kembali sambil membawa sebotol Aqua, yang segelnya sudah terbuka. Aku menatapnya curiga, dan bertanya dengan ketus. “Pak, masa bapak tega mencampuri air minum ini lagi? Nanti kan saya mulas mulas lagi?”. Girno dengan tersenyum menjawab, “nggak non. Masa lagi enak enak gini saya pingin non bolak balik ke WC lagi. Ini cuma supaya non Eliza gak terlalu capek. Buat tambah tenaga non”. Yah.. pokoknya bukan obat cuci perut, aku akhirnya meminumnya sampai setengahnya, karena aku sudah semakin kehausan. Tak lupa aku mengambil botol sisa air minum yang tadi di dalam tasku, dan membuangnya ke tong sampah.

 

Kemudian aku kembali ke ranjang, menuntaskan tugasku melayani Urip dan Yoyok. Tiba tiba aku merasa aneh, tubuhku terasa panas terutama wajahku, keringat kembali bercucuran di sekujur tubuhku. Padahal mereka belum menyentuhku. Aku langsung mengerti, ini pasti ada obat perangsang yang dicampurkan dalam minuman tadi. Sialan deh, aku kini semakin terperangkap dalam cengkeraman mereka. Urip dan Yoyok bergantian memompa vagina dan mulutku. Awalnya Urip melesakkan penisnya dalam vaginaku, sementara Yoyok memintaku mengoral penisnya. Karena obat perangsang itu, sebentar sebentar aku mengalami orgasme, dan tiap aku orgasme mereka bertukar posisi. Rasa sperma dari banyak orang, bercampur cairan cintaku kurasakan ketika mengoral penis mereka, dan membuatku semakin bergairah. Mereka akhirnya berorgasme bersamaan, Yoyok di vaginaku dan Urip di tenggorokanku. Sedangkan aku sendiri sampai pada titik dimana aku kembali mengalami multi orgasme. Ada 3 sampai 4 menit lamanya, tubuhku terlonjak lonjak hingga pantatku terangkat angkat, kakiku melejang lejang sementara tanganku menggengam sprei yang sudah semakin basah dan awut awutan. Aku melenguh panjang, kemudian roboh telentang pasrah, dalam keadaan masih terbakar nafsu birahi, tapi kelelahan dan nafasku yang tersengal sengal membuatku hanya bisa memejamkan mata menikmati sisa getaran pada sekujur tubuhku. Kemudian bergantian mereka terus menikmati tubuhku. Aku sudah setengah tak sadar kerena terbakar nafsu birahi yang amat hebat, melayani dan melayani mereka semua tanpa bisa mengontrol diriku.

 

Akhirnya mereka sudah selesai menikmati tubuhku ketika jam menunjukan pukul 21:45. Mereka membiarkanku istirahat hingga staminaku sedikit pulih. Aku bangkit berdiri lalu melap tubuhku yang basah kuyup oleh keringat dengan handuk dan membersihkan selangkangan dan pahaku yang belepotan sperma. Dan dengan nakal Girno melesakkan roti hot dog ke dalam vaginaku. Aku mendesah dan memandangnya penuh tanda tanya, tapi Girno hanya cengengesan sambil memakaikan celana dalamku, hingga roti itu semakin tertekan oleh celana dalamku yang cukup ketat. Aku melenguh nikmat, dan mereka berebut memakaikan braku. Tanganku direntangkan, dan mereka menutup kedua payudaraku dengan cup bra-ku, memasang kaitannya di belakang punggungku. Lalu setelah memakaikan seragam sekolah dan rokku, mereka melingkariku yang duduk di atas ranjang dan sedang mengenakan kaus kaki dan sepatu sekolahku. Kemudian aku menatap mereka semua, siap mendengarkan ancaman kalo tidak boleh bilang siapa siapa lah.. ah, kalo itu sih nggak usah mereka mengancam, memangnya aku sampai tak punya malu sehingga menceritakan bagaimana aku yang asalnya diperkosa kemudian melayani mereka sepenuh hati seperti yang tadi aku lakukan?? Dan tentang kalo mereka ingin memperkosaku lagi di lain waktu, aku juga sudah pasrah.

 

“Non Eliza, kami puas dengan pelayanan non barusan. Tapi tentu saja kami masih menginginkan non melayani kami untuk berikut berikutnya”, kata Girno. Aku tak terlalu terkejut mendengar hal ini, tapi aku berpura pura tidak mengerti dan bertanya, “maksud bapak?”. “Non tentu sudah mengerti, kami masih inginkan servis non di lain hari. Kebetulan, minggu depan hari kamis tu kan hari terima rapor semester 3. Dua hari sebelum hari Natal. Tanggal 24 kan libur, kami ingin non Eliza datang ke sini jam 7 malam untuk melayani kami lagi. Seperti hari ini, non cukup melayani kami 2 jam saja. Soal pertemuan berikutnya, kita bisa atur lagi nanti tanggal 24 itu. Non harus datang, karena kalo tidak wali kelas non bisa memberikan sanksi tegas. Iya kan pak Edy?” jelas Girno panjang lebar. Pak Edy mengiyakan dan berkata, “benar Eliza. Saya bisa membuatmu tidak naik kelas, dengan alasan yang bisa saya cari cari. Jadi sebaiknya kamu jangan macam macam, apalagi sampai melaporkan hal ini ke orang lain. Lagipula, saya yakin kamu cukup cerdas untuk tidak melakukan hal bodoh seperti itu”. Mendengar semuanya ini, aku hanya bisa mengangguk pasrah. Oh Tuhan.. di malam Natal minggu depan, aku harus bermain sex dengan enam laki laki yang ada di sekitarku ini… Dan aku tak bisa menolak sama sekali.. Setelah semua beres, aku diijinkan pulang. Dalam keadaan loyo, aku berjalan tertatih tatih ke mobilku, selain sakit yang mendera selangkanganku akibat baru saja diperawani dan disetubuhi ramai ramai, roti yang menancap pada vaginaku sekarang ini membuat aku tak bisa berjalan dengan normal dan lancar. Untungnya tak ada yang melihatku dan menghadangku, akhirnya aku sampai ke dalam mobil, dan menyetir sampai ke rumah dengan selamat.

 

Sampai di rumah, sekitar pukul 22:30, aku memencet remote pintu pagar untuk membuka, lalu aku memasukkan mobilku halaman rumah. Setelah memencet remote untuk menutup pintu pagar, aku masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamarku. Roti ini benar benar mengganggu sejak aku menyetir tadi. Rasa nikmat terus mendera vaginaku tak henti hentinya, karena setiap kaki kiriku menginjak kopling, roti ini rasanya tertanam makin dalam. Kini hal yang sama juga terjadi setiap aku melangkahkan kakiku agak lebar. Rasanya kamarku begitu jauh, apalagi aku harus naik tangga, kamarku memang ada di lantai 2. Akhirnya aku sampai ke kamarku. Di sana aku buka semua bajuku, lalu pergi ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku, mencabut roti yang sudah sedikit hancur terkena campuran sperma dan cairan cintaku. Aku menyemprotkan air shower ke vaginaku untuk membersihkan sisa roti yang tertinggal di dalamnya, sambil sedikit mengorek ngorek vaginaku untuk lebih cepat membersihkan semuanya. Rasa nikmat kembali menjalari tubuhku, namun aku tahu aku harus segera beristirahat. Maka aku segera mandi keramas sebersih bersihnya, kemudian setelah mengeringkan tubuhku aku memakai daster tidur satin yang nyaman, dan merebahkan tubuhku yang sudah amat kelelahan ini di ranjangku yang empuk. Tak lama kemudian aku sudah tertidur pulas, setelah berhasil mengusir bayangan wajah puas orang orang yang tadi menggangbang aku.

=====================================================

Hari ini, di luar kebiasaanku, aku bangun agak telat, sekitar jam 7:30. Itu pun karena sinar matahari yang terang menerpaku dari kaca jendela, yang gordennya lupa kututup tadi malam. Saat ini rumahku pasti sedang sepi, tinggal Siti dan Sulikah, 2 pembantu wanita di rumahku. Keduanya berumur 20 tahun. Juga Suwito yang berumur 25 tahun, dan Wawan yang berumur 24 tahun, 2 pembantu laki laki di rumahku. Juga ada pak Arifin yang berumur 45 tahun, sopir yang setia mengantarku sejak aku masih kecil. Kedua ortuku masih ada di luar negeri. Dan aku ingat, kakakku menginap di rumah temannya, mengerjakan tugas kelompok kuliahnya yang harus menggunakan komputer. Juga aku baru ingat, Siti sedang pulang kampung, untuk mengurus KTPnya yang sudah hampir habis masa berlakunya. Dengan malas aku bangkit menuju kamar mandi, menyalakan shower dan mandi sambil mengingat ingat kegilaanku kemarin, membuatku sedikit tersenyum malu saat aku menyikat gigiku. Setelah selesai aku mengeringkan tubuhku dan mengenakan baju santai. Karena bangun kesiangan, aku yang biasanya ke g****a jam 8 pagi, terpaksa datang ke sesi 9:30 nanti karena sekarang sudah jam 8 lebih dan masih ada waktu sekitar satu jam buatku sebelum pergi. Setelah itu, jadwal kegiatanku adalah latihan balet di ******* jam 5 nanti, dan aku harus berangkat setengah jam sebelumnya. Demikian rutinitas kegiatanku tiap minggu. Kadang memang di siang hari setelah pulang g****a, aku jalan jalan ke mall, tapi hari ini rasanya aku amat lelah, membuat aku malas keluar, dan memutuskan untuk istirahat saja sepulang g****a sampai saat ke sekolah balet nanti . Selain itu selangkanganku masih agak ngilu akibat digangbang sekitar dua jam kemarin.

 

Setelah merapikan penampilanku dengan menyisir rambutku supaya tak awut awutan, aku keluar ke ruang makan. Setelah mengambil nasi dan lauk yang tersedia, aku berniat membuat susu kesukaanku, tapi aku lihat toples gula di meja pinggir sudah kosong, jadi aku ke dapur sebentar untuk mengambil gula. Di sana aku disuguhi pemandangan yang membuatku terbelalak. Sulikah yang menurutku berwajah cantik ini sedang mencuci peralatan masak, dan disetubuhi dari belakang oleh Wawan yang menurutku tampangnya amburadul dengan ganas. Pakaiannya sudah tak karuan, tubuhnya yang mungil seukuran denganku terlihat mengejang sexy setiap penis Wawan menyodok vaginanya dalam dalam. Mereka mendesah bersahut sahutan, tanpa menyadari keberadaanku kini yang terpaku melihat adegan itu. Tepat saat Wawan berorgasme, tiba tiba Suwito masuk dari pintu belakang, gilanya, dengan telanjang bulat, membuatku memekik kaget. Hal ini menyebabkan Sulikah dan Wawan menoleh ke arahku dengan wajah seperti orang yang baru melihat setan, dan mereka segera saling melepaskan diri dari persetubuhan yang amat hot itu. Mereka terlihat gugup dan bingung, demikian juga Suwito yang kelihatan panik bertanya dengan tergagap gagap, “Lho…. Non Eliza… kok belum… berangkat ke g****a?”. Ditanya demikian aku menjawab, “Iya, saya tadi bangunnya kesiangan. Maaf mengganggu, saya cuma mau ambil gula di dapur”. Mereka masih diam tertunduk saat aku mengambil gula di rak dapur, dan aku bergegas kembali ke meja makan dengan berusaha tak memikirkan hal yang baru saja terjadi. Waktu jadi terasa berjalan lambat ketika aku sarapan pagi, dan setelah selesai aku berniat kembali ke kamarku.

 

Aku berdiri dari kursi, tapi baru aku akan melangkah, tiba tiba Sulikah, Wawan dan Suwito muncul dan menghadapku dengan takut takut. “Non Eliza, kami minta maaf. Tolong jangan bilang ke orang tua non atau kakak non ya.. kami tak tahu harus gimana kalau sampai kami dipecat”, kata Wawan mewakili mereka. Aku terdiam beberapa saat. Melihat mereka semua begitu tegang, aku merasa iba. “Kalian tenang saja. Saya memang gak ada niat sama sekali untuk melaporkan hal tadi. Cuma saya pesan, lain kali kalian hati hati ya, jangan kelihatan kakak saya, apalagi orang tua saya. Nanti urusannya bisa panjang”, kataku sambil tersenyum. Aku memang tak ada niatan sedikitpun untuk melaporkan hal ini pada siapapun. Mereka terlihat begitu lega dan mengucap terima kasih berulang ulang. Lalu setelah semuanya tenang kutinggalkan mereka kembali ke kamarku. Sampai di dalam kamar, teringat apa yang mereka perbuat tadi membuat aku kembali membayangkan saat saat aku digangbang kemarin, membuat nafasku sedikit memburu karena tiba tiba saja gairahku naik. Aku mulai melamun tentang keadaanku. Aku masih belum punya pacar. Memang ada banyak cowok di sekolahku yang mendekatiku, tapi semuanya kutolak dengan halus, karena berulang kali ortuku mewanti wanti aku supaya tidak pacaran waktu masih sekolah. Walau begitu, aku sebenarnya tertarik pada seorang dari mereka yang bernama Andi. Tapi, kini aku sudah tidak perawan lagi, satu satunya yang sedikit aku sesali setelah acara gangbang itu, membuatku murung membayangkan bagaimana pandangan Andi terhadap diriku kelak kalau dia tahu.

 

Jam dinding di kamarku berbunyi, menunjukkan pukul 9. Oh, saat aku berangkat nih. Aku segera bangkit dan berganti pakaian, lalu turun menuju garasi. Pak Arifin seperti biasa menawariku “Non mau saya antar ke mana?”. Ia lupa kalau aku sudah bisa membawa mobil sendiri, tapi kali ini aku pikir ada baiknya juga kalo aku tidak menyetir sendiri. Rasa pegal pegal pada tubuhku masih belum hilang seluruhnya, padahal nanti sore masih ada balet. “Ke g****a ******** pak”, kataku. Ia membukakan pintu belakang mobil yang biasa dipakainya untuk mengantarku. Sepanjang perjalanan, aku hanya melamun, membayangkan apa yang kira kira terjadi sekarang. Apakah Sulikah kembali bermain sex dengan Wawan dan Suwito? Tak terasa, aku sudah sampai di g****a. Setelah melakukan kebaktian rutin yang lamanya sekitar satu setengah jam dengan pikiran yang melayang kemana mana, aku segera pulang. Di dalam mobil, aku yang sejak di dalam g****a tadi sudah mulai mengantuk, kini kantukku semakin menjadi, sehingga aku tertidur di kursi belakang mobil. Entah apa yang terjadi, saat aku bangun aku sudah di ranjang kamar tidurku, membuatku tersentak kaget. Aku memeriksa keadaanku, yah, bajuku masih lengkap, bra dan celana dalamku masih melekat dengan baik. Tapi celana dalamku terlihat amat basah, kelihatannya oleh cairan cintaku. Bajuku juga kusut sekali. Sialan, siapa ya yang mempermainkan tubuhku selagi aku tidur? Dan ketika aku berdiri, kedua betisku terasa pegal seperti kemarin. Duh, sore ini aku harus latihan balet…

Jam menunjukkan pukul 2 siang. Berarti aku tidur sekitar 3 jam. Mengingat aku tadi diantar pulang pak Arifin, kecurigaanku mengarah kepadanya. Hmm sialan tuh orang, cari kesempatan dalam kesempitan, pikirku. Dengan sedikit kesal aku turun mencarinya. Tapi aku berpikir, bagaimana kalo pak Arifin menanyakan apa bukti kalo tadi itu perbuatan dia? Akhirnya aku memutuskan untuk mendiamkan hal ini, dan aku pun ke ruang makan karena merasa lapar. Terlihat sudah ada masakan untukku, pasti Sulikah yang masak. Masakannya memang selalu lumayan enak sesuai dengan seleraku, membuatku makan sedikit lebih banyak dari biasanya, dan seperti biasa aku selalu minum susu, tapi kali ini tanpa gula. Selagi makan, aku mendapat ide. Nanti aku minta pak Arifin kembali mengantarku, lalu aku pura pura tertidur. Jadi aku bisa mengetahui, siapa yang tadi berbuat iseng padaku. Aku tersenyum senang karena merasa dengan begitu aku bisa menemukan pelakunya. Selesai makan aku kembali ke kamarku, menyetel musik kesukaanku, dan mandi busa untuk menyegarkan tubuhku. Selesai aku puas mandi memanjakan tubuhku, jam menunjukkan pukul 4 sore. Wah, setengah jam lagi harus berangkat nih. Aku pun mengeringkan tubuhku dan rambutku. Setelah itu, aku mengenakan kostum baletku setelah memakai bra dan celana dalam ketat yang berwarna putih serta stocking ketat model jaring berwarna hitam, yang aku bisa pastikan aku terlihat amat sexy dan menggairahkan jika memakainya. Lalu aku mengenakan blus terusan berwarna biru, jadi nanti di sana aku tak perlu ganti lagi di ruang ganti, tinggal melepas blus biru yang cukup ketat ini dan hanya mengganti sepatuku yang kupakai sekarang dengan sepatu balet.

 

Setelah selesai aku segera menuju garasi, dan seperti yang aku harapkan, pak Arifin seperti biasa menunggu di samping mobil yang tadi itu. Sebelum dia menawari aku sudah berkata “pak, tolong ke sekolah balet *******”. Dan setelah membuka pintu mobil untukku, ia segera melajukan mobil ini ke tempat tujuan. Aku memperhatikan pandangan matanya, kalau kalau ia mencuri pandang ke arah tubuhku. Namun tak kutemukan tanda tanda itu sampai akhirnya kami sampai ke tujuan. Aku mengangkat bahu, dan kemudian masuk seperti biasa, untuk berlatih tari balet. Kami akan show di akhir tahun nanti, dan aku adalah penari utamanya, mungkin selain wajahku yang cantik dan tubuhku yang indah, aku juga dinilai oleh guru balet kami sebagai yang paling lentur dan indah gerakannya. Namun hari itu, aku hampir tak bisa menunjukkan performa terbaikku, selain karena pikiranku yang melayang, tubuhku juga tak mau diajak kompromi, terutama selangkanganku yang masih terasa sedikit ngilu dan betisku yang terasa pegal pegal. Akibatnya hari itu aku lumayan bad mood, dan berlatih ala kadarnya. Untung saja, guru balet kami merasa itu sudah cukup, dan setelah selesai, aku segera pulang. Dan seperti yang sudah kurencanakan tadi, aku di mobil pura pura mengeluh, “Aduh.. hari ini kenapa ya.. dari tadi ngantuk terus…” seperti mengguman pada diri sendiri, namun aku yakin cukup keras untuk terdengar oleh pak Arifin. Lalu untuk lebih meyakinkan, aku menguap berulang kali seperti tadi siang, dan pura pura bersandar tertidur. Aku benar benar penasaran, apa yang akan terjadi.

 

Akhirnya kami sampai di rumah. Aku membuka mata sedikit untuk memastikan, kemudian aku kembali memejamkan mata dan berusaha bersikap sewajarnya seperti orang tidur. Setelah mobil ini masuk garasi, pak Arifin memanggil Sulikah, yang segera datang, membantu mengangkatku ke atas, karena kamarku memang di lantai 2. Sampai di atas, aku mendengar suara Wawan dan Suwito yang bertanya, “Lho pak, ketiduran lagi seperti tadi siang?”. “Iya, rupanya kecapaian nih non Eliza setelah berlatih balet”, kata pak Arifin. Setelah aku rasakan tubuhku terbaring di ranjang, jantungku makin berdebar, menunggu apa yang akan terjadi. Sulikah menyelimutiku, lalu berkata,”Ya sudah, ayo kita turun”. Dan mereka semua keluar dari kamarku, meninggalkanku yang semakin bingung dan penasaran. Namun naluriku berkata, aku harus tetap pura pura tertidur. Ternyata dugaanku benar, beberapa menit kemudian pintu kamarku kembali terbuka, dengan suara yang sangat pelan. Namun aku bisa mendengarnya, karena aku memang tidak tidur. Dengan jantung berdebar aku menunggu untuk mengetahui siapa yang akan berbuat iseng ini. Aku sedikit membuka mataku dengan amat hati hati, dan segera memejamkan mataku lagi. Ya ampun, aku melihat Wawan dan Suwito berjalan mengendap endap ke arahku yang tergolek di ranjang. Ternyata merekalah pelakunya! Kurang ajar betul mereka ini, sudah untung aku tadi pagi cuek dengan kelakuan mereka terhadap Sulikah, tapi kini mereka malah ngelunjak, hendak mengisengi anak majikan mereka. Sementara kudengar di bawah, Sulikah dan pak Arifin sedang bercanda, terdengar dari tawa Sulikah yang renyah, membuatku menduga duga, apakah Sulikah juga ada main dengan pak Arifin…

 

Tapi, tak ada waktu untuk memikirkan orang lain, karena tubuhku sedang dijahili kedua pembantuku ini. Kurasakan mereka menyingkap selimutku, kemudian mulai meremasi payudaraku, membuatku hampir tak tahan untuk mendesah. Aku bertahan berpura pura tidur, selain takut mereka akan berbuat yang lebih jauh jika aku `terbangun’, aku hanya berharap mereka akan menghentikan aktivitas mereka setelah membuat cairan cintaku membanjir keluar, seperti tadi siang. Duh, mana aku masih memakai stocking dan celana dalam yang ketat lagi. Mereka terus meremasi payudaraku dan nafas mereka semakin memburu, tampaknya mereka sudah terbakar nafsu. Sementara aku berusaha keras meredam gairahku yang mulai naik, dengan cara membayangkan wajah orang yang sangat jelek. Celakanya, mereka melanjutkan remasan di payudaraku dengan rabaan pada perutku, kemudian dengan nakal mereka bergantian menekan nekan vaginaku yang masih tertutup 4 lapis pakaian, celana dalam, stocking, gaun baletku serta blus biru terusan yang sampai ke lutut. Lalu mereka menarik blusku sampai ke pinggangku. Agak kesulitan juga mereka, karena blusku yang memang agak ketat, juga posisiku yang tiduran. Kemudian gaun baletku juga mereka singkapkan, sehingga pertahanan vaginaku tinggal stocking dan celana dalamku. Dalam hati aku berkata, awas saja kalau mereka berani menyobek stockingku, gaji mereka akan kupotong! Stockingku ini mahal harganya, dan aku Cuma punya sedikit. Tiba tiba aku mengejang, menahan geli saat vaginaku kembali ditekan tekan. Kini tekanan itu lebih terasa, karena tinggal stocking dan celana dalam ketat saja yang melindungi vaginaku dari tangan jahil mereka.

Kudengar nafas mereka yang makin memburu, dan Suwito bertanya pada Wawan, “Wan, gimana nih, kali ini ribet nih pakaian si non ini. Apa jangan jangan ia tahu akan dikerjain lagi?”. Wawan tertawa kecil. “Aku rasa tidak mungkin To. Kalo nona kita ini tahu tadi ada yang ngerjain dia, pasti dia marah. Tenang saja To, gula yang non Eliza ambil tadi itu kan gula buat aku, yang sudah aku campurin obat tidur dosis tinggi. Tahu kan aku susah tidur, dan suka minum yang manis? Tapi nona kita yang ayu ini lagi sial kali. Sesuai kebiasaannya, non Eliza ini kan suka minum susu. Dan gula tadi itu membuat dia sekarang dia pasti sedang dalam pengaruh obat tidur seperti tadi siang. Dan, sekarang waktunya non Eliza untuk menyusui kita berdua nih” katanya sok yakin sambil meremas payudaraku dengan keras, membuat aku sedikit mengerutkan mukaku menahan sakit. Hmm, untung aku tadi minum susu tanpa gula sebelum balet. Ternyata kantukku tadi siang yang sudah kuduga tidak sewajarnya ini, gara gara gula yang bercampur obat tidur itu. Sekarang keputusan ada di tanganku. Aku bangun untuk menghentikan kekurang ajaran mereka berdua ini, atau meneruskan aksi pura pura tidurku sampai mereka puas. Setelah berpikir sambil menahan gairahku yang semakin naik, aku putuskan aku harus bangun, tanpa memberitahukan kalau tadi aku minum susu tanpa gula. Aku pikir jika gairahku sudah tak tertahankan dan aku mulai melenguh, gawat juga.

 

Maka perlahan aku menggeliat pura pura akan terbangun, berharap mereka terkejut dan kabur. Tapi mereka masih dengan penuh percaya diri menganggap aksi mereka aman aman saja karena aku masih dalam pengaruh obat tidur, meneruskan aktifitas mereka meraba raba dan menekan nekan vaginaku serta meremasi payudaraku. Kelihatannya tak ada pilihan lain, aku harus bangun dan `memergoki’ mereka menjahiliku. Maka aku pura pura baru tersadar dan merintih pelan, “oh.. siapa kalian… apa yang

kalian lakukan di kamarku? Kalian.. emmmph… emmmph…” Wawan yang panic membekap mulutku dengan telapak tangannya yang lebar, sementara Suwito yang juga panik memandangku dan Wawan bergantian. Wawan membentak kecil, “To! Goblok! Bantu aku cepat!!”. Sama seperti aku, Suwito juga terlihat bingung dan bertanya “Bantu apanya Wan?”. “Cepat ikat non Eliza, dasar goblok! Lu mau kita celaka?” bentak Wawan lagi walaupun suaranya dipelankan, pasti karena takut kedengaran Sulikah dan pak Arifin. Suwito cepat cepat keluar mengambil tali jemuran, kemudian segera kembali. Aku yang mulai meronta ronta menyadari bahaya ini, ditindih oleh Wawan yang memang badannya besar sekali hingga ku tak berkutik. Bau keringatnya membuatku mual, mengendurkan rontaan kakiku dan memudahkan Suwito merentangkan kakiku lalu mengikat kedua pergelangan kakiku pada ujung ujung ranjangku. Kemudian tangan kananku ditariknya kuat dan diikat ke ujung ranjang. Aku sudah hampir tak berdaya, tangan kiriku menggapai gapai namun segera ditangkap dan seperti tangan kananku, ditarik dan diikat erat di ujung kepala ranjangku satunya.

 

Kini keadaanku sudah mirip seperti saat pertama aku ditangkap di UKS kemarin. Bedanya, kini mereka cuma berdua, dan aku masih menebak nebak, ancaman apa yang akan mereka turunkan padaku. Dengan cekatan Wawan melepaskan bekapannya pada mulutku, tapi langsung menyumpal mulutku dengan sapu tangannya. Aduh, rasanya benar benar tak karuan, membuatku ingin muntah, tapi kutahan sekuatnya. Kini aku hanya bisa menatap Wawan penuh kemarahan namun juga ada rasa takut yang menghinggapiku ketika ia mengancamku. “Non Eliza, jangan memaksa kami untuk melakukan hal yang tidak tidak. Kalo non Eliza berteriak hingga mengundang Sulikah dan pak Arifin ke sini, kami bisa membuat mereka berdua pingsan, lalu menculik non dan menjadikan non budak seks kami untuk selamanya. Non Eliza mengerti?” bentak Wawan, lagi lagi dengan suara pelan. Dengan pasrah aku mengangguk. Kemudian Wawan dengan kasar melepaskan sumpalan pada mulutku, membuatku terbatuk batuk, hampir saja bibirku yang bawah terluka karena terhantam gigiku sendiri. “Duh Wan, jangan kasar dong”, aku sedikit membentak karena jengkel sekali. Belum pernah sebelumnya aku membentak para pembantuku. “Kalian ini kurang ajar betul ya. Aku ini sudah berbaik hati tidak akan memperpanjang kalian berbuat mesum di dalam rumah ini, tapi sekarang kalian malah berbuat mesum terhadapku. Ya sudah, mulai hari ini kalian bisa menikmati tubuhku kalau di rumah tidak ada papa mama dan kakakku, saat aku tidak sedang mens, dan aku sedang senggang, yaitu waktu aku tak ada PR, tugas, maupun ujian. tapi jangan kasar kasar. Juga jangan sampai kalian melukai aku ya. Awas kalau kalian berani menyakitiku!”, aku mengancam balik.

 

Mereka saling pandang, kemudian seolah tak percaya dengan pendengaran mereka, mereka bertanya dengan ragu, “mulai hari ini?”. Dengan ketus aku menjawab, “Iya. Mulai hari ini! Kalian ini munafik ya. Aku tahu kalian pasti akan berusaha memperkosaku lagi di lain waktu. Daripada nanti kalian mengikatku, membekapku dan lain lain, itu tidak perlu. Sekarang lepaskan ikatanku. Sangat tidak nyaman tau!”. Mereka terlihat ragu ragu. Wawan berkata “Wah gimana ya, kalo non kami lepaskan, apa jaminan …”, yang langung kupotong “Aku janji aku akan layani kalian. Toh aku sudah tidak perawan lagi, jadi buatku tidak ada ruginya. Asal kalian juga berjanji, tak akan main di kompleks pelacuran. Aku takut terkena penyakit kelamin menular. Kalian mengerti? Sekarang lekas, buka ikatan ini. Aku mau mandi dulu!”. Mereka melepaskan ikatanku, dan memandangiku dengan ragu ragu. Dengan kesal aku membuka semua pakaianku di depan mereka. “Nih. Kalo gak percaya, main aja denganku sekarang!” tantangku. Mereka meneguk ludah melihat tubuh indahku yang terpampang polos di hadapan mereka, kemudian mereka saling mengangguk, dan Wawan berkata, “baik non, kami percaya. Sekarang bagaimana?”. Aku berkata, “Aku mau mandi dulu, gerah nih abis latihan balet. Kalian juga, mandi semua sana. Baunya gak enak tau! Oh iya, ajak pak Arifin sekalian, biar adil. Terus minta Sulikah supaya berjaga, kalau kalau kakakku pulang”. Aku masuk ke kamar mandi, dan menyemprot tubuhku dengan air hangat, mempersiapkan diriku yang akan segera digangbang lagi hari ini. Sebenarnya solusi ini menyebalkan juga, tapi aku pikir lebih baik aku mengalah. Seperti yang sudah kukatakan tadi, toh aku sudah tak perawan lagi, dan aku tak ingin tiba tiba disergap, diikat tak karuan, bajuku terobek, disakiti dan merasa diperkosa.

 

Tiba tiba pintu kamar mandiku terbuka, dan masuk Suwito, Wawan dan pak Arifin yang sudah telanjang bulat. “Non Eliza, kita mandi sama sama saja ya”, kata Wawan. “Aduh, masa sudah segitu tak sabar sih? Ya sudah cepat. Nanti keburu kokoku pulang”, kataku. Mereka bersorak gembira, mengerubutiku dan memandikanku. Kedua tanganku diangkat oleh Wawan yang memang jauh lebih tinggi dariku. Yang lain menyabuni tubuhku dengan penuh semangat, terutama di bagian payudara dan vaginaku. Setelah selesai menyabuniku, mereka membilas tubuhku sampai bersih, dan menggiringku ke ranjang. Aku berkata, “Tunggu, aku keringkan badanku dulu. Dan kalian, mandi dulu sana! Supaya tak terlalu bau nanti waktu main!”. Mereka menuruti permintaanku, mandi sebersih bersihnya dengan sabunku. Untung saja, sebab aku teringat waktu di UKS kemarin sebenarnya aku tak tahan dengan bau mereka berenam, tapi nafsu birahi yang menguasaiku membuatku mampu bertahan. Dan kini mereka tak lagi berbau tak enak seperti tadi, dan aku yang sudah selesai mencuci mukaku di wastafel kamarku, dan mengeringkan tubuhku, tidur telentang di ranjangku dalam keadaan telanjang bulat, Aku sempat melihat jam, pukul 19:00. Mereka langsung mengeringkan tubuh ala kadarnya, dan menyerbuku yang sudah tersaji polos di atas ranjangku. Wawan mendapat jatah vaginaku, sementara Suwito dan pak Arifin mendapat jatah kedua payudaraku. Wawan menjilati vaginaku yang katanya wangi, sementara Suwito dan Pak Arifin menyusu pada kedua payudaraku sambil meremas remas cukup keras. Dan aku? Tentu saja birahi yang hebat segera melandaku, aku mengerang, mendesah dan menggeliat keenakan.

 

Dengan penuh nafsu Wawan terus menjilat bahkan mencucup vaginaku. Perlahan tapi pasti, cairan cinta mulai mengalir membasahi dinding vaginaku, yang segera diseruput oleh Wawan dengan rakusnya. Aku sampai menggelinjang kegelian, tanpa sadar kedua tanganku menggenggam sprei menahan nikmat yang kurasakan sekarang ini. Desahan nafasku semakin hebat ketika Wawan menusukkan lidahnya ke dalam vaginaku. Sedangkan pak Arifin dan Suwito semakin bernafsu menyusu ke payudaraku, akhirnya setelah 5 menit aku menggeliat dan mengejang, orgasme melandaku. Cairan cintaku mengalir banyak keluar, sehingga Wawan kelabakan tak mampu membendung Walaupun tak sedahsyat kemarin, tapi sudah cukup untuk membuat nafasku tersengal sengal, seluruh tubuhku berkeringat dan terasa semakin lelah, terutama betisku yang terasa semakin pegal, mungkin karena terlalu sering mengejang dua hari ini, reaksi saat orgasme melandaku. Kini Wawan sudah mengambil posisi di selangkanganku, membuat aku memperhatikan, penis seperti apa yang akan segera memompa vaginaku ini. ternyata penis Wawan tak sebesar dugaanku, paling tak sampai 20 cm, mungkin sekitar 18 cm. Dan diameternya pun mungkin hanya sekecil penis pak Edy, wali kelasku yang aku duga hampir impoten itu. Aku jadi sedikit tenang dan tidak kuatir mengalami sakit yang berlebihan seperti ketika aku dipompa Girno kemarin. Namun aku sedikit bertanya tanya, apa kenikmatan yang aku dapat hari ini akan setara dengan yang aku dapat kemarin? Aku jadi ingin tahu, penis siapa di antara mereka bertiga ini yang paling besar. “He, kalian diam dulu, jangan membuat non Eliza mulet mulet, aku mau memasukkan punyaku dulu”, seru Wawan yang kesulitan menusukkan penisnya karena dari tadi aku menggeliat keenakan saat putingku disedot sedot oleh mereka berdua ini.

 

Mereka berdua pun diam, ikut memperhatikan proses penetrasi penis Wawan ke anak majikannya ini. Clep, demikian bunyi tusukan yang menenggelamkan kepala penis itu dalam liang vaginaku, membuatku sedikit mengejang saat menerima tusukan itu. Penis ini terasa begitu keras, dan terus menusuk dalam, tapi rasanya tak akan sampai menyentuh dinding rahimku. Wawan melenguh kencang, “ooouuuugh… heeeeghh…”, sementara aku menggigit bibir merasakan sedikit sakit yang bercampur sedikit nikmat. kemudian Wawan mulai bergerak memompa vaginaku, membuat rasa nikmat menjalari sekujur tubuhku. Aku menggeliat pasrah, sementara kedua rekannya yang ikut terbakar nafsu, meminta pelayanan yang lebih dariku. Suwito menaiki perutku, dan meletakkan penisnya di tengah payudaraku. Aku dipaksa merapatkan kedua susuku dengan kedua tanganku hingga menjepit penis itu, lalu ia mulai menggesek gesekkan penisnya yang juga tak terlalu panjang, dan tak terlalu lebar juga diameternya, di antara lipatan buah dadaku. Lalu pak Arifin menyodorkan penisnya ke wajahku, yang membuatku tertegun. Nyaris sebesar punya Girno, hanya yang ini lebih berurat. Dengan ragu aku mengulum penis pak Arifin, yang tentu saja tak muat dalam mulutku yang mungil ini. Tiba tiba telepon di kamarku berdering, dan pak Arifin melepaskan penisnya dari mulutku, mengambil telepon itu dan mendekatkan padaku. Sementara Wawan dan Suwito dengan cueknya meneruskan aktivitasnya. Wawan terus memompa vaginaku dan Suwito terus menikmati jepitan payudaraku pada penisnya.

 

Pak Arifin mengangkat telepon itu, dan memegangkan gagang telepon untukku, karena kedua tanganku sibuk menahan payudaraku menjepit penis si Suwito. “Me, ini aku. Aku pulangnya masih ntar malaman lagi, soalnya tugasnya belum selesai nih”, terdengar suara yang ternyata kakakku. Dalam keadaan sedang disetubuhi, aku harus menjawab dengan nada yang sewajarnya supaya ia tak curiga yang macam macam, “Iya ko… jadi… koko.. pulang jam berapa.. nanti”, tanyaku sedikit terputus putus karena Wawan terus menggenjotku tanpa ampun. “Yaa, bentar lagi sih keliatannya sudah selesai, tapi setelah selesai aku dan yang lain mau pergi dulu, minum es bareng bareng. Yaa, anggap saja merayakan kecil kecilan. Sulit lho ini tugasnya Kamu mau aku bawakan es juga me? Aku bungkuskan buat kamu ya?” tanya kakakku. “Iya.. boleh ko… Jangan… terlalu malam… ya… hati hati.. ko”, kataku, semakin terputus putus karena si Wawan dengan kurang ajar meningkatkan kecepatannya dalam memompa vaginaku, bahkan saat menancap dalam ia sengaja membiarkan penisnya tertanam sedikit lebih lama, membuat gairah tubuhku semakin bergolak. Celaka, jangan sampai aku orgasme selagi telepon dengan kakakku nih. “Ya, mungkin aku sampai rumah jam setengah 12 malam. Me, kamu kenapa? Sakit ta? Kok seperti ngos ngosan gitu?” tanya kakakku. “Nggak… ko… Cuma… ingin… ke wc… sudah dulu.. ya ko”, kataku sambil menyuruh pak Arifin meletakkan gagang telepon dengan bahasa isyarat, sementara nafasku makin memburu.

 

Begitu telepon tertutup, aku segera melepaskan lenguhan yang sejak tadi kutahan tahan, dan aku langsung orgasme, kali ini lebih hebat dari yang pertama tadi. Tubuhku sedikit terlonjak lonjak, kedua kakiku melejang lejang dan cairan cintaku keluar banyak sekali hingga membanjir membasahi penis Wawan. Aku memandangnya dengan jengkel sekaligus penuh gairah, apalagi Wawan terus memompaku dengan kecepatan yang makin tinggi, membuat gairahku langsung bangkit walau baru orgasme hebat. Pak Arifin bertanya, “non, kakaknya non pulang jam berapa?”. Aku berkata tetap dengan suara yang terputus putus, “Setengah..dua..belas.. pak”. Pak Arifin lalu keluar entah kemana, aku juga sudah tak perduli. Gila, stamina Wawan benar benar luar biasa, aku dibuatnya kewalahan. Sodokan demi sodokan seolah memompa gairahku meuju orgasme, dan luar biasa, aku sudah orgasme yang ketiga saat ini, dua kali akibat dipompa Wawan dengan ganas, sementara dia tak ada tanda tanda keluar. Jam sudah menunjuk waktu 19:35, sudah setengah jam aku dipompa Wawan, dan ia belum menunjukkan tanda tanda akan orgasme. Bahkan milik Suwito sudah berkedut, ia buru buru memasukkan penisnya ke dalam mulutku yang langsung mengulum rapat dan menyedot nyedot penisnya, membuat Suwito mengerang dan melenguh, spermanya menyemprot deras ke dalam kerongkonganku. Rasanya sedikt lebih gurih dari 6 orang kemarin, atau aku yang sudah mulai menikmati minum sperma, aku juga tak tahu pasti. Penis Suwito terus kusedot sampai mengecil dan tak ada sisa sperma yang menempel sedikitpun.

 

Kini sementara aku tinggal menghadapi Wawan satu lawan satu. Tiba tiba Wawan dengan perkasa menarikku bangun, dan ia turun dari ranjang berdiri, dengan tetap memeluk pinggangku dan penis yang masih terus menancap erat dalam vaginaku, membuat aku takut terjatuh hingga melingkarkan betisku ke pinggangnya dan merangkul lehernya erat. Wawan menggunakan kesempatan itu untuk melumat bibirku, sementara sodokan penisnya yang begitu kokoh bagaikan sebatang besi, terasa makin dalam menancap di vaginaku, membuatku semakin melayang layang, mengantarku mengalami multi orgasme di pelukan Wawan. “Oooooh…. Waaaaan…. aaaa…duuuuh… e….naaaaak”, erangku, tanpa terkendali aku mengejang ngejang susul menyusul di pelukan Wawan. Kepalaku menengadah, pantatku terasa kejang tersentak sentak ke depan, cairan cintaku membanjir membasahi lantai kamarku, nafasku seperti orang yang habis lari berkilo kilo. Nikmat yang melandaku ini entahlah, mungkin setara dengan nikmat kemarin saat aku digangbang Girno, Urip dan Soleh. Namun Wawan melakukannya sendirian, membuatku kini memandangnya agak lain. Wajahnya memang tak karuan, penisnya juga tak terlalu besar dan tak terlalu panjang, tapi, penisnya memang luar biasa keras, dan kalo staminanya seperti ini, aku berpikir bisa bisa kelak aku yang mencarinya untuk memuaskanku. Aku benar benar sudah larut dalam permainan seks ini, rasanya aku sudah berubah dari cewek yang alim dan terpelajar, menjadi cewek bispak!

 

Lamunanku buyar saat Wawan tiba tiba memelukku makin erat, sodokannya makin bertenaga, sementara tubuhnya terasa bergetar getar. Oh.. apakah akhirnya ia akan orgasme? Ia mulai melenguh, “heeegh.. non… E…..li……zaaaaaaa…..”, sambil menjepit tubuhku dengan pelukan yang menyesakkan dadaku, namun membuatku kembali orgasme kecil, menngiringi semprotan spermanya yang amat banyak di dalam vaginaku. Wawan menaruhku di ranjangku, dan aku agak terbanting, untungnya ranjangku empuk. Ia terus menanamkan penisnya di dalam liang vaginaku, lalu menindih tubuhku hingga kakiku makin terkangkang lebar. Ia memagut bibirku dengan buas, membuat aku megap megap. Untungnya penisnya semakin mengecil, dan dengan posisi tubuhku yang terlipat iini penisnya dengan cepat terlepas dari vaginaku. Cairan cintaku menghambur keluar cukup banyak bercampur spermanya dan membasahi kedua pahaku ketika aku ditariknya berdiri. Ia memelukku dengan erat dan kembali memagut bibirku seolah aku ini kekasih yang sudah lama dirindukannya. Saat itu aku melihat jam sudah menunjuk pukul 20:10. Edan. Ini berarti Wawan menggenjotku selama satu jam. Benar benar lelaki yang perkasa. Tiba tiba entah sejak kapan, aku melihat Sulikah dan pak Arifin sudah ada di kamarku, kelihatannya sejak lama, cukup lama untuk melihat aku menyerah dalam pelukan Wawan. Pak Arifin mendekat mengambil giliran. Aku masih tersengal sengal, ketika pak Arifin yang biasanya kalem ini dengan buas penisnya yang berukuran raksasa langsung diterjangkan ke vaginaku yang untungnya masih basah kuyup oleh campuran sperma Wawan dan cairan cintaku tadi, sehingga masih sangat licin.

 

“aaagh…aduh…oooh… heeegh…auuuh…nngggh “, erangku berulang ulang tanpa daya ketika pak Arifin dengan bersemangat sekali memompa vaginaku yang langsung terasa amat sakit seperti saat pertama Girno memompa vaginaku. Urat urat itu terasa begitu menggerinjal mengaduk aduk vaginaku. Rasa sakit yang nyaris tak tertahankan ini membuatku teringat sisa obat perangsang di tas sekolahku. Aku meminta pak Arifin berhenti sebentar, dan minta tolong pada Sulikah untuk mengambilkan botol aqua yang isinya tinggal separuh itu di dalam tasku, yang langsung kuteguk habis begitu Sulikah memberikan padaku. Aku sempat melihat sekelilingku, Wawan duduk di sofa kamarku, sementara Suwito tiduran di lantai. Dan Sulikah kembali duduk di kursi meja riasku. Lalu aku mempersilakan pak Arifin untuk mulai memompa vaginaku begitu aku mulai merasa panas yang tak wajar menjalari tubuhku. Ya, obat perangsang itu mulai bekerja. Tanpa mampu mengendalikan diri, aku melayani pak Arifin dengan penuh nafsu, sakit yang tadinya melanda vaginaku sudah lenyap sama sekali berganti kenikmatan yang luar biasa dahsyat.Lenguhan, desahan dan erangan kami berdua memenuhi kamarku,membuat siapa saja yang mendengarpasti bangkit gairahnya, termasukWawan dan Sulikah, yang aku lihat sudah saling memagut bibir denganserunya, membuatku tak mau kalah dan menarik leher pak Arifin untukkemudian kupagut bibirnyadengan ganas. Sudah 15 menit pak Arifinmemompaku, entah aku sudah berapa kali melayang dalamorgasme,akhirnya pak Arifin melenguh panjang, menyemprotkan spermanya dalamliang vaginaku.Semprotan itu terasa begitu banyak dan kencang,rasanya mengenai bagian terdalam di liang vaginaku,mungkin menembusrahimku. Aku tergolek lemas dalam keadaan penuh nafsu, memandangSuwito yangharusnya sudah pulih karena ia yang pertama keluar tadi.

 

Suwito langsung tanggap dan mendekatiku. Iasegera menusukkan penisnyake dalam vaginaku, danmulai memompa vagina yang sudah kehausan penislelaki. Obat perangsang itu benar benar dahsyat, akumencumbu Suwitodengan buas, membuat Wawan yang sudah bergairah tak tahan lagi danmendekatiku.Suwito mengerti dan mendekapku erat lalu berbaringtelentang hingga aku kini menindihnya. Dan Wawanmenjilati anusku,mendatangkan sensasi aneh dan luar biasa bagiku. Lidahnya terusmengorek ngorekanusku yang semakin lebar, kemudian ia menyuruhkumeludahi penisnya yang disodorkan ke wajahku.Dalam kepasrahankuturuti kemauannya, aku tahu ia akan segera membobol anusku. Tapi akuyangsudah terangsang hebat ini tak perduli. Dengan beberapa kalidorongan, akhirnya penis Wawan yangsudah amat licin itu menembusanusku, membuatku melolong panjang karena kesakitan. Bagaimanapun,akubelum terbiasa anusku dibobol. Kini dalam keadaan disandwich, akudisodok sodok bergantian dariatas dan bawah, hingga akhirnya taksampai 10 menit kemudian aku sudah orgasme, bersamaan denganmenyemprotnya sperma Suwito dalam liang vaginaku. Dalam keadaan anuskumasih tertancap penisWawan, pak Arifin menggantikan posisi Suwito.Penisnya yang raksasa itu sudah menegang tegak, siapuntuk kembalimenyodok vaginaku dengan buas. Suwito menyodorkan penisnya ke wajahkudan aku takperlu disuruh, segera kubersihkan sperma yang tertinggaldi penis itu dengan mengulum ngulum danmenyedot nyedot penis ituhingga bersih, sementara pemiliknya melenguh lenguh keenakan, laluroboh didepanku.

 

Birahiku yang semakin tinggi membuatku antara sadar dan tidak, denganpenuh nafsu melayani sodokandua penis sekaligus di selangkanganku.Kugerakkan tubuhku mengikuti irama sodokan itu, berulang ulangakumencapai klimaks, sampai akhirnya pak Arifin orgasme duluan. Kinitinggal Wawan yang menyodomiaku dengan gencar, memang Wawan luar biasa. Pak Arifin menyodorkanpenisnya untuk kubersihkan, dan aku dengan semangatmulai mengulum danmenyedot nyedot penis itu sampai mengecil, sementara Suwito sudahberada dibawahku, namun bukan untuk menikmati vaginaku, melainkanmenyedot susuku yang tergantung karenakini aku dalam keadaan doggiestyle. Pak Arifin duduk dan melumat bibirku dengan bernafsu. Sulikahkulihat mulai bermasturbasi dengan mengaduk vaginanya dengan jarinyasendiri. Ia pasti terangsanghebat melihatku begitu pasrah dikeroyokoleh 2 orang rekannya ditambah sopirku. setengah jam kemudian Suwito sudahpulih,dan menusukkan penisnya ke vaginaku, membuat selangkanganku kembaliterasa sesak membangkitkan gairahku, dan tak lama kemudian akulangsung orgasme hebat. Seolah bekerja samadengan Wawan, merekamenusukkan senjatanya dalam dalam bersamaan dan berlama lama menahanpenis mereka di sana, membuat aku melenguh lenguh tak kuasa menahannikmat. Aku sudah setengahsadar saat jam menunjuk pukul 22:15. Entahsudah berapa puluh atau berapa ratus mili liter cairan cinta yangsudah diproduksi tubuhku selama 3 jam ini. Mereka bertiga bergantianmemuaskanku, sampaiakhirnya ambruk satu per satu di sekelilingku.Kondisiku sendiri tak lebih baik, tenagaku terasa terkurashabis.Untungnya aku besok masih sekolah siang. Ya, semester depan aku akansekolah pagi. Yang jelasbesok aku masih ada kesempatan bangun agak siang.

 

Deru nafas yang memburu bersahut sahutan di kamarku. Aku mulai sadardari pengaruh obat perangsangtadi, dan bangkit menuju kamar mandikudengan sempoyongan. Kukeluarkan sperma yang bisa akukeluarkan darivaginaku dengan bantuan tangan dan siraman air shower. Aku mandikeramas menghapussisa keringatku dan keringat mereka yang menempel disekujur tubuhku, lalu mengeringkan tubuhkuserta rambutku. Kemudian,masih telanjang bulat, aku kembali ke ranjangku yang masih awut awutanakibat `perang’ yang baru terjadi. Wawan masih tergeletak diranjangku, aku memintanya turun, karenaaku harus mengganti spreiranjangku. Aku tak mau tidur dengan bau keringat, sperma dan cairancinta disekitarku. Dibantu Sulikah aku memasang sprei yang baru,sementara sprei tadi dibawanya turun ketempat cucian setelah ia pamitpadaku untuk tidur. Sementara 3 begundal ini, aku masih ada urusanyangharus kubicarakan dengan mereka semua. “Pak Arifin, Wawan danSuwito. Sekali lagi, aku ingatkan, halbarusan ini hanya bisa terjadijika kedua ortuku dan kakakku tidak ada di rumah, juga jika aku tidakadaPR atau tugas ataupun ujian, juga pada saat aku mens. Di luar itu,jangan coba coba memaksaku. Kaloketahuan, selain kalian dipecat, akusendiri juga bakal susah. Daripada hal yang sama sama merugikankitasemua terjadi, tolong kalian tidak berlaku ngawur. Kalian juga bisamenikmatiku, tapi kalian harusjanji tak akan jajan di luar. Saya takingin kena penyakit kelamin yang menular. Apa kalian mengerti?”tanyakupanjang lebar, yang dijawab mereka semua, “akuuuur…”.

 

Lalu dengan langkah gontai karena sama sama kehabisan tenaga, merekabertiga keluar dari kamarkumenuju ke kamar masing masing. Tinggal akusendiri yang menunggu kakakku pulang sambil merenung.Masih ada sejamlagi sebelum kakakku pulang, aku berpikir aku lebih baik tidur saja,toh kakakku bawa kunci pintu depan. Aku mengenakan baju tidur satinyang nyaman seperti kemarin, lalu mengistirahatkantubuhku yang sudahamat kepayahan ini di atas ranjangku yang empuk. Aku membayangkan,Jumatdepan aku harus melayani 6 begundal kemarin. Apa lokasinya tetapdi ruang UKS itu? Apa yang haruskulakukan? Bagaimana jika merekagelap mata menyeretku ke mess yang dihuni sekitar 60 orang itu?Akubisa apa? Apa mereka tetap mau melepaskan diriku seperti kemarin?Lalu, sampai kapan aku akanjadi budak seks kedua pembantu dan sopirkuini? Pertanyaan demi pertanyaan menghiasi pikiranku,mengantarku tiduryang kali ini tak begitu nyenyak. Beberapa jam sekali aku mengalamimimpi buruk,dimana aku berada di tengah kerumunan 60 orang yangmengepung diriku hingga aku panik danterbangun. Oh.. apakah ini tandabahwa nanti aku benar benar harus melayani penghuni mess dimanaGirnodan yang lain tinggal itu?

====================================================

Tidurku yang tak nyaman karena dilanda mimpi buruk, terasa makin tak nyaman karena nafasku tiba tiba terasa sesak, dan tubuhku seperti terhimpit sesuatu. Rasanya aku tidak mengidap penyakit asma. Namun selangkanganku terasa enak dan nikmat, seperti ada penis yang mengaduk vaginaku. Belum lagi rasanya payudaraku diremas lembut, membuatku perlahan tersadar dari tidurku, untuk kemudian mendapati ternyata Wawan yang membuatku terbangun dengan menyetubuhiku. Aku yang masih belum sadar betul, terkejut melihatnya ada di kamarku, apalagi sedang menyetubuhiku, membuatku menjerit ketakutan dan mendorongnya, namun ia terlalu berat buat cewek mungil sepertiku. “Lho Non Eliza, katanya mulai kemarin saya boleh menikmati Non?” tanya Wawan memprotesku. Aku langsung sadar, teringat kemarin memang aku menjanjikan hal ini. “Tapi bukan gini caranya Wan! Masa aku lagi tidur kamu ajak beginian. Nggak sopan tahu! Lagian aku tadi masih belum sadar benar, bangun bangun ada orang lain di kamarku, kukira aku sedang diperkosa rampok tau!”, kataku ketus. Sedikit jual mahal boleh dong? Mendengar omelanku, Wawan terdiam. Tapi penisnya yang menancap di vaginaku tidak mengendur sedikitpun. Aku menghela nafas panjang, lalu berkata “Ya sudah, cepat lanjutkan. Mana kamu ini lama lagi kalau main. Oh tunggu!!”, tiba tiba aku teringat dan menurunkan volume suaraku, “Gila kamu ya Wan, kakakku mana??”. Wawan cengengesan dan berkata, “tenang Non, liat ini jam berapa? Kakak non sudah pergi setengah jam yang lalu kok. Dan saya sudah tidak tahan untuk bermain lagi dengan non nih”. Oh.. aku sedikit lega, dan melihat jam, yang ternyata sudah jam 08:15 pagi. “Lalu, sejak jam berapa kamu nggghh… ” belum selesai aku bertanya, Wawan sudah mulai menggenjotku dengan tak sabar, hingga aku melenguh, keenakan.

 

“Oh..Wan… kamu…”, desahku nikmat. Wawan tersenyum penuh kemenangan, membuatku sedikit jengkel juga, tapi hanya sebentar, karena rasa nikmat langsung melandaku ketika Wawan mengulangi gayanya kemarin, ia memeluk pinggangku, dan menarikku berdiri. Penis yang amat kokoh itu langsung terbenam begitu dalam, membuatku melenguh lenguh. Bukan hanya karena takut, tapi juga tak ingin penis itu lepas dari vaginaku, membuatku tanpa sadar kembali melingkarkan kakiku ke pinggangnya. Rasanya tusukan penis itu semakin dalam, dan aku yang sudah melingkarkan tanganku ke lehernya supaya tubuhku tidak terjatuh ke belakang, memagut bibirnya penuh nafsu tak perduli dengan wajahnya yang amburadul. Terakhir aku minum obat anti hamil adalah ketika aku digangbang di ruang UKS 2 hari yang lalu, tapi aku tak kuatir hamil, sebab kini aku sedang bukan dalam masa subur. Aku sudah tak lagi punya niat untuk jual mahal, karena rasa nikmat yang sudah menjalar ke seluruh tubuhku benar benar menghancurkan akal sehatku. Wawan terus memompa vaginaku sambil berjalan, rasanya nikmat sekali. Aku heran dan menduga duga ke mana ia mau membawaku, sambil mulai memperhatikan keadaanku. Bajuku masih melekat, walaupun tanpa bra. Aku memang tak pernah tidur dengan memakai bra. Tapi celana panjangku dan celana dalamku tidak ada, dan sempat aku melihat dari pintu kamarku ketika Wawan membawa tubuhku keluar, kutemukan kedua benda itu tergeletak di lantai kamarku. Kini Wawan menuruni tangga, rupanya hendak mengajak rekannya kemarin untuk bersama sama menikmati tubuhku.

 

Gawat juga nih. Kalau tiap pagi sarapan sex seperti ini, bagaimana aku konsentrasi di sekolah? Tapi aku tak kuasa menolak kenikmatan ini, dan pasrah saja mengikuti kemauan Wawan. Setiap langkahnya di tangga membuat penisnya memompa vaginaku, dan aku orgasme ringan hingga cairan cintaku mengalir semakin banyak, seharusnya membasahi paha Wawan, yang terlihat senang senang saja. Akhirnya ia membawaku ke kamar tidur pembantu laki laki di rumahku, dimana pak Arifin dan Suwito sudah menunggu. Dengan nafas tersengal sengal karena sodokan Wawan yang semakin gencar, aku yang menyadari akan segera digangbang lagi, mencoba mengingatkan mereka dengan terputus putus bercampur desahan dan lenguhan, “kalian… harus inghh… ingat… yaaah…. ngggh…. aku nantiiii…. harus… sekolah….”. Mereka tertawa, dan Suwito berkata, “Tenang non Eliza, cuma satu ronde kok. Kami kan juga harus kerja membersihkan bagian luar rumah Non…”. Suwito membelai pantatku dan melanjutkan “aduh non, kalau begini non cantik banget lho non, mana ada bintang film porno yang secantik nona kita ini ya?”. Pak Arifin menyibakkan rambutku yang terurai ke belakang telingaku dan menimpali, “Kita ini benar benar beruntung bisa kerja di sini. Di mana lagi kita dapat menikmati nona amoy secantik non Eliza ini.. seterusnya lagi. Non Eliza sendiri kan yang minta? Kalau begini mah, bayaran gak naik juga kita betah lho Non kerja sampai tua di sini”.

 

Mereka tertawa senang sementara aku yang antara malu bercampur terangsang, tak bisa menanggapi gurauan mereka, karena Wawan sudah melanjutkan pompaan penisnya yang sekeras batangan besi itu, membuatku menggeliat dan melenguh dalam pelukannya. “Nggggh.. Waaan….aduuuh….emmpph”, Wawan memagutku dengan buas, hingga aku tak bisa lagi bebas melenguh. Yang lain sabar menanti gilirannya dengan caranya masing masing, Suwito membelai dan meremas pantat dan payudaraku, sementara pak Arifin membelai belai rambutku yang panjang sampai sepunggung ini, sambil menghirup bau harum rambutku. Dengan tubuh yang dirangsang 3 orang sekaligus seperti ini, membuat orgasme demi orgasme meluluh lantakkan tubuhku, sampai akhirnya datanglah saat saat yang paling nikmat itu, aku kembali mendapatkan multi orgasme. “Mmmmmph… hnngggh.. oooohhhh… aaa….duuuuuh….” erangku saat tubuhku terlonjak lonjak tak karuan, cairan cintaku membanjir dan membanjir. Betisku melejang lejang, pinggangku tertekuk ke belakang ketika aku menikmati orgasmeku dengan total. Tubuhku pasti sudah jatuh kalau tak ditahan Suwito dan pak Arifin, yang memanfaatkan kesempatan itu untuk menyusu pada payudaraku sambil meremas remas dengan gemas, membuat orgasmeku yang susul menyusul ini makin terasa nikmat. Dentang grandfather clock dari dalam ruang tamu di rumahku menunjukkan sekarang ini adalah jam 09:00!

 

Oh… entahlah, mungkin sudah sejam kali aku digenjot Wawan, kalau ditambah dengan waktu aku masih tertidur. Ia memang perkasa untuk urusan sex, membuatku semakin kagum padanya. Beberapa menit setelah aku orgasme, Wawan tak tahan lagi. “Oooh… memeknya non Eliza ini…. rasanya kontolku kayak diurut urut… sudah 3 menit… aaah… “, erangnya sambil menembakkan spermanya di dalam liang vaginaku. Aku memejamkan mata ingin menikmati sepuas puasnya rasa hangat yang memenuhi relung relung vaginaku. Kurasakan tubuhku dibaringkan di salah satu ranjang mereka, dan penis Wawan sudah terlepas dari vaginaku. Aku membuka mataku, untuk melihat giliran siapa berikutnya. Sedikit beda dari kemarin, sekarang gilirannya Suwito, yang sudah mengambil posisi di selangkanganku, dan segera membenamkan penisnya ke dalam vaginaku yang masih sangat basah oleh cairan cintaku dan sperma Wawan.Aku hanya bisa menggeliat pasrah dibawah tindihan Suwito, yang dengan penuh semangat menggenjotku sepuas puasnya. Pak Arifin masih memainkan rambutku, yang menurutnya sangat indah. Tiba tiba aku teringat penis Wawan yang pasti masih belepotan sperma yang bercampur cairan cintaku. Entah apa yang mendorongku, tapi aku hampir tak bisa mempercayai bahwa itu adalah suaraku sendiri ketika aku memanggil Wawan, “Wan, sini aku oralin bentar”.

 

Wawan yang sedang duduk di lantai beristirahat, tentu saja tak perlu kuminta dua kali, ia segera bangkit mendekatiku dan menyodorkan penisnya untuk kuoral, dan tanpa malu malu aku memegang penis yang sudah mengendur itu, kukulum kulum dan kuseruput hingga pipiku terlihat kempot, sampai tak ada sperma yang tersisa, sementara Wawan melenguh lenguh keenakan. Benar benar edan! Bagaimana mungkin aku bisa seliar ini? Bahkan aku merasa sperma itu begitu enak dan gurih, apakah ini karena aku mulai ketagihan minum sperma? Mungkin saja, karena kini aku sudah tak sabar lagi menunggu Suwito orgasme, karena aku ingin segera menjilati dan menyedot sperma lagi. Maka setelah penis Wawan selesai kuoral sampai bersih, aku segera menggerakkan pinggulku menyambut tusukan demi tusukan Suwito, dan benar saja, tak sampai 10 menit Suwito sudah menggeram. Ingin aku memintanya keluar di mulutku, namun aku takut dianggap tidak adil karena tadi Wawan sudah keluar di dalam. Maka aku diam saja, membiarkan Suwito memuaskan hasratnya untuk menyemprotkan spermanya dalam liang vaginaku. Setelah kurasakan tak ada semprotan lagi, aku segera mendorong tubuhnya sampai penisnya terlepas dari jepitan liang vaginaku, dan buru buru aku berkata, ”To, cepat sini…”. Suwito pun segera menghampiriku, membenamkan penisnya ke mulutku, dan aku segera menyedot nyedot dengan memejamkan mataku, merasakan tetes demi tetes sperma yang teroleskan di lidahku. Rasanya nikmat sekali, asin dan begitu gurih.

 

Pak Arifin yang sempat tak kulihat batang hidungnya, kulihat kembali, sambil membawa sebuah sendok teh dan piring kecil. Aku tak terlalu memperdulikan hal itu, dan terus mengulum penis Suwito. Tiba tiba, aku melepaskan kulumanku, sambil melenguh pelan karena merasakan nikmat pada selangkanganku. Tak apa apa, toh penis Suwito sudah bersih. Tapi bukan itu yang harus kupikirkan, maka aku melihat ada apa dengan selangkanganku. Ternyata pak Arifin sedang menyendoki lelehan sperma yang bercampur cairan cinta yang mengalir keluar dari vaginaku, dan ditadahi dengan piring kecil tadi. Aku hanya diam menahan nikmat, ketika sendok kecil itu mengorek ngorek vaginaku dengan lembut, seolah menyendoki cairan cintaku dan sperma sperma dari Wawan dan Suwito. Setelah cukup lama, mungkin setelah vaginaku sudah tak terlalu becek lagi, pak Arifin berkata, “Non Eliza, non suka peju ya? Saya suapin peju mau ya?”. Aku dengan sedikit malu, mengangguk pelan, dan pak Arifin mulai menyuapiku dengan lembut seperti menyuapi anaknya yang sedang sakit. Kembali aku merasakan sperma yang bercampur cairan cinta. Suapan demi suapan cairan yang gurih dan nikmat ini membuat aku tak begitu lapar lagi meskipun aku ingat aku belum makan pagi. Setelah jatahku habis, pak Arifin mulai bersiap menggenjotku, sambil bertanya, “Non Eliza, non mau nggak kalau nanti saya mengeluarkan peju dalam mulut non?”. Aku mengangguk senang, kemudian melebarkan selangkanganku selebar lebarnya, karena aku ingat penis pak Arifin ini berukuran raksasa. Kurasakan penis itu sudah mulai melesak sedikit, dan gairahku langsung naik cepat. Apalagi Wawan dan Suwito ikut menyusu pada payudaraku dengan remasan remasan kecil.

 

“Aduh… oooh…”, erangku antara sakit dan nikmat. Tetap saja ada rasa sakit yang melanda vaginaku, karena ukuran penis pak Arifin sangat besar. Tapi kini aku bisa lebih cepat beradaptasi, dan mulai mengimbangi genjotan sopirku ini. setelah rasa sakit itu lenyap, aku mulai mendesah dan melenguh keenakan. Penis itu seolah menancap begitu erat, sehingga ketika pak Arifin menarik penisnya, seolah vaginaku yang menjepit penisnya ikut tertarik, dan tubuhku terangkat sedikit. Namun ketika penis itu menghunjam, rasanya vaginaku serasa sedang dimasuki daging keras yang besar hingga sesak sekali. Tak sekeras punya Wawan memang, tapi masih keras untuk ukuran orang seumur pak Arifin. Dan cukup keras untuk membuat aku serasa melayang ke awang awing. Rasa nikmat ini akhirnya membuat aku orgasme, kembali kakiku melejang lejang membuat jepitan vaginaku pada penis pak Arifin makin erat, dan ini membuat pak Arifin kelabakan, penisnya berkedut kedut. Ia segera menarik penisnya lepas dari vaginaku dengan tergesa gesa, dan segera membenamkan penisnya dalam mulutku. Segera semprotan spermanya yang juga terasa asin dan gurih, membasahi kerongkonganku. Aku terus melahap sperma itu, menjilati dan mengulum penis itu hingga bersih. Aku sudah tak merasa lapar lagi setelah sarapan sperma dan cairan cintaku sendiri. Mereka bertiga akhirnya duduk mengatur nafas mereka yang masih memburu. Wawan yang paling duluan pulih, namun sesuai janji mereka, ini hanya satu ronde. Tiba tiba Sulikah datang terburu buru sambil membawa celana dalam dan celana panjang satin pasangan baju tidurku. “Non, kakaknya non sudah pulang. Cepetan non, pakai ini dan kembali ke kamar non”, seru Sulikah agak panik. Aku juga ikut panik, segera memakai celana dalam dan celana panjang ini, kemudian berlari kembali ke kamarku. Yang lain juga segera memakai bajunya masing masing, kemudian segera keluar dari kamar tempat kami pesta sex barusan, seolah olah sedang bekerja seperti biasa.

 

Untung Sulikah memberitahu tepat pada waktunya, aku sudah di dalam ruang makan ketika kudengar deru mesin mobil kokokku di garasi. Rupanya dosen yang mengajar mata kuliahnya pagi ini tidak datang. Aku naik tangga dengan jantung berdegup kencang, akhirnya sampai juga aku ke dalam kamarku yang kulihat sudah rapi, pasti Sulikah yang merapikan. Sempat kulihat jam, ternyata sudah jam 09:30. Dan aku segera masuk ke kamar mandi, membersihkan tubuhku dari keringatku dan keringat 3 orang tadi, juga vaginaku kucuci bersih, hingga terasa kesat. Mungkin karena cuma 1 ronde, tubuhku tak terlalu lelah. Selesai mandi, aku mengeringkan tubuhku sambil memastikan tak ada tanda tanda aku baru saja bermain sex dengan mereka. Lalu aku memakai baju santai, dan turun ke ruang makan. Di sana sudah menunggu kokoku, yang membawakan aku nasi campur di dekat sekolahnya, kesukaanku. Yah, kebetulan deh. Aku kan belum makan pagi, cuma sarapan sperma dari mereka bertiga tadi. Aku memeluk kokoku senang, dan berkata, “thank you ya kokoku yang baik”. Kokoku tertawa dan menggodaku, “Iya me. Tapi baik kalau bawain makanan aja ya? Kalau nggak jadi nggak baik?”. Aku memukul lengannya manja, lalu kami makan bersama. Kami ngobrol kesana kemari, dan tak terasa akhirnya selesai juga kami makan.

 

Kokoku kembali ke kamarnya, mungkin main komputer. Aku juga kembali ke kamarku, mempersiapkan diri ke sekolah. Sekarang sudah jam 10, aku biasanya berangkat jam 11:30. masih ada satu setengah jam lagi, aku menyiapkan seragamku, putih abu abu. Juga tas sekolahku, yang membuatku teringat tentang obat perangsang itu. Lalu aku menyisir rambutku rapi, dan duduk manis di ranjangku. Sambil menunggu, aku menelepon temanku, dan kami ngobrol sampai tak terasa sudah waktunya aku harus berangkat. Setelah berpamitan, aku mengenakan seragam sekolahku, lalu berpamitan pada kokoku, dan turun ke garasi. Seperti biasanya, pak Arifin menawarkan diri untuk mengantarku, tapi kutolak halus karena aku ingin menyetir mobil sendiri. Dalam perjalanan, aku mengingat ingat kejadian pagi ini, dan membayangkan besok aku harus melayani mereka bertiga lagi karena kokoku kuliah pagi sampai siang. Hmm, sarapan sex tiap pagi sebelum ke sekolah? aku menggelengkan kepala tak habis pikir, bisa bisanya ada pembantu plus sopir yang memakai tubuh anak majikannya. Entahlah, yang lebih gila lagi, anak majikannya ini tak merasa keberatan alias bispak gitu loh…

==============================================

 

Sambil menunggu bel masuk sekolah siang, aku bercanda dengan Jenny, teman yang duduk sebangku denganku. Kami tertawa riang, menggosip dan kadang saling menggoda. Aku kenal dengan cewek cantik ini sejak awal masuk SMA, dan kami dengan cepat menjadi teman baik dan duduk sebangku. Sifatnya yang periang membuat aku yang awalnya agak pendiam, cocok sekali dengannya. Hari itu ia menggosip tentang adanya informasi, kami akan pulang cepat. “EL, kamu tahu nggak, nanti kita bakal pulang cepat nih!”, katanya dengan senyum bahagia. “Memangnya ada apa Jen”, tanyaku penasaran. Info yang dia dapat biasanya akurat nih, maka aku jadi senang. “Katanya guru guru akan rapat, jadi kita akan pulang pada jam istirahat pertama”, jawabnya dengan senyum yang lucu, membuatku tertawa. Jenny, anaknya cantik, tubuhnya yang sedikit lebih pendek dariku, yaitu 155 cm, terlihat sangat ideal dengan berat badannya yang cuma 41 kg. Sama seperti aku, ia chinese, berambut lurus, hitam dan panjang sampai ke punggung. Kulitnya putih sekali, sedikit lebih putih dariku. Kami berdua suka saling memuji kecantikan masing masing. Kalau menurutku, ia memang cantik sekali, bahkan kokoku yang pernah melihatnya main ke rumahku juga mengatakan ia cantik, padahal kokoku termasuk cerewet untuk ukuran cewek. Kembali ke topik, aku kini menunggu dengan penasaran, apakah memang kita kita bakalan pulang pagian. Aku sudah membayangkan, akan pergi ke Tunjungan Plaza, jalan jalan atau mencoba makanan baru di sana.

 

Benar saja, pada waktu bel berbunyi, seperti biasa kami berdoa dipimpin oleh salah satu guru, yang waktu selesai doa, mengumumkan kalo hari ini pelajaran berlangsung 30 menit per jam pelajaran, dan kami akan pulang pada jam istirahat pertama karena guru guru akan rapat. Artinya, 1 jam lagi dari sekarang, yaitu jam 14:00, kami bebas dari aktivitas sekolah. Jenny kuajak pergi ke Tunjungan Plaza, yang langsung saja diiyakan olehnya. Kami melewati 2 jam pelajaran ini dengan hati senang sehingga tak terasa sudah waktunya kami bersenang senang. Sempat terbersit di pikiranku, untung deh. Jam terakhir nanti, geografi. Guru yang mengajar adalah pak Edy, yang kemarin Sabtu dengan tak tahu malunya ikut andil waktu aku digangbang di UKS itu. Jadi teringat, dia cepat keluar, dan penisnya lembek. Mungkin dia akan segera impoten kali? “Hei El, siang siang ngelamun, awas kesambet lho!” seru Jenny sambil menepuk bahuku, membuat aku amat kaget dan dengan pura pura marah aku mengejar Jenny yang kabur menghindari cubitanku. Kami akhirnya masuk ke mobilku setelah Jenny menemui sopirnya dan menyuruh bapak itu langsung pulang. Dan kami segera berangkat menuju Tunjungan Plaza. Perjalanan itu lancar, sampai tiba tiba ketika di jalan Basuki Rahmat mobilku tersendat sendat. “Aduh.. kenapa ini ya? Masa mobil baru kok sudah mogokan?”, omelku dengan sebal. “Sabar El, coba kita minggir dulu deh. Itu kebetulan di sebelah kanan kita ada bengkel buat mobilmu lho”, hibur Jenny. Aku baru ingat, kebetulan di sebelah kanan ada Istana Mobil Surabaya Indah (IMSI), showroom sekaligus bengkel, tempat papaku membelikan mobil ini.

 

Dengan susah payah akhirnya aku berhasil memasukkan mobilku yang jalannya tersendat sendat ini ke dalam parkiran IMSI, dan mungkin karena agak lambat tadi sempat diiringi klakson dari mobil yang ada di belakang mobilku. Tak sabar amat sih, masa nggak bisa memaklumi mobil orang yang rusak, gerutuku dalam hati. Di dalam bengkel, aku melaporkan keluhan tentang mobilku. Yah, paling tidak mereka cukup tanggap, dan segera memeriksa mobilku. Ternyata ada spare part yang rusak, tapi mereka lagi kehabisan stok, dan mereka berjanji paling lambat besok siang mobilku sudah selesai diperbaiki, karena sekarang juga mereka pesan dari Jakarta. “Yah, Jen.. hari ini pulang naik taxi deh. Nggak apa apa kan? Aduh.. kalau tau bakal begini, tadi sopirmu nggak usah disuruh balik dulu ya” kataku pada Jenny yang menjawab dengan ide yang menyenangkan, “kalau gitu kamu nginap aja sekalian di rumahku El. Menghemat uang taxi, dan besok kan kamu bisa kuantarkan dulu ke sini”. Aku mengangguk senang. Aku memang sudah 3x menginap di rumah temanku ini untuk bikin tugas kelompok. Keluarganya ramah, ortunya baik denganku, juga adiknya Jenny. Jenny adalah anak tertua di keluarganya, dia punya seorang adik laki laki yang masih kecil, Denny namanya, masih umur 12 tahun. Soal baju, sama sekali tak masalah. Aku bisa pinjam bajunya Jenny, karena tubuh kami memang seukuran, mulai dari pinggul, pinggang sampai payudara kami seukuran semua. tinggi badan kami pun cuma selisih 2 cm. Setelah membereskan administrasi, aku dan Jenny nggak jadi ke Tunjungan Plaza, tapi kami langsung pulang menuju rumahnya dengan naik taxi.

 

Kami tiba di rumah Jenny sekitar jam 15:30. Rumahnya kosong, dan ketika Jenny tanya pada ke mana semua, orang yang tadi membukakan pintu buat kami berkata papa dan mama Jenny baru saja pergi, mengantar Denny ke dokter gigi. Jenny tertawa, dan bercerita padaku tadi sebelum pergi ke sekolah, Jenny melihat adiknya menangis sambil memegangi pipinya. “Jen, sambil menunggu mereka pulang , kita nyantai di kamarku yuk”, ajaknya, sambil menggandeng tanganku. Di dalam kamarnya, musik kesukaanku yang juga kesukaan Jenny mengalun lembut, sementara aku melihat lihat koleksi VCD milik Jenny, siapa tau ada yang bagus dan bisa kupinjam, sambil beberapa kali terlibat obrolan ringan dengan temanku ini. Jenny sedang bersantai di ranjangnya sambil membaca majalah, ketika aku merasa ingin buang air besar, maka aku pamit ke wc. “Ya udah ke sana aja, kamu udah tau tempatnya kan?” kata Jenny santai. Aku mengangguk dan segera pergi ke wc yang letaknya tak jauh dari kamar Jenny ini. Selagi aku masih buang air, kudengar Jenny berkata dari luar, “El, nanti kamu tunggu di kamarku ya, aku mau beres beres rumah dulu, pembantuku pulang nih”. “Iya Jen”, kataku. Setelah semua selesai, aku segera kembali ke kamar Jenny, dan melanjutkan melihat lihat koleksi VCDnya, sampai tiba tiba jam dinding di kamar Jenny berbunyi menunjukkan pukul 16:00. Tiba tiba aku jadi gak enak, masa aku diam saja sementara Jenny lagi bersih bersih rumah? Maka aku keluar mencari Jenny untuk membantunya. Selain itu gak enak juga kan ditinggalkan sendiri di kamar orang lain seperti ini?

 

Aku mencari Jenny di semua ruangan rumahnya yang besar ini, cukup lama, tapi tak kunjung menemukan Jenny. Ia seperti menghilang saja, melihat toilet, kosong. Mau membuka kamar adiknya atau ortunya, segan juga. Kucari dia di ruang makan dan beberapa ruangan lain yang sekiranya tak ada unsur privacy, juga tak ada. Kini tinggal sebuah ruangan, yang cukup gaduh. Ortu Jenny memang membuka usaha produksi sandal jepit di rumah, dan jam kerjanya antara jam 08:00 sampai jam 18:00. Aku berpikir, mungkin saja Jenny ada di dalam sana, melihat pekerjaan para buruh sandal itu. Aku pernah melihat mereka, ada 5 orang yang bekerja di belakang sana. 2 orang di antara mereka tubuhnya tinggi besar dan kekar, mungkin tinggi mereka hampir 185 cm. Mereka berdua itu adalah Supri dan Umar, aku mengetahui nama mereka berdua ini waktu papanya Jenny memanggil mereka untuk bantu mengangkat sebuah mesin, entah mesin apa, ke mobil pickup. Dan wajah mereka berdua ini, ampun deh, benar benar kacau. Kulit mereka berdua ini sama sama begitu hitamnya. Wajah Supri ini agak mengerikan, dengan penuh bopeng di hampir seluruh wajahnya yang memang sudah amat jelek itu, jadi sebenarnya bopeng bopeng ini cuma membuat wajah Supri ini sedikit lebih jelek saja. Bisa kan bayangkan betapa amburadulnya? Dan tentang Umar, kira kira monyongnya mulutnya itu membuatnya mirip monyet kali. Kulit wajahnya juga bopeng, tapi tak sampai separah Supri. Walau begitu, hal ini tak menolong sama sekali, tetap saja wajah itu begitu jelek di mataku, benar benar gak penting untuk dilihat deh.

 

Dan 3 rekannya yang lain aku juga pernah melihat. Aku tak tahu nama mereka, tapi yang jelas wajah mereka bertiga ini tak lebih baik dari kedua orang yang kutahu namanya ini. Ada yang giginya tongos, mirip Boneng, cuma yang ini lebih parah kali ya. Tubuhnya tak begitu besar, juga tidak tinggi, tapi bulu bulu badannya amat lebat menjijikkan seperti gorilla saja. Yang satunya lagi, rambutnya gundul plontos, bibirnya sumbing. Gendut lagi, perutnya buncit juga. Aduh.. orang ini kalau berjalan, perutnya bergoyang goyang seperti sebuah kantung lemak yang diayun ayunkan, mengerikan lah pokoknya. Lalu, orang yang terakhir ini tak kurang ‘spektakuler’. Kontras dengan si gendut tadi, orang ini bertubuh amat kerempeng, tulang tulangnya seperti menonjol menegaskan kekurusannya, sekilas terlihat seperti sudah tua dan penyakitan. Padahal menurut Jenny orang itu usianya baru 32 taun, tapi terlihat seperti sudah umur 45 taun lebih gitu. Sudah begitu sama plontosnya, tapi kumisnya tebal sekali. Kedua matanya amat besar, kalau dilihat sekilas mirip tengkorak hidup berkumis. Aku sering merasa tak nyaman jika ada di sekitar mereka. Pernah aku diajak ortu Jenny melihat lihat tempat produksi sandal di belakang rumah ini, setelah aku diberi sepasang sandal fashion dari salah satu produknya. Aku terpaksa ikut melihat lihat, nggak enak kan kalo nggak ikut? Dan waktu di tempat produksi itu, kurasakan tatapan mata mereka berlima itu, penuh nafsu, seolah ingin menelanjangiku. Risih sekali rasanya dipandangi oleh mereka. Apalagi tadi, si tengkorak hidup yang membuka pintu ketika kami pulang tadi, menatapku dan Jenny seperti akan menelan kami berdua bulat bulat, sementara Jenny sempat terlihat agak canggung juga.

 

Aku bimbang antara mencari Jenny atau kembali saja ke kamar menunggunya. Akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri untuk mencari Jenny ke dalam sana, toh selama ini mereka tak pernah macam macam. Lagian, aku kan cuma masuk sampai ke pintu, melihat apakah Jenny ada di dalam, kalau nggak ada aku kembali aja ke kamar Jenny. Maka aku masuk membuka pintu itu, dan aku baru ingat kalau aku harus masuk lebih dalam untuk bisa melihat situasi ruang produksi itu. Ketika aku sudah di dalam, aku melihat pemandangan yang benar benar hampir membuat jantungku berhenti berdetak. 4 orang laki laki yang bekerja di situ terlihat bekerja seperti biasa, tapi dengan pandangan tak percaya, aku melihat Supri sedang menggenjot Jenny yang masih memakai seragam sekolah, tapi sudah tidak mengenakan rok dan celana dalam yang sudah tercecer di lantai. Jenny terlihat begitu pasrah, tampaknya mereka sedang quicky, dan tak menyadari keberadaanku di tempat produksi ini. Seakan memang sudah takdir, tiba tiba angin kencang bertiup dan membuat pintu di belakangku, satu satunya tempat untuk keluar dari tempat ini, tertutup keras, membuat mereka semua menoleh ke arahku. Tentu saja harusnya mereka menoleh ke pintu, tapi kini perhatian mereka semua tertuju padaku, terutama Jenny yang kulihat begitu pucat, mulutnya ternganga, tanpa mengeluarkan suara, matanya menatapku seolah tak percaya aku ada di sini. Setelah beberapa detik, aku tersadar, aku pun dalam bahaya yang mengancamku sekarang ini, dan aku harus mencari bantuan, mungkin dari warga sekitar atau siapapun untuk menyelamatkan diriku, juga demi menyelamatkan Jenny.

 

Dengan panik aku memutar handel pintu itu, entah kenapa kali ini rasanya sulit sekali terbuka, membuat semua sudah terlambat bagiku untuk menyelamatkan Jenny, apalagi menyelamatkan diri. Tubuhku yang mungil ini disergap oleh 4 orang lelaki yang mengerikan ini, kedua tanganku sudah ditelikung ke belakang seperti polisi yang hendak memborgol penjahat tangkapannya. Rasanya sakit sekali, dan aku hanya bisa merintih, “aduuuh.. sakiiit”. Tentu saja tak ada yang perduli, dan mereka menggiringku masuk ke dalam, sambil meraba dan meremas payudara dan pantatku. Aku hanya bisa meronta panik, namun jelas tidak ada artinya. Selain rontaanku memang tak begitu kuat karena rasa sakit yang mendera pangkal lenganku, seandainya aku tidak sedang ditelikung begini pun aku tahu tak akan sanggup berbuat banyak menghadapi para buruh yang sudah seperti kerasukan iblis. “Jangaan.. jangan temankuu.. lepaskan dia.. bajingan kalian semuaaa…. Jangan Eliza…”, Jenny berteriak panik meronta, berhasil melepaskan diri dari Supri yang tak terlalu konsentrasi mendekapnya, dan menerjang ke arahku yang sedang dalam cengkeraman 4 orang buruh ini. Jenny dengan buas menghantam si gorila yang meremas payudaraku hingga begundal itu kesakitan, melepaskan remasannya pada payudaraku yang kanan sambil menyumpah nyumpah. Jenny sudah akan menghantam si tengkorak hidup yang meremasi payudaraku yang kiri, tapi tangannya sudah ditahan oleh si gorila yang tadi dihantam Jenny pertama kali, kini sudah tertelikung dengan mudahnya, dan sebuah pisau yang biasanya digunakan untuk memotong tali pengikat karung, sudah menempel di leher Jenny. Supri menodongkan pisau itu dengan sikap yang mengancam sekali.

 

“Jangaaan.. kalian jangan lukai Jenny… baik.. baik.. aku menyerah. Tapi lepaskan pisau itu ya.. tolong.. jangan lukai Jenny…aku akan melayani kalian, sungguh…”, aku memohon dan mulai menangis ketakutan, memberikan penawaran sebagus mungkin yaitu pelayananku yang otomatis juga berarti tubuhku, supaya mereka tidak mencelakakan Jenny yang kini menangis tersedu sedu, dan berkata di antara isak tangisnya, “Tolong… lepaskan Eliza.. dia gadis baik baik, masih perawan.. jangan rusak dia.. cukup aku saja… tolonglah…”. Aku segera memotong, “Jen, tidak apa apa Jen, aku sudah nggak virgin kok Jen”. Jenny memandangku tak percaya, sementara 5 orang yang menyekap kami ini tertawa menjijikkan. “Wah jaman sekarang ini memang susah ya cari amoy perawan. Tapi gak apa apa, yang ini.. siapa namanya tadi? Eliza? Kamu cantik sekali, nggak kalah sama anak majikan kami”, kata Supri sambil mencolek daguku, membuatku hampir muntah betulan sangking jijiknya. Sudah wajah amburadul gitu, masih bisa bisanya dia menghinaku. “Teman teman, sekarang waktunya pesta amoy dulu. Ayo cepat kita mulai, waktu kita tidak banyak, kira kira jam setengah tujuh malam nanti majikan kita sudah pulang, dan kita akan lembur selesainya acara pesta amoy ini, supaya bos tetap puas dengan kerja kita”, sambung Supri dengan gayanya yang menjijikkan, mungkin ia yang paling berkuasa di antara para buruh ini. “El.. maaf ya El… Aku harusnya tidak mengajakmu menginap hari ini, maafkan aku ya El”, kata Jenny yang merasa sangat bersalah. “Jen, nggak perlu minta maaf Jen.. bukan salahmu kok Jen.. Kamu kan sudah menyuruhku menunggu di kamar, aku sendiri yang keluar mencari kamu…” kataku berusaha mengiburnya.

 

Jenny terlihat lemas saat kami digeret ke mess tempat 5 buruh ini tidur. Aku melihat ada 5 ranjang berukuran tanggung, untuk ukuran satu orang saja, yang berjajar 2 dan 3. hawanya tidak terasa pengap, mungkin karena ukuran ruang tidur yang besar ini. Kini kami berdua sudah sepenuhnya berada dalam cengkraman 5 orang buruh ini. Dalam hitungan detik, aku dan Jenny sudah ditelanjangi bulat bulat, pakaian kami sudah berserakan di lantai. Mereka pun sudah bertelanjang bulat, siap memangsa 2 amoy cantik yang menjadi idola di sekolah kami. Memang selain aku, Jenny juga salah satu cewek idola yang menjadi incaran kumbang jantan di sekolahku. Acara pesta amoy ini dimulai oleh Supri dan Umar yang mendekati aku, sementara 3 orang yang lain memegangi Jenny yang masih terlihat tak terima aku jatuh ke tangan buruh buruhnya. Jam 16:15. baru 15 menit berlalu sejak aku mencari Jenny sampai tertangkap para begundal ini, tapi rasanya begitu lama. Entah sampai kapan mereka akan menikmati tubuh kami. Tapi aku tak punya banyak waktu untuk melamun, remasan tangan Umar yang kekar dan penuh tenaga pada kedua payudaraku dari belakang membuat aku menggeliat. Tubuhku seolah didekap Umar dari belakang, ia sibuk menghirup harumnya bau rambutku, geli juga aku dibuatnya. Supri mendekati kami, lalu meremas kedua pantatku. Oh.. aku mulai terangsang, kini jantungku berdetak cepat bukan karena takut, tapi karena nafsu birahi yang mulai melanda tubuhku ketika kedua orang ini seolah olah sedang memperebutkan tubuhku, hingga dalam posisi berdiri ini aku terhimpit tubuh dua buruh kekar ini.

 

Kutolehkan kepalaku yang sempat terbenam di dada Supri yang bidang. Bau tak sedap yang menyeruak hidungku membuatku harus melakukan ini karena aku masih tak ingin muntah. Saat itu aku bertatapan dengan Jenny, yang terlihat menyesal dan berurai air mata, menatapku seolah ingin meneriakkan kata maaf. Aku menatapnya ingin mengatakan kalau aku tak menyalahkan dia karena ini memang bukan salahnya, tapi gelora lautan birahi sudah menghantamku, aku sudah hampir terhanyut sepenuhnya. Maka aku hanya bisa menatapnya sayu sambil menggelengkan kepalaku, semoga dia mengerti. Kini aku sudah tak bisa berpikir jernih lagi, karena vaginaku sudah diraba lembut oleh Supri. Ia begitu pandai merangsangku, tak lama kemudian cairan cintaku sudah mulai keluar sedikit. Aku mulai mendesah dan menggeliat, tapi ini membuatku lebih terangsang lagi, karena kulit tubuhku bergesekan dengan tubuh kedua buruh bejat ini. “Nggghh…”, aku melenguh ketika jari tangan Supri melesak masuk ke vaginaku, ditambah dengan pelintiran pada kedua putting susuku oleh Umar, rasa sakit sakit nikmat yang terus menghantamku dari tadi, sudah hampir membuatku orgasme. Aku mulai mengejang keenakan, diiringi tawa mereka yang harusnya menjijikkan, tapi aku sudah tak perduli, atau lebih tepatnya sudah tak bisa perduli. Tubuhku memang lebih jujur dari aku, cairan cintaku rasanya mengalir lebih banyak saat aku terus menerus dirangsang seperti ini. Nikmat ini sudah mengalahkan akal sehatku, aku sudah takluk oleh kedua buruh bejat, yang status sosialnya sama sekali tak sederajat denganku. Sempat terpikir olehku, betapa beruntungnya mereka berlima ini.

 

Melihatku yang sudah pasrah, membuat kedua orang ini semakin bernafsu menggumuliku. Dan akhirnya Supri sudah bersiap siap untuk melakukan serangan pertama. Aku melihatnya mengocok penisnya sebentar, dan aku memperhatikan seperti ya apa penis yang akan segera mengaduk aduk vaginaku ini? Penis itu sudah mengacung tegak, besar, agak bengkok ke atas mendekati pusar perutnya. Pusar perutnya?? Baru aku tersadar, oh… penis ini panjang sekali. Aku terbelalak ngeri, gairahku langsung padam. Gila, ini sih lebih panjang dari punya Urip, satpam yang mengeroyokku di UKS kemarin lusa. Diameternya pun tak main main, seimbang dengan kepunyaan sopirku. Tanpa sadar aku menggelengkan kepalaku, seolah berkata jangan, dan Supri hanya tertawa terbahak bahak. Aku meronta tanpa daya ketika ia menyergap tubuhku, kedua pahaku diangkatnya sampai aku sedikit lebih tinggi darinya, kemudian penisnya yang ternyata amat kaku itu tak perlu ia bimbing untuk menembus liang vaginaku. Baru masuk sedikit saja, aku sudah menggeliat kesakitan, namun aku tak bisa kemana mana, tubuhku ditahan oleh Umar yang ada di belakangku. “Nhggggh… oooohh… am…puuuun….paaaak..”, aku melenguh dan mengerang kesakitan saat penis itu sudah menancap setengahnya. Supri hanya menertawakan dan melecehkanku, tiba tiba aku terbelalak, kurasakan anusku tertempel sesuatu, kiranya penis Umar yang juga sudah siap membobol anusku. Tak ada yang bisa kulakukan, memohon supaya Umar tak meneruskan niatnya adalah hal yang sia sia. Aku langsung lemas, pasrah bersiap menerima semua penderitaan yang akan menderaku.

 

“heeeengggghh… aduuuuuh… sakiiiit…”, aku merintih. Umar berbisik menjijikan di telingaku, “Non Eliza, tenang saja. Senjataku sudah aku beri pelumas. Tadinya buat non Jenny, tapi sekarang buat non Eliza saja. Kan non Eliza jadi mainan baru kami sekarang Tapi nanti non Eliza pasti nagih lho”. Ingin aku menamparnya, kurang ajar betul kata katanya tadi barusan, tapi tak ada keberanian untuk melakukan itu. Tak tahu penis Umar ini seperti apa, yang jelas tubuhku rasanya dirobek jadi dua bagian ketika penis penis itu semakin dalam melesak dalam vagina dan anusku. Dengan beberapa kali hentakan, akhirnya kedua penis itu menancap sempurna, mereka mengerang karena penis mereka terrjepit kedua liangku yang masih sangat sempit ini. Sedangkan aku melolong kesakitan, tapi tak ada rontaan. Aku belum gila untuk melakukan itu, selagi vagina dan anusku terasa sangat penuh seperti akan robek. Rasa sakit yang menghantam selangkanganku ini benar benar menyiksaku. Apalagi ketika Supri mulai menggerakkan penisnya sedikit, sedikit dan akhirnya mulai memompaku. Aku menggeleng gelengkan kepala kuat kuat, rasanya ingin pingsan saja. Di tengah penderitaan ini, samar samar kudengar Jenny kembali memohon pada mereka untuk menghentikan semua ini, yang dijawab mereka dengan penuh pelecehan, “Non Jenny kalau iri, biar kami bertiga yang memuaskan non sekarang”. Jenny terdiam, dan aku bisa melihat Jenny tak bereaksi sama sekali ketika tiga orang yang menahannya itu mulai mengerubutinya. Jenny terus melihatku dengan tatapan iba, membuat aku jadi terharu, air mataku mengalir pelan di pipiku. Ia masih memikirkan nasibku selagi dirinya juga bernasib tak kalah buruk dibanding diriku. “Lhoo, amoy kita menangis nih”, ejek Supri. “Masih sakit ya? Kontolku dan ****** Umar kegedean ya buat memek Non? Sudah tak perawan kok masih seret gini Non? Kapan kehilangan tuh perawan? Masih baru ya?”, Supri terus menghinaku. Aku membuang muka, tak sudi memperlihatkan wajahku pada buruh bejat ini.

 

Aku berusaha bertahan dari rasa sakit yang luar biasa di vaginaku, dan aku sudah berada dalam keadaan antara setengah sadar dan tidak. Tiba tiba Umar menggantikan Supri memegang pahaku, hingga payudaraku sementara bebas dari remasan dan pelintiran tangan jahil Umar. Supri kemudian mengarahkan wajahku ke hadapannya dengan kasar, karena sejak tadi aku selalu membuang muka, membuat keinginan Supri untuk melumat bibirku sejak tadi tak pernah berhasil. Aku memejamkan mata, berusaha tak melihat wajah amburadul dari orang yang kini melumat bibirku dengan ganas. Cairan cinta di vaginaku bertambah banyak, seolah mengerti kalau harus melumasi vaginaku yang sedang dipompa sebuah penis besar. Entah kenapa, rasa sakit di anusku mulai berkurang, padahal aku tak merasa genjotan itu berkurang, malah mungkin makin gencar. Mungkin anusku sudah mulai bisa beradaptasi menerima sodokan sodokan penis yang tadinya begitu menyiksaku. Aku tak bisa bernafas ketika lumatan pada bibirku itu semakin ganas. Tanganku yang sejak tadi terjuntai lemas menunjukkan kepasrahanku, kini kupakai mendorong mukanya, dan kupukul pukulkan tanganku pada bahunya. Hampir saja aku kehabisan nafas ketika akhirnya ia melepaskan pagutannya pada bibirku, aku langsung menghirup udara sebisanya. Dengan nafas tersengal sengal, aku bersandar pada bahu Umar yang ada di belakangku. Lemas sekali rasanya dipermainkan dua begundal. Seiring dengan lenyapnya rasa sakit di vaginaku dan juga anusku, aku mulai bisa merasakan nikmat dari pompaan penis penis itu di selangkanganku.

 

Perlahan, gairahku kembali naik, nafasku mulai memburu. Jantungku kembali berdetak lebih kencang, bahkan kini aku sudah tak mendapatkan masalah ketika tubuhku sedikit menggeliat keenakan. Benar benar aneh, rasa sakit itu memang masih ada, tapi sudah hampir hilang. Kini yang mendominasiku adalah rasa nikmat akibat teraduk aduknya vagina dan anusku oleh penis penis yang besar ini. Tanpa sadar aku mulai melenguh. Aku tak tahu kalau hal ini membuat Jenny takjub melihat ketahanan tubuhku, karena ternyata dulu ia sampai pingsan pingsan saat pertama kali diperkosa oleh para buruhnya ini, yang nanti akan ia ceritakan padaku setelah pembantaian ini selesai. Aku mulai merasakan nikmat dari sodokan demi sodokan pada kedua liangku ini. “Ngghhh… ohhh…. Oooh…aduuuh… auuh… nggghhh”, aku melenguh dan melenguh, akhirnya tubuhku mengejang hebat. Aku orgasme dalam sandwich-an Supri dan Umar di udara. Kakiku melejang lejang, tubuhku menggeliat dan tersentak sentak sampai tertekuk tekuk ke belakang, urat leherku rasanya menegang, sungguh nikmat yang luar biasa, walaupun ini bukan multi orgasme. Cairan cintaku membanjir dan semakin melumasi penis Supri yang jadi semakin lancar menerjang dan memompa vaginaku. Aku tak tahu sudah berapa lama berada dalam dekapan kedua orang ini, tiba tiba Umar menggeram dan meracau “Oh… nooon.. Elii..zaaa.. enaaknyaaa.. “, penisnya berkedut kedut, lalu menyemprotkan sperma dalam liang anusku. Tak terlalu banyak, tapi terasa begitu hangat dan nyaman, seolah menghapus rasa sakit yang sempat mendera anusku dengan kejam.

 

Penis Umar memang mengecil dan terus mengecil, tapi sampai semenit aku dipompa oleh Supri yang kelihatannya juga akan orgasme, penis Umar belum juga lepas dari anusku. Rasanya penis itu masih lebih panjang dari penis pak Edy wali kelasku, bahkan dalam keadaan begini pun masih lebih keras. Aku jadi semakin yakin, pak Edy itu mengalami gangguan ereksi. Tak salah jika waktu itu Girno cs mentertawakan pak Edy. Tiba tiba penis Supri berkedut membuyarkan lamunanku, membuat aku memeluk lehernya. Ia akan orgasme, takutnya menjadi lemas dan aku bisa terjatuh jika Umar melepaskanku. Reflek kakiku juga kulingkarkan pada pinggangnya, hingga pegangan Umar pada pahaku terlepas, juga penisnya yang semakin kecil tertarik lepas dari anusku yang langsung terasa lebih lega. Supri menggeram, penisnya yang tertanam makin dalam pada liang vaginaku membuatnya tak tahan lagi, dan menyemprotkan spermanya dengan gencar. Tangannya mendekap pinggangku erat, membuat aku kembali merasa kesakitan, untungnya hanya sebentar. Supri melepaskan penisnya, dan mendudukkan aku di ranjang, di sebelah ranjang tempat Jenny dikerubuti 3 orang buruh tadi. Aku memegangi vaginaku yang tadi serasa dirobek robek, kulihat memang sedikit memar. Tapi lama lama sakitnya tak begitu terasa lagi, kini aku mengistirahatkan tubuhku di ranjang itu, aku tiduran sejenak untuk mengatur nafasku. Jangan tanya keringatku, begitu basahnya tubuhku bahkan sampai rambutku basah kuyup seperti baru keramas saja.

 

Jam sudah menunjuk pukul 17:00. Ini berarti sekitar setengah jam aku digenjot habis habisan oleh 2 raksasa tadi. Hari sudah sore, sinar matahari mulai redup. Tapi semangat para buruh yang bahagia ini masih menyala nyala. Kulihat Jenny sudah larut juga dalam keroyokan 3 buruhnya, mereka mempermainkan Jenny yang terus mengejang sampai akhirnya orgasme. Tubuh Jenny mengejang sexy dan ia melenguh lenguh, “Hnnnggghh.. aaaa… duuuuh… ooohhh..”. Ternyata Jenny mirip juga denganku kalau lagi orgasme, kakinya juga melejang lejang, tubuhnya sedikit tersentak sentak. Kini, si Boneng yang akhirnya kuketahuhi bernama Satrio, mengambil posisi di selangkangan Jenny, bersiap untuk melakukan penetrasi ke anak majikannya. Sementara dua buruh yang lain, meninggalkan Jenny dan mendekatiku. Oh.. ternyata mereka berdua menginginkan aku. Aku hanya bisa pasrah saat si tengkorak hidup yang ternyata bernama Rahman, sudah memposisikan dirinya di selangkanganku. Kuperhatikan penisnya yang kurus itu, panjangnya sekitar 15 cm dan tak terlihat menakutkan bagiku. Lenguhan Jenny kembali terdengar, rupanya Satrio sudah mulai menggenjot tubuhnya. Jenny terlihat amat menggairahkan dengan tubuh yang mulai mengkilap karena berkeringat, sesekali tubuh Jenny yang mungil itu tersentak kecil, saat penis Satrio menghunjam dalalam dalam hingga terbenam seluruhnya di vagina Jenny. Erangan sexy itu pasti memacu gairah lelaki manapun, sementara Jenny memandangku dengan sorot matanya redup dan sayu, menunjukkan kalau dia sedang larut dalam birahi.

 

Aku tak bisa lama lama melihat keadaan Jenny, karena si buntalan lemak yang ternyata bernama Harto itu, dengan bibirnya yang sumbing, sudah menubruk tubuh mungilku yang telentang di ranjang, dan dengan bernafsu sekali memagut bibirku dengan bibirnya yang sumbing itu. Oh.. aku ingin menjerit dan melarikan diri menghindar dari makhluk yang sangat menjijikan ini, tapi kakiku sudah direntangkan oleh Rahman, dan aku tak bisa berbuat apa apa ketika selagi Rahman melesakkan penisnya ke dalam vaginaku, Harto terus melumat bibirku dan melesakkan lidahnya mencari lidahku, hingga air liurnya yang bau, dan celakanya banyak itu, mengalir cukup deras ke dalam mulutku. Aku gelagapan, daripada tersedak aku terpaksa menelan air liur itu. Rasanya itu.. tak perlu aku bahas lagi, menjijikkan tak karuan, membuatku ingin muntah. Tangan kananku terjepit perut gendut Harto hingga tak bisa bergerak, sementara tangan kirinya menahan kepalaku hingga aku tak mampu menggerakkan dan menolehkan kepalaku untuk menghindar dari terkamannya. Dan ketika ia melihat tangan kiriku yang menggapai gapai seolah sedang mencari pegangan, dengan kejam pergelangan tanganku yang mungil ini dicengkramnya dan ditahan kuat di atas kasur. Kini aku sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah, tapi herannya malah membuat aku merasakan sensasi yang membuat jantungku berdegup kencang. Perasaan tak berdaya ini membuat aku tanpa sadar menyerahkan diri sepenuhnya.

 

Aku memejamkan mata, perlahan berusaha menikmati pagutan pada bibirku, karena bagiku merasa diperkosa adalah hal yang tidak menyenangkan. Daripada aku merasa tersiksa, aku merasa lebih baik jika membiasakan diri dan menerima semua ini dengan rela. Lidahku mulai kutautkan pada lidah si sumbing ini. aku sempat melihat dari ekor mataku, Rahman melongo melihat apa yang terjadi di depan matanya, dan lemparan sebuah kotak plastik kecil tempat menaruh kantung plastic untuk bungkusan sandal yang mengenai kepalanya seolah membuatnya tersadar, dan menoleh ke arah pelemparnya. Umar tertawa ngakak, dan Rahman marah marah. “Enak enak liat amoy, kepala kena ginian”, omelnya sambil memegang kotak plastik itu, lalu membuang ke lantai dengan kesal. Kemudian Rahman memulai aktivitasnya kembali. Kedua kakiku diangkatnya dan ditumpangkan ke pundaknya, dengan ini sodokan penisnya akan terasa makin dalam. Rahman segera memompa penisnya, mungkin rasa kesal akibat ulah Umar tadi membuatnya menyodokkan penisnya dengan gencar. Penis yang kecil itu mengaduk vaginaku yang penuh cairan cinta bercampur sperma Supri, menimbulkan bunyi kecipak yang semakin menambah gairahku dan aku sudah bisa balas memagut bibir si sumbing ini yang tadinya amat menjijikan bagiku. Harto seakan tak puas puasnya melolohi aku dengan air liurnya, sementara aku harus menelan semuanya jika tak ingin mulutku penuh dengan air liur, apalagi sampai tumpah keluar dari mulutku, akan lebih menyusahkanku. Sementara aku hanya bisa sedikit menggerakkan pinggulku mencari kenikmatan lebih pada vaginaku yang sedang diaduk aduk oleh penis yang kecil milik Rahman ini.

 

Akhirnya si sumbing puas juga menciumiku. Ia duduk diam sejenak mengatur nafasnya yang tersengal sengal, perutnya terlihat naik turun mengikuti tarikan nafasnya, benar benar membuatku kembali merasa jijik. Setelah beberapa saat, Harto menaiki tubuhku, dan menindih payudaraku. Ya ampun, gajah bengkak ini tak sadar apa kalau tubuhnya berat sekali? Nafasku sampai mulai sesak, payudaraku tergencet sampai serasa gepeng. Ia menyodorkan penisnya yang sdah ereksi kencang ke wajahku, untuk dioral tentunya. Tapi ukurannya ini membuat ketawaku hampir meledak. Kecil sekali, cuma 12 cm. mungkin sekecil punya pak Edy, wali kelasku yang bejat itu. Benar benar tak sesuai dengan tubuhnya yang besar, Dengan menahan tawa, aku mulai mengoral penis mini ini. Sementara itu, selangkanganku terasa makin nikmat dipompa oleh penis Rahman yang memang tak terlalu besar ini, tapi cukup untuk membuat aku sedikit melayang, apalagi dadaku terasa dihimpit oleh pantat si gendut sumbing ini, yang awalnya mendatangkan rasa sesak, tapi lama kelamaan terasa sedikit nikmat. Rasa sakit kadang menjalar dari anusku yang tadi dihajar penis Umar, sedikit mengganggu memang, tapi malah mendatangkan sensasi tersendiri bagiku. Tanganku mencengkram sprei tanda aku sedang dilanda kenikmatan yang semakin memuncak. Akhirnya aku orgasme, tubuhku mengejang, namun tak ada sentakan sama sekali. Tubuhku yang mungil ini tak bisa bergerak dihimpit gajah bengkak yang duduk di payudaraku, sementara kakiku yang tertahan di pundak Rahman hanya bisa melejang kecil. Cairan cintaku dan keringatku yang terus keluar sudah tak bisa membuat tubuhku terlihat lebih basah. Vaginaku rasanya berdenyut denyut nikmat, membuat Rahman meracau “Ooooh… memeknya amoy.. memang nikmaaaat”. Tubuhnya bergetar, ia menggeram dan meledakkan spermanya yang cukup banyak ke dalam vaginaku.

 

Aku yang sudah larut sepenuhnya dalam birahi ini seakan lepas control. Ketika Rahman menarik lepas penisnya dari liang vaginaku dan berjalan di samping ranjang tempat aku dilanda kenikmatan ini, aku menjangkau tangannya dan menarik ke arahku. Kulumanku pada penis si Gendut kulepas, dan aku memandang Rahman dengan tatapan sayu, menariknya semakin dekat hingga ia terpaksa naik ke ranjang dengan bertanya tanya. Pertanyaannya kujawab dengan memegang penisnya yang masih belepotan sperma dan cairan cintaku, menariknya ke arah mulutku. “Oalah non… kalau doyan peju, bilang saja terus terang. Nih silakan menikmati pejuku”, kata Rahman melecehkanku, tapi aku sudah tak perduli lagi, atau lebih tepatnya aku merasa tak bisa menahan hasrat untuk mengulum penis yang basah itu. Kukulum dan kusedot dengan kuat, membuat Rahman mengerang keenakan. Setelah mencuci penis itu di dalam mulutku, aku melepaskan kulumanku, dan segera mengulum punya Harto dengan penuh gairah. Harto tertawa dan berkata, “Amoy kita yang satu ini doyan peju. Kalo gitu aku akan memberinya peju yang banyak. Oralin aku sampai keluar ya amoyku sayang”. Aku tak menanggapi kata kata yang merendahkan dan menghinaku itu, dan terus mengulum penis yang kecil ini. Kujilati memutar, dan kugigit kecil, kukulum kembali dan kusedot kuat kuat, membuat Harto mengerang keenakan, sampai akhirnya penis ini juga berkedut, menyemprotkan sperma yang kental sekali, paling kental dari yang pernah kurasakan di mulutku selama ini. Rasanya tak terlalu gurih, cukup asin juga terasa agak asam. Aku terus melumat dan menjilati penis itu sampai bersih dari sperma, dan si gendut ini turun dari tubuhku dengan puas, lalu berjalan ke arah Supri dan Umar, dan duduk di dekat mereka berdua.

 

Aku yang masih tersengal sengal, kembali memperhatikan Jenny yang masih digarap Satrio yang menggenjot Jenny dengan kasar, tapi terlihat Jenny sudah di ambang orgasme, nafasnya mendengus dengus mengikuti irama pompa-an pada vaginanya. Kedua payudaranya diremas oleh Satrio, dan terlihat Jenny menggeleng gelengkan kepalanya kuat kuat seolah tak kuasa menahan nikmat yang menerjang tubuhnya. Akhirnya, Jenny orgasme hebat, ia melenguh lenguh keenakan “Hnnnggggghhhh… a… aaaah… aduuuuuh….”. Tubuhnya tersentak sentak beberapa detik, sementara kakinya yang tertumpang di pundak Satrio melejang lejang. Jenny sedang dalam puncak kenikmatannya, dan tubuhnya yang putih mulus dan indah itu melengkung hingga pinggangnya terangkat sexy, kepalanya tengadah ke belakang. Satrio yang terlihat begitu menikmati tubuh anak majikannya yang tadi sempat menghantamnya, tiba tiba menggeram tanda akan orgasme. Tubuhnya bergetar getar dan Satrio juga melenguh “uunnngggghhh… oooooh…”, gerakan pinggulnya menunjukkan Satrio sedang menyemprotkan spermanya di dalam vagina Jenny, yang sudah tergeletak tanpa daya, terlihat kelelahan setelah orgasmenya yang hebat tadi. Satrio menarik penisnya dari vagina Jenny, dan menyodorkan penis yang belepotan sperma yang bercampur cairan cinta anak majikannya untuk dioral anak majikannya itu sendiri. Jenny pasrah saja dan membuka mulutnya yang mungil, lalu mulai mengoral penis itu, mengulum dan menyedot seperti yang kulakukan sampai pipinya kempot. Selagi aku asik menonton, tiba tiba kurasakan kakiku direntangkan, yang ternyata oleh Umar.

 

Aku bergidik mengingat ia tadi menyodomiku, tapi saat kulihat penisnya, ternyata bersih. Umar yang kelihatannya menyadari kekuatiranku berkata, “Tenang non amoy yang cantik, sudah kucuci bersih kok. Kami memang tak suka mengotori memek selain ngecret di dalam. Sudah, nikmati saja non”. Ia terus merentangkan kakiku, dan mengambil posisi di selangkanganku. Aku dapat melihat penisnya, memang seperti dugaanku, mirip sekali dengan penis Supri. Bahkan ini juga menekuk ke atas. Aku terdiam dalam kengerian, mengingat rasa sakit saat selangkanganku dihajar penis ini. Jam dinding menunjuk pukul 17:30, ketika kurasakan penis itu mulai menyeruak ke dalam liang vaginaku. Tubuhku mengejang dan bergetar ketika rasa sakit mulai mendera selangkanganku lagi. Aku merintih perlahan, memejamkan mataku kuat kuat, namun akhirnya terbeliak ketika dengan hentakan yang keras penis Umar menghunjam seluruhnya dalam vaginaku. “ooooonnggghhh… aaaaaaghh…” aku melolong kesakitan. Vaginaku sudah tidak semekar tadi, apalagi yang terakhir menggenjotku adalah Rahman, yang penisnya kurus. Aku berusaha menahan sakit ini, berharap vaginaku segera beradaptasi terhadap tusukan penis raksasa ini. Sementara aku menggigit bibir menahan sakit, aku mendengar Jenny melenguh. Aku sempat menoleh dan melihat, ternyata Supri sudah menggenjot Jenny yang terus menggeliat, sepertinya kesakitan. Namun kulihat kali ini, Supri berlaku lembut. Kemudian ia membenamkan penisnya dalam dalam, aku bisa merasakan betapa sesak rasanya vagina Jenny sekarang.

 

Supri berkata pada Jenny, “Non Jenny, aku minta maaf ya, tadi sudah menodong non pakai pisau. Abisnya non jadi galak gitu, pakai main hantam. Kalau tidak segera aku hentikan, ntar yang kena hantam non terus terusan kan bisa balas nyiksa non. Daripada terjadi hal yang gak enak gitu, dan aku sudah ingatkan Satrio tadi supaya gak macam macam. Kami juga berpendapat, non Eliza ini harus digarap sekalian, supaya tak melapor ke siapapun. Maaf ya non Eliza, kalau tadi kata kata kami kasar. Habis, non Eliza memang cantik sih, nggak kalah sama non Jenny. Sejak liat non bulan Agustus lalu, kami semua sudah ingin mencoba servisnya non Eliza. Akhirnya hari ini kesampaian deh. Ya sudah, kita nikmati saja pesta sex ini ya”. Ia mulai menggenjot Jenny dengan lembut, membuat Jenny cepat beradaptasi dan mulai melenguh keenakan. Aku sempat berpikir, kurang ajar memang mereka semua ini, memangnya kalau lihat amoy cantik, lalu harus memaksa untuk menservis mereka? Apakah aku yang salah jika aku ditakdirkan mendapat karunia wajah yang cantik serta tubuh yang indah? “pak Satrio, tadi itu, maafkan Jenny ya, soalnya Jenny tidak ingin melihat teman Jenny diginikan juga. Terima kasih ya untuk tidak membalas menyakitiku tadi”, kata Jenny, membuat aku tertegun. Tapi aku tak dibiarkan Umar untuk melamun lama lama, genjotannya yang kini juga menjadi lebih lembut, membuat aku juga mulai merasa nikmat, dan sodokan penis raksasa ini membuat aku mengejang menahan nikmat.

 

Orgasme demi orgasme terus melanda kami berdua, membuat aku dan Jenny sudah setengah sadar dengan tubuh yang terkocok kocok dihentak hentakkan penis pejantan yang terasa memenuhi seluruh tubuh kami. Ya, kami serasa menjadi betina yang diperbudak para pejantan di tempat kerja mereka ini. Tiba tiba, entah apakah ini sudah mereka rencanakan, bersamaan Supri dan Umar mengangkat tubuh amoy yang sedang menikmati orgasmenya, memeluk erat hingga kami berdua terangkat bangun dan terpaksa melingkarkan kaki kami ke pinggang pejantan kami. Tangan kami menggelayut ke leher mereka, dan dalam posisi ini kami kembali digenjot, kali ini lebih gencar. Dengan cepat aku dan Jenny meliuk liuk dan melenguh lenguh bersahut sahutan. Orgasme mendera kami yang berada dalam pelukan pejantan kami, terasa begitu nikmat. Kini aku dan Jenny sudah amat lemas, dengan pasrah menunggu keluarnya sperma pejantan kami dalam liang vagina kami yang sudah tak karuan ini, becek dan sedikit memar. Beberapa saat kemudian, aku merasakan penis Umar berkedut, dan di dalam posisi ini, spermanya menyembur ke dalam liang vaginaku. Ia terlihat kelelahan juga, dan mengangkatku sedikt hingga penisku terlepas dari vaginanya, kemudian menurunkan aku ke ranjang. Aku disuruh mengoral penisnya sampai bersih, dan kulakukan tanpa bantahan sama sekali. Sementara aku membersihkan penis si Umar, Supri menggeram dan dengan suara parau ia bertanya pada Jenny, “Non Jenny… di dalam… atau di mulut…”, yang dijawab oleh Jenny dengan suara yang mendesah sexy “di dalam sajaah… Supp”. Maka terlihat Supri mengejang dan gerakan pada selangkangan mereka yang menyatu meninjukkan betapa mereka berdua sedang dilanda kenikmatan yang amat sangat. Aku melihat campuran sperma dan cairan cinta yang mengalir keluar saat penis Supri makin mengecil.

 

Maka selesailah penderitaan kami hari ini, mereka mempersilakan kami kembali ke ruang dalam, sementara mereka beristirahat sesaat, lalu meneruskan pekerjaan mereka yang tertunda. Aku dan Jenny berjalan masuk ke dalam dengan langkah yang tertatih tatih. Kami berdua sempat diam beberapa saat setelah berada di kamarnya Jenny, dan tiba tiba Jenny melihatku sambil menangis. “El, kalau kamu mau memusuhi aku setelah ini, aku juga tak bisa apa apa El. Aku hanya bisa berharap, kamu mau memaafkan aku ya”, kata Jenny diselingi isak tangisnya. Aku terharu dan memeluk sahabatku ini dengan iba, tanpa menyadari kami masih bugil sama sekali. Kedua puting susu kami sempat bersentuhan, dan harus aku akui rasanya nikmat juga, tapi aku tahu kami tak boleh macam macam. Aku memadamkan gairah yang sempat melandaku, dan berkata pada Jenny, “Jeen, ini bukan salah kamu. Memang aku yang salah, sudah kamu beritahu untuk duduk di kamar, malah cari cari kamu. Malahan, ini adalah salahku juga, sampai kamu ditodong pisau tadi. Terima kasih Jen, kamu benar benar mati matian membelaku tadi, aku tak tahu harus berkata apa Jen.. tapi.. terima kasih ya. Juga, kita harus tabah ya Jen”. Aku merangkul Jenny yang makin tersedu sedu, dan setelah kami agak tenang, kami memutuskan untuk mandi bareng di bathub kamar mandi. Jam menunjukkan pukul 18:00, kami punya waktu sekitar setengah jam untuk mandi. Cukup lah, maka kami segera memasukkan busa ke bathub yang tadi sudah terisi penuh. Setelah itu kami berdua masuk ke bathub bersama sama.

 

Sudah tak ada rasa canggung di antara kami, toh kami tadi sudah bugil bersama saat dibantai di ruang belakang. Aku merasakan hubungan kami berdua sekarang semakin dekat. Aku dan Jenny saling membilas tubuh kami, sambil aku mendengarkan Jenny curhat tentang bagaimana ia bisa jatuh ke tangan para buruh di rumahnya ini. Waktu di tengah liburan kenaikan kelas 1 ke kelas 2 di bulan Juli kemarin, Jenny dan Alex, mantan pacarnya, sedang di rumah ini sendirian, kemudian Alex memaksa Jenny untuk awalnya hanya pegang pegang, lama lama meningkat remasan dan ciuman, sampai akhirnya mereka telanjang, dan berhubungan sex. Saat itu si Supri yang mengambil minum di dispenser yang memang agak dekat dengan kamar Jenny, mendengar suara suara desahan dari kamar Jenny. Kesalahan Jenny dan Alex, pintu kamar tidak dikunci. Maka Supri bisa mengintip dan mendapatkan Jenny sedang disetubuhi Alex. Dengan nafsu yang ditahan, Supri masuk dan pura pura muak dengan tingkah laku Alex, lalu mengancam akan melaporkan Alex pada ortu Jenny. Jenny dan Alex ketakutan, dan Alex bersedia melakukan apa saja supaya tak menyusahkan Jenny. Maka Supri berkata, ia tak mau melihat batang hidung lelaki bejat itu lagi di rumah ini. Jenny jengkel sekali, memangnya si Supri ini siapa? Tapi ia memegang kartu truf di sini, jadi Alex yang sebenarnya memang mencintai Jenny, terpaksa mengalah dan tak berani muncul di rumahnya Jenny.

 

Tentang Jenny sendiri, setelah Alex pulang, maka Supri menunjukkan belangnya. Supri mengancam Jenny kalau sampai berani mengajak pacarnya ke rumah ini lagi, Supri pasti akan melaporkan ke papanya. Dan selain itu, Jenny harus mau melayani Supri jika situasi memang memungkinkan seperti sekarang, yaitu tak ada siapa siapa di rumah selain Jenny dan Supri serta 4 buruh yang lain. Tak berdaya menolak, Jenny yang memang sudah tak perawan terpaksa melayani Supri yang dengan kejam membawa dirinya ke ruang produksi di belakang rumah, di situ ia melayani hasrat para buruhnya ini. pertama kalinya Jenny sempat pingsan berulang kali, dibantai Supri dan Umar yang ukuran penisnya besar sekali. Butuh sampai 2 hari baru Jenny mampu beradaptasi, dan cukup kuat untuk melayani mereka. Jenny sempat berkata padaku, “El.. kamu hebat ya.. bisa tahan digencet Supri dan Umar.. mereka itulah yang membuat aku pingsan pingsan waktu dulu pertama kali menjadi budak seks mereka”. Aku menunduk malu, dapat pujian kok tentang ketahananku saat disetubuhi. Jenny melanjutkan ceritanya, bahwa sejak saat itulah, Jenny menjadi budak seks mereka. Sering Jenny melakukan quicky sex dengan mereka berlima sepulang sekolah. Alex akhirnya putus dengan Jenny, karena tak tahan juga tak boleh ke rumah Jenny lagi. Jenny kembali menangis sedih mengakhiri ceritanya, dan Jenny merasa menyesal sekali harus putus dengan Alex, lelaki pertama dalam hidupnya, yang juga sudah mengambil keperawanannya, walaupun ia rela. Aku memeluknya terharu, ikut menangis bersama Jenny merasakan kesedihan yang dalam dari sahabat baikku ini.

 

Tiba tiba Jenny bertanya padaku panjang lebar, “El, kok kamu bisa berkata tidak perawan lagi waktu bilang mau melayani mereka semua? Itu tadi hanya akal akalanku kan supaya aku tak terlalu merasa bersalah? Aku tahu El kalau kamu adalah gadis baik baik, yang tak mungkin berbuat macam macam. Kamu baik sekali El, masih mencoba meringankan bebanku di saat kamu sendiri sedang berada dalam masalah.. Terima kasih El, maafkan aku ya”. Aku kembali terharu, aku menggelengkan kepala, dan menceritakan semuanya, dari mulai aku dijebak Girno cs di ruang UKS hingga keperawananku terenggut oleh mereka, kemudian bahkan besoknya di rumahku sendiri aku memulai kehidupan sebagai budak seks dari 2 pembantu dan sopirku. Jenny seperti tak percaya ketika mendengarkan semuanya, lalu memelukku erat, kami kembali saling bertangisan seolah hendak mengatakan kita berdua ini senasib. Dan seiring berakhirnya ceritaku, kami juga sudah selesai mandi. Setelah saling mengeringkan tubuh dan rambut kami, aku dan Jenny berpakaian yang pantas dan nyaman. Aku pinjam baju tidur Jenny yang terbuat dari bahan satin kesukaanku, aku selalu merasa nyaman mengenakan baju yang terbuat dari bahan itu. Jenny memakai baju tidur model baby doll, kami berdua sudah terlihat segar. kami keluar kamar menjumpai ortu Jenny yang sudah pulang, dan kami makan bersama seolah tak terjadi sesuatu, padahal tubuh kami rasanya remuk. Hari yang melelahkan ini membuat aku dan Jenny jadi ingin tidur lebih cepat, mengistirahatkan tubuh kami yang sudah dipakai para buruh ini. Maka selesai makan kami segera menyikat gigi dan masuk ke kamar, tiduran di ranjang yang empuk. Kami mengobrol tentang banyak hal, tanpa menyinggung kejadian buruk yang baru menimpa kami, sampai akhirnya kami tertidur. Entah apa lagi permainan sex yang harus kami alami di kemudian hari, yang jelas kami harus beristirahat sekarang ini.

===================================================

 

Show balet di malam hari jam 20:00 selama setengah jam yang menampilkan aku sebagai penari utama pada tanggal 31 Desember 2004 di ballroom sebuah hotel, mendapat sambutan yang meriah. Guru baletku begitu bangga padaku, ia memelukku bahagia. Aku pun demikian, seolah sudah lupa pada gangbang demi gangbang yang membuatku orgasme berkali kali sejak terenggutnya keperawananku pada 18 Desember kemarin. Juga tanggal 24 dimana aku bahkan harus datang ke sekolah di malam hari, menyerahkan tubuhku untuk menjadi budak pemuas nafsu dari mereka yang membantai aku seminggu setelah ulang tahunku yang ke 17 itu, yang nanti akan kuceritakan juga.

 

Bahkan tadi pagi aku masih harus melayani sopirku dan kedua pembantuku di kamarku sendiri. Mereka mulai menggilirku sepuas puasnya sejak jam 4 pagi sampai ketika kokoku pulang dari rumah temannya untuk makan siang sekitar jam 12, seolah tak rela nanti aku akan menginap di vila keluarga di tretes selama beberapa hari bersama keluargaku sepulang show balet ini. Mereka menggilirku dengan liar sekali, orgasme demi orgasme harus kulalui berkali kali sehingga betisku terasa begitu pegal, dan masih sangat terasa saat latihan final sore tadi.

 

Untung saja aku diantar kokoku ke tempat latihan balet, yang lalu meninggakan aku yang masih sangat lemas untuk menjemput ortu yang akan sampai di bandara Juanda sebentar lagi. Aku tak yakin apa aku masih bisa menyetir dengan rasa pegal ini. Namun segala macam capai sudah tak kurasakan lagi, kini aku sedang tersenyum bahagia, karena show ini begitu suksesnya, sampai sampai semua penonton termasuk di antaranya papa, mama dan kokoku, melakukan standing ovation (tepuk tangan sambil berdiri) saat kami menutup acara dengan membungkuk menghormat pada para tamu dan meninggalkan panggung ini.

 

“Eliza, kamu hebat sekali malam ini. Kamu memang ballerina yang berbakat baik sekali. Sukses ini semua berkat penampilanmu yang begitu indah. Terima kasih ya Eliza”, kata guru baletku yang memegang tanganku dengan mata berbinar binar, membuatku tersenyum malu sekaligus senang mendapat pujian setinggi langit ini.

 

“Cie Vira, teman teman juga hebat deh, semua hari ini luar biasa, jadi bukan cuma karena aku saja cie”, aku membantah, tapi teman temanku memelukku dengan senang, semua berkata senada kalau tadi itu aku begitu sempurna di atas panggung, dan memberiku selamat, yang hanya bisa kubalas dengan ucapan terima kasih dan tersenyum bahagia. Setelah Cie Elvira memberikan sambutan penutup show balet ini, kami diperbolehkan pulang, dan semua saling berpamitan gembira, tahun baru akan segera tiba.

 

Aku menghambur ke orang tuaku yang sudah menungguku dengan bangganya. Cie Elvira kulihat kembali ke bangku penonton, bergandeng tangan mesra dengan suaminya. Teman temanku juga sudah berkumpul dengan keluarga masing masing, ada yang memutuskan kembali ke bangku penonton untuk menikmati acara selanjutnya sampai jam 10 malam nanti seperti Cie Elvira dan suaminya, ada juga yang sepertiku yang langsung meninggalkan tempat ini.

 

Kini bersama dengan kedua ortuku dan kokoku kami menuju ke tretes, ke vila yang penuh kenangan masa kecilku dan juga kokoku. Tak pernah terbayang jika ternyata besok dan besok lusa vila itu akan menambahkan kenangan yang special buat diriku. “El, kamu masih ingat adiknya papa yang kerja di Jakarta?”, tanya papaku membuyarkan lamunanku.

 

“Ingat Pa, yang baru punya anak itu kan?” tanyaku balik. “Iya. Kayaknya sudah nunggu kita di vila, dia juga datang”, sambung papaku membuat aku hampir berteriak karena gembira, “Sungguh pa? si Vincent diajak nggak pa?” tanyaku antusias. “Ya, juga Stanley. Lengkap pokoknya. Hahaha kamu kok segitu senangnya El? Pantas anak anak kecil itu sayang sama kamu”, goda papaku waktu melihat aku merapatkan tanganku dan tersenyum senang.

 

Mamaku mencubit pipiku gemas, “Nanti kalo sudah ketemu mereka, semua dilupakan. Yang diperdulikan cuma kedua anak itu”. Kokoku yang menyetir menambahkan, “Iya, mungkin gara gara mama gak nambah adik lagi buat meme nih”. Aku tertawa kecil, dan kami bercanda selama perjalanan ke vila sehingga tanpa terasa mobil kami sudah berhenti di pintu gerbang vila kami.

 

Klakson mobil berbunyi 3x, dan pintu gerbang itu dibuka oleh penjaga vila kami yang sudah mulai tua, kira kira sekarang umurnya sudah 65 tahun. Ia sudah menjaga vila kami sebelum aku dan kokoku dilahirkan. Dan ketika kami masih kecil, penjaga vila yang namanya Basyir itu sering menemani kami bermain main jika kami berlibur ke vila ini.

 

Kaca mobil kubuka, dan kusapa penjaga vila yang baik ini. “Halo pak Basyir”, kataku sambil melambaikan tangan, dan mungkin karena sudah malam ia memandang heran padaku karena tak bisa melihatku dengan jelas, dan hanya berkata, “Selamat malam”. Ketika mobil berjalan dan wajahku tersinari cahaya lampu di atas gerbang, barulah ia mengenaliku dan membalas sapaanku, “Oh… ternyata non Liza. Halo juga non Liza, maaf ya tadi nggak keliatan”. ah.. seperti dulu, ia masih memanggilku non Liza, aku tersenyum padanya. Mobil terus berjalan dan berhenti di depan teras vila, di pojok aku melihat sebuah mobil besar, pasti mobilnya Suk Sing, adik papaku.

 

Benar saja, ketika kami turun dari mobil, Suk Sing keluar menyapa kami. Aku tak melihat Ie Lin, istri dari Suk Sing, ternyata sudah tidur, sekalian menidurkan anak anak. Pak Basyir membantu membawakan barang barang dari mobil ke kamar ortuku, lalu ia pamit untuk beristirahat ke kamarnya. Kurasakan pak Basyir agak lama ketika memandangku, kemudian aku sadar kalo aku masih mengenakan kostum baletku yang sexy itu.

 

Oh.. sebaiknya aku ganti baju tidur saja. Maka aku masuk ke kamar ortuku untuk ganti baju, tentu saja setelah pintu aku kunci. Bagaimanapun, di sini ada 3 laki laki dewasa, papaku, Suk Sing dan kokoku. Dan jadi 4 orang kalo pak Basyir juga dihitung. Aku melepas kostum baletku hingga tinggal mengenakan bra dan celana dalam yang berwarna hitam, kontras sekali dengan kulit tubuhku yang begitu putih. Aku sempat memperhatikan tubuhku lewat sebuah cermin besar di kamar itu. Hmm, aku merasa lekukan tubuhku memang termasuk sexy, dan payudaraku pun sudah tumbuh dengan ukuran sedang.

 

Tapi aku tak ingin berlama lama mengagumi tubuhku sendiri, ntar kena penyakit narsis lagi. Aku melepas bra dan celana dalamku hingga telanjang bulat. Udara dingin di tretes ini membuat kerigatku sudah kering, tapi aku tak berani mandi malam malam, takut kena penyakit rematik. Maka aku langsung berganti pakaian dalam, lalu memakai baju tidur kesukaanku yang warnanya merah muda dan bahannya satin.

 

Aku melepas ikat rambutku, karena bagiku lebih nyaman jika rambutku tergerai bebas tanpa ikat rambut. Lalu rambutku kusisir rapi hingga aku merasa makin nyaman, dan aku membereskan gaun balet dan pakaian dalamku sebelum aku keluar dari kamar dan kembali berkumpul sebentar dengan keluarga. Aku sempat mendapat pujian dari Suk Sing, rupanya ia sudah mendengar suksesnya show baletku dari ortuku, yang tentu saja aku mengucap terima kasih dengan tersenyum senang.

 

Kulihat jam sudah menunjuk pukul 23:30. Aku cuma bisa bertahan setengah jam menemani mereka ngobrol, dan aku pamit tidur karena sudah sangat mengantuk. Selain capai setelah show balet tadi, juga gangbang di pagi hari dan di hari hari sebelumnya membuat tubuhku sekarang rasanya remuk. Aku masuk ke kamarku yang di belakang, aku memang selalu tidur di situ sejak kecil kalau menginap di vila ini. Di ranjang yang sudah tertata rapi itu, aku meletakkan tubuhku senyaman mungkin, dan tak butuh waktu lama akhirnya aku sudah tertidur.

 

Entah aku tertidur berapa lama, tiba tiba kurasakan payudaraku diremas lembut dan ditekan tekan. Aku masih belum sadar betul, sempat mengira ini di rumah, maka aku pasrah saja, sambil merintih pelan. Nanti juga paling aku melenguh keenakan seperti biasa, mungkin aku sudah terbiasa menjadi budak pemuas nafsu seks yang harus siap digangbang setiap mereka menginginkan servis tubuhku, bahkan ketika aku masih sedang menikmati tidurku.

 

Aku tak bisa menolak, karena memang kalau mau jujur, nikmat sekali rasanya sensasi yang kurasakan saat terbangun dengan vagina yang dalam keadaan teraduk aduk penis, payudara yang diremas remas lembut, dan bibir yang dilumat dengan penuh nafsu, seperti yang dilakukan hampir tiap pagi oleh Wawan, Suwito dan pak Arifin terhadapku, tanpa sadar aku sudah merenggangkan pahaku bersiap menerima tusukan demi tusukan pada selangkanganku ketika “Cie Elizaa.. sakit ya? bangun doong, ayo temani Stanley main…”, suara anak kecil di dekat telingaku membuatku kaget, dan secara reflek aku terbangun duduk.

 

Dua anak laki laki yang masih kecil, yaitu Stanley yang berumur 5 tahun dan adiknya Vincent yang masih berumur 3 tahun, ada di samping kanan dan kiriku, rupanya tanpa sengaja tadi tangan mereka meremas dan menekan kedua payudaraku saat mencoba membangunkanku dengan menggoyang goyang tubuhku. Spontan wajahku terasa panas, tak pernah terbayang olehku bahkan anak kecil pun mampu memberikan rasa nikmat pada tubuhku.

 

Aku tersenyum malu mengingat tadi aku bahkan sudah melebarkan pahaku, tapi untungnya mereka masih belum mengerti. Yah, kalaupun mengerti, penis mereka masih terlalu kecil untuk mengaduk aduk vaginaku. Apalagi si Vincent, yang masih belum bisa bicara dengan benar, baru bisa bilang papa mama, cie cie, koko, itu pun masih terdengar lucu, khas anak kecil yang masih belajar bicara. Duh.. aku kok jadi melantur, nggak ada kali anak laki laki yang baru berumur 5 taun sudah bisa bersetubuh…

 

Kini kesadaranku sudah pulih sepenuhnya, dan aku memeluk keduanya yang tertawa senang. Kami bertiga keluar kamar, aku menggendong Vincent, sementara Stanley menggelayuti pinggulku sambil tertawa tawa, sedangkan aku sebenarnya dalam keadaan terangsang juga ketika tangan Stanley yang masih kecil itu kadang seolah meremas pinggulku. Oh.. ada apa denganku ini? Aku masih ingat, sebulan yang lalu tak ada perasaan seperti ini ketika Stanley menggelayutiku. Apakah sejak aku mengenal sex secara langsung tubuhku jadi sedemikian mudahnya terangsang? Atau.. masa aku jadi hiperseks setelah merasakan nikmatnya bersetubuh?

 

Tapi aku berhasil menekan semua perasaan yang begitu menyiksaku ini. Sempat kulihat jam dinding, pukul 7 pagi. Oh.. hawa tretes ini sungguh nyaman, rasanya begitu segar. Aku menghirup udara sebanyak banyaknya, menikmati udara pagi di sini yang tak mungkin bisa kurasakan di kota. Kulihat pak Basyir di halaman, seperti biasa merawat rumput yang tumbuh di sana agak selalu rapi.

 

Tiba tiba, aku merasa sangat lapar, yah, mungkin udara yang dingin ini memperkuat rasa laparku. Maka aku pamit sebentar pada kedua anak kecil ini, lalu ke kamar ortuku untuk mengambil handuk kecil, pasta dan sikat gigi. Setelah menyikat gigi, kebetulan memang ternyata makan pagi sudah disiapkan oleh mamaku dan Ie Lin. Kami semua makan bersama setelah saling mengucap selamat tahun baru, sambil membicarakan rencana hari ini.

 

Rencananya kami sekeluarga akan pergi ke Taman Safari, dan berangkat dari sini jam 11 siang, sekalian makan di luar. Nanti malam, kami akan mengadakan pesta barbeque, dan memang semua peralatan sudah disiapkan. Oh.. hari ini benar benar mengasyikan.

 

Kedua sepupuku pun terlihat begitu antusias setelah diceritakan bahwa di Taman Safari itu ada bermacam macam binatang yang bisa dilihat. Kami menyelesaikan makan pagi ini, dan seperti biasa pak Basyir membantu mencuci piring dan gelas di belakang. Aku sempat menemani kedua anak kecil ini bermain main, sampai sekitar jam 8 ketika Ie Lin dan mamaku mengajakku untuk berenang di kolam renang belakang. Aku mencubit pipi kedua anak kecil ini, dan pamit untuk ikut berenang.

 

Mereka ternyata ingin ikut berenang, jadi kedua anak kecil ini turun mengikuti mamanya. Aku pergi ke belakang sebentar, ke kamar kokoku yang di lantai 2 untuk meminjam charger handphone, jadi handphoneku bisa aku charge selagi aku berenang nanti, dan aku pikir batereinya akan terisi penuh waktu aku selesai berenang nanti. Tangga besi melingkar yang kunaiki sekarang adalah jalan satu satunya ke sana, ketika angin kencang bertiup mengibarkan rok bawah baju tidurku.

 

Aku amat kaget, dan menjadi berusaha menekan rokku ke bawah. Setelah angin berhenti bertiup, aku jadi ingat kalau ada pak Basyir di bawah sana yang masih mencuci piring, aduh.. jangan jangan dia tadi sempat melihat bagian dalam dari rokku. Aku mengarahkan pandanganku kepada pak Basyir, dan aku jelas sekali melihat baru saja pak Basyir mengalihkan pandangannya dariku. Tapi aku membuang jauh jauh pikiran negatif yang berkecamuk dalam diriku, aku teringat bahwa pak Basyir ini selalu baik padaku sejak aku masih kecil dulu. Maka aku terus saja ke kamar kokoku, mengetuk pintunya yang sedang terkunci.

 

“Koo… pinjam chargernya dong”, pintaku dari luar kamarnya. Beberapa detik kemudian kokoku membuka pintu lalu memberiku charger yang kuminta tadi. “Loh kamu nggak renang me?” tanya kokoku yang sudah memakai celana renang. “Iya nih, tapi aku charge handphoneku dulu, tinggal 1 strip nih batereinya, pinjam dulu yah”, kataku. Kebetulan memang, handphone kami sama sama tipe nokia, jadi aku bisa pinjam chargernya kokoku.

 

Aku turun diikuti kokoku yang langsung menuju kolam renang sementara aku masih harus ke kamar ortuku, selain memasang handphoneku pada charger, koper baju gantiku masih di sini. Aku berganti pakaian renang, ehm, tentu saja setelah aku mengunci pintu. Setelah selesai, langsung menuju kolam renang di belakang. Di sana kami semua berenang dengan gembira, sementara papaku dan Suk Sing mengobrol di kursi yang ada di dekat kolam renang ini.

 

Kedua anak kecil itu tentu saja tidak diperbolehkan berenang di kolam yang dalam, jadi Ie Lin menemani mereka, kadang aku juga membantu menemani mereka sebentar, sekalian mengambil nafas setelah adu menyelam dengan kokoku yang juga jago berenang. Tak terasa, sudah satu jam kami bersenang senang di kolam renang ketika papa berkata sekarang jam 9:00, menjawab pertanyaan Suk Sing. Sinar matahari sudah melewati bangunan rumah vila kami dan menimpa kolam tempat kami berenang.

 

Tak ingin kulitku yang putih jadi menghitam, aku segera naik ke darat, dan mengeringkan tubuhku dengan handuk besar. Demikian juga yang lain, satu per satu naik dan mengeringkan diri, sambil duduk di bawah payung besar. Entah kenapa tiba tiba kepalaku terasa pening, mungkin karena kecapaian.

 

Aku mengeluh memegang kepalaku, dan mamaku yang memang selalu perhatian padaku segera tahu kalau aku sedang sakit kepala. Setelah memberiku obat, mamaku menyuruhku segera mandi dan beristirahat saja, tak usah ikut ke Taman Safari. Mamaku sempat ingin menemaniku, tapi aku menolak. “Ma, mama pergi aja, aku toh juga akan tidur siang. Nanti sebentar juga baik kok, paling aku cuman kecapaian. nggak usah kuatir ya ma”, kataku berusaha meyakinkan mamaku, yang akhirnya mau juga ikut bersama mereka. Nggak enak rasanya udah besar gini masih dijagain mama, hanya karena sakit kepala.

 

”Ya sudah. Nanti kalau ada perlu apa, minta tolong pak Basyir ya”, kata mamaku. Aku mengangguk pelan, rasa pening membuatku agak malas menggerakkan kepalaku. “Makan siang nanti, mama siapkan dulu sekarang buat kamu, nanti tinggalkamu hangatkan sendiri ya. Terus, kamu tidur di kamar mama saja ya, nggak usah mindahin koper dulu, nanti malam saja mindahinnya”, pesan mamaku lagi.

 

Aku mengangguk lagi sambil tersenyum, lalu obat sakit kepala itu kuminum sebutir. Dan aku segera menuju ke kamar mandi setelah mengambil handuk dan baju ganti, satu set baju santai yang juga nyaman untuk dipakai tidur. Aku mandi keramas, mengeringkan rambutku sekering keringnya dan tentu saja tubuhku juga. Setelah memakai baju ganti, aku ke dalam, melihat mamaku sudah menaruh makan siang untukku di meja, jadi nanti tinggal aku hangatkan.

 

Aku merangkul mamaku dengan rasa terima kasih, tapi rasa pening ini semakin menjadi jadi, maka aku segera pamit tidur duluan. Mama mencium pipiku, kemudian aku masuk ke kamar ortuku, dan tidur di sana.

 

“Eliza, pintunya kunci aja, mama punya serepnya kok”, kata mamaku, mengingatkan aku untuk mengunci pintu ini. “Iya ma”, jawabku dan ‘klik.. klik’, aku mengunci pintu ini dan langsung tiduran di ranjang mamaku. Tak lama kemudian samar samar kudengar deru mesin mobil, mereka sudah pergi. Kepalaku terasa semakin berat saja, dan tak lama kemudian aku tertidur. Ketika aku terbangun, rasa sakit di kepalaku ternyata masih ada walaupun sudah tak begitu terasa. Dan tubuhku berkeringat banyak sekali walaupun udara cukup dingin, karena selimut yang kupakai cukup tebal.

 

Sinar matahari sudah tak menyengat, kini sudah jam 4 sore. Aku jadi ingin mandi, tapi aku mencari pak Basyir dulu, mau minta tolong dicegatkan orang jual sate ayam yang lewat. Ada beberapa menit aku mencari, tapi tak kutemukan juga, dan tiba tiba rasa ingin buang air kecil membuatku langsung ke kamar mandi setelah menyambar handukku yang tergantung di tali jemuran di dekat kamar mandi. Selesai buang air, aku langsung mandi menyegarkan tubuhku setelah buang air kecil.

 

Siraman air dingin benar benar menghapus rasa gerah itu, juga lembutnya busa sabun membuat tubuhku semakin terasa santai. Setelah membilas bersih tubuhku, aku mengambil handukku yang tergantung di daun pintu kamar mandiku, tapi tanpa sengaja kujatuhkan handuk itu ke lantai kamar mandi, yang tentu saja masih ada genangan air. “Aduh… jadi basah deh”, keluhku agak kesal.

 

Cepat cepat kuambil handuk itu, dan kuperhatikan, yah, handuk itu sudah terlanjur terlalu basah. Sempat terlintas di pikiranku, aku keluar begini saja, toh nggak ada orang di luar, tapi aku membatalkan niatku yang gila itu. Kalau tiba tiba pak Basyir sudah kembali, aku bahkan tak berani membayangkan apa yang bakal terjadi selanjutnya.

 

Aku mulai memeras handuk itu, paling tidak saat kupakai membelit tubuhku nanti sudah tak begitu basah. Untung aku masih punya handuk cadangan di koperku. Aku membelitkan handuk itu ke tubuhku, menutup payudara dan vaginaku. Oh… rasa dingin ini menimbulkan sensasi aneh yang tiba-tiba melanda diriku, tapi aku berusaha tak memikirkannya, karena aku harus segera mengeringkan tubuhku dengan handuk yang baru kalau tak ingin ketambahan sakit masuk angin. Benar benar tidak lucu kan kalau balik dari liburan malah jadi sakit?

 

Aku keluar dari kamar mandi dan kebetulan sekali aku berpapasan dengan pak Basyir. “Pak, kalau ada tukang sate ayam yang lewat, tolong dipanggilkan ya pak. Nanti pak Basyir juga Liza belikan ya”, aku meminta tolong pada penjaga villaku yang sudah cukup tua ini. “Iya non, terima kasih”, kata pak Basyir yang langsung menuju ke arah jalan, menunggu tukang sate.

 

Aku pun masuk ke dalam, ke kamarku. Beberapa detik kemudian aku sadar kalau koperku masih di kamar ortuku. Maka aku keluar dari kamarku menuju ke kamar ortuku, dan di situ aku melepas handukku, karena rasa dingin ini semakin menjadi jadi. Aku mencari handuk cadanganku itu, dan belum kutemukan ketika tiba tiba aku tercekat merasakan hembusan nafas panas yang menerpa leherku.

 

“Non Liza, harum sekali ya bau rambut non..”, kata pemilik nafas tadi, oh.. ini suara pak Basyir, dan terdengar berat, jelas pak Basyir sedang terbakar nafsu, membuatku yang amat terkejut karena tiba tiba ada orang lain di kamar saat aku masih telanjang bulat begini, reflek menjerit ketakutan dan menutup bagian depan tubuhku yang sebenarnya membelakangi pak Basyir.

 

Tapi dengan cepat mulutku sudah dibekap, sementara tubuhku telanjangku yang hanya tertutup handuk di bagian depanku ini dipeluk erat dari belakang, membuatku mulai meronta dalam rasa panik yang amat sangat. Untungnya, sentakan yang kulakukan sepenuh tenaga akhirnya berhasil melepaskan diriku dari dekapan penuh nafsu ini. Aku hendak lari, tapi tiba tiba tubuhku dibalikkan ke arahnya dan kembali didekap erat. Seolah tahu aku akan berteriak, pak Basyir sudah melumat bibirku.

 

Handuk yang sedianya kututupkan ke payudara dan vaginaku sudah terjatuh. Dalam kepanikan ini aku berhasil mendorong tubuh pak Basyir yang sudah seperti kesetanan dan sedang melumat bibirku, dan aku akhirnya terlepas dari dekapannya. Tapi yang membuatku semakin panik, akibat kudorong tadi, pak Basyir kehilangan keseimbangan dan kepalanya terbentur tembok di sebelah lemari, kacamatanya sampai terpental jatuh, entah pecah atau tidak.

 

Kulihat tubuh orang tua ini ambruk ke lantai, dan ini membuatku takut kalau kalau ada apa apa dengan pak Basyir. Bagaimanapun juga ia selalu berlaku baik padaku sejak aku kecil. Aku memeriksa keadaannya dengan tegang, melihat kepalanya yang benjol, tadi memang aku melihat benturan itu cukup keras.

 

“Pak.. pak Basyir, aduh.. gimana nih.. maaf ya pak.. Liza oohh…”,kata kataku terputus ketika tiba tiba rasa geli bercampur nikmat melanda puting susuku yang dikulum oleh pak Basyir. Ternyata walaupun kepalanya benjol cukup besar, tapi ia masih sadar, jadi tadi itu ia hanya pura pura pingsan. Dan aku yang lupa kalau tubuhku masih telanjang bulat, berjongkok memeriksa keadaan kepalanya itu, dan payudaraku yang tak tertutup apapun menggantung di depan mukanya.

 

“Aduh.. pak Basyir.. jangan begini dong pak…”, keluhku di antara desahanku. Ingin aku menarik tubuhku menjauh darinya, tapi aku merasa bersalah tadi telah mendorongnya cukup keras hingga kepalanya terbentur tembok. Tapi masa aku harus membayar kesalahanku tadi dengan menyerahkan tubuhku pada orang tua ini?

 

Pikiranku makin kalut saat rasa nikmat ini semakin menjalari tubuhku, membuat aku akhirnya lemas tak kuasa untuk melakukan sesuatu. Tapi aku masih memohon supaya pak Basyir menghentikan semua ini. “Pak.. jangan… aduh…”, aku terus merintih. Seolah tak mendengar apa apa, pak Basyir malah melanj-utkan dengan meremas payudaraku yang satunya, membuat aku semakin larut dalam rangsangan ini.

 

Mataku terpejam, tiba tiba aku sedikit bergidik membayangkan jika aku harus melayani penjaga vilaku yang sudah tua ini. Ia sudah sedikit kempong, mungkin giginya sudah banyak yang tanggal. Janggutnya yang tipis agak panjang, beruban seperti rambutnya yang juga mulai tipis. Kerut kerut yang tercetak di wajah dan tubuhnya, yang ternyata sudah telanjang bulat ini, membuatku tanpa sadar menangis ngeri.

 

Aku sudah akan berontak ketika tiba tiba pak Basyir entah kenapa melepaskan tubuhku dari dekapannya. Aku segera mengambil handukku, menutupi payudara dan vaginaku dari pandangannya. Aku yang sudah marah bercampur panik sudah bersiap mengusirnya ketika pak Basyir terlihat menunduk sedih.

 

“Non Liza, maafkan bapak yang tak tahu diri ini, tadi bapak benar benar khilaf, nggak bisa menahan diri waktu lihat tubuh non Liza yang putih mulus dan belahan dada non Liza waktu non hanya memakai handuk. Sekali lagi bapak minta maaf ya non, soalnya terus terang bapak kemarin sudah nggak bisa tidur waktu liat non turun dari mobil dan masih memakai baju balet itu. Apalagi tadi liat non pakai baju renang. Gimana ya non.. rasanya baru kemarin non waktu masih kecil dulu bapak ajak main ayunan di belakang, tahu tahu sekarang jadi gadis cantik seperti ini. Maafkan ya non.. mungkin tadi juga karena bapak sudah menduda lebih dari 20 tahun…”, kata pak Basyir panjang lebar sambil menangis. Terlihat sekali ia menyesal, membuat kemarahanku surut sama sekali.

 

Aku masih diam saja dan menghapus air mataku, ketika pak Basyir melanjutkan, “Maaf non, bapak benar benar tak tahan liat non nangis… kalo non mau, non boleh pukul bapak. Bapak merasa berdosa pada non”. Aku semakin tak tahu harus bicara apa. “Ya sudah non, nanti bapak akan minta berhenti pada Tuan Robert. Kelihatannya non tak mau memaafkan bapak. Tapi bapak mengerti kok non, yang tadi itu memang tidak termaafkan. Sekali lagi maaf ya non”, kata pak Basyir sedih sambil berdiri meninggalkanku.

 

Aku terkejut mendengar pak Basyir mau mengundurkan diri, bagaimanapun dia adalah penjaga vila kami yang setia, lagipula tadi itu aku bisa mengerti alasannya, apalagi dia belum bertindak lebih jauh. Maka aku memegang tangan pak Basyir, dan berkata “Pak, sudah jangan dipermasalahkan lagi, Liza sudah memaafkan bapak kok. Tadi Liza menangis karena ingat masa kecil dulu bapak baik sama Liza. Maafkan Liza ya pak, tadi sudah dorongin bapak sampai kepala bapak luka..”

 

“Non nggak perlu minta maaf non, memang bapak pantas kok mendapatkan benturan tadi”, pak Basyir berkata sambil menghapus air matanya. Aku tersenyum lega, dan kulepaskan pegangan tanganku sambil berkata, “Ya sudah pak, Liza mau pakai baju dulu ya. Bapak tolong keluar bentar ya”.

 

Pak Basyir mengangguk, tapi begitu kepalanya menunduk pandangan matanya seolah tak mau lepas dari payudaraku yang sudah tak tertutup apa apa lagi, tadi handuk yang kupakai untuk menutupi tubuhku tanpa sadar terjatuh saat aku berdiri menahan tangan pak Basyir. Kini penjaga vilaku kembali terpaku, kurasakan nafsunya sudah kembali menggelegak, terlihat dari nafasnya yang memburu saat pandangannya masih terus saja tertuju pada kedua payudaraku.

 

Reflek aku melipat kedua tanganku ke dada, rasa panik sudah kembali melandaku. Sebelum aku bisa berbuat sesuatu, pak Basyir sudah menyergapku lagi, kali ini aku sampai terjatuh, untungnya di ranjang ortuku, tapi gawatnya kini tubuhku ditindih oleh pak Basyir.

 

Aku meronta panik. “Pak… jangan paak… tadi kan emmphhh ”, aku setengah berteriak, tapi bibirku sudah dilumat oleh pak Basyir, tanganku yang terlipat di dada ini rasanya terkunci karena tertindih tubuh pak Basyir, yang walaupun termasuk kurus, tapi bagiku tetap terasa berat. Dalam ketakutan ini aku terus berusaha melepaskan diri, kakiku kupakai untuk mendorong tubuh keriput yang harusnya tak begitu berat ini, tapi entah ia mendapat tenaga dari mana untuk terus mempertahankan posisinya, bahkan kini jari tangan kirinya sudah melesak masuk dan mulai mempermainkan vaginaku, selagi tangan kanannya menahan kepalaku hingga aku tak dapat menoleh ketika ia melumat bibirku habis habisan. Diperlakuan seperti ini, perlahan aku mulai lemas, rasa nikmat pada vaginaku membuatku tak mampu mengerahkan tenaga untuk berontak lagi.

 

Bahkan pak Basyir tak lagi memegangi kepalaku saat melumat bibirku, ia yakin aku sudah tenggelam dalam birahi saat aku menatapnya dengan pandangan sayu. Kini tubuhku sudah tidak ditindih lagi, dekapan tanganku di dadaku dibuka oleh pak Basyir, lalu payudaraku mulai diremasnya dengan lembut. Aku hanya bisa pasrah, sudah tak ada lagi perlawanan dariku karena tubuhku sudah merespon setiap rangsangan yang kuterima, sesekali aku mengejang nikmat saat vaginaku diaduk aduk oleh jari tangan pak Basyir. Jantungku sudah berdetak begitu kencang mengiringi birahiku yang mulai memuncak.

 

“Hnggh… oooh…”, aku melenguh begitu pak Basyir melepas lumatannya pada bibirku. Aku memejamkan mataku pasrah, tak tahu harus berbuat apa ketika vaginaku masih saja diaduk aduk oleh pak Basyir. Tiba tiba ia berpindah posisi ke selangkanganku dan melebarkan pahaku. Aku membuka mataku, mengingat aku belum tau ukuran penisnya, jadi aku paling tidak tahu sebesar apa penis yang akan mengaduk aduk vaginaku.

 

Tapi ternyata pak Basyir tidak sedang dalam posisi akan menyetubuhiku, tapi kepalanya ada di tengah selangkanganku. Aku merasakan bibir vaginaku disapu lidahnya. “Oh… pak.. jangan…”, aku merintih rintih.

 

Pak Basyir tertawa terkekeh, tentu saja orang seumur dia sudah berpengalaman untuk mengetahui aku sebenarnya sudah terangsang hebat. Tiba tiba ia seolah menurutiku, dan menghentikan aktivitasnya. Aku pun diam, tapi aku juga tidak mengatupkan pahaku yang sudah tidak dipegangi ini.

 

“Non Liza, bener mau sudahan?”, ejek pak Basyir. Aku mengangguk lemah dan kembali memejamkan mataku menahan malu. “ooh…”, aku kembali merintih ketika pak Basyir dengan nakal menyedot vaginaku dan mencucup cairan cintaku yang memang rasanya sejak tadi terus mengalir. Dan yang bisa kulakukan hanya merintih dan mengejang keenakan tanpa mampu menyembunyikan rasa nikmat yang mendera tubuhku ini.

 

“Enak ya non Liza, kok sampai mulet mulet gitu?”, tanya pak Basyir dengan nada mengejek melihatku yang semakin lepas kontrol.

 

Aku tak mampu berbohong lagi dan masih mengejang ngejang dan menggeliat keenakan ketika tanpa sadar aku menjawab sambil mendesis, “iyah… pak… ssshhh…”. Aku membuka mataku melihat pak Basyir sudah tersenyum penuh kemenangan, dan sambil bersiap di selangkanganku. Sempat kupandang penisnya, yang ternyata tipe kurus dan panjang, sebelum aku kembali tenggelam dalam kenikmatan ketika pak Basyir meremasi payudaraku dan bertanya padaku, “Non Liza sudah nggak perawan kan? Ini buktinya nggak keluar darah. Kalo gitu, punya bapak boleh dimasukin ke memek non Liza ya?”.

 

Aku yang sudah semakin diamuk nafsu birahi hanya bisa menjawab, “Iya.. pak… Liza… sudah nggak… perawan… terserah bapak… kalo mau… masukin… ngggghhhh”, aku melenguh ketika vaginaku sudah diterobos penis pak Basyir. Oh Tuhan… aku disetubuhi di ranjang ortuku. Dan aku tak menolak sama sekali, bahkan perlahan aku mengimbangi genjotan penis pak Basyir yang ternyata cukup keras juga, walaupun tak membuat vaginaku terasa begitu sesak. Kedua tanganku mencengkram sprei ranjang ortuku yang ternoda perbuatan mesum dari kami berdua ini. Desahan, erangan dan lenguhan kami bersahutan, aku sudah tak perduli apapun lagi dan melayani pak Basyir dengan penuh penyerahan.

 

“Non Liza… oh…. sempitnya memek non Liza…”, pak Basyir meracau dan semakin menambah gairahku saja. “Aduh…. Ohhh… enak pak Basyir… oh… panjaang… mmmppph”, aku juga meracau tapi terhenti oleh lumatan pada bibirku. Genjotan demi genjotan yang aku rasakan akhirnya mengantarku orgasme untuk pertama kalinya hari ini, tubuhku mengejang hebat sampai melengkung hingga pinggangku terangkat, kedua kakiku melejang lejang, dan aku melenguh lenguh tak mampu menahan nikmatnya kontraksi pada otot vaginaku.

 

“ooooh… paaak…aduuuuuuh….”, aku mengerang, dan pak Basyir sendiri rupanya kewalahan juga ketika penisnya terjepit oleh otot vaginaku yang terus berkontraksi, membuatnya menggeram, penisnya berkedut dan tanpa ampun spermanya menyembur berulang ulang membasahi vaginaku. “Non Lizaaaa…. Ooooh enaknya nooon….”, penjaga vilaku terlihat begitu menikmati ejakulasinya di tubuhku, anak majikannya yang masih seumur cucunya. Betisku kembali terasa pegal, keringatku membasahi sprei ini, dan nafasku tersengal sengal, apalagi ditambah tubuhku ditindih pak Basyir yang ambruk kelelahan menimpaku setelah menggenjotku tadi, penisnya masih menancap dalam dalam di vaginaku.

 

“Pak Basyir.. sudah dong, Liza capek sekali nih”, aku sudah lepas dari pengaruh orgasme yang menderaku, dan tubuh pak Basyir yang masih menindihku kudorong sehingga penisnya yang mulai mengecil terlepas. Aku melihat jam, sudah jam 5 sore. Aku kuatir ortuku dan yang lain akan segera datang, maka aku berkata, “Pak, tolong saya mengganti sprei ini, sudah basah gini kena keringat. Ayo pak, nanti ortuku datang”.

 

Dengan lemas karena baru ejakulasi, pak Basyir memakai kaca matanya dan membantuku mengganti sprei. Benar saja, tiba tiba klakson mobil papa terdengar, mambuat aku dan pak Basyir terkejut panik karena kami berdua sama sama masih telanjang bulat. Pak Basyir memakai bajunya yang ternyata berserakan di depan pintu, dan membereskan sprei kotor ke tempat cucian lalu membuka pintu gerbang, dan aku dengan paha bagian dalam yang masih belepotan campuran sperma pak Basyir dan cairan cintaku, menyambar handukku yang masih basah itu dan melilitkan ke tubuhku, lalu aku segera kembali ke kamar mandi setelah memastikan tak ada tanda tanda bekas pergumulan kami di kamar ortuku.

 

Aku memang harus mandi, rambutku yang panjang basah oleh keringat yang juga menempel di sekujur tubuhku, juga vaginaku harus kucuci bersih. Aku keramas dulu lalu kembali mengguyur tubuhku yang lengket lengket ini, dan perlahan aku merasa kembali segar setelah mengusapkan sabun cair yang mengandung sedikit menthol dengan lembut pada sekujur tubuhku.

 

Tak sengaja jari tanganku menyenggol puting susuku yang masih keras, dan membuatku mendesah pelan. Tapi ini bukan waktunya bermasturbasi, aku masih terlalu lelah untuk itu. Rasa nikmat itu kembali menjalariku ketika aku harus mengorek ngorek vaginaku sendiri, tapi aku sebisa mungkin membuang sisa sperma di liang vaginaku.

 

Hal ini penting sekali karena sperma yang tertinggal dapat memicu bau tak sedap pada vagina wanita. Kuberikan sabun pewangi yang selalu kugunakan untuk merawat vaginaku usai disirami sperma sejak dua minggu lalu. Setelah tubuhku terasa nyaman, aku pura pura memekik kaget, sehingga mamaku yang pasti sudah ada di dalam vila mendatangiku.

 

“Kenapa El?”, tanya mamaku kuatir. “Ma, handuk Eliza jatuh, jadi basah nih. Tolong ma, di koper Eliza ada cadangan handuk lagi, Eliza nggak bawa baju ganti nih, tadi terburu buru mau buang air besar”, kataku mencari alasan. “Tunggu ya El, mama ambilkan dulu”, kata mamaku. “Iya, terima kasih ma”, kataku sambil menunggu.

 

Ketukan di pintu kamar mandi ini membuyarkan lamunanku tentang betapa aku tadi sempat orgasme karena digenjot oleh seorang lelaki tua dan keriput. “El, ini handuknya”, aku dengar suara mamaku, maka aku buka sedikit pintuku, dan mengambil handuk yang disodorkan mamaku. “Terima kasih ma”, aku merasa lega, dan kukeringkan rambutku dan seluruh tubuhku. Kembali tubuhku kubelit dengan handuk, dan setelah yakin bagian penting dari tubuhku tertutup, aku keluar dari kamar mandi dan melangkah menuju kamar ortuku.

 

Saat melewati tempat cuci piring, aku berpapasan dengan pak Basyir yang sedang mempersiapkan piring dan gelas untuk barbeque nanti. Aku diam saja saat melewatinya, tak tahu harus bilang apa pada penjaga vila yang baru menikmati tubuhku ini. Tiba tiba aku merasa pantatku diremas, hingga aku menoleh kaget. Memang tak ada yang lain, pasti pak Basyir yang melakukan. Dengan sedikit kesal aku menegurnya, “Pak, gimana sih.. jangan ngawur gini dong, di dalam banyak orang tuh!”.

 

Melihatnya yang hanya cengengesan, aku berpikir akan lebih baik jika orang tua ini kutinggal masuk sekarang juga sebelum aku dijahili lebih lanjut. Aku berganti pakaian di kamar ortuku, kupilih bra dan celana dalam berwarna pink. Sebuah kaus warna pink bergambar boneka Teddy Bear dan celana santai kukenakan, sekarang aku sudah siap untuk bergabung ikut acara barbeque. Kubawa koperku ke kamarku, lalu aku ke depan. Begitu aku sampai di depan, kedua sepupu kecilku segera mengerubutiku.

 

“Cie Eliza… sudah sembuh ya”, Stanley menggelayut manja seperti biasa, sementara Vincent mengangkat tangannya seolah berkata “Cie, gendong Vincent dong”. Aku tersenyum dan menggendong Vincent, sambil berkata pada Stanley, “Iya, cie cie sudah sembuh. Gimana tadi di taman safari?”. Stanley mulai bercerita tentang apa saja yang dia liat dengan gaya anak kecil yang menggemaskan. Aku terus mendengarkan sambil sesekali menimpalinya. Tepat saat ceritanya selesai, kami dipanggil papa untuk memulai acara barbeque.

 

Api panggangan sudah siap. Selain kedua sepupuku, kami semua bergantian memanggang makanan yang berbeda beda. Sambil mengobrol ke sana kemari, juga diselingi bercanda, suasana malam ini benar benar menyenangkan. Aku memilih memanggang marshmallow yang sudah kuisi coklat cair, benar benar nikmat saat semuanya meleleh di atas lidahku, ketika tiba tiba aku merasa pantatku dicolek, hingga aku memekik terkejut dan semua menoleh ke arahku. Untungnya mereka tak melihat apa yang sebenarnya terjadi.

 

Untung saja, saat itu juga hpku berbunyi, nada sms masuk. “Kenapa El?”, tanya mamaku heran. “Nggak ma, ini lagi liatin panggangan, tahu tahu hpku bergetar. Bentar ma, mau baca sms dulu”, jawabku, dan ketika aku melihat pak Basyir yang sudah di sampingku membawakan marshmallow, aku memandangnya dengan penuh teguran, kesal sekali rasanya. Tapi aku tak bisa berbuat apa apa, maka aku menjauh dari tempat ini, sekalian membaca sms dari siapa yang baru masuk ke HPku, yang ternyata dari Cie Stefanny, guru les privatku di bidang bahasa inggris. Ia adalah mahasiswi Sastra Inggris semester 7 di universitas swasta yang terkenal di Surabaya. Seminggu lagi usianya 22 tahun. Terbayang olehku, Cie Stefanny ini orangnya sabar, cantik, tubuhnya ramping, rambutnya lurus sebahu menambah keanggunannya.

 

“Happy new year Eliza ^^

Juga sekalian nanya nih, mulai Januari kamu kan sekolah pagi,

Lesnya enaknya jam berapa? Harinya tetap saja ya kalau bisa, thanks ^^

Cie Stefanny”

 

Membaca ini aku tersenyum dan segera membalas sms ini. “Happy New Year juga cie Stefanny. Yah kalo cie cie bisa, jam 2 siang saja ya cie. Iya, tetap hari Senin dan Kamis saja cie, tapi besok jangan dulu yah cie, masih capek nih abis liburan.”

 

Setelah membalas sms ini, aku melihat pak Basyir yang membawa piring kotor, pergi ke belakang. Aku teringat kelakuannya tadi, dan segera menyusulnya. “Pa Ma, Suk Sing, Ie Lin, Eliza ke belakang bentar ya, mau ke wc”, pamitku pada mereka yang menganggukkan kepala. “Lho, aku nggak dipamitin?”, goda kokoku yang memang selalu usil ini. “Suk Hengky, Eliza ke belakang bentar ya, mau ke wc”, kataku sambil menjulurkan lidah waktu menyebut nama kokoku dengan panggilan Suk, dan kami semua tertawa.

Aku pun masuk dan ketika melihat pak Basyir sedang mencuci piring, aku segera menghampirinya, dan dengan aku segera menegurnya. “Pak, jangan ngawur dong. Masa ada orang banyak gitu bapak seenaknya main colek saja. Kalo kelihatan kan jadi masalah. Gimana sih?”, tegurku kesal tapi dengan dengan suara pelan.

 

Mendapat teguranku, pak Basyir bukannya berhenti tapi malah meremas pantatku dengan santai sambil berkata, “Jadi kalau berduaan gini, nggak apa apa kan non Liza?”. Aku makin kesal dan berkata, “Pak, tolong ya, jangan ngawur seperti ini”. Aku menepis tangannya, dan meninggalkannya ke wc. Waktu aku keluar dari wc, aku melihat pak Basyir mendekatiku.

 

Aku menghindar memilih tak berurusan lebih lama dengan penjaga vilaku yang mesum ini. Tapi ia sudah menghadangku, dan memegang tanganku. “Non Liza, bapak lagi pengin nih”, katanya padaku, membuat aku kesal bercampur panik, ditagih dalam keadaan banyak orang seperti ini.

 

“Apa apaan sih pak Basyir? Nggak pak, jangan ngelunjak ya. Lepaskan Liza!”, aku berkata agak kasar padanya, tapi ia terus mendesakku. Oh.. daripada nanti dia kalap lalu aku diperkosa di sini, aku mengalah dan berkata, “Pak Basyir, Liza oralin saja, tapi jangan ganggu Liza lagi. Sebentar, Liza lihat keadaan dulu”. Aku memastikan mereka yang di luar masih sibuk, lalu aku menutup pintu wc dan menyalakan lampunya seolah aku masih di dalam. Lalu aku mendekat ke pak Basyir di tempat cucian, dan membuka celananya.

 

“Pak, jangan lupa, perhatikan orang orang di depan. Kalau ada yang masuk kita bisa repot!”, kataku sambil mulai memegang penisnya pak Basyir yang sudah tak perlu kukocok dengan tangan karena sudah begitu tegang. “Iya non Liza.. oooh”, erangnya saat penisnya mulai kukulum. Aku terus menyedot penis itu, sesekali kuhunjamkan dalam dalam, membuat badan pak Basyir tergetar menahan nikmat saat penisnya melesak begitu dalam ke rongga ternggorokanku, untungnya ia tak lupa memperhatikan depan.

 

Aku sendiri sebenarnya cukup menikmati aktivitas oral yang menegangkan ini, toh aku sudah terbiasa dengan penis yang melesak ke dalam rongga tenggorokanku. Aku sebenarnya sudah ingin mendesah, tapi aku menahan diri supaya di sini tak semakin ribut, sudah ada pak Basyir yang mengerang pelan.

 

“Pak Basyiir, kalau sudah tolong piring tadi dibawakan ke sini ya”, terdengar suara papaku dari luar sana. “Iya tuan”, jawab pak Basyir yang hendak menarik penisnya, tapi aku menahannya, berpikir ini lebih baik diselesaikan sekarang daripada aku terus diganggunya. Maka aku menyedot makin keras, mengulum ngulum dan bibirku kujepitkan erat pada penis itu membuat pak Basyir akhirnya tidak tahan dan menggeram, penisnya berkedut kedut lalu sperma yang hangat, asin dan gurih menyembur membasahi kerongkonganku.

 

“aaagh.. non Lizaa…”, erangnya. Ia terburu buru menarik penisnya yang masih terus menyemburkan sperma sehingga saat penis itu keluar dari mulutku, bibirku terkena semburan itu. Untung saja bajuku tidak kena. Kujilat sperma itu hingga bibirku bersih dan ku memandangnya kesal. “sudah puas kan pak? Tolong jangan ganggu Liza lagi hari ini”, kataku pada pak Basyir yang memakai kembali celananya.

 

Pak Basyir berjongkok juga dan tiba tiba melumat bibirku membuatku terkejut, tapi aku tak berani menimbulkan kegaduhan di sini dan terpaksa pasrah saja. Nafasku mulai memburu saat pak Basyir melepaskan lumatannya pada bibirku, dan berkata, “Iya non Liza, bapak sudah puas sekarang. Tapi kalau non Liza masih belum puas, nanti malam bapak tunggu di kamar belakang”.

 

Aku melotot padanya mendengar kata kata yang amat kurang ajar itu, tapi ia hanya cengengesan dan berlalu ke luar sambil membawa piring yang diminta papaku tadi. Aku menghela nafas dan berpikir, ini orang benar benar nggak tau diri ya. Dasar tua tua keladi. Aku kemudian ikut keluar, dan saat aku melewati ruang makan aku berpapasan dengan kokoku.

 

“Me, apa tuh di dagumu belepotan gitu?” tanya kokoku yang membuat jantungku serasa berhenti. Oh.. ini pasti sperma pak Basyir yang muncrat tadi, aku tak sadar kalau ada yang menempel di daguku. Aku panik tak tahu harus menjawab apa, dan menunduk ketika di meja makan aku melihat ada beberapa burger. Untung saja, aku bisa memakai burger ini sebagai alasan. “aduh.. tadi mayonesnya burger ini sempat kena sini yah… aku kira cuma kena bibirku tadi ko”, kataku sambil cepat menghapus sperma pak Basyir dari daguku. Aku baru sadar, untung kokoku ini termasuk kuper untuk urusan seks, ia pasti sama sekali tidak membayangkan tadi itu cairan sperma dari penjaga vila yang baru dioralin adiknya ini.

 

Dan memang kokoku sudah tak bertanya lebih lanjut, dan segera ke wc. Aduh, aku lupa membuka pintu wc yang tadi kututup sebagai kamuflase kalau aku masih di wc. Benar saja, kokoku tiba tiba bertanya dari belakang, “Mee, siapa lagi nih yang ada di wc?”. Untung saja aku masih sempat mendapat ide untuk menggoda kokoku, “Buka aja ko, siapa tau ada penghuni baru di vila ini”. Kokoku tertawa dan menyangka itu memang ide isengku, jadi ia langsung masuk ke wc. Aku terus pergi ke luar, dan kembali mengikuti acara barbeque ini sampai selesai.

 

Jam 9:00, sepupu sepupu kecilku yang sejak tadi bermain main denganku harus tidur. Maklum kan, mereka masih amat kecil, harus tidur lebih awal. Setengah jam berikutnya, acara barbeque ini berakhir, dan kelihatannya bagi keluargaku dan keluarga suk Sing akhir tahun ini benar benar menyenangkan.

 

Tapi, aku masih merasa kata kata pak Basyir tadi terus terngiang di telingaku. Entah kenapa, makin aku teringat, bukannya makin kesal, tapi gairahku rasanya naik mengingat kata kata yang harusnya bernada kurang ajar ini. “El, ada yang mau kamu bicarakan? Dari tadi kamu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu?“ tanya mamaku mengagetkanku. “Oh… eng.. enggak kok ma. Cuma membayangkan senin besok itu sekolah pagi, sudah satu setengah tahun Eliza nggak sekolah pagi”, kataku mencari alasan. Mamaku tersenyum dan mengelus rambutku, aku sungguh merasa disayang.

 

Setelah semuanya masuk ke kamar tidur masing masing, aku kembali terbayang kejadian di tempat cuci piring tadi, juga kata kata pak Basyir yang amat melecehkanku itu. Aku menghela nafas dan berusaha untuk tak memikirkan hal itu lagi. Masa aku harus merendahkan diriku untuk mendatangi pak Basyir di kamarnya? Bahkan di rumah pun aku masih sanggup menahan diri untuk tidak mendatangi kamar Wawan atau Suwito ataupun pak Arifin. Yang benar saja, aku tak mau harga diriku semakin jatuh.

 

Maka aku pun memutuskan tidur saja. Aku mengganti celana santaiku dengan celana jeans yang pendek sampai ke pangkal paha. Setelah membereskan semuanya, aku segera naik ke ranjang, memakai selimut yang tak tebal, dan tidur dengan nyaman. Tengah malam aku terbangun, karena ingin buang air kecil. Maka aku keluar menuju ke wc. Setelah selesai buang air, aku keluar dari wc, tapi tak segera kembali ke kamar. Entah kenapa, kakiku seperti melangkah sendiri, membawaku ke depan pintu kamar pak Basyir.

 

Sesampainya di situ, aku terkejut sendiri, seolah baru sadar dari mimpi. Aku segera memutuskan untuk balik lagi ke kamarku, ketika tiba tiba penjaga vilaku yang mesum itu melongokkan kepalanya keluar dari jendela kamarnya menyapaku.

 

“Halo non Liza, akhirnya ke sini juga. Memek non Liza sudah gatel ya?” tanya pak Basyir dengan senyum yang menjemukan. Aku berpikir, nih orang makin lama makin kurang ajar ya. Langsung saja aku dengan kesal membantah, “Enak saja. Jangan ngawur ya pak, Liza cuma susah tidur tau!”.

 

Tapi kata kataku yang terkesan mencari alasan ini malah membuat aku mendapat pelecehan lain dari pak Basyir yang sudah keluar mendekatiku. “Susah tidur kok jadinya ke sini non? Mikirin punya bapak ya?”, tanya pak Basyir, membuat wajahku terasa panas, tak tahu harus membantah apa. Akhirnya tanpa berkata apa apa, aku membalik badanku berniat kembali ke kamarku setelah aku menyemprotnya, “Iya, Liza mikirin kok ada pembantu yang kurang ajar seperti bapak”.

 

Tapi pergelangan tanganku yang mungil ini sudah dicengkeram oleh pak Basyir, dan aku ditarik masuk ke dalam kamarnya. Aku berusaha menahannya, tapi entah tenaganya yang terlalu kuat, atau memang aku hanya menahan dengan setengah hati, tanpa kesulitan yang berarti, aku sudah terduduk di ranjang pak Basyir yang sudah mengunci pintu dan merapatkan gorden tipis di jendela. Aku tertegun melihat ada 2 sachet obat kuat yang sudah kosong dari salah satu merk yang tergeletak di meja kecil di depanku ini. Jam weker di meja ini menunjukkan kalau sekarang ini jam 00:30 pagi.

 

Sialan, pak Basyir benar benar berpikir aku pasti menemuinya malam ini di sini. Aku merasa dilecehkan, tapi entah kenapa aku hanya bisa diam. Pak Basyir melepaskan bajunya hingga telanjang bulat, membuat aku teringat tubuh keriput ini sempat menguasai diriku tadi sore. Dan harusnya tanpa obat perangsang. Memikirkan hal ini, jantungku mendadak berdegup kencang, aku mulai dilanda gairahku sendiri.

 

Pak Basyir mendekatiku, dan menarik lepas kausku dengan mudah karena tanpa sadar aku mengangkat tanganku pasrah. Aku ditariknya berdiri, celana pendekku dilorotkannya, lalu celana dalam dan braku juga sudah dilepasnya. Kini aku sudah telanjang bulat di hadapan penjaga vilaku untuk kedua kalinya. Dengan bernafsu, pak Basyir menubrukku hingga aku kembali terjatuh di ranjang ditindih tubuh pak Basyir. Bibirku segera dilumat olehnya dengan ganas. Aku sudah larut dalam birahi, dan membalas ciuman dari orang tua ini.

 

Begitu bernafsunya kami berdua, sampai kami bergulingan di ranjang ini tanpa melepas pagutan kami. Aku sudah menyerahkan diri sepenuhnya, dan bahkan balas mencumbui orang yang pantasnya jadi kakekku ini. setelah sama sama kehabisan nafas, kami berhenti sejenak, lalu pak Basyir menyuruhku naik ke pangkuannya. Ia membimbingku duduk di sana sehingga mulut vaginaku tepat menelan penisnya yang sudah mengacung tegak dengan perkasa. Aku merasakan penis ini keras sekali sekarang, beda sekali dengan tadi sore, mengingatkanku pada penis Wawan.

 

“Ngggghhh… nggghhh”, aku melenguh lenguh ketika penis itu tertelan semakin dalam di vaginaku. Dalam posisi ini, puting susuku dikulum oleh pak Basyir, yang terus mengarahkan tubuhku supaya penisnya bisa masuk seluruhnya. Aku menggeliat keenakan, memeluk lehernya pasrah merasakan vaginaku dihunjam penis yang sekarang amat keras ini. Semakin dalam, aku semakin keras melenguh, sampai akhirnya, “nggghhkkk.. adduuuh…”, aku melenguh dan mengerang, tubuhku bergetar menahan nikmat luar biasa.

 

Penis pak Basyir ini begitu panjang, rasanya menghantam dinding rahimku. Sedikit sakit memang, tapi nikmatnya jauh lebih terasa. Tubuhku mengejang dan menggeliat, aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat ketika pak Basyir mulai memompa vaginaku. Puting susu payudara kananku dikulum pak Basyir, sementara payudaraku yang kiri dremas remas dengan lembut dan sesekali remasan itu berubah kasar dan kuat. Aku hanya bisa pasrah, kini dalam posisi duduk berhadapan aku digenjot dengan gencar

 

Pelukan pak Basyir semakin ketat pada pinggangku hingga aku tak mampu menggeliat bebas. Cairan cintaku sudah mulai melumasi vaginaku. Selagi aku melenguh tak kuasa menahan nikmat, tiba tiba pak Basyir berbisik, “Non Liza, ada omnya non Liza di luar. Non Liza jangan bersuara dulu”. Mendengar ini aku terkejut dan menoleh ke belakang, benar saja, aku melihat bayangan omku yang sedang merokok, terlihat samar samar dari gorden yang tipis ini. Untung cahaya di kamar ini tak terlalu terang, jadi tak mungkin ada bayangan siluet kami berdua yang lagi bersenggama ini.

 

Tapi pak Basyir ini bodoh kali, ia tak bisa berpikir apa kalau aku terus digenjot begini, bisa tak tahan untuk tidak melenguh? Karena takut aku lepas kendali dan bersuara, aku melumat bibir pak Baysir setelah memegang kepalanya dan melepaskan pagutannya pada puting susuku. Cukup lama aku digenjot dalam keadaan seperti ini, sampai terdengar suara pintu tertutup. Situasi seri tadi saat kami bercinta dalam keadaan tegang takut ketahuan tadi, benar benar menambah kenikmatan ini dan membuatku mencapai orgasme.

 

Aku melepaskan pagutanku dan langsung melenguh panjang, “nngggghhh… paaaak”. Tubuhku berkelojotan, kakiku melejang lejang dan nafasku tersengal sengal mengiringi orgasme pertamaku ini. Cairan cintaku rasanya keluar begitu banyak, sementara pak Basyir jelas masih perkasa, kan ia sudah minum obat kuat itu. Ia terkekeh ketika tubuhku lunglai dalam pelukannya, sementara keringatku membanjir deras, apalagi hawa kamar ini cukup panas.

 

Dan memang tanpa ampun pak Basyir terus menggenjotku yang sedang dilanda orgasme. Aku hanya bisa pasrah, untungnya vaginaku sudah licin sekali. Aku sudah begitu lemas, sampai nafasku mendengus dengus ketika tubuhku berulang kali terangkat karena vaginaku terus disodok penis pak Basyir. Perlahan gairah ini melandaku kembali. Rasa nikmat yang menjalari seluruh tubuhku membuat aku tanpa sadar mulai menggerakkan pinggulku, menyambut tiap sodokan pada vaginaku.

 

Pak Basyir akhirnya puas juga mengulumi puting susuku. Ia memandangku yang sedang menatapnya dengan pandangan sayu. Dengan lembut ia membelai rambutku yang terurai ke sana kemari karena sodokan pada vaginaku ini membuat tubuhku sesekali tersentak keenakan. “Enak ya non Liza..”, tanya pak Basyir padaku dengan senyum mengejek. Aku tak bisa membantah dan jawaban ini meluncur begitu saja, “iyaah.. paak.. ooooh… panjaaang…”, aku meracau, tubuhku menggigil tak mampu menahan nikmat yang terus mendera ini.

 

Tiba tiba pak Basyir menyuruhku tidur di ranjang. Rupanya ia ingin posisi konvensional, maka aku berbaring di ranjang itu dan merenggangkan pahaku. “Non Liza sudah kepingin amat ya, kok pahanya sampai dibuka segitu lebar?”, lagi lagi pak Basyir berkata mengejekku. “Oh…pak…, jangan ejek Liza terus dong”, keluhku dan memejamkan mata karena malu, panas juga rasanya wajahku diejek terus terusan seperti ini, dan lebih lebih aku tak bisa membantah apapun, reaksi tubuhku yang jujur seolah mengakui kebenaran dari ejekan demi ejekan yang kuterima.

 

Pak Basyir tertawa saja, lalu penisnya kembali membelah bibir vaginaku. Kedua kakiku ditumpangkan di pundaknya, dan aku kembali digenjotnya dengan gencar. Penis itu terasa makin dalam mengaduk aduk vaginaku dalam posisi ini, tubuhku mengejang ngejang keenakan . Kedua tanganku mencengkram sprei, kembali kepalaku kugeleng gelengkan kuat kuat. Aku sudah tak mampu bertahan lagi dan mulai melenguh lenguh, nafasku sudah tersengal sengal, aku memejamkan mata kuat kuat, tampaknya aku sebentar lagi akan mengalami orgasme untuk yang kedua kalinya.

 

Tapi kali ini aku kecele. Pak Basyor seolah ingin menyiksaku, ia mendadak menghentikan genjotannya hingga aku tak jadi orgasme. “Oooh… ?”, aku mengeluh dan membuka mata menadanganya seakan hendak protes, tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku sendiri supaya vaginaku terus dikocok oleh penis Pak Basyir yang kini menandangku dengan tersenyum penuh kemenangan. “Non Liza ketagihan ya? Kalo gitu bapak genjot lagi ya”, ia kembali mengejekku, membuat aku semakin malu, tapi aku tak bisa mengontrol diriku yang kini sudah bukan milikku lagi, melainkan milik penjaga vilaku ini sepenuhnya.

 

Kurasakan vaginaku kembali digenjot kuat, tapi aku masih terus menggerakkan pinggulku, menikmati adukan demi adukan pada vaginaku. Aku mulai melenguh kembali, sekali ini sodokan itu kurasakan terus dan terus seolah memompa gairahku kembali menuju orgasme. Tapi pak Basyir terus mempermainkanku, ia seolah tahu kapan saat aku akan orgasme, dan tiba tiba ia menghentikan sodokkannya. Aku hanya bisa mengeluh sambil terus menggerakkan pinggulku mencari kenikmatan yang tertahan tahan ini, bahkan akhirnya aku memohon, “Pak Basyir.. jangan permainkan Liza dong… Liza sudah nggak tahan nih…”. Baru kali ini aku tak mampu menahan diri untuk memohon supaya diantar menuju orgasme oleh orang yang menyetubuhiku.

 

Entah rasa malu ini sudah seperti apa, tapi aku memang sudah tak kuat lagi menahan keinginan untuk orgasme. Akibatnya aku terus jadi korban pelecehan pak Basyir, yang kini menambah rangsangan padaku dengan meremas lembut kedua payudaraku saat genjotannya dimulai kembali. “Non Liza sudah nggak tahan ya”, katanya mengejekku. “Iyah… pak Basyir.. jahaat…”, keluhku. Pak Basyir tertawa penuh kemenangan. Beberapa kali ia mempermainkanku seperti ini, akhirnya mau meneruskan genjotannya ketika aku sudah melenguh lenguh. Sekali ini yang datang adalah multi orgasme, seolah olah tubuhku melepaskan semua orgasme yang tertunda setelah aku berkali kali dipermainkan seperti tadi,.

 

Tubuhku berkelojotan dan mengejang ngejang susul menyusul, kedua betisku melejang lejang membuat pak Basyir kewalahan, tubuhnya terdorong hingga penisnya yang panjang itu terlepas, menambah sensasi yang amat dashyat ketika kepala penisnya menggesek seluruh dinding vaginaku sampai akhirnya keluar melewati bibir vaginaku yang langsung terkatup. “Ngggghhh… ngggggkk… aaahh…”, aku melenguh lenguh menikmati kontraksi otot vaginaku yang membuat tubuhku terus mengejang ngejang, mungkin lebih dari 2 menit lamanya.

 

Akhirnya orgasmeku reda dan aku terbaring lemas tanpa daya, nafasku tersengal sengal seolah habis berlari maraton. Tapi penis pak Basyir masih berdiri tegak. Aku sampai merasa ngeri, karena ini sudah jam 01:30, artinya sudah 1 jam aku melayani penjaga vilaku yang sudah tua ini. Obat kuat yang diminum pak Basyir rupanya melipat gandakan daya tahan sexnya. Aku tahu masih akan ada satu ronde lagi, maka aku memanfaatkan kesempatan ini untuk beristirahat memulihkan tenagaku yang rasanya sudah tersedot habis saat aku mengalami multi orgasme tadi.

 

Tiba tiba tubuhku dibalik oleh pak Basyir, aku disuruhnya menungging. Oh.. aku tak ingin disodomi oleh penis yang begitu panjang ini. “Pak… jangan…”, aku memohon, tapi aku kembali tenang ketika kurasakan kepala penis itu sudah menempel di bibir vaginaku. “Jangan apa non Liza? Maksud non Liza jangan berhenti kan?”, kembali pak Basyir mengejekku. Aku hanya diam, merasakan saat saat vaginaku kembali dibelah oleh penis yang panjang ini. “oooohh… nggghhh….”, aku melenguh pendek ketika akhirnya penis itu terbenam seluruhnya, kini aku merasakan dinding vaginaku sebelah dalam yang tertekan kepala penis yang panjang ini, yang sejak tadi menghajar dinding vaginaku bagian luar.

 

Kurasakan pak Basyir mencengkram kedua lenganku lalu menariknya, hingga kini aku menungging tanpa pegangan, tapi kedua pergelangan tanganku yang tertarik ke belakang ini dipegangi pak Basyir hingga aku tak sampai menelungkup, dan ketika aku menunduk lemas aku melihat payudaraku tergantung bebas dan terayun ayun mengikuti irama sodokan pak Basyir. Aku kini seperti kuda yang ditunggangi dengan kedua tanganku sebagai tali kekang.

 

Dalam posisi ini aku sama sekali tak bisa mengejang ataupun menggeliat bebas, tapi hal ini malah membuatku orgasme dengan cepat. “Ngggghhhh…. Nggghhhh… Aduuuuh”, aku melenguh lenguh, tubuhku tersentak sentak dan aku hanya bisa menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat karena hanya kepalaku yang bisa kugerakkan. Aku kembali tertunduk lemas, rambutku sudah terurai kesana kemari menyentuh permukaan ranjang ini.

 

Kini dalam keadaan lelah, aku hanya bisa berharap, penjaga vilaku ini segera orgasme. Aku sudah tak tahan lagi, tenagaku sudah tersedot habis. Mungkin aku bisa pingsan kalau aku harus mengalami dua atau tiga kali orgasme lagi. Pandangan mataku sudah mulai berkunang kunang, nafasku makin memburu, sementara sodokkan pada vaginaku ini rasanya sama sekali tak berkurang kecepatannya. Keperkasaan penjaga vilaku ini benar benar membuat tubuhku serasa remuk, tubuhku terjuntai lemas walau sesekali tersentak ketika penis itu menghantam dinding rahimku.

 

Perlahan gairahku mulai meninggi, membuatku sedikit takut apakah aku mampu bertahan dalam derita kenikmatan yang terus menderaku ini. Kembali aku menggeliat keenakan, adukan adukan pada vaginaku ini membuatku makin melayang, dan akhirnya otot vaginaku mulai berkontraksi. Oh.. aku akan segera orgasme lagi, tapi untungnya, kurasakan penis pak Basyir sudah mulai berkedut, dan makin lama kedutan itu makin kuat. Bersamaan ketika aku akhirnya melepas orgasme yang meluluh lantakkan tubuhku, penis itu menyemburkan lahar panas ke dalam liang vaginaku, dan sodokan yang masih belum reda itu seolah mengaduk aduk cairan cintaku hingga bercampur rata dengan sperma yang membanjiri liang vaginaku.

 

“ooooohh…. Non Lizaaa….memek non benar benar nikmaaaat….”, pak Basyir melenguh dan meracau. Keadaaanku tidak lebih baik, aku juga melenguh panjang, “ooooohhh… nggggghhhh… ampun paak…”. Akhirnya selesai sudah ronde terakhir ini, penis pak Basyir yang cepat mengecil akhirnya lepas dari vaginaku, membebaskanku dari derita orgasme ini. Aku langsung roboh lemas, sementara pak Basyir yang masih terengah engah mendekatiku dan tidur di sampingku. Ia membalikkan tubuhku hingga aku telentang. Kemudian sambil melumati bibirku, ia meremasi payudaraku dengan lembut. Kami benar benar seperti pasangan suami istri yang sedang berbulan madu saja, aku hanya pasrah saja dicumbui oleh penjaga vilaku ini.

 

Akhirnya orgasmeku sudah reda, dan tenagaku mulai pulih. Pak Basyir yang sudah lemas menghentikan lumatannya pada bibirku, tapi payudaraku masih saja diremasnya dengan lembut. Aku membiarkan pak Basyir menikmati remasannya pada payudaraku, karena aku pun merasa nyaman. Rambutku yang sudah awut awutan terurai di ranjang ini dicium oleh pak Basyir. “Non Liza.. rambut non ini harum sekali… indah sekali… “, puji pak Basyir. Aku hanya tersenyum lemah, membiarkannya berbuat apa saja yang diinginkannya pada tubuhku ini.

 

Kulihat jam weker di meja menunjukkan pukul 02:00. Sekitar satu setengah jam ini aku melayani penjaga vilaku ini. Aku menerawang melamunkan keadaanku. Di sekolah, di rumah sendiri, di rumah seorang teman, bahkan kini di vilaku sendiri, aku harus menjadi budak pemuas nafsu dari berbagai lelaki. Entah sampai kapan aku harus menjalani kehidupan seperti ini. Ingin aku menghentikan semua ini, tapi aku selalu tak kuasa menolak kenikmatan yang melandaku ketika vaginaku sudah tertusuk sebuah penis.

 

“Non Liza, bapak boleh tau siapa lelaki yang beruntung mendapat keperawanan non Liza?”, tanya pak Basyir memecahkan lamunanku. Aku sempat teringat Girno, satpam sekolahku yang mengoyak selaput daraku pertama kali. Tapi aku tersadar, bahwa ini adalah urusan pribadiku. Dengan ketus aku menjawab, “Pak, ini bukan urusan bapak yah. Bapak nggak perlu tahu”. Pak Basyir tertawa saja sambil terus meraba raba tubuhku dan tentu saja payudaraku masih terus medapat remasan.

 

“Non Liza sudah ada pacar? Pacar non Liza tahu nggak kalo non Liza suka beginian? Atau pacar non Liza yang beruntung dapat keperawanan non Liza?” tanya pak Basyir bertubi tubi. Aku semakin sebal diingatkan pada Andi, cowok yang diam diam menjatuhkan hatiku. “Pak, tolong ya, jangan tanya masalah pribadi Liza. Liza nggak suka tau!”, ketus sekali aku menjawab, membuat pak Basyir terdiam beberapa saat. Tapi tangannya tidak menganggur, terus menikmati tubuhku yang masih tergolek di sampingnya.

 

“Non Liza, tadi enaknya sampai kayak gimana? Kok mulet mulet nggak karuan seperti itu?”, tanya pak Basyir lagi. Wajahku terasa panas mendengar kata kata yang kurang ajar ini. Aku tak tahu harus marah atau menjawab, akhirnya aku memilih diam saja. Aku menepis tangannya yang masih meraba dan meremasi payudaraku, lalu aku bangkit berdiri. Tenagaku sudah cukup untuk berjalan. Aku melap keringat di sekujur tubuhku dengan handuk pak Basyir yang tergantung di pintu, lalu memunguti semua pakaianku yang tercecer di lantai kamar penjaga vilaku ini, dan mulai mengenakannya satu per satu mulai dari bra, celana dalam, celana pendek dan kausku.

 

“Non Liza, kapan mau menginap di sini lagi? Bapak tunggu ya kedatangan non Liza yang berikutnya. Jangan lama lama lho non, nanti bapak bisa mati kangen”, kata pak Basyir padaku sambil mengelus rambutku yang tergerai ke belakang ini. Aku makin malas menjawabnya, dan berkata, “Sudah pak Basyir, Liza harus kembali ke kamar. Besok takutnya nggak bisa bangun.”

 

Pak Basyir masih saja melantur, “Tidur di sini sama bapak saja non Liza. Non Liza mau nggak jadi istri bapak?”. Aku hampir saja membentaknya, tapi aku masih bisa menahan diri dan menjawab ketus, “Jangan mimpi ya pak. Sudah, malas Liza mendengar bapak melantur. Liza kembali dulu ke kamar”. Aku sudah memegang handel pintu ketika pak Basyir berkata lagi, “Non Liza, boleh bapak cium non dulu?”. Kali ini aku mengalah dan duduk kembali ke ranjang, memberikan ciumanku yang hot pada penjaga vilaku ini. Tanganku menggelayut di lehernya, bibir kami saling berpagut dan lidah kami saling bertautan. Aku mulai tersengal sengal, dan aku sadar tak boleh larut dalam birahi, maka aku segera melepaskan peluk cium ini, dan tanpa berkata apa apa lagi aku keluar dari kamar ini.

 

Kuperhatikan tak ada tanda tanda keluargaku yang masih bangun. Maka aku berjalan dengan tertatih tatih, kembali ke kamarku. Ketika aku akan membaringkan diriku ke ranjang, aku teringat akan campuran cairan cintaku dan sperma pak Basyir yang masih tertinggal di vaginaku, bahkan kurasakan sedikit belepotan di pangkal pahaku. Dengan lemas aku mengambil handuk, bra dan celana dalam pengganti, dan handuk kecil yang akan kugunakan untuk membersihkan seluruh tubuhku.

 

Aku tidak mandi karena takut rematik, hanya menyeka tubuhku dengan handuk kecil yang kubasahi dengan sedikit air sabun, lalu kuperas dan kucelupkan air hingga tak ada busanya lagi, lalu aku membersihkan tubuhku dengan menyeka lembut. Vaginaku yang kukorek korek sampai bersih sambil kubilas dengan cairan pengharum vagina yang selalu kubawa, kini sudah terasa nyaman. Kubersihkan pahaku dari cairan cairan yang mendatangkan gairah ini, lalu kuhanduiki seluruh tubuhku hingga kering. Setelah memakai pakaian dalam dan baju tidurku yang satin itu, aku kembali ke kamar, berbaring mengistirahatkan tubuhku yang langsung terasa sekali capainya akibat dipermainkan penjaga vilaku tadi.

 

Tak butuh waktu lama, aku sudah tertidur lelap. Paginya, aku terbangun karena ingin buang air kecil ketika jam baru menunjukkan pukul 5:30. Aku masih mengantuk dan capai sekali, maka aku masih mencoba tidur lagi setelah kembali dari WC. Tapi setelah beberapa menit aku tak juga kembali tidur, aku memutuskan untuk bangun saja, dan keluar duduk duduk di teras setelah menyikat gigiku. Tak lama kemudian aku melihat pak Basyir melintas di halaman, membersihkan runtuhan daun seperti biasa. Kami sempat bertatapan muka sejenak, dan aku hanya menunduk malu sambil tersenyum kecil mengingat kemarin aku dipermainkan sedemikan rupa.

 

Tak lama papaku, mamaku, suk Sing dan Ie Lin juga sudah bangun dan menemaiku duduk duduk di teras. Aku mengucap selamat pagi seperti biasa. Para orang tua ini mengobrol sendiri, aku hanya diam mendengarkan saja. Mereka membicarakan beberapa masalah yang aku kurang mengerti, dan beberapa teman mereka yang membuka bisnis baru. Aku sama sekali tak terganggu dengan percakapan mereka, bahkan keberadaan mereka semua ini membuatku nyaman. Paling tidak, untuk sementara aku aman dari tangan pak Basyir yang mesum itu. Bukannya aku tak menikmati permainan sex tadi pagi, tapi aku juga tak ingin tiap saat harus bermain sex, apalagi tubuhku masih terasa begitu lelah.

 

Tiba tiba aku ditimpa sepupu sepupu kecilku yang sudah bangun. Mereka ini, bukannya menghambur ke orang tua mereka, tapi malah aku yang pertama dikerubuti. “Aduh.. sampai kaget lho cie Eliza, kalian ini memang nakal yah”, kataku sambil mencubiti pipi mereka bergantian,dan mereka berdua tertawa senang duduk di pangkuanku. “Heran ya, anak anak ini lebih sayang sama Eliza daripada sama mamanya sendiri”, goda Ie Lin padaku. Aku hanya bisa tertawa senang, memang aku amat sayang pada kedua sepupuku ini. Mereka kemudian mengajakku bermain main ke dalam, dan aku mengikuti mereka dengan senang hati.

 

“Eliza, nanti setelah makan siang, kita pulang ke Surabaya ya”, mamaku mengingatkanku. “Iya ma”, kataku riang, dan sebentar kemudian aku dan kedua sepupuku ini sudah sibuk. Stanley memintaku menceritakan sebuah buku bergambar, dan dengan Vincent di pangkuanku aku mendongeng sebisaku. Untungnya kedua anak kecil ini menyukainya. Bersama mereka ini membuat aku lupa untuk sesaat tentang pak Basyir, juga para lelaki yang sudah menyetubuhiku. Selesai mendongeng, aku mengajak mereka makan, perutku sudah terasa lapar, ditambah dengan bau masakan mama yang mengingatkanku ini sudah waktunya makan pagi.

 

Kokoku juga sudah turun, dan kami saling menyapa sebelum saling usil. Tiba tiba kokoku memukul bahuku dari belakang, tapi aku langsung membalasa dengan mencubit lengannya. Kami sampai dilerai oleh mama karena aku tak mau melepaskan cubitanku meskipun kokoku minta minta ampun. Aku dan kokoku memang akrab, jarang sekali kami sampai bertengkar. Kalaupun bertengkar, beberapa jam kemudian kami pasti sudah baikan. Semua termasuk kedua sepupu kecilku tertawa tawa melihat ulah kami berdua. Lalu kami segera makan pagi dalam suasana yang harmonis ini, benar benar membuatku bahagia.

 

Setelah acara makan selesai, seperti biasa pak Basyir membereskan meja makan dan mencuci peralatan makan yang kotor. Aku berusaha bersikap wajar padanya, dan menunggu giliranku mandi sambil kembali menggoda kedua anak kecil ini. Giliranku tiba setelah kokoku selesai mandi, maka aku pamit sebentar pada mereka, lalu masuk ke kamarku yang sedang dibersihkan pak Basyir. Jantungku agak berdegup kencang saat aku melewatinya untuk mengambil baju di koperku, berharap penjaga vilaku ini tidak segila itu untuk berbuat sesuatu padaku sekarang ini.

 

Pak Basyir memang tak melakukan apapun terhadap diriku, tapi saat aku melewatinya lagi setelah mengambil baju ganti, aku mendengarnya berbisik, “Non Liza, nanti siang sebelum pulang, non Liza main bentar sama saya ya. Kan non Liza masih lama baru balik lagi ke sini. Mau ya non?”. Aku memandang pak Basyir dan melotot kesal, tapi aku tak ingin ribut dan menarik perhatian orang orang di luar. Maka aku diam saja, pergi ke kamar mandi tanpa memberikan tanggapan apapun pada penjaga vilaku yang makin lama makin ngelunjak ini.

 

Di kamar mandi, aku mandi keramas membersihkan tubuhku sepuas puasnya. Setelah selesai, saat aku mengeringkan rambut dan tubuhku, aku teringat kata kata pak Basyir di kamar tadi. Entah kenapa, tiba tiba gairahku menggelegak, nafasku memburu membayangkan aku harus melayani penjaga vilaku yang bejat ini. Tanpa sadar, aku enggan memakai celana dalam, seolah menyiapkan selangkanganku untuk digenjot nanti siang oleh pak Basyir. Kini aku hanya memakai bra, t shirt dan rok yang agak longgar. Celana dalamku benar benar tidak kupakai, kucampur dengan pakaian kotorku, dan aku kembali ke kamar.

 

Saat keluar dari wc, aku berpapasan dengan pak Basyir yang dengan jahilnya meremas pantatku. Aku tidak melotot seperti tadi ataupun kemarin, kini aku hanya mendesah, dan berbisik padanya, “Pak Basyir, nanti siang tunggu aku di kamarku yah..”. Aku terus berlalu dan saat aku menyempatkan diri melihat pak Basyir, kulihat ia tersenyum girang. Aku masuk menahan senyum, dan birahiku terus bergolak. Setelah mengepak barang barangku, aku duduk di ruang keluarga. Kami akan berjalan jalan pagi ini dan kembali saat makan siang nanti. Jadi aku menunggu semua selesai mandi dan mengepak barang barangnya masing masing.

 

Sekitar jam 9:15 pagi, kami keluar meninggalkan vila sebentar, berputar putar menikmati hawa dingin dari udara segar di Tretes ini. Bercanda sepanjang hari membuat waktu terasa berlalu begitu cepat, kini sudah waktunya kami kembali ke vila dan makan siang, sebelum pulang ke Surabaya. Masakan untuk makan siang sudah dihangatkan pak Basyir, piring piring juga sudah tertata rapi. Kami semua segera makan siang, karena perut kami memang sudah lapar semua. Selesai makan, tentunya kami mencuci tangan dan mulut dulu sebelum membawa semua barang kami masuk ke dalam mobil, bersiap untuk kembali ke Surabaya.

 

Pintu vila sudah dikunci. Ketika semua barang sudah masuk ke mobil, aku pura pura ingin ke WC, maka aku pamit sebentar, “Pa Ma, Eliza mau ke wc dulu sebentar, nggak usah nungguin di dalam, nanti kalau selesai Eliza kunci semua kok”, kataku buru buru begitu mesin mobil sudah nyala. Mereka mengiyakan dan berkata akan menunggu aku di mobil, daripada turun lagi dan mengotori lantai yang sudah disapu pak Basyir. Aku segera berlari ke belakang, dari sana aku bukannya ke wc, tapi segera masuk ke kamarku diikuti pak Basyir yang sudah bersiap menungguku dari tadi di belakang.

 

Di dalam kamarku, aku berbaring di kasur yang sudah disediakan pak Basyir, kemudian rokku segera disingkap oleh pak Basyir yang terpana melihatku tak mengenakan celana dalam. “Non Liza, ternyata non sudah siap ya?”, kata pak Basyir dengan girang. “Pak, sudah cepetan, udah ditungguin nih!”, omelku. Pak Basyir segera mencopot celananya, dan menusukkan penisnya yang sudah tegang. Pasti karena sejak tadi pikirannya ngeres melulu. Agak sakit memang, karena vaginaku masih belum ada pelumas sedikitpun.

 

Genjotan demi genjotan mengguncang tubuhku, gairahku yang bergolak sejak pagi tadi seakan mendapat pelampiasan sekarang ini. Tubuhku mulai mengejang ngejang, panjangnya penis pak Basyir benar benar dengan mudah membuatku keenakan. Tak lama kemudian, aku mulai melenguh pelan, sedangkan pak Basyir juga menggenjotku makin kencang, ketika tiba tiba sepupu kecilku masuk ke kamarku.

 

Aku amat terkejut, demikian juga pak Basyir. Tapi untungnya aku sadar kalau Vincent yang masuk ini tak bisa bicara dengan benar. Maka aku menyuruh pak Basyir untuk cepat cepat melanjutkan, “Pak.. cepat sedikit ya, kalau yang lain masuk kita bisa repot”. Vincent mendekatiku yang berbaring di kasur, dan membelai mbelai pipiku seperti yang biasa ia lakukan. Aku dalam keadaan digenjot pak Basyir, balas mencubit pipi Vincent, tapi aku tak bisa terlalu menggodanya, karena aku mulai menggeliat dan melenguh lenguh kecil ketika kenikmatan ini semakin menderaku.

 

“Ngghh.. ngghh.. terus pak… cepat.. ooooh”, aku terus melenguh dan akhirnya orgasme hingga badanku terlonjak lonjak, kakiku melejang lejang keenakan, dan Vincent sampai melihatku dengan ekspresi kebingungan dan terus membelai pipiku. Tak lama aku merasa selangkanganku terasa lebih nikmat setelah penis pak Basyir berkedut dan menyemprotkan spermanya yang hangat ke dalam lliang vaginaku. Aku segera mendorong pak Basyir hingga penisnya terlepas, dan kutinggalkan Vincent yang pasti semakin bingung, ketika aku meraih penis pak Basyir dan mengulum ngulum dalam mulutku. Pak Basyir semakin keenakan mengerang, ketika penis itu kusedot sedot sampai akhirnya bersih dari sperma yang kurasakan cukup gurih juga.

 

Maka selesailah quicky sex siang ini antara aku dan pak Basyir yang segera mencabut penisnya, dan membantuku membersihkan sperma yang belepotan di bibir vaginaku dengan beberapa helai tissue. Dan dengan nakalnya pak Basyir menyumpalkan tissue yang diremas remasnya ke dalam liang vaginaku, membuatku mendesah nikmat. “Non, tissue ini untuk menyumbat cairan dari memek non, jadi nggak basahin roknya non sampai di rumah nanti”, kata pak Basyir enteng. Aku segera berdiri, dan menggendong Vincent yang masih memandangku heran. Aku tak tahu apa yang dipikirkan sepupu kecilku ini, tapi aku segera menggendongnya sambil tertawa, membuat Vincent ikut tertawa tawa.

 

Ketika aku keluar dari kamar, hampir saja aku bertubrukan dengan Stanley. Aduh, untung saja, kalau tadi itu aku masih dalam keadaan bersetubuh, nggak tahu apa jadinya denganku, bisa bisa ortuku tahu dan aku tak berani membayangkan hal ini. Maka aku mengelus rambut Stanley dengan lega, kemudian segera menuju ke mobil di depan yang sudah menunggu. Aku membimbing mereka masuk ke mobil suk Sing, dan setelah berpamitan pada mereka semua termasuk mencubit gemas pipi kedua sepupu kecilku, aku masuk ke dalam mobilku. Aku tak kuatir dengan Vincent, yang pasti tak mengerti sedikitpun kalau tadi itu aku baru saja melakukan quicky sex dengan penjaga vila ini.

 

“Eliza, kamu sampai berkeringat gini, perutmu sakit ya?”, tanya mamaku yang kelihatan mengkuatirkanku. “Ah nggak kok ma, Eliza nggak apa apa kok”, aku berkata menenangkan mamaku. Maka setelah semua beres, kami segera memulai perjalanan pulang. Pak Basyir membuka pintu gerbang melepas kepergian kami semua. Di dalam mobil ini, aku diam melamun, membayangkan kenangan baru di vilaku ini.

Bisa kupastikan, lain waktu kalau aku ke sini lagi, pak Basyir pasti minta jatahnya padaku. Tapi itu masih lama, aku menyadari beberapa jam lagi aku harus bersiap untuk kembali melayani sopir dan kedua pembantuku di rumah, entah nanti malam atau besok pagi. Mereka pasti akan menggarapku dengan buas setelah dua malam tidak menggumuliku. Tapi itu urusan beberapa jam ke depan, yang penting aku sekarang memilih beristirahat dan tidur di dalam mobil ini, dengan tissue yang sedikit mengganjal vaginaku yang tak terbungkus celana dalam, memberi sedikit rasa nikmat…

 

======================================================

Cerita Eliza 06 : Sisi Lain Cie Elvira, Instruktur Baletku

“Stanley… jangan jauh jauh dari cie cie”, aku setengah berteriak mengingatkan Stanley yang terus berlari ke arah lain dari tempat duduk kami di kereta api. Aku terpaksa mengejarnya, kuatir kalau ada apa apa dengan sepupu kecilku itu. Keluargaku dan keluarga Suk Sing sudah terlelap ketika tadi Stanley membangunkanku minta ditemani ke toilet.

 

Ketika selesai, aku masuk ke toilet sebentar untuk mencuci muka, dan waktu aku keluar, aku melihat Stanley berlari ke arah gerbong yang salah dan begitu cepat menghilang dari pandanganku, memaksaku untuk berlari lebih cepat. Seorang pedagang asongan nyaris kutabrak ketika aku berlari memasuki gerbong kelas ekonomi, tempat yang sangat sangat asing bagiku.

 

“Non.. hati hati, kalo gue jatuh gimana?”, pedagang asongan itu mengingatkanku. “Maaf pak, saya buru buru, mencari sepupu saya”, aku meminta maaf dengan sopan, lalu segera melanjutkan mencari Stanley. Beberapa gerbong kulalui, sampai akhirnya aku tertegun saat menemukan seorang wanita cantik yang ternyata adalah Cie Elvira!

 

Bukan karena menemukan Cie Elvira duduk di gerbong kelas ekonomi seperti ini yang membuatku tertegun, tapi pandangan Cie Elvira yang dingin menusuk terhadapku, murid kesayangannya di sekolah balet. Cie Elvira benar benar terlihat lain, seolah ini adalah sisi lain dari dirinya yang biasanya lembut dan harusnya menyayangiku seperti adiknya sendiri.

 

“Cie… Cie Vira juga ke Jakarta?” tanyaku berusaha memecah kekakuan yang tak wajar ini. Tiba tiba aku merasa ada sebuah tangan yang menyusup dari bawah rokku dan meraba selangkanganku. Belum sempat aku menoleh untuk melihat siapa pelaku kekurang ajaran ini, kedua tanganku sudah terentang, kedua pergelangan tanganku yang mungil dicengkeram erat oleh dua orang penumpang yang sudah berdiri dari tempat duduknya.

 

Ketika kedua payudaraku diremas oleh beberapa tangan, aku mulai meronta panik menyadari keadaanku yang sudah dalam bahaya ini, sambil berusaha meminta tolong. “Cie Vira.. tolong Liza cie…”, aku memohon pertolongan, tentu saja kepada Cie Elvira, satu satunya orang yang kukenal di gerbong ini. Tapi benar benar aneh, ia hanya mematung, sebuah senyuman sinis terukir di wajahnya.

 

“Kalian buka roknya. Amoy sok cantik ini pasti memakai g-string. Aku sudah tau kalau dia ini amoy penggoda. Wajahnya saja kelihatan kalem dan baik baik seperti malaikat, tapi di sekolah kerjanya ngeseks dengan satpam dan tukang sapu. Paling di rumah juga ngeseks sama sopir dan kacung kacungnya”, kata cie Elvira dengan jahatnya.

 

“Cie..?”, kata kata cie Vira tadi membuat aku memandangnya pilu tak percaya, tanpa mampu membantah apa apa karena memang begitulah kenyataanya. Yang membuatku heran, darimana Cie Elvira bisa tahu semua itu? Lamunanku terputus ketika Cie Elvira dengan kejam melanjutkan kata katanya, “Lepaskan roknya. Kalau ternyata memang dia pake g-string, kalian langsung gilir dia ramai ramai di gerbong ini, keroyok juga boleh”.

 

Celaka.. aku tak tahu apakah aku mengenakan g-string atau tidak. Aku sudah akan menjerit, ketika orang yang melorotkan rokku ke bawah berkata, “Teriak saja lo, amoy cantik. Gak usah lu teriak juga kami pasti panggil orang orang di gerbong tetangga, berbagi kesempatan mencicipi tubuh non amoy yang putih mulus ini”. Aku sadar, tak ada gunanya lagi aku berteriak ataupun meronta.

 

Maka aku hanya pasrah saja ketika mereka semua bersuit mengagumi keindahan selangkanganku yang memang terlapis g-string. Kaus tanpa lengan yang kukenakan ditarik dari berbagai arah hingga robek tercabik cabik. Kini aku hanya tinggal mengenakan bra tipis transparan dan g-string, dan mereka terlihat jelas sudah begitu bernafsu untuk melahap tubuhku ramai ramai.

 

“Betul kan? Dasar lonte. Dia kegatelan main seks sampai gak bisa bangun lagi, makanya pakai pakaian dalam yang menggoda kaum lelaki. Ya sudah, kalian perkosa saja perek ini habis habisan”, perintah cie Elvira dengan tanpa perasaan. Baru kali ini aku disebut lonte dan perek, dan itu dilakukan oleh orang yang aku kagumi, tanpa sadar aku menitikkan air mata, perasaaanku amat terluka.

 

Aku sudah tak bisa bereaksi apapun ketika braku yang transparan terbuat bahan yang tak mudah robek itu direnggut paksa hingga tali talinya putus, sementara g-stringku dengan mudah ditarik putus hingga kini aku sudah tersaji polos di tengah kerumunan orang orang dari berbagai kalangan, sebagai budak seks mereka.

 

Sebuah tikar milik seorang pengemis yang tak terlihat tua, dibeber di lantai gerbong ini, lalu pengemis yang sudah melepas celananya hingga telanjang di bagian bawah itu tidur di tikar itu dengan penis yang sudah mengacung tegak. Beberapa orang memondongku dan mengangkat kedua pahaku ke samping kanan kiri, lalu membimbing tubuhku menindih pengemis itu, dan vaginaku mulai menelan penis yang lumayan besar itu.

 

“Aduuh… sakiiit…”, aku mengerang, tubuhku menggeliat tapi mereka menekan tubuhku ke bawah hingga penis itu tertelan seluruhnya oleh vaginaku. Rasanya sakit sekali karena selain belum adanya pelumas sedikitpun di liang vaginaku, proses penetrasi ini berlangsung begitu cepat. Kedua payudaraku langsung diremas oleh pengemis itu dengan kasar, hingga aku menggeliat kesakitan.

 

Aku hanya bisa pasrah, perkosaan masal yang akan meluluh lantakkan tubuh mungilku ini sudah dimulai. Pedagang asongan tadi sudah membuka celananya, lalu menyodorkan ke mulutku. “Isep non amoy. Jangan coba coba menggigit, tahu sendiri akibatnya”, perintahnya penuh ancaman. Aku tahu aku harus menurutinya, daripada ia nanti melukaiku.

 

Kuhisap penis yang bau itu, mungkin pemiliknya tak mandi berhari hari, membuatku hampir muntah, tapi kutahan sekuatnya. Selagi aku disibukkan 2 penis yang sudah memasuki tubuhku, dua orang mengangkat tanganku, lalu memaksaku menggenggam dan mengocok penis mereka. Aku menuruti semuanya tanpa membantah, walaupun air mataku terus mengalir.

 

Hatiku amat pedih merasakan penghinaan ini, diperkosa ramai ramai di depan umum. Kurasakan ikat rambutku ditarik hingga rambutku tergerai bebas, tapi rambutku langsung ditarik oleh seseorang dari belakang, rupanya ia menggunakan rambutku untuk melibat penisnya, dan bermasturbasi. Aku benar benar tak berdaya, dijadikan obyek pemuas nafsu seks mereka semua.

 

“Nikmat ya, Liza? Kamu memang perek bermuka malaikat. Nggak heran banyak cowok yang mengejarmu, tapi mereka nggak tahu kalau kamu itu sebenarnya cewek bispak”, kata cie Elvira sinis ketika aku mulai merintih. Aku menangis tanpa suara mendapatkan hinaan demi hinaan dari cie Elvira yang entah kenapa begitu memusuhiku kali ini. Air mataku mengalir membasahi pipiku.

 

Penis yang ada di mulutku mulai berkedut, menyemburkan sperma yang kali ini bagiku tak terasa enak, malah memualkan. Tapi aku berusaha menelan semuanya, daripada nanti aku mendapat perlakuan yang lebih kasar oleh mereka. Penis itu kukulum dalam dalam, batang penis yang mulai loyo itu kusedot dan kujilat memutar, membersihkan sperma yang masih tertinggal.

 

“Ooohhh. non amoy yang doyan peju! Semangat amat menelan pejuku. Kalau begitu kalian semua lebih baik keluarkan peju kalian di dalam mulut non amoy ini. oooh.. enaaak…”, ia mengerang keenakan setelah selesai menghinaku, karena aku yang sudah tak perduli lagi terus menghisap dan mengulum penis itu sampai bersih.

 

Yang lain tertawa tawa, dan pedangang asongan yang kurang ajar ini memberikan giliran pada yang lain, menggantikan penisnya yang sudah loyo. Kembali mulutku dijejali penis yang rasanya tak karuan, sementara kurasakan leher belakangku basah. Ternyata orang yang bermasturbasi di belakangku dengan menggunakan rambutku sudah ejakulasi, semprotan spermanya entah berapa banyak membasahi rambutku.

 

Tiba tiba dua penis yang kukocok dengan tangan itu juga berkedut, kemudian menyemprot tanpa terkendali membasahi wajahku. Kedua mataku terkena semprotan itu, hingga mau tak mau aku harus memejamkan mata. Aku sudah tak tahu lagi, apa yang terjadi denganku. Bergantian mereka memuaskan nafsu mereka dengan pelayananku, satu ejakulasi langsung digantikan oleh yang lain.

 

Wajahku sudah belepotan sperma, sementara rambutku sudah basah seperti keramas dengan sperma juga. Keadaan tubuhku tak lebih baik, entah berapa banyak sperma yang sudah kutelan, dan kurasakan kedua payudaraku juga basah, entah oleh semprotan sperma langsung atau terkena tetesan sperma yang mengalir dari wajahku.

 

Kurasakan penis dari pengemis yang menggenjot vaginaku dari bawah berkedut, membuatku sadar. Kini aku sedang dalam masa subur, dan aku tak ingat kapan aku terakhir minum obat anti hamilku. Dalam kengerian yang amat sangat, aku meronta berusaha melepaskan diriku sebelum sperma pemerkosaku ini keluar di dalam rahimku.

 

“Jangaaan… jangan di dalaaaam…. Aku tak mau hamiiil…”, teriakku begitu mulutku terlepas dari penis yang menyumbat erangan maupun suaraku sejak tadi. “Tahan tubuhnya! Jangan biarkan lonte ini melepaskan diri. Biar saja lonte ini hamil, supaya tak terus terusan merusak rumah tangga orang! Ini bayaran untuk ulahmu yang sudah memikat suamiku”, seru cie Elvira dengan jahatnya.

 

Semua membantu menekan tubuhku hingga penis itu tak mungkin kulepaskan dari vaginaku, dan ketika kurasakan semburan cairan hangat di liang vaginaku, aku menjerit pilu, “Cie Vira jahaaaat… apa salah Lizaaa…. Liza nggak pernah menggoda suami cie Viraaa….”. Tak kuasa menahan gejolak emosi ini, aku pingsan tak ingat apa apa lagi.

 

Entah berapa lama aku pingsan, sampai aku sadar dan mendapati diriku ada di kamar tidurku, mataku basah oleh air mata. Aku berusaha mengingat ingat, apa saja yang sudah terjadi pada diriku. Perlahan aku mulai sadar, hari ini adalah hari minggu, dan kemarin itu aku pulang jam 8 malam, lalu bercengkrama dengan keluarga. Baru aku mengerti, jadi tadi semua itu adalah mimpi buruk.

 

Sungguh mimpi yang aneh, makanya aku bingung, sejak kapan aku punya g-string? Juga, sejak kapan aku menggoda suami cie Elviira?? Aku memeriksa vaginaku, dan mendapati vaginaku begitu basahnya oleh cairan cintaku sendiri. Dengan panik aku mengorek vaginaku sendiri untuk memeriksa apakah ada sperma di dalamnya, karena kalau ada kan berarti gawat. Masa aku harus mengandung anak dari para pembantu atau sopirku?

 

Satu-satunya hal dari mimpiku yang merupakan kenyataan adalah aku sedang dalam masa subur sekarang ini dan aku lupa minum obat anti hamilku. Kalau sampai 2 pembantuku main gila seperti biasanya, membangunkanku dengan cara menyetubuhiku, aku kan bisa hamil? Untungnya aku tak menemukan adanya tanda tanda sperma di dalam liang vaginaku.

 

Jariku yang basah kukulum sambil menghela nafas lega, aku baru teringat ada kedua ortuku di rumah. Para pembantuku itu tentu saja tak akan berani sembarangan. Sudah sejak kepulanganku dari villa 2 minggu lalu, mereka tak bisa seenaknya minta jatah padaku. Kesempatan mereka mendapat pelayananku hanya saat aku di rumah sepulang dari sekolah, sampai kedua ortuku pulang dari rutinitas sehari hari menjaga toko.

 

Itu berarti antara jam setengah dua siang sampai jam setengah enam sore. Dan waaktu 4 jam ini bisa berkurang kalau aku sedang les privat bahasa Inggris dengan cie Stefanny di rumah, atau jika aku pulang telat karena mengikuti extra kurikuler bulu tangkis. Tentu saja mereka juga memperhitungkan, kokoku ada di rumah atau tidak, walau kadang mereka melakukan sembunyi sembunyi saat ada kesempatan, biasanya pagi hari di garasi saat aku akan berangkat ke sekolah.

 

Tapi yang jelas sudah 2 minggu ini aku tidak pernah terbangun dengan vaginaku dalam keadaan tertancap penis penis para pembantu dan sopirku ini. Aku melihat jam, masih jam 5:15 pagi. Karena sudah sekolah pagi, aku terbiasa bangun jam segitu. Maka aku ke kamar mandi yang ada di dalam kamarku ini. Menyikat gigi, mandi sesegar segarnya, dan mencuci muka, membuat batinku lebih tenang setelah mengalami mimpi yang begitu mengerikan tadi.

 

Aku merapikan rambutku, dan tak lupa minum obat anti hamil sebelum turun ke bawah. Di masa suburku ini, aku merasa obat anti hamil harus kuminum tiap hari, daripada nanti aku kebobolan saat sedang sial. Berjaga jaga lebih baik daripada semuanya sudah terlambat, apalagi tadi aku mimpi buruk seperti itu.

 

Di bawah, aku menemukan mamaku yang sedang menyiapkan makan pagi di dapur. Aku menyapa mamaku yang tersenyum padaku, dan membantunya sebisaku. Rupanya mamaku memasak sup jagung, kesukaanku. Sambil membantu mamaku aku berpikir tentang aktivitasku hari ini. Pagi ini aku akan ke gereja, siangnya entah jalan jalan ke mana menemani Jenny yang ingin membeli kado ulang tahun buat teman sekelasnya waktu kelas 1 dulu, Irene.

 

“El, di dapur jangan melamun, nanti bisa luka kalau gak hati hati”, mamaku mengingatkanku yang masih melamunkan mimpi itu, membuatku tersadar. “o… e.. iya ma”, kataku. Aku segera menyibukkan diri, hingga sesaat aku bisa melupakan mimpi yang menyeramkan itu. banyak sekali jagung yang aku ambil bijinya, capai juga tanganku melakukannya. Tapi aku terus membantu mamaku dengan tulus. Jam enam pagi, semua sudah selesai, sup jagung kesukaanku sudah terhidang di meja makan.

 

Senang sekali rasanya, setelah mencuci tanganku sampai bersih, aku lalu ke atas sebentar membangunkan kokoku yang pasti masih mendengkur. Usilku kambuh, aku mengambil gulingnya yang jatuh, lalu memukulkan ke tubuh kokoku yang masih tertidur pulas, hingga kokoku terbangun kaget, dan menggeram “Elizaa.. sudah gila ya, bangunin aku kayak gini?”.

 

“Ko, nggak siap siap kuliah ya? Sudah jam 6 lebih nih!”, kataku. Kokoku segera meloncat bangun, pergi ke kamar mandi sambil berkata, “wah.. untung koko kamu bangunkan. Thanks me. Tapi awas ya, pukulan dengan guling tadi itu pasti kubalas”, seperti biasa, sok mengancam untuk membalas. Mana tega dia pada adiknya yang cantik ini? pikirku sambil meleletkan lidah.

 

“Makan pagi sudah siap ko, nanti langsung turun ya”, kataku meninggalkan kokoku ke bawah. “IYA”, seru kokoku yang sudah ada di dalam kamar mandi. Aku tersenyum geli, membayangkan bagaimana jengkelnya nanti kokoku kalau sadar hari ini hari minggu. Aku menyapa papaku yang sudah rapi, kami sempat mengobrol sebentar menunggu kokoku turun untuk makan bersama.

 

Akhirnya kokoku turun dengan membawa tas kuliahnya, membuatku mati matian menahan tawa. “Minggu pagi gini mau belajar buat UAS di rumah teman ya Heng? Ke gereja dulu ya… masih sempat kan?” tanya papaku. Kokoku melongo, kemudian melihat kalender. Ketika kokoku memandangku dengan gemas, tawaku pun meledak, dan ortu kami yang menyadari bahwa kokoku tertipu olehku juga tertawa.

 

“Heng.. Heng.. sudah berapa kali masih juga tertipu sama mememu ini. Kamu memang kalah pintar kok sama mememu ya”, ejek mama yang disambung papa, “Masa sudah kuliah kalah canggih sama adikmu yang masih SMA ini?”, membuat tawaku makin meledak. Kokoku hanya bisa diam memandangku dengan gemas dan terlihat menahan senyum kesal, dia pasti tak ingin lebih malu lagi kalau sampai tertawa, karena itu sama saja dengan menertawakan dirinya sendiri.

 

Kami kemudian makan bersama, dan seperti biasa kami pergi ke gereja pagi pagi. Papa dan mama duduk di belakang, aku di depan dan kokoku yang menyetir. Aku kembali teringat mimpi tadi. Masa iya aku ini pernah menggoda suami cie Elvira? Kami memang pernah bertemu, tapi rasanya kami cuma saling sapa, bahkan aku tak pernah ingat kalau kami pernah terlibat dalam pembicaraan sedikitpun. Ah.. ada ada saja. Mimpi yang aneh sekali.

 

Aku memutuskan tak memikirkannya lagi, dan menjalani kegiatan hari ini seperti biasa. Setelah pulang dari gereja, aku segera menyiapkan apa saja yang diperlukan untuk latihan baletku nanti dan membawa ke mobilku, karena aku pikir akan langsung ke tempat lathihan setelah menemani Jenny mencari kado.

 

Setelah berpamitan pada papa mama dan kokoku, aku segera turun ke garasi. Di sana, sudah menunggu pak Arifin, Wawan dan Suwito yang membuat jantungku agak berdegup kencang. Tanpa basa basi, mereka bertiga bergantian melumat bibirku dan seperti biasa, Sulikah berjaga kalau kalau keluargaku ada yang sedang menuju garasi.

 

Aku hanya bisa membalas lumatan mereka, supaya ini semua cepat selesai. Tubuhku digerayangi dan payudaraku diremas remas, kadang vaginaku ditekan tekan oleh jari mereka. Gairahku mulai naik dan aku melenguh pelan, rok yang kukenakan sudah terangkat sampai ke pinggangku, celana dalamku sudah melorot sampai ke paha. Vaginaku yang sudah basah oleh cairan cintaku sendiri dikorek korek oleh mereka.

 

Beberapa jari tangan mengaduk aduk vaginaku membuat aku dengan cepat sudah orgasme hebat. Kuatir aku melenguh tak terkendali, kupagut salah satu bibir dari mereka yang mengerubutiku ini. Tubuhku mengejang keenakan dan akhirnya lunglai dengan kedua tanganku melingkar di leher pak Arifin di sebelah kiriku dan Suwito di sebelah kananku.

 

Untungnya mereka tak bermaksud hendak menyetubuhiku, hanya ingin membuatku orgasme habis habisan seperti ini sebelum aku pergi. Aku kehabisan nafas dan tersengal sengal. Mereka memakaikan celana dalamku kembali ke tempat yang benar, barulah mereka membiarkanku, anak majikan mereka yang sudah menjadi budak seks mereka ini, masuk ke mobilku, tentu saja setelah semua mendapat giliran melumat bibirku dan meremasi payudaraku.

 

Tubuhku rasanya lemas sekali, dan aku masuk ke mobilku, dan duduk sebentar untuk menenangkan diriku yang masih dihantam gelombang orgasme yang dahsyat, sampai akhirnya aku mampu berpikir dengan tenang. Di dalam mobil, aku melihat dari kaca tengah, bajuku awut awutan, rambutku juga kacau karena tadi dibelai dan dimainkan dengan seenaknya oleh mereka, juga dihirup hirup baunya oleh mereka bergantian.

 

Entahlah, rasanya tiap bagian dari tubuhku ini bagi mereka begitu menggairahkan untuk dinikmati kali ya? Kurapikan rambutku sebentar, juga sekalian bajuku yang kancingnya nyaris terlepas semua ini. Bahkan aku perlu membetulkan posisi bra yang menyangga payudaraku ini, letaknya sudah kacau dan amburadul akibat remasan remasan penuh nafsu tadi oleh mereka.

 

Dengan kesal bercampur birahi yang tinggi aku menatap mereka bertiga, namun aku tak bisa apa apa selain cepat cepat meninggalkan mereka. Di jalan, aku berusaha untuk berkonsentrasi penuh setelah barusan tadi dirangsang habis habisan sampai orgasme oleh sopirku dan dua pembantuku yang keranjingan itu. Butuh waktu lama sampai gairahku stabil dan menurun.

 

Sesampainya di rumah Jenny, aku melihat ternyata Jenny sudah menungguku, maka kami segera berpamitan pada kedua orang tua Jenny. “Enaknya cari kado di mana Jen?”, tanyaku pada Jenny, yang setelah beberapa saat berpikir, menjawab, “Ke Tunjungan Plaza aja yah?”. Aku mengangguk dan segera menjalankan mobil ke arah sana. Dalam perjalanan, aku dan Jenny saling bertukar pengalaman pribadi kami selama liburan.

 

“Jen, gimana kamu selama liburan? Liburan kemana? Apa mereka masih terus melakukan itu?” tanyaku beberapa saat setelah kami mengobrol dan bercanda. Jenny terlihat merenung. “Aku di akhir tahun memang berlibur bersama ortu ke vila kami di Trawas, tapi sebelumnya itu El, setiap ada kesempatan aku harus melayani mereka berlima. Begitu ortuku pergi, aku harus siap diseret ke ruang kerja mereka, melayani mereka sampai mereka semua puas”, kata Jenny sambil sesekali menghela nafas.

 

“Aku pernah mencoba ikut ortuku pergi, tapi aku mendapat ancaman keras dari mereka. Baiknya, ada 3 orang dari mereka yang pulang kampung, tapi yang tersisa justru Supri dan Umar, ingat kan kamu El gimana ukuran barang mereka berdua itu?”, Jenny menggeleng gelengkan kepalanya dan menghela nafas panjang mengakhiri ceritanya.

 

“Aduh.. kamu nggak apa apa kan Jen?”, tanyaku kuatir. Dua orang itu, tentu saja aku tahu betul ukuran barangnya. Tapi Jenny hanya mengangkat bahu dan berkata, “gimana ya.. sudah biasa sih, sakit sakit enak gitu. Terus, liburanmu gimana El? Apa kamu juga terus dikerjain sama sopir dan pembantumu itu?”. Aku mengangguk dan menceritakan semua pengalamanku, termasuk insiden dengan penjaga vila yang menghasilkan kenangan baru di villaku itu.

 

Jenny menggeleng gelengkan kepalanya, “Ya ampun… penjaga vilamu yang tua itu Jen? Memangnya dia masih kuat gituan?”. Aku dengan tersipu malu menjelaskan, “Awalnya sih pak Basyir itu gak seberapa juga ya, tapi.. malam itu dia pakai obat kuat Jen. Jadinya aku ya tak tahan juga, orgasme abis deh dibuatnya. Ada hampir satu setengah jam aku disetubuhinya habis habisan”.

 

Tentu saja aku tak menceritakan pada Jenny, betapa aku dipermainkan pak Basyir sampai memohon mohon untuk dibuat orgasme, apalagi saat pulang aku malah tidak memakai celana dalam sejak selesai mandi pagi, bersiap memenuhi keinginan pak Basyir untuk menikmati tubuhku sebelum aku balik ke Surabaya.

 

Jenny lalu berkata, “Kurang ajar banget yah tua bangka itu. Ya udah deh El, jangan ngomongin ini lagi ah. Sebel deh, nasib kita benar benar buruk. Kok kita jadi sama dengan Vera, cewek bispak di sekul kita. Oh iya, nanti sebaiknya beli apa ya buat kado?”. Aku tak punya ide, dan menjawab, “Ya coba nanti kita lihat lihat di sana gimana? Pasti bisa ketemu yang bagus”. Jenny tersenyum dan mengangguk.

 

“Jen, Vera yang kamu maksud tadi, Vera yang sekarang sekelas dengan kita?”, tanyaku hati hati. “Iya lah El. Aku sudah tau kelakuannya sejak kami sekelas di kelas 1. Vera itu suka pulang bareng om om, dan sudah 5 om yang berbeda yang aku tahu. Tapi.. sudalah.. kini rasanya kita nggak lebih baik deh dari dia”, Jenny menghela nafas panjang dan menunduk, kurasakan kesedihannya yang mendalam, membuatku ikut sedih juga.

 

Sambil melajukan mobil, aku sempat berpikir tentang Vera. Kebetulan Vera itu satu sekolah balet denganku, tapi aku nggak pernah menyangka Vera seperti itu. Tak terasa kami sudah sampai di Tunjungan Plaza, dan kami segera berburu barang yang tepat buat kado dan kami menemukan barang yang dirasa tepat, yaitu bando. Setelah membeli kertas kado juga, kami menyempatkan makan siang di food court, sambil ngobrol ke sana kemari termasuk menggosip ^^ seperti yang sering kami lakukan.

 

Jenny membungkus bando itu dengan kertas kado saat kami selesai makan, dan kami sempat berjalan jalan sebentar, ketika berpapasan dengan cie Stefanny. Aku terkejut melihat penampilan cie Stefanny yang tidak seperti biasanya, ia terlihat sexy abis. “Cie? Duh… cie cie.. tumben deh”, sapaku pada guru lesku ini. Cie Stefanny tersenyum manis sekali membalas sapaanku. Aku mengenalkan cie Stefanny pada Jenny yang memandangnya dengan kagum, hari itu memang cie Stefanny begitu modis.

 

Tubuhnya dibalut sweater putih, dan bajunya hitamnya begitu sexy, memperlihatkan belahan dadanya. Rok hitam ketat yang hanya sampai setengah paha, memperlihatkan paha dan betisnya yang indah. Kacamata yang biasanya dipakai juga diganti softlens yang berwarna kebiruan, membuat cie Stefanny tampak sempurna, beda sekali dengan penampilannya yang selalu biasa biasa saat datang ke rumahku sebagai guru les privatku.

 

“Jen, ini cie Stefanny, guru les inggrisku yang sering kuceritakan. Cakep kan Jen? Dan ini cie, temenku namanya Jenny”, aku saling memperkenalkan mereka. “Ah kamu itu ada ada saja El. Hai Jenny, namaku Stefanny, guru les Inggris Eliza”, cie Stefanny tersipu saat bersalaman dengan Jenny. “Hai cie Stefanny, aku Jenny, teman sekelas Eliza. Wah cie Stefanny memang cantik abis deh”, kata Jenny. Mendapat pujian Jenny, cie Stefanny makin tersipu.

 

Kami sempat berbasa basi sebentar, dan cie Stefanny berkata, “Udah dulu ya, cie cie mau pulang dulu”. Aku sempat bertanya, “Nggak sama ko Melvin nih cie?”. Aku sempat merasa senyuman cie Stefanny itu terlihat getir, saat cie Stefanny menjawab, “Nggak, sendirian aja kok. Udah dulu ya, bye bye”. Kami berpisah, dan Jenny berkata padaku, “Wow… guru lesmu keren deh. Aku mau dong les sama dia. Coba besok Senin kamu omongkan ya El, cie Stefanny ada waktu nggak ngelesi aku”.

 

Aku mengiyakan, “Jen, kamu pasti nggak rugi deh les sama dia. Orangnya pinter kok”. Setelah itu, aku mengantar Jenny ke rumah Sherly. Karena nanti sore aku harus latihan balet, selain itu memang aku nggak kenal sama Irene, jadi Jenny nanti pergi bersama Sherly. Mereka sih sekelas waktu kelas 1. Ternyata rumah Sherly sangat besar, kamarnya juga banyak, ada sekitar 10 kamar di sana.

 

Kebetulan di dekat situ ada kampus swasta yang cukup terkenal, makanya ortu Sherly menjadikan rumah itu sebagai tempat kost buat mahasiswi yang kuliah di kampus itu. Kami duduk di sofa ruang tengah. Jenny memperkenalkan aku pada Sherly. “El, ini Sherly, bosnya kost kostan ini, hehehe aduh…”, Jenny dipukul oleh Sherly yang memasang muka cemberut.

 

Tak butuh waktu lama, kami jadi akrab, Sherly ternyata orangnya menyenangkan. Kami membicarakan berbagai hal termasuk tentang sekolah, dan mulai menggosip tentang beberapa hal di sekolah kami. Tiba tiba aku melihat pintu kamar yang ada di arah depanku terbuka. Hah? Ada 2 orang laki laki yang keluar dari kamar itu. Bukannya di sini itu tempat kost buat mahasiswi aja? Tapi, 2 orang tadi itu lebih mirip pembantu deh daripada mahasiswa.

 

Dan yang membuatku semakin terkejut, tak lama kemudian keluar seorang cewek, kelihatannya seumur dengan cie Stefanny. Rambut panjangnya terlihat kusut, seperti juga bajunya. Sinar matanya yang sayu itu… mirip orang yang baru orgasme habis habisan.

 

Keringat yang membasahi tubuhnya makin memperkuat dugaanku… “El, kenapa?”, tanya Jenny padaku. Aku agak tergagap, dan berkata pelan pada Jenny, “Jen, aneh ya, masa dari tadi kita di sini, tahu tahu 2 orang pembantu tadi keluar dari kamar tuh cewek. Terus, nggak lama cewek itu juga keluar”.

 

Jenny melihat ke cewek itu, lalu bertanya pada Sherly, “Iya Sher, tadi kira kira kenapa ya kok dua pembantu itu lama di dalam?”. Sherly mengangkat bahu dan berkata, “Mungkin bantu bantu angkat barang?”. Jenny bertanya lagi, “Dan lagi, cewek itu bajunya kusut abis ya?”.

 

Sherly terlihat kikuk, dan menjawab, “Oh. Cie cie itu namanya Katherine. Tadi sih cie Katherine bilang agak pusing dan mau tidur siang. Mungkin baru bangun tidur kali ya kusut gitu. Tapi lihat, biar kusut gitu, masih terlihat cantik yah”

 

Aku dan Jenny saling pandang. Tak bisa kami pungkiri, cie Katherine yang tadi itu memang cantik dan pasti menggairahkan sekali bagi para lelaki. Rambutnya lurus panjang, tubuhnya mungil, ramping ideal, bentuk payudaranya sexy. Ketika melihat kami yang memandanginya, cie Katherine tersenyum pada kami semua, senyumnya begitu manis, hingga kami pun mau tak mau balas tersenyum padanya.

 

Setelah itu kami sempat ngobrol ke sana kemari, dan tak terasa jam menunjuk pukul 4 sore. Mau pulang juga nanggung, aku memilih langsung menuju ke sekolah baletku. Maksudku nanti di sana aku akan menunggu di mobil atau gimana, daripada pulang ke rumah malah dibikin orgasme oleh para pembantu dan sopirku yang sudah keranjingan itu.

 

Selain itu, aku merasa lebih baik menghemat bensin kali ya, maka aku pamit pada mereka. “Sherly, Jen, aku mau berangkat dulu ke sekolah balet, have a good time ya”, kataku pada mereka. Sherly dan Jenny mengantarku ke pintu gerbang, dan waktu menuju ke sana aku sempat melihat ada seorang cewek di beranda rumah ini, yang terlihat agak terloncat seperti terkejut.

 

Kulihat di belakang cewek itu ada seseorang, yang mungkin juga pembantu di rumah ini. Aku melihat cewek itu membalik badan, sepertinya marah pada orang itu, yang hanya cengengesan saja. Aku berpikir, mungkin saja tadi itu orang itu meremas pantat cewek itu, tapi nggak tau juga sih.

 

Aku merasa tempat ini semakin aneh di mataku, tapi bukan urusanku kali ya. Aku terus berlalu menuju mobilku, dan setelah melambaikan tangan pada Jenny dan Sherly, aku segera melajukan mobilku ke arah sekolah baletku. Sampai di sana, aku parkirkan mobilku, lalu duduk diam sambil menyetel musik. Tiba tiba hp-ku berbunyi, aku lihat nomer HP-nya Jenny.

 

Aku sudah akan mengangkat HP-ku itu, ketika aku melihat cie Elvira turun dari mobilnya, dan masuk ke dalam sekolah baletku. Cepat amat ya cie Elvira kok sudah datang, sekarang masih jam 4:25 tuh. “Halo? Eliza.. tolong dong liatin, ada gak jam tanganku di mobilmu?”. Aku menoleh ke tempat duduk di sampingku, dan karena tak kutemukan, aku mencari ke jok bawah, dan ketemu.

 

“Iya Jen, ada di sini. Kok jatuh ke bawah gitu Jen?”, tanyaku. “Iya nih, tadi aku lepas bentar, soalnya keringatan. Ya udah, tolong besok kamu bawain ke sekolah ya El”, kata Jenny. “Iya beres. Udah ya”, kataku. “Iya El.. thanks”, suara Jenny yang riang menutup pembicaraan kami. Pandanganku tertuju pada batagor yang dijual di sebuah rombong.

 

Senang deh, aku ke sana, membeli sebungkus, dan kembali ke dalam mobil. Aku makan dengan santai, menghabiskan waktu. Selesai makan pun, jam baru menunjuk pukul 16:40. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam ruang latihan balet untuk ngobrol dengan cie Elvira yang selalu ramah dan sayang kepadaku sekalian menghapus ingatanku tentang kekejaman cie Elvira di dalam mimpi tadi.

 

Di dalam, aku mencari cie Elvira yang sudah masuk sejak tadi. Ada suara derit kursi panjang di belakang panggung, dan aku langsung menuju ke sana. Dan jantungku hampir berhenti ketika aku melihat cie Elvira, digenjot oleh pak Agil. Cie Elvira terlihat pasrah, tubuhnya yang telanjang bulat tersentak sentak di atas kursi panjang tempat biasa kami duduk duduk, sedangkan pak Agil hanya mengenakan baju atasan.

 

Aku bisa melihat jelas, vagina cie Elvira yang mungil diterobos penisnya pak Agil yang kelihatan agak besar dan berurat, dan desahan pelan yang sexy dari cie Elvira sesekali terdengar, membuatku panas dingin melihatnya. Cie Elvira sama sekali tak terlihat diperkosa, bahkan dengan penuh penyerahan cie Elvira melayani setiap tusukan pak Agil dengan sedikit mengangkat pinggulnya.

 

Oh iya, pak Agil ini, tukang sapu di sekolah baletku ini. Pak Agil ini orangnya agak gemuk, kumisnya tipis dan bibirnya itu.. tebal amat. Umur orang ini kira kira 45 tahun. Aku memang sempat merasa aneh, karena pak Agil suka berlama lama memandangi cie Elvira, dan kini aku melihat dia sedang menggenjot cie Elvira dengan bernafsu, sementara cie Elvira sendiri kelihatannya pasrah saja diperlakukan seperti itu.

 

Cie Elvira sendiri kini berumur 27 tahun. Tubuhnya langsing ideal, rambutnya agak bergelombang dihighlight kuning membuatnya tampak semakin cantik. Kulitnya putih mulus, seputih kulitku. Payudaranya kencang dan indah. dan kini kulihat cie Elvira melenguh keenakan. “enggghh… aduuuh… aaaah…”, cie Elvira menggelepar hingga derit kursi itu makin keras.

 

Rupanya cie Elvira sudah orgasme, dan beberapa saat kemudian giliran pak Agil yang orgasme. Ia menggeram dan tubuhnya bergetar, kulihat cairan putih kental menggelayut di penisnya yang ditarik keluar. Saat itulah cie Elvira melihatku, ia begitu terkejut dan gugup. “Eliza..?”, desis cie Elvira.

 

Pak Agil yang posisinya membelakangiku menoleh menghadapku, tapi pak Agil kelihatan cuek, dan dengan tenang ia memakai celana panjangnya, lalu ia melewatiku yang masih terpaku. Dengan kurang ajar pak Agil meremas payudara kiriku, kasar dan menyakitkan, membuatku tersadar dan mengaduh, “Ah… aduuh… sakit paak!”.

 

Pak Agil melepas remasannya ketika cie Elvira membentak, “Gil, jangan kurang ajar ya sama Eliza!”. Ia pun berlalu sambil cengengesan. Aku memegangi payudara kiriku yang masih terasa sakit. Cie Elvira membelakangiku, ia membersihkan vaginanya dan mengenakan pakaian dalamnya, lalu berganti baju balet.

 

Aku merasa canggung, dan memilih masuk ke kamar ganti, lalu berganti pakaian balet di sana. Ketika aku keluar, cie Elvira masih duduk di kursi panjang itu dengan sudah mengenakan kostum baletnya, dan aku tak berani mendekatinya. Aku memilih menunggu di panggung tempat latihan.

 

Jam menunjuk pukul 4:50, ketika teman temanku satu per satu datang, kebanyakan sudah memakai kostum baletnya, tinggal melepas baju luar saja. Dan latihan pun dimulai seperti biasa, tapi ketika cie Elvira mengajarkan gerakan baru, tentu saja di antara kami ada yang melakukan kesalahan. Dan tak seperti biasanya, kali ini Cie Elvira mudah marah.

 

Dalam sebuah gerakan yang memang cukup sulit, ia malah agak membentak temanku Vera, yang beberapa kali melakukan kesalahan. Suasana jadi tegang dan tidak enak, kami semua agak gugup menjalani latihan ini. “Sudah, dari tadi kalian salah terus. Lebih baik latihan kita akhiri saja sekarang. Kalian ingat ingat tadi gerakan yang sudah cie cie ajarkan, minggu depan harus lebih baik!”, kata cie Elvira ketus, lalu ia berbalik ke ruang ganti.

 

Ini masih baru setengah jam, dan kami semua bingung, tapi aku mungkin mengerti kenapa cie Elvira begitu. Aku segera ke dalam, ikut berganti pakaian, dan ketika berpapasan dengan cie Elvira, aku mendekatinya. “Cie Vira mau ikut makan malam sama Eliza?”, tanyaku lembut. Cie Elvira memandangku, dan tak lama ia mengangguk.”Kalau gitu, ke restaurant Halim di Mayjen ya cie?”, tanyaku lagi.

 

Cie Elvira mengangguk dan menjawab, “Ya, aku tahu tempatnya. Thanks ya, Eliza”. Ia tersenyum manis, membuat aku merasa mimpiku tadi pagi itu begitu konyol, dan memutuskan untuk melupakannya saja. Mobil kami berjalan beriringan, menuju ke tempat yang tadi kami sepakati. Sampai di sana, kami memesan beberapa makanan.

 

Di tengah suasana yang kaku ini, cie Elvira mendadak minta maaf padaku, “Eliza, sorry ya cie cie nggak bisa ngelindungin kamu tadi. Sakit nggak tadi digituin sama Agil sialan itu?”. Aku jadi tak enak, dan menjawab, “Cie, tadi kan untung ada cie Vira. Kalau cie Vira nggak membentak pak Agil, mungkin dia sudah berbuat lebih jauh terhadap Eliza”. Cie Vira masih menunduk.

 

Aku mencoba menghiburnya. “Cie Vira, yang tadi itu nggak usah dipikirin, Eliza nggak akan cerita cerita ke siapa siapa kok”. Cie Elvira tersenyum penuh terima kasih padaku, kini ia sudah tidak segalau tadi. “Eliza, cie cie jadi begini, bukan karena tanpa alasan. Kamu mau dengar cerita cie cie?”, tanya cie Elvira padaku. Kontras sekali dengan akhir tahun lalu, waktu itu cie Elvira begitu mesra dengan suaminya.

 

“Iya cie, cerita aja, mungkin nanti beban cie cie bisa lebih ringan”, aku tersenyum dan bersiap mendengarkan curahan hati cie Elvira.

 

Cie Elvira menerawang dan mulai bercerita, tentang masa lalunya ketika pacaran dengan ko Johan, mereka adalah pasangan yang amat berbahagia. Tiga tahun lalu, mereka menikah dengan restu kedua orang tua mereka, dan cie Elvira ikut ko Johan yang tinggal bersama ortunya.

 

Setelah dua tahun menikah dan tak dikaruniai anak, mama mertua cie Elvira mulai uring uringan. Tanpa bukti yang kuat, mamanya ko Johan dengan seenaknya menuduh cie Elvira yang mandul. “Aku sudah periksa, dan hasil tes menunjukkan, aku sama sekali tidak mandul”, kata cie Elvira yang mulai menitikkan air mata. Aku bisa merasakan kepedihannya, tapi aku hanya diam tak tahu harus berkata apa.

 

Makanan yang kami pesan sudah datang, dan di sela waktu kami makan, cie Elvira meneruskan ceritanya. Ko Johan yang ternyata tipe anak mama, tak pernah sedikitpun membelanya, tak berani mengakui kalau dirinya yang bermasalah, mengidap impotensi ringan, terbukti dari penisnya yang tak begitu keras saat ereksi. Memang ko Johan bisa menyetubuhi cie Elvira, tapi selain penisnya yang lembek tak bisa memuaskan cie Elvira, juga keluarnya amat cepat, di bawah lima menit.

 

Pernah waktu cairan sperma ko Johan tumpah di perutnya usai bersetubuh di pagi hari, cie Elvira diam diam menaruh cairan itu dalam sebuah tempat dan membawa ke laboratorium siang itu juga Hasilnya ternyata ko Johan yang mandul. Ingin sekali cie Elvira mengatakan yang sebenarnya.

 

Tapi cie Elvira tak tega menyakiti ko Johan. Jadi ia memikul semua beban itu sendirian. Suatu hari, dalam sebuah pertengkaran mulut, mama mertuanya memaki cie Elvira dengan kejam, “Memang, kamu itu cantik, punya body yang sexy. Tapi apa guna semua itu kalau kamu nggak bisa melahirkan anak buat Johan?”.

 

Cie Elvira hanya bisa menangis, ia segera meninggalkan mama mertuanya, pergi ke sekolah balet kami, walaupun waktunya masih dua jam lagi. Di sana cie Elvira menangis sejadi jadinya, dan tanpa cie Elvira sadari, pak Agil mendekatinya, dan suara pak Agil mengejutkannya. “Bu Elvira, cakep cakep kok nangis?”, tanya pak Agil. Cie Elvira langsung menyusuti air matanya dengan tissue, lalu mengambil sebatang rokok dari tas.

 

Cie Elvira minta api pada pak Agil, yang segera mengeluarkan korek api dari sakunya, dan menyalakannya buat cie Elvira. Dengan cuek, cie Elvira merokok, diikuti pak Agil yang juga merokok. Mereka mulai terlibat obrolan ringan, sampai kemudian ketika rokok mereka sudah habis, pak Agil mengulangi pertanyaannya tadi, “Bu Elvira, tadi kenapa menangis?”.

 

Cie Elvira cuma diam, merasa tak ada perlunya orang macam pak Agil ini tahu urusan rumah tangganya. Tiba tiba cie Elvira terkejut ketika pak Agil membelai rambutnya, dan belum sempat cie Elvira berbuat sesuatu, pak Agil sudah mendekap tubuh cie Elvira, dan bibirnya dipagut dengan ganas. Diperlakukan seperti itu tanpa disangka sangkanya, cie Elvira hanya bisa pasrah.

 

Pak Agil semakin berani, satu per satu pakaian cie Elvira dilucuti, kemudian setelah melepas pakaiannya sendiri ia membaringkan cie Elvira di bangku panjang itu, dan mulai menyetubuhi cie Elvira yang tak memberikan perlawanan atau pemberontakan sedikitpun.

 

Cie Elvira yang sudah hanyut, merasa tak ada perlunya mempertahankan nilai kesetiaan, karena selama ini ia diperlakukan tidak adil. Cie Elvira masih mencintai ko Johan, tapi tusukan penis pak Agil yang begitu keras dibandingkan milik ko Johan, membuat cie Elvira merasa melayang dan larut dalam persetubuhan itu, tak kuasa menolak kenikmatan yang didapat dari pak Agil.

 

Kali pertama, cie Elviira meminta pak Agil mengeluarkan spermanya di luar. Setelah itu, setiap mengajar balet cie Elvira datang lebih pagi untuk menghindari stress akibat bertengkar dengan mama mertua. Tapi cie Elvira tahu pak Agil akan meminta jatah lagi, maka ia mulai rutin minum obat anti hamil, dan memang, pak Agil tanpa malu malu terus terusan meminta jatahnya, dan cie Elvira setengah terpaksa menurutinya.

 

“Begitulah, Eliza. Tiap cie cie ke sana, cie cie melayani pak Agil lebih dulu sebelum mengajar. Kamu boleh anggap cie cie murahan atau yang sejenisnya, tapi cie cie sudah tak ada jalan lain. Rasanya stress di rumah tiap hari bertengkar mulut dengan mama mertua, sementara suami tak bisa melindungi cie cie, hanya bisa diam melihat cie cie dibentak bentak mamanya”, kata cie Elvira pilu dan menunduk sedih.

 

“Cie, aduh… Liza ikut sedih cie. Semoga cie cie tabah ya..”, kataku yang tak tahu harus bagaimana menghibur cie Elvira. Ia memandangku dan tersenyum pahit, “Eliza, terima kasih ya. Kamu memang baik, semoga nasibmu kelak lebih baik dari cie cie”. Aku hanya bisa menunduk, merenungi nasibku yang sekarang ini sebenarnya tak lebih baik dari cie Elvira.

 

Tak terasa kami sudah selesai makan, dan aku memaksa cie Elvira supaya kali ini aku yang traktir. Setelah itu, kami saling berpamitan dan pulang ke rumah masing masing. Sampai rumah, sekitar jam 8 malam, aku tidak mendapati mobil kedua orang tuaku, juga mobil kokoku yang kata Sulikah pergi ke rumah temannya.

 

Aduh.. habis deh. Pak Arifin, Wawan dan Suwito langsung menarikku ke kamar mereka, dan aku segera jadi bulan bulanan mereka. Mereka seolah melepaskan segala kerinduan mereka padaku, setelah sekitar 2 minggu tidak mendapat kesempatan menikmati diriku.

 

Untung aku sudah minum obat anti hamil, maka aku hanya pasrah saat merasakan penis demi penis berkedut dalam vaginaku, menyemburkan sperma yang membasahi rahimku. Dua jam lebih aku melayani mereka, tubuhku rasanya pegal pegal karena berulang kali orgasme habis habisan. Mereka berhenti setelah dua ronde menyetubuhiku, dan tergeletak puas di sekitarku yang sudah amat lemas.

 

Setelah pesta seks ini selesai, aku kembali ke kamarku dengan telanjang bulat. Aku mandi membersihkan tubuhku. Setelah mengeringkan seluruh tubuhku, aku segera tidur tanpa mengenakan apapun, hanya berselimut bed cover. Rasanya nyaman sekali, dan dengan cepat aku sudah tertidur pulas.

 

Tak terasa, sudah seminggu waktu berlalu sejak peristiwa itu. Tak ada kejadian spesial selama seminggu ini, selain aku memberitahu pada cie Stefanny kalau Jenny berminat untuk les privat, dan mereka sudah saling kontak untuk membicarakan hal itu.

 

Di sekolah aku seperti biasa, bersikap cuek pada tatapan penuh nafsu dari pak Edy wali kelasku, juga pandangan mesum dari para satpam dan tukang sapu yang sudah beberapa kali menikmati tubuhku. Sebenarnya sebal juga, tapi aku tak tahu harus berbuat apa.

 

Tapi ada satu hal yang membuatku tertegun, aku sempat melihat Vera, temanku yang dikatakan Jenny cewek bispak di sekolah kami, sepulang dari sekolah ia dijemput om om, yang sudah pasti bukan papanya. Aku pernah melihat papanya Vera ketika acara terima raport akhir tahun lalu. Aku sempat menduga duga, apakah orang itu saudara ortunya, atau …?

 

Hari minggu ini, setelah menjalankan rutinitasku, dan sempat berjalan jalan dengan Jenny, aku memutuskan untuk tidak pulang dan langsung ke tempat balet. Aku merasa bisa membantu cie Elvira untuk tidak terlalu terlibat dengan pak Agil itu. Ketika jam masih menunjuk pukul 4:15 sore, aku sudah duduk duduk di teras gedung sekolah balet kami, menunggu cie Elvira.

 

Rencananya nanti aku akan mengajak cie Elvira ngobrol daripada cie Elvira harus melayani pak Agil itu. Tapi apa yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaanku. Pak Agil tiba tiba keluar dari pintu masuk, dan bertanya padaku, “Non Eliza, waktu saya bersih bersih minggu lalu, di ruang ganti ada barang yang tertinggal minggu lalu. Coba non lihat, apa itu kepunyaan non Eliza?”.

 

Ditanya demikian di depan orang banyak yang berjualan di depan situ, aku mau tak mau terpaksa masuk untuk melihat, daripada kesannya tidak sopan. Walaupun aku merasa tak meninggalkan barang minggu lalu, tapi andaikan memang barang itu kepunyaanku, aku tahu aku sedang masuk ke sarang penyamun. Seperti yang aku kira, di dalam ruang ganti memang tak ada apa apa.

 

Ketika aku membalik badan, kulihat pak Agil sudah di belakangku sejak tadi, ia tersenyum menyeringai kepadaku, dan aku tahu aku akan bernasib buruk hari ini. Di dunia ini akan segera bertambah lagi satu maniak yang menjadikan aku budak seksnya. Aku mengutuki nasibku dalam hati.

 

Tapi aku masih berusaha untuk lolos dari cengkeraman bandot tua ini. “Pak, saya mau keluar dulu, di sini nggak ada apa apa kok”, kataku berusaha menjaga nada bicaraku tetap sopan. “Non, buat apa keluar lagi? Enakan di sini sama bapak. Minggu lalu saya sudah merasakan susu non yang kiri, sekarang saya mau susu non yang kanan”, katanya dengan kurang ajar.

 

Ingin aku menamparnya, tapi bisa bisa ia makin mengasariku nanti, maka aku meredam keinginanku ini. Tak terasa aku mundur dan menyilangkan kedua tanganku menutupi payudaraku yang sebenarnya masih tertutup bajuku.”Pak, jangan kurang ajar ya. Saya akan teriak!”, aku mencoba menggertaknya. Tapi pak Agil malah tersenyum, senyuman itu memuakkan tapi mengerikan juga.

 

Pak Agil menjawab santai, “Teriak saja non. Sekalian biar orang orang di luar tahu keindahan tubuh non, dan pasti mereka nggak akan menolak kalau saya ajak untuk ikut menikmati servisnya non Liza”. Aku langsung lemas, rupanya ini arti mimpi burukku minggu lalu. Aku mengurungkan niatku, daripada aku digangbang tukang sapu ini dan beberapa penjual makanan kecil di luar.

 

Sudah cukup aku digangbang para pembantu dan sopirku di rumah, juga para satpam dan tukang sapu di sekolahku. Tanpa perlawanan yang berarti dariku, pak Agil sudah melucuti pakaianku hingga aku tinggal mengenakan bra dan celana dalam. Matanya melotot seakan hendak copot ketika ia memandangi tubuhku yang putih mulus tanpa cacat ini.

 

“Oh.. amoy yang satu ini memang sip”, guman pak Agil, tapi aku dapat mendengarnya jelas. Aku mencoba untuk memohon, “Pak, tolong jangan begini pak. Pak Agil butuh uang? Katakan pak, saya bisa bantu. Tapi jangan perkosa saya pak, saya aaah…”, aku mengerang ketika pak Agil sudah menyergapku dan meremas kedua payudaraku yang masih tertutup bra ini dengan kasarnya.

 

Aku menggeliat kesakitan dan berusaha melepaskan tangan kekar yang mencengkram kedua payudaraku ini, tapi usahaku sia sia saja, tenagaku terlalu lemah, dan rasa sakit ini membuatku semakin lemas. Selagi aku menahan sakit ini, pak Agil berbisik di telingaku, “Uang? Buat apa non? Saya tak ada keluarga, gaji saya sudah cukup untuk makan. Saya tak kepingin duit banyak, cuma kepingin mencicipi tubuh amoy cantik macam non gini”.

 

Hembusan nafasnya yang hangat di telingaku membuatku bergidik ngeri, aku tahu sudah tak ada jalan keluar setelah mendengar jawabannya. Kurasakan kedua payudaraku sudah tak diremas, tapi tiba tiba pak Agil mengarahkan mukaku ke hadapannya, bibirku dipagutnya dengan ganas, sementara celana dalamku dilorotkan seperlunya supaya jari tangannya bisa menusuk nusuk vaginaku.

 

Mendapat perlakuan seperti ini, aku hanya bisa menggeliat dan mengerang mengeluarkan suara tak jelas, “Emmph… mmmhh..”. Aku terus meronta, tapi makin lama rontaanku makin lemah, dan kudengar pak Agil tertawa menjijikkan, nampaknya ia yakin sekali aku sudah takluk padanya. Tapi aku tak bisa apa apa, tenagaku rasanya sudah melayang lenyap entah kemana.

 

Aku memejamkan mata, perlahan rasa nikmat yang menjalari tubuhku kembali mengalahkan akal sehatku. Desahan dan lenguhanku mulai terdengar, makin lama makin keras. Entah sejak kapan, tapi braku sudah jatuh ke lantai, celana dalamku juga sudah melayang entah kemana. Pak Agil mengatur posisiku sedemikian rupa hingga aku berdiri agak doyong ke depan menghadap kaca rias, dengan kedua tanganku menumpu di sana, kedua kakiku terpentang lebar.

 

Aku makin keras mendesah ketika beberapa jari tangannya mengaduk aduk vaginaku dari belakang. Kupejamkan mataku kuat kuat, rasanya malu memandang diriku di kaca dalam keadaan telanjang bulat dan sedang dipermainkan dari belakang oleh orang yang seumur dengan papaku. “Non, enak ya non diaduk aduk gini?”, ejek pak Agil melihatku sedang menggeliat keenakan.

 

Aku hanya bisa diam menahan rasa malu ini, tapi aku tak mampu bertahan untuk tidak orgasme, akhirnya tubuhku mulai tersentak sentak. Saat orgasme pertama mulai melandaku, kurasakan pak Agil mencabut jari tangannya dari liang vaginaku, dan tiba tiba kurasakan vaginaku yang pasti sedang mengeluarkan cairan cintaku ini, dijilati dan dicucup oleh pak Agil.

 

Tiba tiba kurasakan lidah pak Agil membelah dan menusuk vaginaku, mengorek ngorek semua sisa cairan cintaku, membuat aku terbeliak menahan nikmat, nafasku tertahan, dan tubuhku makin menggelinjang. Tak bisa kutahan lagi, aku melenguh keenakan, “nggghhhh… ooooohhhh”.

 

Aku melemas dan jatuh berlutut, tanganku yang serasa lunglai kupakai menahan tubuhku yang bergetar getar merasakan nikmat yang luar biasa ini. Ketika aku masih belum selesai melewati orgasme ini, tiba tiba pak Agil sudah ada di depanku dan membuka resleting celananya. Ia mengeluarkan penisnya yang sudah menegang, dan dengan seenaknya ia menyodorkan penisnya di depan mulutku, seolah olah memerintahkan budaknya untuk menghisap penisnya.

 

Aku merasa terhina diperlakukan seperti ini, tapi aku tak bisa berbuat apa apa, dan terpaksa menurutinya. Aku sempat memperhatikan penis yang minggu lalu mengaduk aduk vagina cie Elvira ini. Panjang, paling tidak antara 18 – 19 cm. Walaupun diameternya hanya sekitar 3,5 cm,tapi urat urat yang menonjol membuat penis itu terlihat kekar dan menyeramkan, siap mengaduk aduk liang vaginaku dengan ganas.

 

Kubuka mulutku perlahan, dan pak Agil yang sudah tak sabar langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku. Aku segera berusaha membiasakan diri dengan rasa penis pak Agil ini. Penis yang begitu keras itu kuulum kulum dan kujilati memutar, perlahan akhirnya aku mulai menikmati mengoral penis panjang ini. Kumasukkan penis ini ke tenggorokanku dalam dalam, hingga pak Agil mengerang ngerang keenakan.

 

Aku sedang mencucup kepala penis pak Agil ketika tiba tiba aku mendengar kata kata pak Agil, “Bu Elvira, bukan saya yang maksa lho, tapi memang murid ibu yang nafsu nyepongin punya saya ini”. Serasa bagai mendengar petir di siang bolong, aku melepaskan kulumanku pada penis pak Agil, dan memang di kaca rias ruang ganti yang memanjang itu kulihat cie Elvira yang menandangku dengan tertegun.

 

Terlihat jelas ia tak percaya melihat apa yang sedang kulakukan ini. “Eliza… kamu…?”, cie Elvira bertanya kepadaku yang hanya bisa menunduk, aku malu dan takut sekali, tak berani melihat muka cie Elvira. Pak Agil yang tertawa tawa sejak tadi, tiba tiba mengangkat tubuhku, dan aku kembali diposisikan seperti tadi, dengan kedua kaki terpentang lebar dan tanganku kembali menumpu di kaca rias menahan badanku yang doyong ke depan.

 

Sekali ini tentu pak Agil tak hanya menggunakan jarinya, penisnya yang baru saja kukulum tadi akan segera menghajar selangkanganku. “Bu Elvira, daripada nanti ngiri sama murid ibu, sekalian aja gabung ke sini bu”, kata pak Agil dengan nada yang benar benar mengejek kami berdua. Aku melihat dari kaca rias, cie Elvira medekati kami sambil melihatku dengan pandangan yang aneh.

 

Dan tiba tiba pak Agil memegangi pinggulku, lalu penisnya ditempelkan ke mulut vaginaku. Dengan sekali sentak, penis itu tertelan habis ke dalam liang vaginaku yang sudah amat basah, sementara penis itu sendiri sudah basah oleh air liurku tadi.

 

“Ngghhh…”, aku melenguh antara sakit dan nikmat, merasakan urat urat yang menggerinjal pada penis pak Agil ini menerobos keluar masuk, membuat setiap gesekan pada dinding liang vaginaku terasa begitu nikmat” “Oooh.. sempitnya noon”, erang pak Agil. Aku menggigit bibir menahan nikmat yang mengalahkan rasa malu ini, disetubuhi di depan cie Elvira.

 

Tiba tiba kulihat dari kaca rias, pak Agil yang masih menggenjotku dari belakang, merangkul cie Elvira dan memagut bibirnya habis habisan, dan cie Elvira terlihat larut dalam pagutan pak Agil. Keduanya melakukan french kiss cukup lama, tapi pak Agil terus menggenjotku dengan tempo yang lumayan cepat.

 

Setelah puas melumat bibir cie Elvira, pak Agil menyuruh cie Elvira memposisikan dirinya sepertiku di sebelah kananku, kemudian segera kudengar cie Elvira mendesah dan kulihat tubuh cie Elvira tersentak beberapa kali. Saat kulihat ke belakang, ternyata tangan pak Agil sedang berada di sekitar selangkangan cie Elvira. Mudah saja ditebak, pasti sekarang jari tangan pak Agil sedang mengaduk aduk vagina cie Elvira.

 

“Aaaah…”, aku mengerang ketika dengan kasar pak Agil menyodokkan penisnya dalam dalam, tubuhku mengejang menahan rasa sakit bercampur nikmat yang melanda tubuhku ini. Cie Elvira yang di sebelahku juga mulai menggeliat, tapi yang membuatku merasa kikuk, cie Elvira memandangku dengan tatapan yang sayu dan aneh, membuat aku jadi salah tingkah dan bulu kudukku serasa meremang. Masa iya cie Elvira sedang bermaksud lain padaku?

 

Cie Elvira tiba tiba meraih tangan kananku dan dilingkarkan ke lehernya, sementara ia juga melingkarkan tangan kirinya pada leherku. Ia menolehkan mukaku, medekatkan mukanya dan tiba tiba memagut bibirku dengan ganas, membuat jantungku serasa berhenti, tak tahu harus berbuat apa. Tak lama kemudian, aku sudah hanyut oleh ciuman cie Elvira, dan dari awalnya tegang, lalu aku mulai pasrah.

 

Sekarang aku bahkan membalas ciuman ini. Lidah kami saling bertautan, aku merasa nikmat yang melandaku semakin berlipat ganda, dengan sodokan demi sodokan penis pak Agil yang menghajar vaginaku dengan ganas sementara aku berciuman dengan cie Elvira sampai akhirnya kami saling melepaskan diri setelah sama sama kehabisan nafas.

 

Aku hanya bisa tersipu malu tak berani memandang cie Elvira, tapi harus kuakui ada gairah aneh yang sempat melandaku tadi saat kami saling berpagut seperti layaknya sepasang kekasih. Setelah beberapa menit digenjot pak Agil, aku mulai merasakan akibatnya. “Ngghh… ooooh… aduuuh…”, aku mulai melenguh dan mengerang, rasanya aku akan segera orgasme.

 

Di sebelahku kulihat cie Elvira juga mulai menggeliat dan tubuhnya bergetar getar, terlihat sekali cie Elvira sedang dilanda kenikmatan yang maha dashyat. Aku sendiri sudah melayang di awang awang, tubuhu tersentak sentak dilanda orgasme yang kedua kalinya ini.

 

“Oooohh.. gilaaa.. seret abiiiis nooon”, erang pak Agil ketika otot vaginaku rasanya berkontraksi, pasti saat ini pak Agil merasa penisnya sedang diremas remas di dalam sana. Tak lama kemudian pak Agil menggeram, kurasakan penisnya berkedut dan menyemprotkan cairan hangat di dalam liang vaginaku saat ia mengerang ngerang penuh kepuasan.

 

Aku langsung melemas dan jatuh berlutut, penisnya terlepas dari vaginaku. Tak kuduga, cie Elvira tiba tiba merangsek ke selangkanganku, kini wajahnya sudah ada di hadapan vaginaku dengan tatapan penuh nafsu. Aku agak ngeri dan merambat mundur, tapi cie Elvira dengan cepat sudah memeluk kedua pahaku yang dilebarkannya.

 

Vaginaku sudah diserang habis oleh cie Elvira yang mencucup cairan cintaku yang sudah bercampur dengan sperma pak Agil. “Ciee.. ooooh… nggghhhh… “, aku mengerang dan melenguh, tubuhku menggelepar tak berdaya dihantam kenikmatan yang tiada tara ini. Beberapa menit lamanya tubuhku tersentak sentak dihantam badai orgasme.

 

Rasanya tubuhku semakin lemas, dan aku sudah pasrah, terserah mereka berdua yang hendak memperlakukan tubuhku seperti apa. Aku menurut saja ketika pak Agil memasukkan penisnya ke mulutku, dan tanpa diperintah aku sudah mengulum ngulum penis itu, menyeruput semua sisa spermanya dan cairan cintaku yang masih menempel di penis itu.

 

Tiba tiba terdengar suara pintu ruang depan terbuka, membuat aku sadar dari pesta seks yang memabukkan ini. Dengan panik aku segera melepas kulumanku pada penis pak Agil, lalu menyambar semua bajuku yang berserakan dan segera masuk ke salah satu kamar ganti lalu menutup tirainya.

 

Aku tak tahu apa yang dilakukan cie Elvira ataupun pak Agil, tapi akuku berharap mereka tak segila itu untuk membiarkan teman teman les balet tahu apa yang baru saja terjadi. Aku langsung mengenakan bra dan celana dalamku, lalu mengenakan kostum baletku. Ketika aku memakai sepatuku, aku melihat bercak basah di bagian selangkanganku.

 

Kelihatannya cairan cintaku masih terus mengalir dari vaginaku yang memang masih terasa berdenyut denyut. Urat urat penis pak Agil tadi benar benar membuatku keenakan, tapi kini aku bingung, bagaimana jika di antara teman temanku ada yang menyadari vaginaku baru saja memuntahkan cairan cinta?

 

Kudengar suara teman temanku yang gaduh seperti biasanya saat berganti di ruangan ini. Aku keluar dari ruang ganti, menyapa semuanya dan segera pergi ke atas panggung latihan. Jantungku berdebar kencang, berharap acara latihan ini segera selesai, sebelum ada yang tahu tentang selangkanganku yang basah. Cie Elvira sudah datang ke atas panggung, dan latihan pun dimulai.

 

Aku berada di depan sendiri seperti biasa, jadi aku masih punya harapan tak ada yang tahu tentang keadaanku. Ketika latihan baru berjalan 15 menit, cie Elvira tiba tiba menghentikan kami sejenak, dan mendatangiku. Aku jadi agak panik dan memandangnya dengan penuh tanda tanya, tapi perasaan tegang itu langsung sirna ketika aku mendengar kata kata cie Elvira.

 

“Liza, kamu kelihatan sakit? Badanmu tak biasanya sampai berkeringat banyak seperti ini. kalau kamu sakit, nggak usah dipaksakan deh, kamu boleh istirahat di ruang ganti, atau menonton saja di bawah panggung”, kata cie Elvira lembut.

 

Dengan penuh rasa terima kasih, aku mengangguk pada cie Elvira, lalu aku segera keluar dari barisan menuju ke ruang ganti di belakang panggung. Tapi ketika aku masuk, aku sadar aku harusnya lebih baik menonton saja tadi, karena ruang ganti ini sudah menunggu pak Agil dengan senyumnya yang menjemukan.

 

“Wah wah, non sudah gak sabar ya, masa sampai bela belain meninggalkan latihan yang baru saja dimulai. Sudah kangen ngerasain ini lagi ya non?”, kata pak Agil dengan kurang ajarnya sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah selangkangannya. Aku hendak keluar untuk menyelamatkan diri, tapi pak Agil lebih sigap.

 

Pak Agil menangkap pergelangan tanganku, lalu menyeretku ke dalam salah satu kamar ganti dan menutupkan tirainya. “Pak Agil.. jangan begini paak…”, aku berusaha memohon agar ia menghentikan semua ini. Tapi seperti orang yang kesetanan, pak Agil memepetkan aku ke dinding sekat, lalu mencumbuku dengan ganas dan terus meremasi kedua payudaraku dan meraba raba sekujur tubuhku.

 

Aku mulai meronta, berusaha lepas dari semua ini. Kudorong mukanya yang dari tadi menyusuri mukaku dengan bernafsu, dan tiba tiba aku kehilangan keseimbangan. Aku terjatuh ke tempat yang biasa dipakai duduk untuk mengenakan sepatu. Untung saja kepalaku tidak terbentur ke tembok. Pak Agil yang langsung menindihku, membuat posisiku semakin terjepit.

 

“Kalau non melawan terus, nanti sepulang latihan non akan saya bagikan pada orang orang yang berjualan di depan. Apa begitu maunya non?”, ancam pak Agil, membuat aku bergidik ngeri dan perlawananku berhenti dengan sendirinya.

 

“Lagipula, non gak usah malu malu deh”, kata Pak Agil dengan nafas memburu. “Tadi bukannya non keenakan sampai keluar dua kali? kok sekarang pura pura nggak mau”, ejeknya lagi. Aku membuang muka, ejekan itu benar benar membuat aku tak berdaya. Ingin aku menyangkal tapi kenyataannya memang aku tadi orgasme dua kali dibuatnya.

 

“Non, ayo lepas bajunya. Atau saya bantuin melepas?” tanya pak Agil sambil berdiri dan melepas celananya. “Pak, saya lepas sendiri saja”, kataku cepat. Aku tak ingin kostum baletku ini robek karena kebodohan pak Agil yang pasti tak tahu bagaimana melepas kostum balet dengan benar. Aku mulai melucuti bajuku sendiri, dan kumasukkan ke dalam tasku di luar.

 

Kini tinggal bra dan celana dalam yang menutupi tubuhku. Aku masuk kembali ke dalam ruangan eksekusi itu, dengan membawa tasku. Ketika aku melorotkan celana dalamku yang sudah becek itu, pak Agil kelihatan sudah tak tahan melihat pertunjukan striptease yang sedang kulakukan ini. Ia langsung menyergapku dan merenggut lepas braku.

 

Aku kembali dirobohkan ke tempat duduk itu, dan dengan buas pak Agil mencumbuiku habis habisan. Puting susu payudaraku yang sebelah kanan dicucupnya kuat kuat, sesekali digigit kecil olehnya. Selagi aku menggeliat lemah menahan sakit, payudaraku yang kanan mulai diremas remas dengan kasar. Dirangsang habis habisan seperti ini, akhirnya aku tak mampu bertahan untuk tidak mendesah.

 

Aku kembali menyerahkan diriku dengan putus asa, membiarkan pak Agil memperlakukan tubuhku sesuka hatinya. Tangan kiri pak Agil yang menganggur, kini mengaduk aduk vaginaku dengan sedikit kasar. Selagi aku berusaha beradaptasi dengan kekasaran pak Agil ini, beberapa saat kemudian kurasakan kepala penis pak Agil sudah bergesekan dengan bibir vaginaku.

 

Tubuhku yang dipepet pak Agil tak bisa bergerak bebas, maka aku hanya bisa pasrah, kedua pahaku sudah terangkat melebar, dan aku merasakan setiap milimeter gesekan penis pak Agil pada dinding liang vaginaku ketika penetrasi itu dimulai, dan tubuhku mengejang antara sakit bercampur nikmat, dan aku menggigit bibirku, berusaha segera beradaptasi dengan persetubuhan ini.

 

Hingar bingar suara musik di luar membuat aku lebih leluasa untuk melepaskan lenguhan tanpa kuatir terdengar oleh mereka. “Enngghh.. pak…”, aku melenguh keenakan ketika tiba tiba penis pak Agil menyodok dalam dalam. Cairan cintaku yang sudah kembali meleleh melumasi vaginaku membuat sodokan itu terasa begitu nikmat.

 

Apalagi urat urat yang menggerinjal itu berdenyut denyut, membuat aku kehilangan kontrol dan mulai menggerakkan pinggulku menyambut tiap genjotan yang dilakukan pak Agil. “Enak ya non?” tanya pak Agil dengan senyum mengejek. “Iyah pak… nngghh.. ooohh” jawabku tanpa sadar. Yang kupikirkan sekarang adalah mengejar orgasmeku, tak kuperdulikan pak Agil yang mengejekku dengan cara menirukan desahan, erangan dan lenguhanku.

 

Genjotan itu makin lama makin kuat, akhirnya aku dilanda orgasme hebat, pinggangku sampai melengkung seolah mengekspresikan nikmat yang amat sangat ini. Beberapa kali tubuhku tersentak sentak sampai akhirnya melemas, kakiku yang melejang lejang terasa begitu pegal. Pak Agil masih menggenjotku dengen bersemangat, dan aku yang sudah kelelahan hanya bisa menggeliat lemah.

 

Satu hentakan keras batang penis yang amat keras itu mengakhiri genjotan pak Agil pada vaginaku. Cairan hangat menyemprot dari penis pak Agil, membasahi vaginaku yang sudah amat basah ini, pak Agil menggeram dan tubuhnya bergetar getar, terlihat sekali ia amat puas. Pak Agil menarik penisnya perlahan dari liang vaginaku, membuat dinding vaginaku rasanya digesek perlahan oleh urat urat penis pak Agil.

 

Hal ini menimbulkan sensasi tersendiri, dan aku mendesah perlahan. “kenapa non? Masih belum puas? Nanti jangan pulang dulu non, kita lanjut lagi ke babak kedua, sekalian sama bu Elvira”, kata pak Agil. Mendengar kata katanya ini, aku terkejut dan mendorongnya. “Pak Agil, jangan macam macam ya. Sudah cukup sampai di sini! Memangnya kenapa saya harus menuruti dan melayani pak Agil!”, kataku sedikit membentak.

 

“Karena non pasti tak ingin celana dalam non ini saya berikan pada orang orang di luar sana kan?”, dengan santai pak Agil memegang celana dalamku, lalu dengan gaya menjijikan pak Agil menghirup bau celana dalamku. “mmm harumnya..”, guman pak Agil.

 

Aku hanya bisa memandang marah padanya, tapi aku tahu mau tak mau aku harus menuruti kemauan tukang sapu sialan ini daripada aku jadi bulan bulanan mereka yang biasa berjualan di luar. Pak Agil dengan senyum kemenangan menyodorkan penisnya ke wajahku, dan aku mengulum dan menjilati penis itu dengan kesal.

 

Ingin rasanya kugigit saja penis yang sedang kukulum ini, tapi aku tak berani melakukannya. “Jadi nanti saya harap saya bisa menemukan non di ruang ganti ini waktu semua orang sudah pulang. Non mengerti kan siapa yang akan rugi kalau non sampai berani pulang duluan?”, kata pak Agil santai sambil menikmati hisapanku pada penisnya.

 

Setelah puas ia meninggalkanku sendirian, dan aku termenung beberapa saat, lalu memakai sisa pakaianku tanpa celana dalam. Kini aku hanya bisa berharap hari ini cepat berlalu. Suara musik di depan sudah berhenti, latihan balet sudah selesai. Aku segera keluar dan berpapasan dengan teman temanku yang sudah menghambur ke ruang ganti.

 

Di luar aku duduk termenung di kursi panjang tempat Cie Elvira minggu lalu digarap oleh pak Agil. Aku pasrah menunggu nasib. Cie Elvira tiba tiba menghampiri dan mengejutkanku, “Liza, kamu kok tidak pulang saja sekarang?”. Aku hanya tertunduk, dan ketika cie Elvira duduk di sebelahku, aku berbisik pada cie Elvira tentang apa yang terjadi padaku di ruang ganti tadi.

 

“Dasar bandot sialan”, cie Elvira menghentakkan kakinya ke lantai dengan marah. Cie Elvira makin kesal ketika aku mengatakan tadi pak Agil juga berencana mengajak cie Elvira untuk babak kedua nanti. Tapi kami berdua tak bisa berbuat apa apa, hanya bisa menunggu dengan kesal. Tapi sejujurnya, ada sebersit perasaan terangsang yang melandaku, ketika aku memikirkan harus menyerah pasrah pada pak Agil itu.

 

“Liza, maafin cie cie kamu jadi terlibat sejauh ini. Semua juga gara gara minggu lalu kamu terpaksa harus melihat cie cie yang sedang main gila dengan bandot sialan itu sekarang cewek baik baik seperti kamu harus menanggung dosa seperti cie cie”, kata cie Elvira sedih.

 

“Nggak cie, Liiza bukan cewek yang suci suci amat kok”, kataku berusaha menghibur cie Elvira. Aku menceritakan sekilas tentang keadaanku, tentu saja dengan suara yang pelan dan memastikan tak ada teman temanku di sekitar kami yang bisa mendengar. Cie Elvira tertegun mendengar semuanya, pengalaman seksku di sekolah, di rumah, di rumah temanku Jenny, juga di villa.

 

Rambutku dibelai oleh cie Elvira yang terlihat amat prihatin pada nasibku. “Liza, tadi, cie cie menyedot habis sperma si bandot itu, cie cie berusaha mencegah kamu sampai dihamili oleh tukang sapu yang tak tahu diri itu, Liza”, wajah cie Elvira bersemu merah ketika mengatakan hal ini. “Untungnya kamu sudah minum pil anti hamil, Liza”, sambung cie Elvira yang menundukkan mukanya dan tesipu malu.

 

Aku teringat kejadian tadi, aku menjadi sangat malu, terutama karena aku amat menikmati saat saat cie Elvira mencucup cairan cintaku yang bercampur dengan sperma pak Agil tadi. Dengan wajah yang terasa sangat panas, aku memeluk cie Elvira dan berkata, “Cie cie, nggak usah kuatir, aku udah minum obat anti hamil kok.”. Setelah itu semua teman temanku berpamitan pulang pada cie Elvira.

 

Begitu ruangan ini kosong, pak Agil masuk menghampiri kami berdua yang menatapnya dengan kesal tanpa daya. “Kurang ajar kamu itu Gil. Belum cukup apa kamu gituin saya?”, bentak cie Elvira. Pak Agil tertawa tawa dan mendekatiku, tiba tiba tangannya merangsek ke selangkanganku melewati rok yang kukenakan. Dengan tepat salah satu jari tangannya melesak masuk ke liang vaginaku, mengaduk aduk liang kenikmatanku dengan kasar.

 

“Oooh…”, aku mengerang menahan sakit yang bercampur nikmat ini. “Masa saya kurang ajar bu? Murid ibu yang memang rela kok, buktinya dia nggak pakai celana dalam, dan memeknya sudah becek seperti ini”, pak Agil berkata sambil mencabut jari tangannya dari liang vaginaku, membuatku sedikit menggeliat, rasanya amat nikmat ketika bagian dalam vaginaku ikut terseret keluar ketika jari itu tercabut lepas.

 

Ia mempertontonkan jari tangannya yang sudah becek sekali berlumuran cairan cintaku. Aku membuang muka, malas aku melihat muka orang yang buruk rupa ini yang kini sudah berkuasa atas tubuhku. “Bu, kok masih belum buka bajunya? Jangan malu malu di depan murid ibu lah, kita kan sudah biasa mengarungi surga dunia bersama sama?”, kata pak Agil sambil kembali menancapkan jari tangannya ke liang vagnaku, dan ia mulai melanjutkan aktivitasnya mengaduk aduk liang vaginaku dengan jarinya.

 

“Kamu…”, cie Elvira tak bisa meneruskan kata katanya, hanya memandang marah pada pak Agil, sementara aku mulai larut oleh permainan jari tangan pak Agil di vaginaku. Tubuhku sesekali mengejang, dan aku memandang sayu pada cie Elvira, yang membalas tatapanku dengan pandangan aneh seperti tadi. Oh.. apakah cie Elvira akan…?

 

Dugaanku benar, tiba tiba cie Elvira mendekatiku, dan dengan nafas yang memburu cie Elvira tiba tiba memagut bibirku. Aku benar benar kelabakan, perasaan aneh yang menjalari tubuhku ditambah sensasi adukan jari tangan pak Agil pada liang vaginaku, benar benar membuatku kehilangan kontrol atas diriku.

 

Tanpa sadar aku memeluk cie Elvira dan membalas pagutannya dengan tak kalah bernafsunya. “Lho lho… kok malah asyik sendiri toh kalian?”, ejek pak Agil pada kami yang masih saling berpagut. Kami tak memperdulikan ejekannya, dan ciuman kami makin hot saja seolah saling tak ingin melepaskan. Lidahku dan lidah cie Elvira saling bertautan dan mendesak ke mulut lawan ciuman, pelukan kami juga makin erat.

 

Tiba tiba pak Agil kembali mengeluarkan jari tangannya dari liang vaginaku, lalu ia menyusup duduk di antara aku dan cie Elvira. Aku melihat celana dalam cie Elvira dilorotkan oleh pak Agil. Dan pak Agil mulai bergantian menyedot dan mencucup cairan cinta dari vaginaku dan vagina cie Elvira, membuat kami berdua mulai melenguh tak tahan dilanda kenikmatan ini.

 

“Ohh.. cieee…”, aku mengerang keenakan, sementara cie Elvira juga kelihatan terangsang berat, sesekali ia melenguh, “ngghhh.. Lizaa..”. tubuh kami berdua bergetar getar, akhirnya setelah disedot entah yang ke berapa oleh pak Agil, aku terbeliak, nafasku tertahan, tubuhku mengejang hebat.

 

Aku orgasme di pelukan cie Elvira, yang malah dengan ganas mencumbuku, membuat aku semakin tenggelam dalam nikmatnya orgasme yang makin menggelegak ini. Keringatku mengucur membasahi bajuku. Kurasakan cairan cintaku membanjir tapi kelihataanya semua ditelan habis oleh pak Agil yang masih saja mencucup mulut vaginaku.

 

Aku dan cie Elvira saling melepaskan pelukan dengan nafas yang tersengal sengal, dan cie Elvira hanya pasrah saat tubuhnya dibaringkan oleh pak Agil di kursi panjang, dan pak Agil melepas celananya, siap untuk bertempur.

 

Kini dengan bernafsu pak Agil mulai menggenjot cie Elvira yang masih memakai baju lengkap kecuali celana dalamnya yang sudah terlepas dari tadi. Aku duduk lemas memandangi mereka berdua yang sedang berpacu menuju orgasmenya. Aku tak pernah menyangka, cie Elvira yang biasanya terlihat alim itu kini begitu liar dan larut dalam persetubuhannya dengan tukang sapu di sekolah balet ini.

 

Cie Elvira terlihat begitu menikmati saat saat vaginanya dipompa habis habisan oleh pak Agil, ia melenguh dan menggeliat keenakan, sesekali menjerit menahan nikmat yang melandanya. Tak lama kemudian cie Elvira orgasme, tubuhnya tersentak sentak di bawah tindihan pak Agil yang ternyata juga mengalami orgasme.

 

Pak Agil menggeram, tubuhnya bergetar, dan ia mengerang, “ooooh… bu Elviraaa…”. Pak Agil sempat berkelojotan beberapa saat, dan penisnya ditusukkan dalam dalam pada liang vagina cie Elvira. Mereka berdua mereguk kenikmatan itu bersamaan, dan pak Agil jatuh tergeletak di lantai dengan nafas ngos ngosan.

 

Cie Elvira sendiri masih terbaring lemas di kursi panjang itu, tubuhnya bergetar getar, dan cairan putih kental meleleh dari mulut vaginanya. Nafas dan desahan cie Elvira sesekali terdengar mengeras, bajunya basah oleh keringat. Kami semua diam dan beristirahat sebentar, dan aku melihat jam menunjuk pukul setengah delapan malam.

 

Beberapa menit kemudian, pak Agil berdiri, ia memandangi cie Elvira yang sudah mulai sadar dari orgasmenya. “Bu Elvira, sampai keringatan gitu, gimana kalau kita mandi saja?”, tanya pak Agil dengan pandangan mesumnya. Cie Elvira hanya pasrah saat pak Agil mengangkatnya berdiri dan setengah menyeret cie Elvira ke kamar mandi di sekolah balet ini.

 

Aku bingung tak tahu harus berbuat apa. Tapi saat pak Agil akan menghilang ke pintu kamar mandi, ia memanggilku, tentunya dengan gaya yang amat melecehkanku. Jari telunjuk kanannya diarahkan padaku, lalu ditekuk ke arahnya beberapa kali seolah memanggil seorang budak.

 

Dengan kesal namun penasaran apa yang akan terjadi dengan cie Elvira, aku mengikuti mereka masuk. Di dalam aku melihat pak Agil yang sudah telanjang bulat, sedang menanggalkan baju cie Elvira satu per satu. Cie Elvira sempat menahan tangan pak Agil ketilka hendak menanggalkan bra merah mudanya, tapi , hingga tubuh cie Elvira yang putih mulis kini sudah polos tak tertutup apapun.

 

Ikat rambut cie Elvira dilepas oleh pak Agil, hingga rambut cie Elvira tergerai melewati bahunya. Cie Elvira terlihat makin cantik saja, dan hal ini entah kenapa membangkitkan gairahku. Pak Agil menyemprotkan air dari selang yang dipasangnya di kran kamar mandi itu ke tubuh cie Elvira. Entah dinginnya air yang membasahi tubuh cie Elvira, atau belaian pak Agil yang membuat tubuh cie Elvira menggigil…

 

Pak Agil membasahi seluruh tubuh cie Elvira, dan dengan lembut ia membelai sekujur tubuh cie Elvira yang hanya memejamkan matanya. Pak Agil mulai menyabuni tubuh cie Elvira, perlahan dari pundak, punggung, pantat, lalu beralih ke depan, mulai dari dada dan kedua payudaranya. Sesekali pak Agil meremas lembut kedua payudara cie Elvira, dan cie Elvira mendesah pasrah.

 

Cie Elvira bahkan mengangkat kedua lengannya yang sudah selesai disabuni, dan pak Agil menyabuni ketiak cie Elvira. Setelah bagian atas selesai, pak Agil menyiram tubuh cie Elvira dengan penuh perhatian, membersihkan semua sisa busa sabun yang masih melekat di tubuh cie Elvira. Tentu saja itu dilakukan pak Agil sambil sesekali membelai dan meremas kedua payudara cie Elvira, yang kembali hanya bisa mendesah dan menggeliat lemah.

 

Cie Elvira terlihat menikmati perlakuan pak Agil yang melanjutkan menyabuni tubuhnya bagian bawah. Pahanya sedikit terentang, dan pak Agil menyabuni selangkangan cie Elvira, yang mulai berkelojotan ringan dan menjerit kecil ketika jari tangan pak Agil mengaduk aduk vaginanya. Pak Agil mengeluarkan sisa spermanya yang ditembakkannya saat menyetubuhi cie Elvira tadi, dan cie Elvira sampai harus berpegangan pada tembok selagi tubuhnya semakin hebat menggeliat.

 

Siraman air yang disemprotkan deras pada vagina cie Elvira oleh pak Agil, membuat cie Elvira tak tahan lagi, ia orgasme hebat dan melenguh keenakan. “Eeenngggh…”, erang cie Elvira yang lalu mulai melemas, dan jatuh terduduk di lantai. Pak Agil menyabuni paha dan betis cie Elvira, lalu menyiram lembut sampai tak ada sisa busa sabun di sana, lalu mengeringkan tubuh cie Elvira dengan handuk

 

Tiba tiba aku merasa ingin dimandikan juga. Tapi masa aku yang meminta? Maka aku hanya diam, memandangi mereka berdua yang sedang asyik ini dengan sedikit iri. Hah? Masa aku sudah separah ini, sampai menginginkan diriku diperlakukan seperti cie Elvira? Aku berusaha meredam birahiku yang makin tinggi ini.

 

Tapi ketika kulihat Pak Agil menyusu pada cie Elvira yang mulai mendesah dan menggeliatkan tubuhnya, aku makin tak tahan, kurasakan cairan cintaku mulai meleleh sedikit dari liang vaginaku. Aku benar benar sudah terangsang, nafasku makin memburu. “Non Liza, ini yang sering bapak lakukan sama bu Elvira. Kelihatannya non Liza juga kepingin ya?”, tanya pak Agil sambil terkekeh.

 

Aku tak bisa menjawab, mukaku makin panas saja rasanya. Aku pun membuang muka ketika pak Agil meninggalkan cie Elvira dan mendekatiku. Sekarang pak Agil sudah memepetku di tembok, jantungku berdegup kencang menanti apa yang akan terjadi padaku. Kudengar ia berbisik di telingaku, “mau saya mandikan seperti bu Elvira, non Liza?”

 

Gilanya, tanpa bisa aku tahan, aku mengangguk lemah. Sadar dengan apa yang baru saja kulakukan, aku memejamkan mata menahan malu yang amat sangat ini. Pak Agil tertawa penuh kemenangan, dan mulai melucuti pakaianku. Aku merasa tak ada harga diriku yang tersisa lagi di depan tukang sapu ini, dan beberapa saat kemudian aku sudah telanjang bulat, dan aku dibawa ke dekat mulut selang itu.

 

Ikat rambutku dilepas oleh pak Agil hingga tergerai bebas. Aku sempat teringat, semua orang yang mengenalku berkata aku bertambah cantik waktu rambutku tergerai seperti ini. Tapi ini bukan waktu untuk bernarsis ria. Cie Elvira beralih ke tempat yang aman dari semprotan air, dan memandangiku yang mulai dimandikan oleh pak Agil. Seluruh tubuhku dibasahi oleh pak Agil, rasanya segar dan nyaman.

 

Sesekali aku menikmati belaian lembut oleh tangan pak Agil pada leherku, pundakku dan kedua payudaraku. Ketika mulut vaginaku digesek pelan oleh pak Agil, aku merintih pasrah, kubiarkan pak Agil melakukan apa saja pada tubuhku yang sudah basah seluruhnya, lalu ia mulai menyabuni tubuhku.

 

Dimulai dari leherku bagian belakang ke depan, kemudian punggungku digosoknya lembut dan melingkar ke depan. Aku sedikit menggeliat ketika kedua tangan pak Agil yang menyabuni payudaraku sesekali meremas lembut. Kedua ketiakku tak luput dari perhatian pak Agil, ia menyabuni keduanya sebelum meneruskan ke arah perutku.

 

Merasakan sekujur tubuhku dibelai seperti ini, aku mulai mendesah dan menikmati setiap rabaan tangan pak Agil, juga busa sabun yang lembut ini menambah sensasi yang kurasakan. Perutku digosok oleh pak Agil dengan sedikit ditekan, lalu memutar ke belakang, dan ketika sampai pada bagian pantatku, pak Agil dengan nakal meremas keras, membuatku sedikit meloncat dan menjerit kecil karena terkejut.

 

Siraman air dingin kembali mengguyur tubuhku, membersihkan tubuhku dari busa sabun ini. Setelah itu, seperti cie Elvira tadi, pak Agil mulai menyabuni daerah selangkanganku, dan mengorek ngorek vaginaku dengan jari tangannya. Aku menggeliat dan menggigit bibir menahan nikmat diperlakukan seperti ini. Semprotan air dari selang ke arah vaginaku membuat sensasi ini makin dahsyat.

 

Hampir saja aku orgasme saat pak Agil menghentikan semprotannya pada vaginaku. Aku mengeluh tapi untungnya pak Agil kembali mengorek ngorek vaginaku, dan tak lama kemudian ia berhasil mengantarku menuju orgasmeku. Tubuhku berkelojotan dan melemas, perlahan aku jatuh terduduk di lantai yang basah ini.

 

Setelah menyabuni kedua kakiku dan betisku, pak Agil menyemprotkan air membersihkan semua sisa busa sabun pada tubuhku ini. lalu aku diangkatnya, dan didudukkan di sebelah cie Elvira. Tubuku yang basah kuyup dikeringkan oleh pak Agil dengan handuk tadi. Lalu pak Agil menarik berdiri cie Elvira, dan kaki kiri cie Elvira diangkat tinggi oleh pak Agil.

 

Kini vagina cie Elvira cukup terbuka, dan pak Agil menancapkan penisnya ke liang vagina cie Elvira. Lalu pak Agil mulai menggenjot cie Elvira, yang hanya bisa menggeliat lemah dan melenguh keenakan. Tiba tiba samar samara kudengar ada bunyi HP. Aku memperhatikan sejenak, ternyata dari luar. Aku segera berlari menuju arah bunyi itu, dan ternyata dari HPnya cie Elvira.

 

Aku mengambil dan membawa HP itu masuk kembali ke dalam kamar mandi tempat kami pesta sex, sambil membaca siapa peneleponnya. “Cie, ini dari ko Johan. Gimana cie?”, tanyaku. Cie Elvira menatapku sayu sambil meminta HPnya dariku, “Berikan.. pada cie cie.., Liza..”. Aku memberikan HP itu dan cie Elvira segera menekan tombol jawab.

 

“Halo… iya sayang…”, cie Elvira mulai bercakap cakap dengan ko Johan. Tentu saja kata kata cie Elvira terputus putus, karena pak Agil tak menghentikan genjotannya sama sekali. Terlihat sekali cie Elvira berusaha menjaga kewajaran gaya bicaranya, tapi tetap saja ia sedikit melenguh saat. “Nggak… apa apa… sayang.. aku… ada di wc… kok… iyah.. aku agak telat.. pulangnya…”.

 

Aku teringat waktu aku digangbang kedua pembantu dan sopirku di rumah dan kebetulan kokoku telepon, maka aku tahu apa yang sedang dirasakan cie Elvira sekarang ini. Entah kenapa aku malah mulai terangsang melihat cie Elvira yang sedang berjuang keras menahan lenguhannya. Kudengar keraguan dari cie Elvira ketika ia mengucapkan “Iyah sayang… aku… aku juga… cinta kamu…”

 

Cie Elvira menutup HPnya, dan segera saja cie Elvira melepaskan lenguhannya sejadi jadinya. “Ngggghhh… oooohhhh… aduuuuhhh…”, erangan dan lenguhan cie Elvira memenuhi ruangan ini. Cie Elvira dilanda orgasme yang amat dahsyat. Tubuhnya berkelojotan, sampai pak Agil tak kuat menahan sentakan demi sentakan dari tubuh cie Elvira. Penisnya tertarik lepas karena tubuhnya terdorong saat cie Elvira menggeliat hebat, dan terlihat cairan cinta cie Elvira menetes netes dari mulut vaginanya.

 

Pak Agil berlutut dan mencucup vagina cie Elvira yang masih bersandar di tembok. Cie Elvira terus mengerang dan melenguh, dan hal ini malah membuatku menjadi liar. Tanpa memperdulikan martabatku yang aku rasa memang sudah hancur ini, kudorong pak Agil hingga roboh, lalu penisnya yang masih tegak mengacung itu kududuki hingga tertelan oleh vaginaku.

 

Aku mulai menaik turunkan tubuhku yang masih basah ini, hingga vaginaku terpompa penis itu. Pak Agil agak kelabakan dan mengerang ngerang. Cie Elvira tak tinggal diam. Ia menduduki muka pak Agil hingga vaginanya tepat ada di atas mulut pak Agil. “Gil, ayo jilatin punyaku”, perintah cie Elvira. Kini pak Agil kewalahan menghadapi keliaran kami berdua. Aku dan cie Elvira seolah berlomba mencapai orgasme.

 

Tentu saja aku yang menang, karena vaginaku dipompa oleh penis pak Agil, sementara vagina cie Elvira hanya dijilatin saja. “Eeenngghhh… “, aku melenguh dan tubuhku berkelojotan di atas pak Agil, yang ternyata juga orgasme bersamaan denganku. Pak Agil menggeram dan sempat meracau ketika cie Elvira sedikit mengangkat badannya.

 

“Ooohhh.. memang punya non Liza ini… paling enaaak… lebih enak dari punya non Veraa”, pak Agil meracau, membuat aku dan cie Elvira saling pandang. Kurasakan penis pak Agil berkedut dan menembakkan cairan hangat di dalam liang vaginaku. Aku agak melemas, dan menarik lepas vaginaku dari tusukan penis pak Agil yang mulai loyo.

 

Cie Elvira yang masih belum orgasme, segera mengubah posisinya jadi 69. Cie Elvira membungkukkan badannya, dan mulai menghisapi penis pak Agil dengan gencar, membuat pak Agil mengerang ngerang dan berkelojotan, tapi cie Elvira tak perduli. Aku melihat semua itu dengan birahi yang perlahan kembali naik, tapi aku hanya melihat saja apa yang sedang dilakukan cie Elvira.

 

Kata kata pak Agil tentang Vera tadi juga membayang di pikiranku. Oh.. ternyata selain cie Elvira, Vera juga jadi pemuas nafsu seks pak Agil ini sebelum aku juga terlibat. Tapi pemandangan di depanku terlalu indah untuk kulewatkan dengan melamunkan hal itu. Cie Elvira dan pak Agil saling memuaskan pasangannya dengan gaya 69, dan akhirnya cie Elvira orgasme duluan.

 

“Ohh… aduuuuh…”, erang cie Elvira, tubuhnya kembali berkelojotan. Cie Elvira duduk lemas di sebelah pak Agil, dan aku berpikir, mungkin kali ini aku dan cie Elvira bisa bekerja sama mengalahkan pak Agil ini. Aku segera menggantikan cie Elvira menghisap penis pak Agil, yang mulai mengerang kembali, makin lama makin keras.

 

Aku tak tanggung tanggung lagi menghisap penis pak Agil ini. Kujilati memutar, kucucup perlahan dan saat penis itu sudah mengeras kembali, aku memasukkan ke dalam tenggorokanku dalam dalam. Pak Agil melolong keenakan, tapi jelas sekali staminanya sudah terkuras. Ia hanya pasrah saja saat aku terus melakukan deep throat ini, sampai akhirnya penisnya berkedut dan menyemburkan spermanya.

 

Aku melepaskan kulumanku pada penis pak Agil yang kini sudah terengah engah seperti baru saja berlari maraton. Cie Elvira dengan iseng kembali menghisap penis pak Agil yang sudah loyo itu, membuat pemiliknya sampai memohon mohon supaya cie Elvira dan aku menghentikan semua ini. lho? Kok ganti kami para cewek ini yang memperkosa pak Agil?

 

Tapi cie Elvira tak perduli, ia terus memaju mundurkan kepalanya, sementara pak Agil terus memohon supaya cie Elvira menghentikan hisapannya. Beberapa saat kemudian, pak Agil mengerang ngerang dan melemas, rupanya pak Agil kembali mengalami ejakulasi. Wajahnya memucat, ia terlihat semakin lemas dan kelelahan.

 

Cie Elvira melepaskan kulumannya pada penis pak Agil, dan memberiku tanda untuk melanjutkan. Aku segera maju menggantikan cie Elvira, dan ketika pak Agil memohon mohon padaku agak aku menghentikan hisapanku, kupakai kesempatan ini untuk meminta kembali celana dalamku. “Begini saja pak, kembalikan celana dalam saya, maka saya akan menghentikan semua ini”, kataku memberikan tawaran pada pak Agil.

 

Pak Agil segera menjawab, “Iya non, bapak kembalikan. Ambil saja di gudang sebelah kamar mandi ini, bapak taruh di dalam tas coklat besar”. Mendengar ini, aku pamit pada cie Elvira untuk ke gudang yang dimaksud pak Agil, dan memang di sana kutemukan tas coklat seperti kata pak Agil tadi. Kubuka tas itu, kuambil celana dalamku dan kusimpan dalam tasku sendiri yang tergeletak di kursi panjang itu.

 

Lalu aku masuk kembali, dan kulihat cie Elvira sedang menghisap pak Agil. Ketika melihatku, cie Elvira menghentikan sejenak hisapannya, dan bertanya padaku, “Gimana Liza, sudah kau temukan?”. Aku mengangguk sambil tersenyum, dan cie Elvira melanjutkan hisapannya kembali, membuat pak Agil yang sudah amat lemas itu mengerang lemah, nafasnya makin ngos ngosan.

 

Setelah beberapa menit, tubuh pak Agil berkelojotan, dan cie Elvira terus menghisap sampai tak ada lagi sperma yang tertinggal di penis pak Agil. Barulah setelah itu, cie Elvira berdiri dan berkata pada pak Agil, “Ini bayaranmu Gil karena berani mengganggu murid kesayanganku”. Pak Agil hanya diam, spermanya yang sudah diperas habis oleh kami berdua membuatnya amat lemas. Aku dan cie Elvira saling tersenyum, kemudian kami menyempatkan untuk mandi bersama karena tubuh kami kembali berkeringat setelah melakukan pesta sex ini.

 

Aku dan cie Elvira saling memandikan dan menyabuni tubuh kami masing masing, tanpa larut dalam nafsu birahi. Kami memang bukan lesbian, tadi itu hanya letupan gairah yang luar biasa yang membuat kami berdua melakukan ciuman maut seperti itu. Setelah saling mengeringkan tubuh, kami segera berpakaian, lalu tanpa perduli kami keluar meninggalkan pak Agil yang masih tergolek lemas tak berdaya di lantai kamar mandi ini.

 

“Cie, Liza pulang dulu ya”, aku pamit pada cie Elvira yang tersenyum manis padaku dan menjawab, “Iya Liza, cie cie juga mau pulang kok. Masa mau di sini terus menemani bandot sialan itu?”. Aku dan cie Elvira tertawa geli, mengingat tukang sapu itu sudah kami taklukkan. Hatiku senang sekali, rasanya aku dan cie Elvira makin akrab saja. Selain itu, besar harapanku bahwa pak Agil tak akan mengulangi perbuatannya hari ini terhadapku pada minggu depan dan seterusnya.

 

Kami keluar dari sekolah balet ini saat jam menunjuk pukul 9. Beberapa abang becak yang mangkal di sekitar situ agak heran melihat kami berdua, mungkin mereka bertanya tanya ngapain aja dua cewek cantik ini dari tadi di dalam… Tapi aku dan cie Elvira tak perduli. Kami masuk ke mobil dan pulang ke rumah masing masing. Di dalam perjalanan pulang aku kembali teringat akan Vera, dan menduga duga, sejak kapan ya Vera jadi budak seks pak Agil?

 

Sampai di rumah, aku berharap tak masih harus jadi bulan bulanan pak Arifin, Wawan dan Suwito seperti minggu lalu. Untungnya aku melihat mobil ortuku dan kokoku ada di rumah dan kebetulan sekali kokoku ada di garasi sedang mengutak atik mobilnya. Jadi para pembantu dan sopirku tak berani macam macam untuk mengerjaiku. Aku menyapa kokoku yang juga menyapaku balik. Kokoku pasti tak tahu betapa aku berterima kasih padanya yang ‘menyelamatkanku’ dari kemungkinan digangbang oleh mereka ini

 

Aku segera masuk ke dalam. Kedua ortuku sudah beristirahat di dalam kamarnya, dan aku segera naik menuju kamarku di lantai dua. Di kamarku, aku segera berganti baju tidur karena tadi sudah mandi di sana. Lalu aku mengistirahatkan tubuhku yang telah berkali kali orgasme di sekolah balet tadi. Rasanya nyaman sekali. Cepat sekali aku tertidur pulas, malas memikirkan kejadian apa lagi yang akan menghiasi kehidupan seksku ini.

=======================================================

 

Cerita Eliza 07 : Penderitaanku Di Hari Sabtu

Klakson mobilku kutekan kuat kuat ketika aku melihat di pinggir jalan ada anak SD yang sedang menangis, kelihatannya ditodong oleh seorang anak laki laki berseragam putih biru, anak SMP. Untungnya bunyi klaksonku cukup menarik perhatian orang orang di sekitar sini, hingga membuat anak SMP itu menghentikan aksinya dan segera kabur.

 

Anak SMP itu sempat memandangku dengan penuh ancaman sebelum menghilang di gang kecil itu, tapi aku tak memperdulikannya. Kulihat anak SD itu masih menangis ketakutan, maka aku keluar dari mobil dan mendekati anak itu, mencoba menenangkannya. “Titi, sekarang udah aman kok, nggak apa apa, jangan nangis yah”, kataku sambil berjongkok dan membelai rambutnya.

 

Anak kecil itu menghambur dan memelukku, kubiarkan ia menangis sampai akhirnya ia mulai tenang dalam pelukanku. “Titi, nama kamu siapa”, aku bertanya padanya. “Johan, cie”, katanya dengan suara sengau, wajar saja karena habis menangis. “Rumah kamu di mana? Cie cie antar ya?”, tanyaku. Ia menyebutkan alamat, yang aku kebetulan tahu itu ada di dekat sini. Kuantar dia pulang, dan kebetulan yang membuka pintu itu kelihatannya mamanya.

 

“Ai, tadi kebetulan aku lihat Johan lagi nangis. Takut kenapa kenapa, aku antar pulang”, kataku. “Aduh, maaf merepotkan ya nik, kamu baik sekali. Oh iya, Johan ini anaknya Ai. terima kasih ya.. mari masuk dulu, Ai buatkan minum dulu. Kamu belum makan kan nik? Ayo makan di sini”, kata Ai itu padaku. “Oh nggak usah Ai, terima kasih. Aku harus segera ke rumah teman, ada perlu Ai”, aku menolak halus.

 

“Oh ya sudah.. oh iya, aku Ai Linda. siapa namamu nik?”, tanya Ai Linda sambil mengulurkan tangannya. “Eliza, Ai”, aku menjawab sambil bersalaman. “Terima kasih Eliza, kapan kapan mampir ke sini ya”, kata Ai Linda. “Iya Ai, Eliza pergi dulu”, aku berpamitan, lalu aku kembali ke mobil dan melaju ke rumah Sherly, yang ada di 3 gang sebelah dari sini. Hatiku terasa senang, mungkin karena baru saja berbuat baik (duh.. narsis deh), tak terasa aku senyum senyum sendiri.

 

Tujuanku yang sebenarnya sebelum aku tadi terpaksa memberanikan diri menolong anak kecil tadi adalah ke rumah Sherly yang merupakan kost kostan itu. Yah, di hari sabtu ini, ketika jam istirahat ke dua tadi, Jenny mendadak sakit, dan terpaksa minta ijin pulang lebih cepat. Aku mengantarnya sampai ke mobil, dan sebelum pulang, Jenny menitipkan sebuah buku padaku, “El, tolong ya, kembalikan ini ke Sherly”.

 

Aku mengiyakan, “Beres deh Jen, cepat sembuh ya”. Jenny tersenyum lemah, dan setelah saling melambaikan tangan dengannya, aku masuk hendak mencari Sherly, tapi sayangnya bel istirahat berakhir sudah berbunyi. Dan waktu pulang sekolah aku mencari cari Sherly juga tak ketemu. Maka sepulang sekolah, aku segera menuju ke rumah Sherly, dan ketika aku hampir sampai ke rumahnya, aku melihat kejadian tadi itu. Kini aku sudah berada di dekat rumahnya.

 

Dan.. duh, hari ini tidak ada tempat kosong di dekat pintu rumah Sherly, maka aku terpaksa memutar dan parkir agak jauh. Tepat ketika aku mematikan mesin mobil, handphoneku berbunyi. Kulihat di layar handphone, nomernya Jenny. “Halo Jen.. ada apa?”, aku menyapanya. “El… gimanah… sudah kamu kembalikan… sama Sherly… bukunya…?”, tanya Jenny padaku. “Ini aku sudah mau turun ke rumahnya. Kamu..”, aku tak meneruskan, karena tiba tiba aku tersadar, suara Jenny tadi itu, pasti dia sedang dalam keadaan yang sama denganku dulu waktu menjawab telepon kokoku dan Wawan terus menggenjotku.

 

Teringat hal itu, mukaku tiba tiba rasanya panas, jantungku berdegup kencang. Aku tak tahu harus bagaimana. Jenny berkata lagi, “El.. nanti tolong.. sampaikan Sherly, thanks.. dan sori aku.. aku gak bisa datang sendiri.. aku lagi sakit.. HEI…”. Suara Jenny mendadak menjauh, dan tiba tiba suara di seberang berganti suara laki laki, “Non Eliza.. gimana kabarnya? Ini Supri. Kapan main ke sini lagi non? Sudah pada kangen semua nih sama non Eliza yang cakep, dan yang pasti memek non yang enak itu.. hahahaha”.

 

“Kurang ajar kamu. Kamu apakan Jenny?”, aku sedikit membentaknya. “Lho kok malah marah sih non Eliza? Ini non Jenny lagi asik kok sama kita kita”, kata Supri sambil cengengesan. “Dengarkan sendiri kalo nggak percaya non”, katanya lagi, dan dari seberang kudengar lenguhan Jenny yang makin jelas, rupanya handphone itu didekatkan ke arah Jenny. “Jen… Jen…”, aku mencoba memanggil, tapi yang kudengar malah erangan panjang, rupanya Jenny sekarang bahkan sedang mengalami orgasmenya.

 

“Gimana non Eliza? Masih nggak percaya kalo non Jenny juga suka? Nih anaknya sampai goyang sendiri lho. Terus non Eliza sendiri gimana? Apa nggak kangen dengan kita kita?”, tiba tiba kudengar suara Supri, yang masih cengengesan dari tadi. “Dasar kalian sakit semua!”, aku berkata dengan gemas dan aku segera memencet tombol end call. Kuletakkan handphoneku begitu saja di jok sebelah.

 

Aku duduk sebentar menenangkan diri, lalu membawa tas sekolahku turun dari mobilku. Setelah memastikan mobilku terkunci dengan baik, aku segera melangkah ke rumah Sherly. Sampai di pintu rumah Sherly, aku memencet bel itu. Entah kenapa pintu ini tak segera dibuka oleh orang yang ada di dalam, kira kira sudah lebih dari 10 menit aku menunggu. Dan selagi aku menunggu dan mencoba menekan bel lagi, aku mendengar deru sepeda motor dan menoleh ke arah suara itu.

 

Oh.. itu kan anak SMP yang tadi itu? Ia membonceng pada sebuah sepeda motor, yang dikendarai oleh orang yang berseragam SMA, putih abu abu. Dan mereka semakin mendekat. Anak SMP itu melihat ke arahku, membuatku sedikit gugup, dan mengalihkan pandanganku dari mereka ke pintu rumah Sherly. Aku agak tegang ketika kudengar deru sepeda motor itu melambat. Oh.. apakah anak SMP itu akan berbuat sesuatu karena aku tadi siang menggagalkan rencana jahatnya?

 

Aku tak berani melihat ke belakang, menahan nafas, dan berharap semoga Sherly segera membukakan pintu ini. Dan ketika aku mendengar deru sepeda motor itu meninggalkanku, aku segera bernafas lega. Apalagi sekarang pintu ini sudah terbuka, tapi aku jadi tertegun. “Hai Eliza.. tumben nih? Masuk yuk.. sori ya kelamaan”, sapa Sherly. “Hai.. juga.. Sherly. Nggak apa apa kok, thanks ya”, kataku.

 

Ya ampun, dalam hati aku bertanya tanya, Sherly masih memakai baju seragam, tapi baju Sherly begitu kusut, demikian juga rambutnya. Roknya juga lecek semua, sabuknya tak terpasang dengan benar. Dan mukanya Sherly itu merah sekali, nafasnya juga tak beraturan, tubuhnya basah oleh keringat, seperti habis berolah raga saja. Sinar mata Sherly juga seperti redup dan sayu. Melihat Sherly seperti ini, mukaku rasanya panas.

 

Entah kenapa, aku membayangkan olah raga apa yang mungkin saja baru dilakukan Sherly. Setelah menutup pintu, Sherly mengajakku masuk ke kamarnya, dan aku mengikutinya dari belakang. Sampai di kamarnya, aku melihat beberapa hal yang membuatku merasa dugaanku yang barusan tadi itu benar. Sprei ranjang Sherly terlihat awut awutan, dan yang lebih gawat lagi, aku melihat dua helai kaus tergeletak di bawah meja, yang bisa kupastikan kaus dekil yang menebar bau itu bukan kausnya Sherly.

 

Cukup lama aku memandang kaus itu, dan tiba tiba Sherly berkata, “Ya ampun, itu kan kausnya… mereka itu gimana sih? Tadi aku suruh dua pembantu untuk menggeser mejaku ke pinggir El. Mereka itu..”. Sherly tak meneruskan kata katanya, dan memungut dua kaus itu dan melempar keluar kamar. Aku memutuskan tak bertanya macam macam, walaupun dalam hati aku sudah menduga yang tidak tidak. Kukeluarkan buku itu dari tasku, dan kuberikan pada Sherly.

 

“Ini Sher, tadi di sekolah aku dititipin Jenny buku ini, Jenny sakit jadi pulang lebih cepat. Terus sepulang sekolah aku cari cari kamu nggak ketemu, jadi aku antar ke sini deh’, kataku. “Oh, mestinya biarin aja El, nggak apa apa, aku belum butuh juga. Jadi ngerepotin kamu nih. Thanks El”, katanya sambil menaruh buku itu di atas meja itu. “Kamu belum makan kan El? Kebetulan nih aku mau makan siang, bareng yuk? Tapi seadanya ya El”, katanya lagi.

 

“Duh, makasih deh Sher. Aku kalo makan nggak pilih pilih kok”, aku menerima tawarannya untuk makan bersama, dan aku sempat melihat jam, sudah jam 13:15. Pantas saja aku merasa agak lapar. Sambil makan siang, kami saling bercerita tentang kelas kami hari ini, dan juga soal Jenny yang pinjam buku, terus mendadak sakit perut. Setelah selesai makan, aku pikir lebih baik ngobrol sebentar dengan Sherly, maka aku membantu Sherly membawa piring kotor ke dapur, lalu aku menemani Sherly yang masuk ke dalam kamarnya.

 

Kira kira setengah jam lamanya kami mengobrol ke sana kemari, dan saat aku melihat jam, sudah jam 14:15. Aku berpikir, sudah waktunya aku pulang. “Sher, aku pulang dulu yah..”, kataku sambil mengambil tas sekolahku. “Iya deh. Eh tapi El, tas sekolahmu besar amat? Duh.. anak rajin deh. Pantas selalu ranking 1″, ledek Sherly. Aku agak malu juga dipuji oleh Sherly, dan berkata, “Duh, nggak rajin kok. Ini juga isinya baju, aku harusnya hari ini berencana menginap di rumah Jenny. Tapi…”.

 

Aku tak meneruskan kata kataku. Tentu saja jangan sampai aku menceritakan aku tak jadi menginap gara gara takut dikerjain buruh buruh yang sekarang sedang menggarap Jenny itu. Sherly agak heran sejenak, tapi mendadak ia seakan mengerti sesuatu, “Oh.. iya ya.. Jenny lagi sakit kan.. ya terpaksa lain kali deh”, katanya sambil tersenyum. “Tunggu bentar ya El, aku ada mau minta tolong sama kamu”, kata Sherly, sambil membuka laci mejanya, mencari cari sesuatu.

 

Aku menunggunya, sambil melihat ruang dalam dari jendela kamar Sherly, dan aku terbelalak karena pemandangan yang kulihat. Ya ampun, aku melihat ada salah satu cie cie penghuni kos di sini yang hanya memakai handuk, seperti sedang mengomeli seseorang. Kalau nggak salah orang yang dulu aku lihat keluar dari kamar cie Katherine, salah satu penghuni kos di sini. Dan orang itu tak memakai kaus..

 

Cie cie yang kulihat ini, putih sekali kulitnya. Tak terlalu tinggi, mungkin lebih pendek sedikit dariku. Rambutnya pendek dan dihighlight, membuat wajahnya yang sudah cantik itu terlihat semakin manis. Namun kali ini wajah itu diselimuti kegundahan, apalagi orang itu makin lama makin kurang ajar, mencoba menyentuh wajah dan tubuh cie cie itu, tapi cie cie itu terus menepis dan menghindar, sambil melihat sekelilingnya dengan wajah cemas.

 

Gilanya, orang itu tiba tiba dengan ganas melumat bibir cie cie itu, yang kelihatan meronta ronta dan berusaha melepaskan diri. Tepat ketika cie cie itu berhasil melepaskan diri dan berusaha menjauh, orang itu menangkap pergelangan tangan cie cie itu dan menariknya masuk ke kamar mandi, membuatku semakin terbelalak. “El, kenapa?”, tanya Sherly padaku. “Oh.. nggak apa apa Sher, aku cuma teringat kalo handphoneku ada di mobil”, aku mencari alasan, mencoba menutupi kekagetanku tadi.

 

“Ooo.. hihi kamu kalo bingung lucu deh. Oh iya El, ini, nanti tolong kamu berikan pada Jenny ya”, kata Sherly sambil memberikan sebuah album foto padaku. “Boleh kulihat Sher?”, tanyaku antusias. “Boleh aja kok El”, jawabnya sambil tersenyum. Aku melihat lihat sebentar, ternyata album foto liburan perpisahan kelas I mereka dulu. “OK deh Sher, tapi mungkin aku baru ketemu Jenny besok Senin ya”, kataku sambil memasukkan album itu dalam tasku.

 

“Thanks ya El”, Sherly tiba tiba memelukku dari belakang dengan erat. Awalnya aku hanya tersenyum, tapi cukup lama Sherly tak melepaskan pelukannya yang malah makin erat ini, hingga membuatku bertanya tanya. Ketika aku mencoba bergerak, Sherly tiba tiba meremasi kedua payudaraku dengan lembut. “Sher? Apa yang kamu lakukan..?”, tanyaku lemah, sambil berusaha melepaskan diriku. Sherly tak menjawab, malah menarikku ke tempat tidur hingga kami berdua terjatuh terguling ke atas ranjang.

 

Celakanya, kini Sherly sudah menindihku. Tatapan mata Sherly yang sayu membuatku makin tegang dan aku mencoba menyadarkannya, “Sherly.. sadar Sher, aku.. mmphh”. Sherly sudah melumat bibirku dengan penuh nafsu. Aku seperti tersengat listrik, dan jantungku berdetak kencang. Aku makin tak tahu harus berbuat apa, bahkan entah kenapa aku tak mampu menggerakkan tanganku. Kini bahkan Sherly menyibakkan rambutku, dan mulai menciumi leherku.

 

“Oh… Sher.. aku…ssshh”, aku mendesah tak karuan, tubuhku rasanya panas dingin. “Sher.. jangan begini Sher.. aku… ooooh”, tubuhku menggeliat lemah ketika Sherly terus merangsangku. Oh.. ini tidak benar, aku tak boleh larut dalam cumbuan Sherly. Tapi entah kenapa aku tak mampu berbuat apapun, hanya bisa meremasi sprei dengan kedua telapak tanganku, menahan rangsangan yang bertubi tubi ini sementara Sherly terus mencumbuiku dengan bernafsu.

 

Setelah kira kira 5 menit Sherly menggumuliku, akhirnya aku hanya bisa menyerah. Kubiarkan Sherly berbuat sesuka hatinya. Pikiranku sudah melayang layang. Desahan Sherly makin mengacaukanku, akhirnya tanpa kusadari aku membalas pagutan Sherly pada bibirku. Aku juga membalas pelukannya, dan tiba tiba saja Sherly menarik rok abu abuku sampai ke atas pinggang.

 

Aku belum sempat bereaksi ketika dengan cepat tangan Sherly sudah menyusup masuk melewati celana dalamku, dan jari tangannya mencari cari liang vaginaku. “El… kamu… masih perawan nggak..?”, tanya Sherly dengan lembut ketika akhirnya jari tangannya sudah ada di mulut vaginaku. Aku menggeleng lemah, dan tiba tiba aku terbeliak ketika dua jari tangan dari Sherly menusuk liang vaginaku yang sudah basah ini. Pelukanku lepas, kedua tanganku meremas sprei menahan nikmat yang luar biasa ini.

 

“Oh.. Sher…”, keluhku ketika jari tangan Sherly mulai mengaduk aduk vaginaku. Aku terus menggeliat dalam kepasrahanku, dan tak lama kemudian, aku mulai mengejang, dan adukan jari tangan Sherly pada vaginaku makin menghebat. Beberapa menit kemudian, “Nggghhh.. Sheeer… am… puuunnn…”. Aku melenguh lenguh, cengkeraman tanganku pada sprei makin kuat, sementara tubuhku menggelinjang keenakan. Kurasakan cairan cintaku membanjir keluar, nafasku tersengal sengal dan aku tergolek lemah.

 

Sherly tersenyum dengan pandangan sayu padaku, dan kini dengan lembut ia mulai melepasi kancing baju seragamku. “Sher.. jangan Sher… Nanti ada yang lihat…”, aku mencoba mengingatkan Sherly supaya ia membatalkan niatnya menelanjangiku, tapi aku sama sekali tak menahannya. “Sudah aku kunci pintunya El..”, kata Sherly dengan nafas memburu. Oh.. memang harus kuakui, tadi itu amatlah nikmat, tapi aku tak mau begini.. ini sudah melewati batas, aku tak mau jadi suka bermain seks dengan sesama…

 

Untungnya, ketukan pada pintu kamar Sherly menyelamatkanku dari prosesi penelanjangan ini. Keadaanku sudah tak karuan. Kancing bajuku sudah terbuka semua, braku sudah tak karuan letaknya,dan celana dalamku sudah akan ditarik oleh Sherly. “Siapa sih…”, guman Sherly. Tampaknya gairahnya meredup, ia melepaskan diriku, dan setelah sedikit merapikan keadaan dirinya yang awut awutan, Sherly segera menuju ke pintu kamarnya itu.

 

“Sher… tunggu Sher..”, bisikku. Sherly menoleh ke arahku, dan tersenyum aneh, tapi aku tak memperdulikannya dan aku cepat cepat membetulkan bra dan celana dalamku yang sedikit basah oleh cairan cintaku tadi. Lalu aku mengancingkan baju seragamku yang sudah lecek lecek ini. Demikian juga rok seragamku yang jatuh ke lantai kupakai kembali. Setelah merapikan rambutku ala kadarnya, aku mengambil tas sekolahku, bersiap pamitan pada Sherly, karena tampaknya akan tidak baik buatku kalau aku berlama lama di sini.

 

Aku menunggu Sherly selesai urusannya dengan cie cie yang mengetuk pintu tadi, yang dari pembicaraan mereka yang kudengar ternyata urusan pembayaran kos. Selagi Sherly menulis sesuatu, cie cie itu berbisik, “Sher, hayo kamu tau nggak siapa yang lagi beruntung ngerjain Monika di kamar mandi..”. Sherly langsung memotong, dengan berbisik bisik pula, “Cie Vivi.. jangan sekarang, ada temenku tuh..”

 

“Hah?”, bisik cie Vivi itu terkejut. Ia menoleh ke seluruh ruangan dan pandangannya berhenti ke arahku, dan cie Vivi dengan tergagap menyapaku, “Hai, aku Vivi.. kamu siapa”. Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum dan menjawabnya, “Hai cie Vivi, aku Eliza, temen sekolahnya Sherly”. Lalu kami berdua terdiam, dari aku sendiri aku tak mau terlalu banyak bertanya tanya, dan cie Vivi sendiri mungkin merasa canggung atau malu karena tadi aku mendengar pembicaraannya dengan Sherly.

 

Aku sempat memperhatikan cie Vivi ini. Wajahnya cantik khas oriental dan mulus tanpa jerawat, kelihatan sekali sangat terawat. Kulitnya juga putih mulus, badannya ramping ideal, dan rambutnya yang panjang sampai siku tangannya dibiarkannya tergerai indah. Aku berpikir, hal tadi itu, dimana ada cie Monika yang dikerjain di kamar mandi itu, dianggap cie Vivi bukan hal yang luar biasa. Mungkin saja cie Vivi paling tidak juga sudah pernah dikerjain oleh orang yang tadi menarik masuk cie Monika ke kamar mandi itu.

 

“Ini cie, thanks ya”, kata Sherly yang menyerahkan semacam tanda bukti pembayaran mungkin. “Iya, thanks ya Sher. Eh Eliza, duluan ya.. see you”, katanya sambil tersenyum manis padaku. “Oh iya cie Vivi… see you”, kataku dan membalas senyumannya itu. Waktu cie Vivi baru keluar dari pintu, aku mendengar cie Vivi mengguman, “Ow.. that Eliza.. very beautiful..”. Mukaku rasanya panas, senang juga mendengar pujian dari cie cie yang cantik itu, sehingga aku sempat tersenyum sendiri. “Sher, aku pulang dulu yah”, kataku. “Iya El, ayo aku antar keluar”, kata Sherly. Kini ia sudah terlihat normal dan tak menakutkan seperti tadi. Maka aku mengikuti Sherly keluar.

 

Kami melewati kamar mandi itu, dan kudengar jelas desahan dari cie Monika dari dalam kamar mandi, membuatku agak canggung juga dan melihat ke Sherly. Sherly juga terlihat agak canggung, dan cepat cepat melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar, tapi tiba tiba aku mendengar dua suara yang mengaduh. Ternyata di pertigaan itu Sherly bertumbukan dengan cie Katherine, yang sedang membawa setumpuk baju yang kelihatannya sudah bersih. Baju baju itu bertebaran ke lantai, dan Sherly langsung membantu memungutinya.

 

“Sorry cie Katherine, nggak keliatan nih”, kata Sherly. “Nggak apa apa Sher, nggak usah repot repot, biar cie cie ambil sendiri”, kata cie Katherine. Ketika aku juga akan membantu, tiba tiba muncul seorang laki laki yang bertelanjang dada, kira kira umurnya 30 tahunan. Ia juga ikut membungkuk memunguti baju baju cie Katherine, yang dengan halus menolak, “Pak, nggak usah, biar saya sendiri”. Tapi orang itu terus memungut sambil berkata, “Nggak apa apa non, ini kan sudah tugas saya”. Sherly pun terlihat canggung, dan ketika semua baju sudah dipungut, orang itu meminta baju yang ada di tangan Sherly,

 

“Non Sherly, biar saya yang bawa”. Dengan enggan Sherly memberikan baju itu padanya, dan orang itu mengikuti cie Katherine yang melangkah ke kamarnya. Gilanya, orang itu ikut masuk, dan pintu itu ditutup. Aku sempat melongo melihat kejadian itu, tapi kemudian aku berpikir, lebih baik tak usah bertanya yang macam macam pada Sherly, karena aku semakin merasa banyak yang tak beres di sini. “Aku pulang dulu Sher, see you…”, aku berpamitan pada Sherly. “See you Eliza”, jawab Sherly dengan senyum penuh arti, membuat aku merasa jengah, teringat aku tadi bahkan akhirnya sempat balas memeluk dan mencium Sherly ini.

 

“Hai Eliza”, sapa seseorang, dan aku segera mengenalnya. “Hai Vera”, aku balas menyapanya. “Tumben kamu ke sini El? Kamu memangnya kenal Sherly?”, tanya Vera padaku. “Oh, iya, aku kebetulan kenal dari Jenny. Ini juga aku tadi abis balikin bukunya Sherly yang dipinjam Jenny”, jawabku. Aku agak terpukau oleh penampilan Vera yang sexy abis ini. Ia mengenakan top tank dan hot pant saja, dan hak sepatu yang tinggi itu membuatnya tampak semakin langsing. Rambutnya sedikit basah, menambah kesexyannya saja.

 

“Kok buru buru pulang El?”, tanya Vera lagi. “Oh.. aku agak ngantuk Ver, mau cepat cepat istirahat. Ok deh aku pulang dulu Ver, bye bye”, kataku sekalian berpamitan padanya. “Bye bye Eliza”, kata Vera dan ia segera masuk. Aku berjalan ke arah mobilku, kira kira hampir 500 meter dari sini, tapi baru aku berjalan beberapa langkah, sempat kudengar suara laki laki, “Halo non Vera.. apa kabar nih?”.

 

Dan yang membuatku agak tertegun, suara Vera yang menjawab itu terdengar akrab, “Halo pak Subur. Gimana aku hari ini? Sexy nggak? Cakep nggak?”. Dan kudengar suara yang tadi itu, yang berarti suara pak Subur, “Non Vera sih selalu cakep, cuma hari ini memang non Vera sexy. Sudah kangen sama kita ya, sudah hampir sebulan lho non nggak ke sini”. Vera tertawa, tawa yang membuatku makin risih, “Ah bapak, nggak cuma saya kali yang kangen sama bapak bapak, kalian pasti juga pada kangen sama saya kan?”

 

Ya ampun… Vera sampai bisa seakrab itu dengan pembantu di kos kosan ini? Jangan jangan Vera sudah biasa diperlakukan seperti beberapa cie cie yang kos di sini ini. Sambil terus berjalan kea rah mobilku, aku melamunkan Vera. Tiba tiba dikejutkan oleh benda keras yang menempel di perutku. “Jangan teriak, dan jangan macam macam kalo elo mau selamat!”, kudengar suara, bukan suara orang dewasa. Aku menoleh, dan jantungku serasa berhenti ketika aku mengenali penodongku. Ia adalah anak SMP yang tadi itu.

 

Sebuah sepeda motor yang dikendarai seseorang, laki laki tentunya, karena ia bercelana panjang abu abu, dan baju aatasannya baju seragam sekolah. Aku tak bisa melihat wajahnya karena ia mengenakan helm yang ada kacanya itu, tapi bisa aku pastikan, anak yang masih SMA ataupun STM itu, adalah paling tidak teman dari anak SMP ini. Jadi tak mungkin aku mengharapkan pertolongan apapun dari dia, dan dengan keadaan jalan yang sepi ini, bisa dikatakan aku tak ada harapan lagi untuk lolos dari mereka.

 

Ketika sepeda motor itu sudah berhenti di samping kami, aku gemetar ketakutan. “Naik!”, bentak anak SMP itu. “Iya..”, kataku dengan tak yakin. Aku melangkah ke sepeda motor itu dengan panik, dan agak bingung bagaimana menaikinya. Selama ini aku tak pernah menaiki sepeda motor, dan aku menjerit kecil ketika tiba tiba anak SMP itu menaikkan rokku sampai ke pinggang hingga celana dalamku pasti kelihatan. Tapi kurasakan tekanan pisau itu makin keras, dan aku takut sekali kalau sampai pisau itu melukaiku.

 

“Ayo cepaaat”, bentak pengendara sepeda motor itu, dan aku tanpa berani membantah, mencoba menaiki sadel belakang sepeda motor itu. Memang dengan rok yang sudah terangkat sampai ke pinggang ini, menjadikanku lebih mudah naik ke sadel sepeda motor itu. Setelah aku berhasil duduk, mendadak kurasakan badanku tertekan ke depan, rupanya anak SMP itu ikut naik di belakangku juga, sehingga sekarang aku terjepit di antara dua orang ini.

 

Sepeda motor itu melaju, entah akan membawaku ke mana. Tapi aku sudah tahu aku akan mengalami nasib buruk. Sekarang saja, anak SMP itu sudah meremasi kedua payudaraku dari belakang. Teringat pisau tadi, aku hanya bisa diam saja, tak berani melawan, selain itu aku takut jatuh dari sepeda motor ini. Dan ternyata mereka berhenti di sebuah rumah kosong yang tak jauh dari tempat aku memarkirkan mobilku tadi. Aku mulai membayangkan, akan seburuk apa nasibku hari ini…

 

Aku tercekat melihat sudah ada delapan anak yang bahkan masih berseragam putih biru, yang sudah menunggu di tempat itu. Ya ampun, masa aku akan digangbang anak anak yang masih SMP ini? Rupanya mereka sudah merencanakan ini semua. Mereka yang sudah menunggu di tempat ini bersorak ketika melihatku yang sudah menjadi tawanan ini.

 

“Wah gile Rud, loe beneran bisa dapet amoy abu abu nih, hebat juga loe!”, kata salah seorang dari mereka. Sialan, aku dikatakan amoy abu abu. Mereka ini benar benar kurang ajar. Tapi aku hanya bisa menahan rasa jengkel meskipun dilecehkan seperti ini, toh apa yang bisa kulakukan? Pujian bahwa diriku cantik tadi sama sekali tak membuatku senang, malah membuatku mengutuki nasibku yang malang ini. yang entah disebabkan wajahku yang cantik atau karena tadi aku menolong Johan itu.

 

“Iya dong Sul, bukan Rudi namanya kalo gak bisa”, kata anak SMP yang masih saja menggerayangiku ini dengan nada bangga. “Tapi loe tadi gagal gara gara amoy cakep ini Rud hahaha…”, salah seorang dari mereka tertawa keras, dan tiba tiba kurasakan remasan yang amat kasar pada kedua payudaraku oleh Rudi ini, membuatku menggeliat dah mengaduh. “Aduh.. sakit…”, aku mengeluh.

 

“Eh gila.. memang bener loe Rud, cakep abis nih amoy! Seleramu tinggi juga Rud”, kata seorang lagi yang memandangiku seolah ingin menelanjangiku. “Iya bener Har, asli cakep”… “Bening lagi”… “Ayo cepet bawa ke tengah sini”.. “Balas dendam Rud”.. “Nggak sia sia juga kita kita menunggu dari tadi”.. Demikian seruan seruan yang kudengar, selain itu tentu saja tawa kegirangan dan tawa yang melecehkan.

 

“Turun!”, bentak pengendara sepeda motor itu setelah membuka helmnya. Begitu aku turun, anak SMP yang ternyata namanya Rudi ini segera menyeretku ke arah teman temannya yang tertawa tawa. Aku hanya bisa mempercepat langkahku supaya tak jatuh terseret oleh Rudi ini, dan berikutnya aku sudah berada di tengah kerumunan mereka, sembilan anak SMP yang melihatku dengan pandangan penuh nafsu.

 

“Jangan… tolong lepaskan aku”, aku mulai mencoba memohon pada mereka. “Kalian mau uang kan? Kalian boleh ambil uangku, kalian boleh minta berapa saja, tapi tolong lepaskan aku”, kataku lagi, mencoba menawarkan kompensasi pada mereka supaya aku dibebaskan. Aku berharap semoga saja mereka bisa berubah pikiran.

 

“Jangan mimpi loe!”, bentak Rudi. “Gue gak butuh duit. Berani beraninya gangguin acara gue tadi, loe nurunin harga diri gue. Gue diketawain sama mereka ini karena gak berhasil dapetin duit dari anak tadi. Sekarang gue mau loe bayar pake tubuh loe! Pake harga diri loe! Loe harus puasin kami semua!”, Rudi berkata sambil memandangiku, entah dengan penuh kemarahan atau penuh nafsu birahi, yang jelas pandangannya itu amat menakutkanku.

 

Aku bergidik menyadari keadaanku sekarang ini. Mereka makin mendekat, dan aku hanya pasrah ketika tiba tiba tanganku sudah terentang, kedua pergelangan tanganku dipegangi oleh orang di kanan kiriku. Seseorang dari mereka mendekapku dari belakang, menghirupi rambutku yang tergerai bebas dengan nafasnya memburu, kurasakan sekali kalau ia begitu bernafsu. Dua dari mereka, yang tadi sekilas kutahu namanya Sul dan Har itu, mendekat dan meremasi kedua payudaraku.

 

Mendapat perlakuan seperti ini, aku semakin lemas, tubuhku rasanya panas dingin. Apalagi ketika orang yang mendekapku dari belakang itu menyibakkan rambutku, dan menciumi leherku dengan nafas memburu. Kini keadaanku sudah tak jauh beda dengan waktu aku dipermainkan Sherly tadi. Aku memejamkan mata dan menyerah pasrah, membiarkan sembilan anak SMP ini berbuat apa saja yang mereka inginkan terhadap tubuhku.

 

“Siapa namamu, amoy cantik?”, tanya salah seorang dari mereka. “Aku.. aku Eliza..”, jawabku lemah. “Kelas berapa sekarang di sekolah, amoy sayang?”, aku mendapat pertanyaan lagi. “Aku… kelas dua…sss”, jawabku sambil mendesis, ketika kurasakan banyak sekali telapak tangan yang merabai pahaku. “Kami juga kelas dua non amoy, tapi dua SMP.. hahaha”, ejek salah seorang lagi.

 

“Enak ya non? Suka ya main rame rame gini?”, entah siapa lagi yang bertanya, aku tak tahu karena aku sedang memejamkan mataku, dan dera kenikmatan yang melanda tubuhku ini makin bertambah ketika kurasakan kedua payudaraku kembali diremas lembut entah oleh siapa, dan mendatangkan perasaan nikmat yang amat sangat yang menjalari sekujur tubuhku.

 

“Aku… aku… nngghhh…”, aku tak tahu harus menjawab apa, dan malah melenguh menahan nikmat ketika kurasakan sebuah tangan menyusup masuk ke celana dalamku dan dengan cepat vaginaku sudah ditusuk dan diaduk aduk oleh jari tangan itu, membuat kakiku mengejang, jelas sekali aku sedang dilanda kenikmatan. Kudengar sorakan norak dan beberapa dari mereka menirukan lenguhanku, bersahut sahutan. Mukaku rasanya panas dilecehkan seperti ini, tapi aku tahu penderitaanku baru akan dimulai.

 

“Lho, non Eliza, ternyata celdam punya loe ini sudah basah dari tadi”, kudengar suara Rudi. Aku membuka mataku, dan memang ternyata Rudi yang sedang mengaduk aduk vaginaku. “Wah kita keduluan nih, amoy kita yang cakep ini di dalam kos kosan tadi sudah ada yang nggarap.. basah amat nih memeknya”, kata Rudi pada teman temannya. Kembali kudengar sorakan bernada melecehkan dari teman temannya.

 

Selagi jarinya mengaduk makin dalam, seolah hendak mengorek seluruh cairan cintaku, Rudi kembali melecehkanku, “Sama berapa orang tadi di sana, amoy cantik?”. Aku diam saja, sekali ini aku amat malu. “Ditanya kok diam saja? Jawab!!”, bentak Rudi, membuatku amat terkejut dan ketakutan, sehingga aku terpaksa menjawab, “Satu.. orang”. Terdengar tawa melecehkan di sekelilingku.

 

Aku hanya bisa menahan malu ini, sementara Rudi terus mengaduk aduk vaginaku dengan kejam. Rasanya amat sakit walaupun memang bercampur sedikit nikmat. “Loe baru lawan satu orang sudah basah gini, gue kok jadi pingin liat, loe lawan kami bersembilan nanti bakal basah kayak gimana”, kata Rudi dengan nada yang melecehkanku juga. Membayangkan diriku akan digangbang mereka bersembilan yang baru kelas dua SMP ini, entah kenapa, perasaanku seperti tersengat listrik.

 

Dipermalukan seperti itu, entah kenapa kurasakan adukan Rudi pada vaginaku tak terasa begitu sakit lagi, dan nikmatnya makin menjadi jadi. Walaupun aku berusaha bertahan supaya tak terlihat murahan di depan mereka, tapi lama kelamaan nikmat yang menderaku membuat aku tak bisa menahan diri lagi, tubuhku menggeliat hebat dan aku terus melenguh tanpa bisa kutahan, “Nggghhh.. ooohh… nggghhh….”

 

Kalau saja mereka tidak menahan tubuhku, aku yang sedang orgasme waktu sedang berdiri seperti ini, pasti sudah terjatuh. Sekarang ini aku merasa amat lemas, dan tak ada perlawanan apapun dariku ketika Rudi merenggut robek celana dalamku, juga ketika Sul dan Har merenggut baju seragamku hingga semua kancingnya putus dan terjatuh semua ke lantai, dan mereka tertawa tawa melihat kepanikanku.

 

Untungnya baju seragamku tak sampai robek. Baju seragamku lalu ditarik mereka ke atas hingga kedua tangankku terangkat. Akhirnya baju seragamku terlepas seluruhnya dari tubuhku. Tak lama kemudian braku juga direnggut putus, hingga kini aku tinggal mengenakan rok seragamku. Aku reflek menutup kedua payudaraku dengan kedua telapak tanganku, tapi aku malah makin dilecehkan mereka.

 

“Gak usah ditutup non, nanti semua pasti kebagian nyusu”, ejek Sul. “Tarik roknya. Kalo masih sok sokan nutupin teteknya, robek saja sekalian roknya”, perintah Rudi pada teman temannya.Aku terpaksa menurunkan tanganku, membiarkan payudaraku jadi tontonan sembilan orang ini. Tanpa perlawanan aku membiarkan rok seragamku dilucuti hingga jatuh ke bawah, dan aku melangkahkan kakiku ke belakang hingga mereka bisa mengambil rok seragamku itu.

 

Maka prosesi penelanjangan terhadap diriku sudah selesai, kini tinggal kaus kaki dan sepatu yang masih melekat di kakiku, sedangkan tubuhku dari lutut ke atas sudah tersaji polos di depan mereka. Mereka melempar lemparkan semua bagian pakaianku ke pojok ruangan ini, juga tas sekolahku. Tiba tiba aku teringat, tadi aku dibawa ke sini oleh anak SMA yang bersama Rudi tadi. Sekilas aku mencoba mencari dengan melayangkan pandanganku ke arah tadi pertama aku dibawa ke sini.

 

Setelah aku tak menemukan anak SMA itu, juga sepeda motornya, aku jadi berpikir, kemana dia, kok tidak ikut dengan sembilan anak SMP yang sedang asyik mempermainkanku ini? Ketika aku tersadar dari lamunanku, kesembilan anak SMP ini sudah telanjang semuanya. “Ok Rud, silakan loe yang pertama”, kata Sul. Rudi segera mendekatiku, dan aku sempat melihat penisnya yang ternyata sudah ereksi itu.

 

Tak terlalu panjang, mungkin hanya 12 cm. Diameternya pun cuma di kisaran 3 cm. Penis itu sudah tegak mengacung ke atas. Rudi ini tingginya sekitar 160 cm, sedikit lebih tinggi dariku yang memakai sepatu ini. Wajahnya hancur hancuran, agak bopeng, dan bau badannya agak tak enak. Aku harus bersiap, karena penderitaanku akan segera dimulai. Aku berusaha membiasakan diri dengan bau itu.

 

“Kalau sama amoy yang kayak gini, kita kita gak perlu pakai kondom seperti kalo lagi di Dolly. Gak perlu kuatir ketularan apa apa, dan pasti lebih enak tanpa kondom kan teman teman?”, kata Rudi sambil membelai rambutku. “Akuuur…”, mereka menjawab dengan senangnya. Sial deh, aku harus menyiapkan vaginaku untuk menampung semprotan sperma mereka semua. Aku tahu pasti, perkosaan ini tak akan hanya berjalan satu ronde saja.

 

Tapi aku berpikir, oh.. untung juga. Paling tidak meskipun selama ini mereka sudah pernah main di tempat pelacuran itu, tapi ternyata mereka menggunakan kondom waktu bersetubuh dengan PSK. Jadi paling tidak aku tak perlu kuatir dengan kemungkinan tertular penyakit kelamin, dan ini membuatku sedikit tenang. Tapi ada yang membuatku heran. Rudi yang sejak tadi bersikap kasar dan bengis, entah kenapa sekarang berubah lembut.

 

Rudi terus membelai rambutku dengan lembut, dan melihatku dengan tatapan aneh. Perlahan ia memelukku, dan kemudian mengecup bibirku dengan lembut. Aku diam saja, tak tahu harus bagaimana. Rudi terus mencumbuiku, menciumi bibirku, dan akhirnya ia melesakkan lidahnya ke dalam mulutku dan bibirku dipagutnya dengan ganas. Aku gelagapan, air liur Rudi terus membanjir masuk ke dalam mulutku, hingga mau tak mau aku terpaksa mengesampingkan rasa jijik dan menelannya kalau tak mau tersedak.

 

Lidahku dan lidah Rudi bersentuhan sesaat, dan Rudi ini, entah belajar dari mana, ia benar benar menaklukan aku sekarang ini, membuatku bereaksi di luar kesadaranku. Aku melingkarkan tanganku di lehernya, dan membalas permainan lidahnya. Kami seperti sepasang kekasih saja, hingga semuanya menggerutu dengan nada iri, “Rud, jangan lama lama!”. “Kami juga mau”. “Kapan giliran kami semua?”.

 

Rudi menghentikan cumbuannya padaku, hingga aku membuka mataku. “Oh.. kamu cantik banget..”, guman Rudi, membuatku tesipu malu dan memalingkan wajahku. “Sul, Har, Bantu aku”, Rudi memanggil mereka. Setelah mereka mendekat, Rudi menyuruh mereka berdiri di kedua sisiku, kemudian Rudi mulai mengatur, tangan kananku dilingkarkan di leher Sul, sedangkan tangan kiriku dilingkarkan di leher Har.

 

“Sekarang, angkat pahanya amoy ini, bikin yang lebar!”, kembali Rudi memerintah mereka. Tampaknya Rudi ini ketua gerombolan anak SMP yang bejat ini. Kini aku sudah dalam posisi yang tak berdaya, dimana kedua tanganku yang melingkar di leher Sul dan Har itu tak mungkin kulepas kalau aku tak ingin jatuh. Sedangkan kedua pahaku sudah terangkat dalam posisi melebar, hingga vaginaku sekarang sudah tersaji sempurna untuk Rudi, dan wajahku yang panas ini sama sekali tak bisa kusembunyikan.

 

Sul dan Har yang memegangi kedua pahaku dengan satu tangannya, menggunakan tangan mereka yang satunya, meremasi payudaraku. Selagi aku menggeliat lemah, Rudi mendekatiku. Aku agak tenang, mereka ternyata tak sekasar yang kuduga. Saat aku mempersiapkan vaginaku untuk menelan penis si Rudi ini, tak kuduga, Rudi berjongkok, dan kepalanya didekatkan ke vaginaku. Rudi mulai menjilati vaginaku yang pasti masih berlumur cairan cintaku.

 

“Ssshh.. ooooh…”, aku mendesah dan mengerang, kurasakan nikmat yang luar biasa saat cairan cintaku diseruput habis dan vaginaku disedot sedot oleh Rudi. Nafasku mulai tak beraturan, dan aku memandang Rudi dengan sayu, penuh harap ia akan segera memulai semua ini. Tapi dasar anak SMP, mana dia tahu aku sudah amat terangsang seperti ini? Aku juga tak bisa memintanya, bagiamanapun juga, aku tak ingin terlihat murahan di depan mereka.

 

Rudi masih terus mempermainkan vaginaku, kali ini dengan lidahnya. Aku memejamkan mataku, nyaris tak kuasa menahan gairahku ketika lidah itu melesak lesak ke bagian luar dari liang vaginaku. Tubuhku bergetar kecil, dan nafasku makin tersengal sengal. Sul dan Har tertawa mengejek melihat keadaanku, tapi aku sudah tak mampu mengontrol diriku, bahkan aku mencoba menggerak gerakkan pinggulku, mencoba mencari kepuasanku sendiri saat lidah Rudi terus mengaduk liang vaginaku.

 

Selagi aku dalam keadaan terangsang hebat seperti ini, tiba tiba kurasakan rambutku disibakkan dari belakang, dan kembali aku merasakan leherku dicium dengan lembut. Oh, kini aku sudah di ambang batas orgasme, dan aku mati matian bertahan supaya tidak cepat cepat orgasme. Setiap kali aku orgasme, itu berarti menguras staminaku, sementara aku kan masih harus melayani delapan orang lagi, dan juga entah berapa ronde lagi yang harus kulalui untuk memuaskan mereka bersembilan ini…

 

Tapi apa daya, dirangsang di beberapa tempat sekaligus, mulai dari ciuman pada leherku, belaian pada rambutku, remasan lembut pada payudaraku, dan adukan lidah Rudi pada vaginaku, akhirnya aku bobol juga. “Ngghhh.. nggghhh… auuugghh…”, aku melenguh dan mengerang, dan kudengar kembali suara menyeruput, kini memang cairan cintaku yang membanjir itu sedang diseruput habis oleh Rudi. Terdengar suara seperti orang yang menyeruput minuman yang hampir habis, dan ini amat membangkitkan gairahku.

 

Setelah beberapa detik tubuhku mengejang ngejang, akhirnya aku terkulai lemas. Kembali aku memandang Rudi dengan sayu, berharap ia mengerti keinginanku sekarang ini. Aku menjadi sedikit senang sekaligus tegang, saat Rudi tiba tiba berdiri, dan mengocok penisnya sebentar. Oh akhirnya ia akan memulai semua ini. Benar saja, sesaat kemudian, ia menggesek gesekkan kepala penisnya pada bibir vaginaku, dan ia mentatapku dengan pandangan yang aneh, kurasakan ia sedang amat bernafsu.

 

“Eliza… aku masukin sekarang ya”, ia bahkan sudah tak memanggilku non atau amoy, ia memanggil namaku begitu saja. Apakah ia jatuh cinta padaku? Yang benar saja, dia kan masih kelas dua SMP? Apa yang dia tahu soal cinta? Lagipula, mimpi kali dia. Mana mungkin aku mau membalas cintanya? Sekarang ini aku hanya terbakar nafsu dalam kepasrahanku, bukan karena yang lain. Tapi aku tak mengubah sikapku, aku hanya menatap sayu dan berbisik lemah, “Terserah kamu..”.

 

Perlahan Rudi melesakkan penisnya yang mulai membelah liang vaginaku. Sorakan dan ejekan teman teman Rudi sudah tak terdengar lagi, semua memperhatikan prosesi menyatunya tubuh kami berdua ini. Walaupun penis itu kecil, tetap saja ada sensasi tersendiri yang kurasakan ketika penis itu sudah tertelan seluruhnya di vaginaku. “Ngghh..”, aku melenguh pelan. “Enak ya, Eliza?’, tanya Rudi padaku, tapi sudah tak ada nada yang melecehkan seperti sebelum sebelumnya.

 

Aku mengangguk lemah, dan memejamkan mataku dan menunduk, rasanya malu juga tadi aku mengangguk begitu saja. Rudi mengangkat daguku, kemudian mencium bibirku, kurasakan kemesraan dalam ciuman itu. Aku mulai melayaninya, membalas ciumannya. Rudi pun juga mulai menggerakkan tubuhnya perlahan, hingga penisnya mulai menggesek gesek liang vaginaku. Rasanya nikmat sekali, sedangkan sakit yang kurasakan sangat sedikit, bahkan bisa dikatakan nyaris tak ada.

 

Hal ini mungkin karena aku sudah terbiasa dengan rasa sakit yang terjadi saat vaginaku menelan penis yang jauh lebih besar dan panjang dari penis anak SMP ini, walaupun harus kuakui penis Rudi ini amat keras, nyaris sekeras milik Wawan, pembantu di rumahku. Sementara itu, bagian tubuhku yang lain mulai menerima rangsangan kembali, membuat aku semakin tenggelam dalam nafsu birahi. “Oh.. seretnya memekmu.. Elizaaa…”, erang Rudi. “Oooh… enaknyaa..”, Rudi mulai meracau.

 

Aku cuma bisa mendesah dan mengerang lemah saat penis Rudi makin cepat mengaduk aduk vaginaku. Kudengar Rudi sendiri terus mengerang, dan erangannya itu makin keras. Tampaknya ia akan orgasme sebentar lagi. Benar saja, beberapa saat kemudian, penisnya berkedut dalam vaginaku, dan ia mengerang keras, “Oooh.. Elizaaa… aku keluarkaan.. di dalam yaaah…”. Berkata begitu, ia menyodokkan penisnya dalam dalam, dan sekali lagi ia mengerang panjang, mengiringi semburan spermanya ke dalam vaginaku.

 

Dasar, perlu apa dia tadi seolah minta ijin untuk mengeluarkan benihnya di dalam rahimku? Toh baru saja dia selesai bicara, spermanya sudah menyemprot deras membasahi relung vaginaku. Untung saja, tadi pagi aku sudah minum obat anti hamil, kalau tidak, amit amit deh harus hamil oleh benih anak SMP yang mukanya agak parah ini. Memang sejak aku jadi budak seks pak Arifin, Wawan dan Suwito di rumah, aku jadi rutin minum obat anti hamil di masa suburku, karena aku tak mau dihamili oleh mereka.

 

Rudi yang sudah mendapat jatahnya menikmati tubuhku, kini menarik lepas penisnya dari vaginaku. Aku tidak mengalami orgasme kali ini, tadi Rudi hanya menggenjotku tak sampai 5 menit. Mungkin karena ia sudah terangsang sejak dari awal ia meremasi payudaraku di sepeda motor tadi. Sul dan Har meletakkanku di atas selembar tikar butut, dan mereka bersama 6 rekannya itu berunding, pastinya menentukan siapa yang beruntung mendapat giliran selanjutnya untuk menikmati tubuhku ini.

 

Kini aku berbaring telentang di atas tikar butut ini. Selagi mereka berunding, Rudi mendekatkan penisnya ke mulutku. Aku tahu apa keinginannya, dan aku segera mengulum penis itu, memainkan lidahku menyapu seluruh lingkar penisnya, membuat Rudi mengerang ngerang keenakan. Kubersihkan seluruh sisa sperma yang bercampur cairan cintaku dari penis itu, sampai penis itu benar benar mengecil.

 

Rudi bergerak sedikit menjauh dariku, dan kini ia hanya diam saja, memandangiku dengan tatapan aneh. Dia sama sekali tak menyinggung tentang keperawananku. Aku makin yakin, Rudi ini tiba tiba sudah jatuh hati padaku. Aku berpikir untuk mempermainkannya, toh dia juga menyakitiku dengan membuatku menjadi budak seks dirinya dan teman temannya ini. Aku balas menatapnya dengan sayu, seolah aku amat menginginkannya, sampai ia mengalihkan tatapan matanya dariku, kulihat jelas ia tersenyum jengah. Dalam hati aku menertawakannya, mimpi kali aku bakal jatuh cinta sama orang seperti dia?

 

Tiba tiba kudengar suara, “Permisi Eliza, aku Darso. Aku mau nyobain memekmu ya”. Aku menoleh, dan kulihat Darso sudah berancang ancang menerjangkan penisnya ke dalam vaginaku. Dasar, mau memperkosaku saja pakai permisi segala. Biar aku nggak mengijinkan pun dia pasti tetap akan memaksaku melayaninya juga. Aku sempat memperhatikan penis itu, ternyata nyaris serupa ukurannya dengan milik Rudi. “Ssssh…”, aku mendesah ketika lagi lagi liang vaginaku harus menelan sebatang penis.

 

Perlahan Darso menggenjotku, dan makin lama makin cepat. Aku pasrah saja, membiarkan ia menikmati remasan otot liang vaginaku pada batang penisnya, dan aku merasa tak ada salahnya kalau aku menikmati saat saat vaginaku diaduk aduk seperti ini, toh percuma juga aku melakukan perlawanan. Daripada aku merasa menderita, lebih baik aku menerima semua ini dan kalau perlu menikmatinya.

 

Aku mulai memperhatikan wajah Darso ini, dan menurutku termasuk tak penting untuk dilihat. Memang ia tak bopeng, tapi udah deh, benar benar jelek. Untungnya Darso melakukan ini dengan terburu buru, ia tak mencumbuku sama sekali, keliatannya ia hanya sekedar ingin memuaskan dirinya saja. Baru beberapa menit, Darso sudah mulai mendengus dengus, dan kurasakan penis Darso sudah berkedut kedut. “Oooh… enaaak”, erangnya saat penisnya menyemburkan sperma berulang ulang membasahi vaginaku.

 

Darso langsung mencabut penisnya dari vaginaku, dan aku belum sempat berbuat apa apa ketika Sul mengambil gilirannya, tanpa ba bi bu ia langsung menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku sedikit terhenyak, kurasakan penis Sul ini agak panjang. Tak tahu berapa panjangnya, tapi pasti lebih panjang dari Rudi ataupun Darso. Aku menggeliat lemah, dan Sul tersenyum bangga melihatku bereaksi atas sodokannya, berbeda dengan serangan Darso tadi yang menurutku termasuk ringan ringan saja.

 

Sul merendahkan badannya, hingga ia bisa mengecup bibirku sambil menyetubuhiku. Aku memejamkan mataku, mencoba menikmatinya. “Eliza.. namaku Syamsul…”, bisiknya. Aku tak bereaksi, hanya sesekali menggeliat ketika tusukan penis Syamsul ini membuatku keenakan. “Enak ya.. Eliza?”, bisiknya lagi. Aku membuka mataku, mengangguk lemah. Kini kenikmatan sudah menderaku, membuatku tak bisa berpikir jernih lagi. Ketika ia mengecup bibirku, aku membalas ciumannya tanpa diminta.

 

Syamsul terus menyetubuhiku, sekali ini aku merasakan persetubuhan yang cukup lama. Mungkin sudah lebih dari 10 menit. Selama itu Syamsul tak henti hentinya mencumbuiku, kurasakan ia begitu mesra. Meskipun aku merasa hal ini aneh dan lucu, tapi aku pikir ada untungnya juga. Setidaknya kalau mereka semua begini, aku mungkin tak akan mendapatkan perlakuan kasar dari mereka, padahal tadi waktu pertama aku dikerumuni dan dibentak bentak serta dilecehkan oleh mereka, aku merasa amat takut.

 

Mungkin karena sudah cukup lama digenjot, kini kurasakan vaginaku mulai berdenyut denyut, jantungku mulai berdetak lebih cepat, dan nafasku juga mulai memburu. Remasan lembut pada payudaraku yang dilakukan Syamsul membuatku makin merasa melayang ke awang awang, dan aku merintih perlahan, “Oooh…”. Syamsul berbisik di telingaku, “Sakit ya Eliza?”. Aku spontan menggeleng lemah, mataku kembali kupejamkan erat erat, aku berusaha menikmati semua ini.

 

Kini ganti leherku yang diserang Syamsul dengan kecupannya, sedangkan genjotannya pada vaginaku tidak kendur sama sekali, membuatku menggelinjang tak karuan. Ketika Syamsul menarikku duduk di pangkuannya, penisnya menancap makin dalam ke liang vaginaku. Tanpa ampun lagi aku melenguh lenguh, “Ngghhhh… oooooh…. Ampuuuun”. Tubuhku berkelojotan, kakiku melejang lejang, sungguh aku nyaris tak kuat menahan kenikmatan ini, tubuhku rasanya hampir meledak oleh nafsu birahi ini.

 

Tapi Syamsul belum selesai. Selagi aku melingkarkan tanganku memeluk lehernya, ia terus menggenjot vaginaku. Gejolak orgasmeku belum selesai ketika Syamsul kembali mengecup bibirku, dan mendadak aku balas memagutnya dengan ganas, hingga Syamsul kewalahan dan roboh. Kini aku yang menindihnya, dan aku menaik turunkan tubuhku sendiri supaya liang vaginaku terus diaduk oleh penisnya Syamsul.

 

Membayangkan aku masih harus melayani lima orang lagi, aku malah makin liar meliuk liukkan tubuhku, mengendarai penisnya Syamsul yang kini mulai mengerang keenakan. Rupanya ia tak tahan juga, tak lama kemudian kurasakan penisnya berkedut kedut, tubuhnya bergetar getar dan seiring dengan erangan panjang dari Syamsul, kurasakan semprotan sperma dari penis Syamsul yang bertubi tubi, membuat vaginaku terasa hangat dan nyaman.

 

“Plop…”, demikian bunyi yang kudengar ketika aku mengangkat tubuhku sampai penis Syamsul terlepas dari vaginaku. Begitu aku tiduran, sudah ada teman Rudi yang mengambil posisi di selangkanganku, dan aku hanya bisa membuka pahaku lebar lebar, bersiap menerima sodokan pada liang vaginaku. “Hai Eliza, aku Rangga..”, katanya sambil membenamkan penisnya ke dalam liang vaginaku. Aku tak bereaksi, dan Rangga ini mulai menggenjot liang vaginaku dengan cepat.

 

Aku diam saja, mencoba menghemat tenagaku, kurasakan penis yang sedang menerjang vaginaku ini ukurannya termasuk kecil, harusnya lebih kecil dari punya Rudi. Masuk akal, karena memang Rangga ini tubuhnya pendek, lebih pendek dariku. Kini baru aku merasa disetubuhi oleh anak kecil, membuatku geli juga. Rangga terlihat keenakan selagi menggenjot vaginaku, matanya merem melek dan ia mulai meracau penuh kenikmatan, “Ohhh.. Elizaa… memekmu kok bisa enaak ginii…”.

 

Aku tak memperdulikannya. Memang aku merasakan penisnya lagi menyodok vaginaku dengan cepat, tapi mungkin karena ukurannya kecil, aku tak begitu terpengaruh. Kini aku kembali mencoba menggoda Rudi. Aku menatapnya sayu, seolah aku sedang menginginkannya. Dalam hati aku kembali tertawa melihat Rudi salah tingkah, ia tak kuat membalas tatapanku. Tiba tiba kudengar Rangga mengerang dan begitu penisnya berkedut, kurasakan kembali vaginaku harus menelan sperma, yang kali ini dari Rangga.

 

Ketika Rangga mencabut penisnya, kulihat memang termasuk pendek, kira kira tak sampai 10 cm, diameternya juga kecil, mungkin 2 cm lebih sedikit. Geli juga aku melihatnya, pantas saja aku tak terlalu merasakan rangsangan pada vaginaku tadi sewaktu aku disetubuhinya. Lagi lagi tanpa memberiku kesempatan untuk beristirahat, sudah ada lagi yang mengantri vaginaku. “Eliza.. aku Hendra”, seperti mereka yang sebelumnya menyetubuhiku, Hendra memperkenalkan dirinya.

 

Kali ini aku sempat melihat penisnya, dan aku kembali harus menahan geli. Hendra ini tubuhnya kecil, penisnya juga kecil. Mungkin cuma sekitar 9 cm panjangnya, dan diameternya pun tak lebih besar dari punya Rangga. Kembali aku hanya pura pura bereaksi ketika penisnya tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Tapi kemudian aku hanya diam, kubiarkan Hendra mencari kepuasannya sendiri. Dan memang sebenarnya Hendra sedang menggenjotku dengan sangat bernafsu, tapi aku tak begitu terpengaruh.

 

Aku berpikir, enak saja mereka stirahat. Kalau satu satu begini, memangnya mereka mau memperkosaku sampai berapa lama? “Rud, sini dong”, aku memanggilnya dengan suara yang kumanja manjakan. Rudi dengan disoraki temannya, berdiri dan berjalan medekat ke arahku. “Ada apa?”, tanyanya dengan ragu. “Aku mau oralin kamu… boleh ya?”, kataku sambil mencoba meraih penisnya. Rudi tertegun sejenak, tapi ia berlutut di sebelah kanan kepalaku, memberikan kesempatan padaku untuk mulai mengulumi penisnya.

 

Aku memperhatikan teman temannya yang lain, kulihat mereka memandang kami dengan tatapan iri. “Eliza, aku juga mau”. “Aku juga”. Mereka semua seperti anak kecil yang berebut es krim saja. Dengan suara yang lagi lagi kumanja manjakan, aku berkata, “Iya, tapi antri satu satu yah”. Lalu penis Rudi segera kulahap, aku mulai melakukan kuluman dan sedotan, selain itu aku juga memberikan gigitan kecil pada penis itu, membuat Rudi mengerang keenakan dan penisnya langsung ereksi sempurna.

 

Aku melakukan oral ini dengan bersemangat, berharap Rudi cepat ejakulasi, kemudian yang lainnya, jadi aku bisa memotong satu ronde dari rencana mereka. Kalau semua berejakulasi di vaginaku satu per satu, entah masih berapa lama lagi baru perkosaan ini selesai. Dan rupanya Hendra menjadi amat terangsang melihat adegan di depan matanya, dimana seorang gadis cantik dengan kulit yang putih mulus terawat, kini sedang mengoral penis temannya yang kulitnya hitam dan kasar.

 

Pemandangan kontras ini memaksa Hendra segera berejakulasi, Hendra melenguh dan menyemprotkan spermanya ke dalam liang vaginaku. Entah sudah berapa banyak sperma yang mengisi rahimku, tapi aku tetap tenang, toh aku sudah minum obat anti hamil. Aku tak bereaksi ketika orang berikutnya mengambil gilirannya menyetubuhiku. “Eliza, aku Reza nih”, kudengar yang namanya Reza ini berkata. “Mmm…”, aku dengan malas menanggapinya, aku cuma ingin cepat mengeluarkan sperma si Rudi ini.

 

Kurasakan Reza mengangkat salah satu kakiku hingga lurus ke atas, membuatku berbaring menyamping ke kanan. Yah, ini akan membuatku lebih mudah untuk mengoral penis penis mereka sih. Dan kemudian Reza segera menerjangkan penisnya ke liang vaginaku yang sudah penuh sperma ini. “Mmmhh…”, kurasakan cukup nikmat juga ketika vaginaku menelan penis Reza ini, dan tepat saat itu juga, Rudi yang sudah sejak tadi mengejang dan mengerang, menyemburkan spermanya ke dalam mulutku.

 

“Oooughh…”, erang Rudi keenakan. Aku menelan sperma itu, menjilati dan menyeruput sisa sperma pada penis Rudi. Rudi mengerang ngerang karena perbuatanku pada penisnya, dan begitu aku melepaskan kulumanku, ia terduduk lemas. Memang inilah tujuanku, dan sesuai rencanaku, aku segera memangggil salah satu dari mereka. Aku mengingat ingat, yang kedua tadi menyetubuhiku adalah Darso.

 

Maka aku memanggilnya dengan nada suara yang sama seperti aku memanggil Rudi tadi. “Darso… “, begitu aku menyebut namanya, Darso sudah berdiri dengan penuh semangat, ia setengah berlari ke arahku. Saat ini aku merasa selangkanganku makin nikmat saja, aku sempat menoleh memperhatikan Reza ini. Ow.. dia lumayan juga, bodynya atletis, wajahnya juga nggak terlalu jelek, cuman sayangnya kulitnya begitu hitam. Aku tersenyum padanya, dan membiarkannya memainkan vaginaku sepuas hatinya.

 

Kini Darso sudah menyodorkan penisnya di dekat mulutku, bahkan hampir menempel ke bibirku. Aku segera membuka mulutku, dan aku memberikan servis pada Darso, sama seperti yang kuberikan pada Rudi tadi. Darso segera melenguh dan meracau tak karuan, “Ooooh… enaaak…”. Sedangkan Reza terus memanjakan vaginaku dengan genjotannya yang kadang lembut, kadang menyentak, membuatku mulai menggeliat keenakan.

 

Aku sudah tak perduli jika karena ini aku dianggap murahan. Aku hanya berpikir supaya semua ini cepat selesai. Kuberikan vaginaku dan mulutku untuk melayani nafsu bejat mereka semua ini. Aku tak menawarkan anusku, karena bagaimanapun aku tak terbiasa dengan terjangan batang penis pada liang anusku. Lagipula sebenarnya rasanya tak terlalu nikmat, juga tak sebanding dengan pedih yang akan kudapat. Toh dengan mulut dan vaginaku, aku sudah dapat melayani dua orang sekaligus.

 

“Nggghhh… mmmphhh”, aku melenguh namun suaraku segera tersumbat penis Darso yang sedang kuoral. Tubuhku mengejang orgasme bersamaan dengan ledakan sperma Reza pada liang vaginaku hingga aku agak kurang bisa berkonsentrasi mengoral penis Darso. Reza pun mengerang keenakan, dan mencabut penisnya dari liang vaginaku. Tubuhku masih bergetar merasakan kenikmatan ini, dan kurasakan vaginaku sudah diterjang oleh penis yang lain, dengan posisi kakiku yang sama seperti tadi.

 

“Eliza.. aku Wahyu..”, kata pemilik penis yang sudah tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku ini. “Mmmhh.. mmmhh…”, aku mencoba melihatnya sambil melanjutkan mengoral penis Darso. Wahyu menggantikan Reza memegang pergelangan kakiku yang terangkat ini, dan ia mulai memompa vaginaku. Tak sehebat Reza memang, tapi ia juga mampu membuatku kembali melayang dalam kenikmatan, walaupun sebenarnya dalam hati kecilku aku tak rela tubuhku dinikmati banyak orang seperti ini.

 

Wahyu ini sebenarnya tampangnya lumayan, tapi rambutnya gondrong dan ia agak dekil, selain itu tubuhnya biasa saja, tak atletis seperti Reza. Dan kulitnya tentu saja hitam legam. Tiba tiba, semprotan sperma Darso di dalam rongga mulutku cukup mengagetkanku, aku hampir saja tersedak oleh cairan putih kental yang sudah mampir di tenggorokanku ini. Setelah kutelan semuanya, dan membersihkan penis Darso dengan lidahku, aku melepaskan penis Darso dari kuluman mulutku.

 

Ternyata Syamsul sudah mengantri di belakang Darso yang kini sudah terduduk lemas. Tanpa basa basi Syamsul segera menyodorkan penisnya, dan aku pun tak berkata apa apa, langsung mengulum penisnya. Syamsul mendesah dan mengerang keenakan ketika aku mulai menyedot dan menggigit kecil penisnya. Aku terus mempermainkan penisnya dalam mulutku sambil merasakan penis Wahyu yang terus mengaduk liang vaginaku dengan gencar.

 

Tiba tiba kurasakan remasan lembut pada payudaraku, aku mencoba melihat siapa pelakunya, ternyata si Rudi, yang menatapku lagi lagi dengan pandangan anehnya itu. Tapi aku memilih untuk berkonsentrasi mengoral penis Syamsul. Kubiarkan saja Rudi melakukannya, meskipun ini sebenarnya merugikanku. Dengan bertambahnya jumlah rangsangan pada tubuhku, mungkin aku akan lebih mudah diantar ke orgasme oleh mereka, dan ini berarti staminaku akan makin cepat terkuras.

 

Makin lama Rudi makin gencar merangsangku. Payudara kiriku diremasnya lembut dengan tangan kirinya, sementara rambutku dibelai mesra dengan tangan kanannya, seolah aku ini kekasihnya saja. Ia bahkan menciumi telinga kiriku, leherku, dan yang paling membuatku kelabakan adalah ketika Rudi mengulum puting payudaraku. Ini salah satu daerah yang paling sensitif untukku. Syamsul yang sedang kuoral, juga ikut membelai pipiku, mungkin karena ia juga ingin merasakan kemulusan kulit pipiku.

 

Tubuhku bergetar menerima rangsangan dari 3 orang sekaligus seperti ini. Aku mulai merintih, apalagi Hendra mulai merabai pahaku yang terangkat tegak ini. Aku mulai menderita, kenikmatan terus mendera tubuhku yang tak bisa banyak kugerakkan, hingga aku tak bisa menggeliat bebas melepaskan hasratku untuk menggeliat keenakan. Dengan mata yang serasa berkunang kunang aku hanya bisa pasrah melayani mereka bertiga ini.

 

Tak lama kemudian, tanpa bisa kutahan lagi, aku kembali merasakan otot vaginaku berkontraksi, dan tubuhku mulai mengejang ngejang. “Nggghhh… ngggghhh…”, aku melenguh panjang, tubuhku tersentak sentak dalam gumulan mereka bertiga ini. Apa yang kutakutkan terjadi juga, dengan mudah mereka bertiga mengantarku menuju orgasme. Aku mulai kelelahan, dan mereka tentu saja tak tahu, atau kalaupun mereka tahu, tentu saja mereka tak akan perduli dengan keadaanku ini.

 

Wahyu makin gencar menyodok vaginaku sambil mengerang, rupanya ia juga akan berejakulasi. Bersamaan dengan menyemburnya sperma Wahyu ke dalam liang vaginaku, aku juga harus menelan sperma Syamsul yang juga berejakulasi di dalam mulutku. Aku masih sedikit tersengal sengal ketika aku menelan sperma ini, dan menyeruput sisa sperma yang tertinggal pada penis Syamsul sampai penis itu benar benar bersih. Kulepaskan kulumanku dari penis si Syamsul yang kulihat tersenyum penuh kepuasan.

 

Wahyu juga melepaskan penisnya dari liang vaginaku. Kini kakiku dibiarkan tergeletak di lantai, dan hal ini membantuku mengurangi rasa pegal pada kakiku ini, walaupun kedua betisku rasanya capai sekali setelah orgasme beberapa kali tadi. Selangkanganku rasanya sudah basah tak karuan oleh lelehan sperma yang tertelan vaginaku, yang bercampur dengan cairan cintaku. Kenikmatan ini sulit kulukiskan dengan kata kata, yang jelas sekarang ini aku merasa seolah olah berada di awang awang…

 

Aku mengingat ingat, Rudi, Darso, Syamsul, Rangga, Hendra, Reza, Wahyu… sudah tujuh dari sembilan anak SMP ini yang mendapat jatah menikmati vaginaku. Tinggal dua orang lagi, dan memang salah seorang dari mereka sudah membuka pahaku lebar lebar, dan menerjangkan penisnya ke liang vaginaku. Aku merasa nyaman dengan adukan penis yang berukuran tanggung ini, juga Rudi yang masih menyusu pada payudara kiriku, membuatku kembali tenggelam dalam kenikmatan ini.

 

“Aku Anton, Eliza”, kudengar suara pemilik penis tanggung ini. “Mmm…”, aku masih malas membuka mata. Anton menggerakkan penisnya perlahan seolah ingin menikmati sempitnya liang vaginaku. “Oh.. hangatnya vaginamu, Eliza…”, bisik Anton. Aku hanya diam, sebenarnya aku tak begitu terpengaruh oleh adukan penis Anton ini, aku lebih merasa keenakan pada puting payudaraku yang kiri, yang terus dikulum dan disedot oleh Rudi.

 

Seolah membalasku, Rudi juga memberikan gigitan kecil pada putingku, membuatku mendesis merasakan kenikmatan ini. Tiba tiba kepalaku sedikit terangkat, dan saat aku membuka mata, kepalaku sudah ada di pangkuan Rangga. Ia membimbing dan mengarahkan kepalaku hingga penisnya yang sudah menegang itu melesak masuk ke dalam mulutku. Aku pasrah saja dan mengoralnya, dan tiba tiba aku terbeliak ketika kurasakan puting payudara kananku juga dikulum oleh salah satu dari mereka.

 

Aku mengarahkan mataku ke pelakunya, ternyata Syamsul. Maka kini aku dikeroyok oleh empat orang sekaligus, dan mungkin karena ingin menambah sensasi yang kurasakan ini, tiba tiba kedua tanganku direntangkan dan kedua pergelangan tanganku dicengkeram oleh Rudi dan Syamsul, hingga aku tak bisa bergerak lagi. Dan memang sensasi yang kurasakan makin menghebat, aku mengerang dan merintih tak kuasa menerima siksaan kenikmatan yang menderaku habis habisan.

 

Kini nafasku sudah mulai tersengal sengal ketika Anton mempercepat genjotannya pada liang vaginaku sambil mengerang penuh kenikmatan. Kurasakan kedutan penisnya, dan beberapa saat kemudian kurasakan vaginaku kembali dibasahi sperma hangat. Anton mengerang panjang sambil menarik lepas penisnya dari jepitan liang vaginaku. Aku tak bisa istirahat, karena aku harus terus mengoral penis Rangga yang masih belum mendapat jatah berejakulasi dalam mulutku.

 

Dan untuk lebih membuat diriku makin tenggelam dalam kenikmatan ini, Har yang mendapat giliran terakhir menerjangkan penisnya senti demi senti membelah liang vaginaku. “Mmmhhh…”, eranganku tersumbat oleh penis Rangga yang terbenam dalam mulutku. “Ohh.. akhirnya Kahar dapat giliraan…”, Kahar meracau keenakan ketika penisnya sudah tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku. Aku tak bisa bergerak sedikitpun, apalagi menggeliat untuk melampiaskan kenikmatan yang melandaku ini.

 

Kurasakan penis Kahar ini panjang dan besar, dan ketika aku sudah menyelesaikan tugasku mengoral Rangga sampai ia ejakulasi di dalam mulutku, dan tentu saja setelah aku menelan spermanya, aku menyempatkan diri melihat Kahar ini. Baru kusadari, Kahar ini tinggi juga, dan badannya cukup besar, walaupun tak atletis. Selain itu wajahnya juga sangat mengecewakan, tapi aku tak perduli dengan hal itu.

 

Kini aku tak bisa memikirkan apapun selain merasakan kenikmatan yang amat sangat yang melanda vaginaku. Setiap genjotan Kahar memaksaku merintih keenakan, apalagi kadang ia menyodok dalam dalam, membuatku melayang didera kenikmatan yang luar biasa. Sensasi ini masih ditambah dengan datangnya Hendra yang meminta jatahnya, dan dengan kepalaku yang masih dipangku oleh Rangga, aku membuka mulutku dan Hendra segera melesakkan penisnya untuk mendapatkan servis oral dariku.

 

Aku mulai mengejang perlahan, dan makin lama makin hebat. “Mmmmphh.. Nggghhhh… ooooghhh.. aduuuuhh…”, aku melepaskan kulumanku dengan mudah dari penis Hendra yang berukuran kecil ini, dan aku memejamkan mataku erat erat, kepalaku kugeleng gelengkan kuat kuat dan aku melenguh lenguh tak tahan diterjang badai orgasme ini. Tubuhku terus mengejang susul menyusul, vaginaku rasanya akan meledak saja. Dan mereka bertiga ini tak sedikitpun mengendorkan aktifitas mereka

 

Perbuatan mereka membuat orgasme yang melandaku ini terus meningkat, dan akhirnya mereka berhasil mengantarku menuju multi orgasme. Ada beberapa menit tubuhku terus tersentak sentak, keringatku terus membanjir deras, dan mereka seolah tak rela membiarkan orgasmeku ini reda. Kakiku terus melejang tanpa henti, dan ketika aku sudah mulai bisa mengontrol diri, Hendra kembali membimbing kepalaku seperti yang dilakukan Rangga tadi, dan mulutku kembali sudah dijejali penisnya Hendra ini.

 

Dengan lemas aku mengoral penis itu, dan kudengar Kahar melolong panjang, rupanya pijatan liang vaginaku pada batang penisnya ketika aku tadi mengalami multi orgasme, mempercepat Kahar mencapai puncak. Semburan penis Kahar dalam liang vaginaku mengakhiri ronde pertama ini, dan Rudi yang sejak tadi menglum dan menyedot payudaraku, sudah akan memulai ronde kedua. Ia sudah memposisikan dirinya di depan selangkanganku, dan aku agak panik juga.

 

Aku melepaskan kulumanku pada penis Hendra, dan dengan lemah aku memohon, “Rud, jangan sekarang Rud, aku capai… nggghhh…”. Rudi terlihat agak kecewa, tapi ia memenuhi permohonanku dan meletakkan pahaku yang tadi sudah dilebarkannya. Tapi tanpa kuduga sama sekali, Rudi tiba tiba merangsekkan kepalanya ke selangkanganku, dan mataku terbeliak ketika kurasakan ia mencucup bibir vaginaku. Cairan cintaku yang bercampur cairan sperma para pemerkosaku dalam liang vaginaku ini disedot oleh Rudi.

 

Hal ini membuatku menggeliat hebat. “Aaaaakh… Oooohhh…”, aku merintih dan mengerang, aku merasa seolah olah seluruh organ dalam tubuhku hendak disedot semuanya oleh Rudi. Pinggangku sampai terangkat angkat dan melengkung, aku memejamkan mataku dan menikmati semua ini sepuas puasnya. Tiba tiba Rudi menghentikan sedotannya. Aku mengeluh dan membuka mataku, dan aku melihat Rudi dengan mulut yang terlihat penuh, sudah akan mencium mulutku.

 

Aku melepaskan kulumanku pada penis Hendra. Rudi memagut bibirku, dan cairan cairan dari liang vaginaku yang tertampung dalam mulut Rudi segera berpindah ke mulutku. Aku menikmati rasa cairan itu, rasanya seluruh rongga mulutku dan lidahku sudah terlumuri cairan itu, yang tentu saja bercampur juga dengan air ludah dari Rudi. Tapi aku tak perduli, karena bagiku rasanya benar benar nikmat. Selagi aku menikmati semua ini, kurasakan telapak tangan kiriku digenggamkan pada sebatang penis.

 

Ternyata Hendra ingin aku mengocok penisnya. Perlahan kugerakkan tanganku mengocok penis dari Hendra ini, dan pemiliknya mulai mengerang keenakan. Dan sesaat kemudian kedua puting payudaraku sudah ada yang mengulum, ternyata Reza dan Wahyu yang sekarang ganti menyusu pada kedua payudaraku. Rudi yang sudah selesai melolohi aku dengan segala macam cairan dari mulutnya, kembali bergerak menuju selangkanganku, dan sekali lagi ia mencucup bibir vaginaku.

 

Untung saja aku sudah menelan semua cairan dalam mulutku, karena aku pasti sudah tersedak kalau mulutku masih terisi cairan tadi ketika aku kembali terlonjak lonjak keenakan seperti sekarang ini . Telapak tangan kananku digenggam lembut oleh Rangga yang masih memangku kepalaku ini. Ia juga membelai rambutku dengan mesra. Aku memandangnya dengan sayu, kini aku hanya bisa pasrah, aku sudah terlalu lelah untuk bergerak meskipun kenikmatan terus melanda selangkanganku.

 

Tiba tiba aku mendengar erangan Hendra dan aku menoleh. Aku melihat Hendra berkelojotan, dan ketika erangannya makin keras, ia buru buru menarik penisnya dari genggamanku dan aku hanya bisa membuka mulutku dengan pasrah dan membiarkan mulutku dijejali penis Hendra. Sambil mengerang panjang, Hendra langsung menyemburkan sperma hangatnya ke dalam mulutku.

 

Aku mengulum dan membersikan penis itu dan menelan semua sperma yang menggenangi mulutku. Akhirnya erangan Hendra berhenti, dan dengan lemas ia menarik penisnya lepas dari mulutku, kemudian ia roboh kehabisan tenaga. Nafasnya tersengal sengal, tapi ia tersenyum puas kepadaku. Aku memalingkan wajahku ke Rudi yang baru saja menghentikan sedotannya. Aku merasa vaginaku sudah bersih dari cairan cairan tadi. Rudi kembali mendekatkan mulutnya ke wajahku.

 

Aku membuka mulutku dan kembali aku dilolohi seperti tadi, cuma kini cairan yang mengalir ke mulutku tak sebanyak yang sebelumnya. Setelah selesai, tanpa memberiku kesempatan menelan cairan itu, Rudi langsung memagut bibirku dengan ganas. Aku kelabakan, dan cepat cepat berusaha menelan semua cairan dalam mulutku ini supaya aku tak sampai tidak tersedak. Setelah aku menghabiskan sperma yang bercampur cairan cintaku itu, kubalas pagutan Rudi sampai kami berdua sama sama kehabisan nafas.

 

Aku dan Rudi saling melepaskan pagutan kami. Kini aku mendapat kesempatan mengistirahatkan tubuhku. Kubiarkan Reza dan Wayhu terus menyusu pada kedua payudaraku sepuas hati mereka. Aku berusaha mengatur nafasku yang tersengal sengal, juga kubiarkan kepalaku tergeletak di pangkuan Rangga, yang terus membelai rambutku dengan lembut. Aku merasa nyaman dengan posisi ini, dan kubiarkan saja Rangga melakukan apa saja yang dia suka terhadapku.

 

“Capai ya Eliza?”, Rangga berbisik padaku. Aku mengangguk lemah. Aku hanya sempat beristirahat kurang lebih lima menit saja, dan kini aku kembali dikerubuti oleh mereka semua. Mereka mengajakku ngobrol, yang tak kutanggapi dengan lemas karena aku masih kelelahan. Walaupun begitu aku berusaha menjawab setiap pertanyaan mereka dengan sopan, karena aku tak mau mereka berubah menjadi kasar padaku nanti pada saat mereka menggilirku di ronde berikutnya.

 

Aku sempat memperhatikan, sinar matahari sudah mulai redup, entah jam berapa sekarang ini. Entah sudah berapa lama aku melayani mereka semua. Selagi mereka terus berbicara, kurasakan rabaan pada sekujur tubuhku oleh anak anak SMP ini. Kedua tanganku sudah terentang dan tak luput dari rabaan juga. Jantungku mulai berdegup kencang merasakan rangsangan yang bertubi tubi ini, apalagi ketika Rudi dengan nakal menjilati bibir vaginaku.

 

“Nggghh…”, aku melenguh dan tubuhku kembali bergetar, Rasanya vaginaku sekarang ini dalam keadaan sangat sensitif, dan sedikit sentuhan saja sudah amat merangsangku hingga gairahku langsung bergejolak. “Enak ya Eliza?”, tanya Rudi. Aku diam saja, mukaku terasa panas. “Kalau diam, itu berarti memang enak”, kata Rudi lagi. Ia lalu melanjutkan jilatannya, membuat tubuhku perlahan terasa makin panas.

 

“Oohh… tolong hentikan Rud… aku masih capai…”, keluhku. Tapi Rudi tak perduli, dan meneruskan jilatan itu. Sesekali lidahnya menusuk nakal, sedikit membelah liang vaginaku. Aku menggigit bibir dan memejamkan mataku erat erat. Lama kelamaan aku tak kuat lagi. Tubuhku sudah terlanjur merespon setiap rangsangan ini, dan perlahan aku menggeliat diikuti tawa mereka, tapi aku tak bisa menghentikan gerakan tubuhku yang sudah di luar kontrolku.

 

“Tadi minta berhenti… sekarang gimana Eliza? Yakin nih mau berhenti?”, tanya salah seorang dari mereka. Aku tak bisa menjawab, rasanya mukaku makin panas saja. Mereka tertawa tawa dan terus merabai setiap centi dari tubuhku. Akhirnya aku larut juga oleh sentuhan sentuhan itu, dan ketika Syamsul memagut bibirku, aku reflek balas memagutnya. Diiringi sorakan mereka, kami berdua berciuman dengan panasnya.

 

Akhirnya Syamsul melepas pagutannya dariku dengan nafas tersengal sengal. Aku bukannya baik baik saja, irama nafasku pun sudah tak karuan dan mataku sudah berkunang kunang. Sesaat kemudian, Kahar mendekat, rupanya ingin merasakan bibirku juga. Benar saja, Kahar segera memagut bibirku, membuatku kelabakan, dan aku merasakan tanganku yang terentang ini kembali dicengkeram di bagian pergelangan tanganku, ketika aku menggapai gapai berusaha mendorong wajah Kahar untuk melepaskan pagutannya.

 

Kedua pergelangan kakiku yang juga dalam keadaan terpentang ini juga dicengkeram entah oleh siapa. Maka aku hanya bisa menyerah pasrah membiarkan Kahar memuas muaskan dirinya memagut bibirku. “Mmmphh..”, aku hanya bisa merintih tak jelas, dadaku makin lama makin terasa sesak. Ketika Kahar melapaskan pagutannya, aku megap megap kehabisan nafas. “Oooh… sebentar… aku…”, aku mengeluh dan berusaha mengatur nafasku.

 

Tapi aku kembali harus tersengat oleh ulah Rudi yang kini malah mencucup bibir vaginaku. “Ngggh… Ruuud.. janganhhh.. ooooh”, aku melenguh lenguh. Anton mendekatkan bibirnya padaku, membuatku meronta panik. “Jangan… tunggu… oooh… mmpphh…”, kata kataku tersumbat ketika bibirku dipagut Anton dengan ganas. Aku terus meronta, tapi semuanya tak ada artinya. Setelah Anton puas memagut bibirku, kini ganti Darso yang menginginkan bibirku.

 

“Aggh.. tolong tunggu sebentaar…. Aku mmmppph….”, aku tak bisa meneruskan kata kataku karena Darso sudah melumat bibirku. Aku mulai lemas dan menderita karena tak bisa bernafas. Setelah Darso selesai melumat bibirku, aku langsung memalingkan wajahku ke perut Rangga, dan aku terbatuk batuk kehabisan nafas. Aku mulai menangis dan memohon, “Tolong jangan beginii.. biarkan aku bernafas dulu… aku udah nggak kuat lagi…”.

 

Aku benar benar berharap mereka mengasihani aku, dan untungnya kelihatannya mereka iba melihatku menangis, dan aku dibiarkan istirahat beberapa detik, bahkan Rudi pun menghentikan ulahnya yang sangat merangsangku, hingga aku mendapat kesempatan memulihkan nafas yang sudah sangat tersengal sengal ini. Dan setelah aku terlihat agak enakan, Hendra segera menyerbu dan melumat bibirku habis habisan

 

Rudi pun kembali melanjutkan ulahnya menjilati dan mencucup bibir vaginaku, Setelah Hendra puas melumat bibirku, Reza melepaskan cucupannya pada puting payudaraku yang kanan, lalu ia sempat menunggu beberapa saat sebelum memagut bibirku. “Mmmmh…”, aku memejamkan mataku menikmati pagutan Reza, lidah kami saling bertautan hingga air ludah Reza mengalir cukup banyak ke dalam mulutku.

 

Setelah Reza puas, kami saling melepaskan pagutan kami, dan nafasku kembali tersengal sengal dan aku harus cepat cepat menelan air ludah Reza yang menggenangi rongga mulutku, juga mengatur nafasku. Kini ganti Wahyu yang melepaskan cucupannya pada putting payudaraku yang kiri, dan setelah aku kelihatan bisa bernafas, Wahyu segera memagut bibirku dengan ganas. Aku agak kelabakan, karena Wahyu cukup lama memagut bibirku dan keadaan ini kembali membuatku menderita.

 

Aku mulai meronta, tapi aku sama sekali tak bisa bergerak. Untungnya hal ini agaknya menyadarkan Wahyu, dan ia pun melepaskan pagutannya dari bibirku. Aku terbatuk batuk dan dan megap megap berusaha menghirup udara yang sama sekali tidak segar ini, tapi aku tak punya pilihan lain. Setelah keadaanku terlihat lebih baik, Rangga mengangkat kepalaku yang sejak tadi terbaring di pangkuannya, dan ia memagut bibirku sepuas puasnya.

 

Kini setelah semua mendapatkan kesempatan melumat bibirku, aku tahu ronde kedua sudah akan dimulai ketika kedua pahaku dilebarkan oleh Rudi. Mereka mengatur posisi mereka untuk bersama sama menikmati tubuhku. Rangga tetap memangku kepalaku dari sebelah kanan, dan ia terlihat senang sekali membelai kedua pipiku, mungkin karena kulit pipiku yang putih mulus ini. Darso kini mencucup puting payudaraku yang sebelah kiri, sedangkan Syamsul mendapatkan puting payudaraku yang sebelah kanan.

 

Dan untuk membuatku tak berdaya, pergelangan tangan kiriku dicengkeram oleh Hendra, dan pergelangan tangan kananku dicengkeram oleh Reza. Juga pergelangan kaki kiriku dicengkeram oleh Anton, dan pergelangan kaki kananku dicengkeram oleh Kahar. Wahyu menghirupi rambutku yang terurai ke sebelah kiriku, aku tidak mengerti apa asyiknya, tapi Wahyu kelihatan amat senang. “Eliza.. kita lanjutin ya…”, kata Rudi perlahan, ia menatapku penuh nafsu. Aku mengangguk perlahan dan menatap sayu pada Rudi.

 

Dengan perlahan Rudi membenamkan penisnya ke dalam liang vaginaku, dan aku kembali memejamkan mata, berusaha menikmati saat saat terbelahnya liang vaginaku ini. Setelah penisnya tertelan seluruhnya dalam liang vaginaku, Rudi mulai memompa vaginaku, membuatku melenguh lenguh keenakan, “Ngghhh.. ohhh Ruuud… aaah…”. Rudi tertawa puas dan terdengar sekali kebanggaan dalam tawanya itu karena dia bisa membuatku keenakan seperti ini. Cairan cintaku sudah mulai keluar, melumasi liang vaginaku ini.

 

Sensasi yang kudapat kali ini bertambah dahsyat karena aku merasa sangat tak berdaya dengan kedua pergelangan tangan dan kakiku yang tercengkeram erat, hingga aku tak bisa menggeliat dengan enak dan bebas, hanya kepalaku yang terbaring di pangkuan Rangga yang bisa sedikit kugerakkan. Kurasakan remasan lembut oleh Darso dan Syamsul yang sedang asyik menyusu di kedua payudaraku, membuatku menggelinjang keenakan.

 

Selain itu, belaian tangan Rangga pada kedua pipiku dan ulah Wahyu yang menghirup hirup rambutku, semua itu makin dalam menengggelamkanku dalam kenikmatan. “Nggghhh… aduuuh….”, aku terus melenguh keenakan merasakan rangsangan bertubi tubi pada sekujur tubuhku ini. Gairahku terus naik, dan aku makin tak bisa mengontrol gerakan tubuhku, yang mulai mengejang tak karuan menahan siksaan kenikmatan birahi yang nyaris tak tertahankan ini.

 

Tapi sayangnya, Rudi tak butuh waktu lama untuk berejakulasi dalam liang vaginaku, ia menghunjamkan penisnya sekuatnya dan tubuhnya bergetar getar . “Ooohh… Elizaaa”, ia mengerang panjang meneriakkan namaku dan menembakkan spermanya, dan rasanya hanya sedikit sperma yang dikeluarkannya. Aku mengeluh pendek dan membuka mataku, menatapnya dengan pandangan kecewa. Sebenarnya kalau Rudi mampu menggenjotku beberapa lama lagi, mungkin saja aku juga akan menggapai orgasmeku.

 

Tapi aku tak berkata apa apa, dan begitu Rudi melepaskan penisnya dari jepitan liang vaginaku, Darso langsung mengambil posisinya di selangkanganku menggantikan Rudi. Puting payudaraku yang sebelah kiri ini tak menganggur lama. Mereka bekerja sama dengan kompak untuk membuatku terus menerus dalam keadaaan terangsang hebat dan tak berdaya untuk bergerak bebas.

 

Hendra langsung melahap puting payudaraku yang sebelah kiri. “Yu, minggir Yu. Mau ngerasain sepongan Eliza aku!”, Rudi menyuruh Wahyu memberikan tempatnya. Wahyu menghirup rambutku dalam dalam, kemudian beranjak memberikan tempatnya pada Wahyu dan menggantikan Hendra mencengkeram pergelangan tangan kiriku.

 

Darso sendiri mulai memompa vaginaku, dan aku terus mengeliat walaupun tertahan oleh mereka. Rudi menempelkan penisnya di bibirku, dan aku langsung melahap penis itu. Aku mengulum dan menjilati sisa sperma dari penis yang sudah melembek ini. “Aduh… enaaaaak…”, Rudi mengerang erang keenakan ketika aku menyeruput semua sisa sperma itu sampai bersih, dan ia ambruk di sebelahku. Tepat ketika ia tergeletak di lantai, Darso juga sudah berejakulasi. “Oooohh…. enaknya memekmu Elizaa…”, erang Darso.

 

Aku agak sebal dan kecewa karena tadi juga gairahku yang belum terlalu turun, sesungguhnya sudah naik cepat ketika Darso memompa vaginaku. Tapi lagi lagi aku tak sempat menggapai orgasmeku sedangkan pemerkosaku sudah orgasme duluan saat vaginaku baru mulai berdenyut denyut. Rasanya menjengkelkan sekali deh. Tapi aku cuma bisa diam saja. Yah, mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa pasrah dan diam saja memendam kekecewaanku.

 

Syamsul beranjak mendekati selangkanganku dengan langkah gontai. Meskipun kelihatan lemas dan lelah, tapi penis yang panjangnya kira kira 15 cm dan sudah ereksi dengan gagah itu tetap diterjangkan pemiliknya, mengoyak dan mengaduk aduk liang vaginaku, mendatangkan rasa nikmat yang luar biasa pada vaginaku. Dan Reza sudah menggantikan Syamsul mencucup puting payudaraku yang sebelah kanan ini, sedangkan Kahar menggantikan Reza mencengkeram pergelangan tangan kananku.

 

Rudi yang sedang tergolek lemas itu merayap mendekati pergelangan kaki kananku, dan mencengkeram ala kadarnya, tapi sudah cukup untuk kembali membuatku tak mampu bergerak bebas. Sementara itu, Hendra dan Reza makin bersemangat mencucup dan menyedot kedua puting payudaraku. Darso menagih jatahnya, memintaku mengoral penisnya yang masih belepotan sperma itu, dan aku segera melahap penis si Darso ini.

 

Keadaanku sudah benar benar tak karuan digangbang oleh anak anak SMP ini. Kesembilan anak SMP ini menguasai tubuhku sepenuhnya. Empat dari mereka mencengkeram kedua pergelangan tangan dan kakiku, yang satu memangku kepalaku, satu menyusu di payudaraku yang kiri dan satu lagi menyusu di payudaraku yang kanan. Dan yang pasti, satu lagi memompa liang vaginaku, dan satu lagi menikmati servis oral dariku.

 

Aku sendiri merasakan sensasi yang luar biasa diperlakukan seperti ini dan aku pasrah saja mengikuti kemauan mereka semua. Dan sekarang, seperti Rudi, Darso juga mengerang keenakan ketika aku membersihkan penisnya yang belepotan sperma. Tubuhnya sampai mengejang ngejang ketika aku mencucup dan menyedot penisnya, dan begitu kuluman itu kulepaskan, Darso langsung roboh, terlihat jelas selain keenakan ia juga kelelahan.

 

Ketika kulihat Rudi dan Darso yang sudah ambruk itu kelihatan malas bangun lagi, aku jadi punya harapan, ronde ke dua ini merupakan ronde terakhir dan aku segera bebas dari mereka. Kini perhatianku kembali terfokus pada Syamsul yang dengan menggebu gebu memompa vaginaku. “Ngghhh… Suull…”, aku melenguh dan menggeliat keenakan, apalagi ditambah gigitan kecil pada kedua puting payudaraku, membuat aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat, tak kuasa menerima segala rangsangan ini.

 

Tapi sayangnya, bahkan Syamsul yang tadi di ronde pertama cukup perkasa, kali ini hanya sekitar 5 menit saja ia sanggup memompaku, dan ia sudah berejakulasi. Kembali aku tenggelam dalam kekecewaan. Lagi lagi aku hampir menggapai orgasmeku, tapi gagal lagi karena Syamsul terlalu cepat berejakulasi. Kini Rudi menggantikan Rangga untuk memangku kepalaku, sedangkan Darso menggantikan Rudi mencengkeram pergelangan kaki kananku. Rangga sendiri beranjak ke selangkanganku.

 

Rupanya mereka sudah mengatur urutan mereka untuk menikmati liang vaginaku di ronde ini supaya sama persis dengan di ronde pertama tadi. Tak lama kemudian liang vaginaku segera terbelah oleh penis Rangga. “Ssshhh…”, aku mendesis, dan Rangga segera menggenjotku habis habisan. Sementara itu, Rudi yang sudah memangku kepalaku membelai rambutku dengan lembut dan mesra, membuatku sedikit merasa nyaman.

 

Dan di selangkanganku, setelah liang vaginaku beradaptasi dengan penis Syamsul yang lebih panjang dan lebih besar, sodokan penis Rangga yang lebih kecil dan lebih pendek dari milik Syamsul ini tak terlalu mempengaruhiku. Walaupun begitu aku sama sekali tak bisa beristirahat, karena sejak tadi Hendra dan Reza terus mempermainkan kedua payudaraku. Tak hanya menyusu, mereka berdua juga meremasi payudaraku dengan lembut, sehingga aku terus menerus berada dalam keadaan terangsang hebat.

 

Namun aku tak pernah mencapai orgasme, sejak tadi para pemerkosaku tak ada yang sanggup untuk cukup lama memompa vaginaku. Hal ini sebenarnya sangat menyiksaku. Baik dengan Rudi, Darso dan Syamsul tadi, sebenarnya vaginaku sudah berdenyut denyut, tapi sebelum aku mencapai orgasme, mereka sudah berhenti memompaku. Aku tahu mereka bukannya sengaja mempermainkanku seperti yang dilakukan pak Basyir penjaga vilaku dulu.

 

Mereka berhenti memompaku karena mereka memang sudah berejakulasi. Selain itu mereka pasti sudah sangat terangsang , karena sejak tadi mereka melihat tubuh indah seorang amoy cantik yang tersaji polos untuk mereka, yang kini sudah sama sekali tak berdaya dengan kedua pergelangan tangan dan kakiku yang dicengkeram erat oleh mereka, membuat mereka tak mungkin bisa bertahan untuk berlama lama memompa vaginaku.

 

Dan sekarang ini paling tidak sudah lebih dari 5 menit Rangga menggenjot vaginaku. Rangga tampaknya begitu menikmati jepitan liang vaginaku pada penisnya. Aku hanya menyandarkan kepalaku di pangkuan Rudi, membiarkan Rangga terus menggenjotku sampai ia mulai mengejang hebat.”Ohhh… Elizaa… enaaknyaaa….”, erang Rangga, dan ia menyemprotkan spermanya bertubi tubi, sedangkan aku hanya merasa nyaman dengan hangatnya sperma Rangga yang melumuri liang vaginaku.

 

Rangga menarik lepas penisnya dari vaginaku, dan segera memintaku mengoral penisnya. Mulutku kembali dijejali sebatang penis, yang kali ini cukup kecil dan memudahkanku untuk melakukan kuluman pada seluruh permukaan penis ini, dan Rangga mulai menggeliat keenakan dan sedikit menggerak gerakkan penisnya dalam rongga mulutku yang kini belepotan oleh sisa sperma yang masih melekat di penis Rangga.

 

Baru saja aku mulai mengulum penis Rangga, vaginaku sudah harus menelan sebatang penis. Aku sempat melihat, kali ini Hendra yang mengaduk aduk liang vaginaku. Seperti Rangga, Hendra sama sekali tak bisa membuatku tenggelam dalam kenikmatan. Penis mereka ini berukuran kecil. Sambil terus mengulum dan menyedot penis Rangga, diam diam aku merasa geli, tak pernah terbayangkan olehku aku akan diperkosa anak SMP, dan baru hari ini aku beberapa kali merasakan vaginaku diaduk oleh penis berukuran pendek.

 

“Ssshh..”, aku mendesah pasrah ketika Wahyu mencucup puting payudaraku yang kiri. Sedang Anton menggantikan Wahyu mencengkeram pergelangan tangan kiriku dan Syamsul mencengkeram pergelangan kaki kiriku. Sementara itu, Rangga terus mengerang keenakan, dan tiba tiba ia berkata setengah menjerit, “Sudaah.. sudah Elizaaa… ooooohh….”. Aku melepaskan kulumanku, dan Rangga langsung ambruk tak berdaya, ia terlihat sangat lemas.

 

Selagi Hendra masih menggenjotku, aku menggunakan kesempatan ini untuk mengistirahatkan mulutku, yang rasanya pegal juga karena sejak tadi kupakai untuk mengoral penis penis dari berbagai ukuran ini. Tapi aku tak bisa berlama lama, karena beberapa saat kemudian Hendra sudah mengerang panjang dan menembakkan spermanya di dalam liang vaginaku. Beberapa saat tubuhnya berkelojotan, kelihatan sekali ia merasakan kenikmatan yang amat sangat. (*)

 

Hendra mencabut penisnya dari jepitan liang vaginaku, dan ini berarti sudah ada tugas lagi untuk mulutku. Aku segera melahap penis Hendra, dan aku mulai mengulum dan menyedot penis itu kuat kuat hingga Hendra melolong lolong, “Oooohh.. Elizaaaa… huuuunnngggghhhh..” Selagi aku mengulum penis Hendra, kurasakan liang vaginaku diterjang sebatang penis, dan pemiliknya menyodokkan penisnya yang panjang itu dengan kuat, membuatku melenguh di antara kegiatanku mengulum penis milik Hendra.

 

“Nggghhh.. mmmm… mmmhh…”, aku melenguh keenakan sambil terus mengulum dan menyedot penis di mulutku ini, dan Hendra menggeliat hebat. “Ooooonggghhhh.. ampun Elizaaa…”, Hendra melolong keenakan ketika aku menyedot penisnya kuat kuat. Aku melepaskan kulumanku, dan Hendra segera ambruk, ia terlihat begitu malas untuk bangun. Dan kini, ketika kurasakan vaginaku dimanjakan sodokan yang kadang lembut dan kadang menyentak, aku sudah tahu, sekarang ini pasti Reza yang sedang menyetubuhiku.

 

“Oh.. Rezaa.. nggghh.. enaak…”, aku kembali melenguh. Reza memperlambat genjotannya, dan tubuhku bergetar hebat menahan nikmat ini. “Oooh.. terus Rezaa..”, nafsu birahi yang sudah menguasai diriku sepenuhnya ini membuat aku tak lagi malu malu untuk meminta dipuaskan oleh Reza. “Enak ya Eliza?”, bisik Reza yang sudah menindihku. “Iyaa.. oooh… aku… mmmppphh….”, Reza memagut bibirku dan aku balas memagut bibirnya sepenuh hati.

 

Memang di antara mereka ini, seandainya aku harus memilih, aku pasti akan memilih Reza. Walaupun kulitnya hitam, tapi ia tampan juga, selain itu tubuhnya atletis menggairahkan. Reza menyetubuhiku sambil terus mencumbuiku, membuat aku makin tenggelam dalam kenikmatan. Kahar sudah mencucup puting payudaraku yang kanan, sedangkan Darso mencengkeram pergelangan tanganku yang sebelah kanan. Rangga juga sudah mencengkeram pergelangan kakiku yang sebelah kanan.

 

Terangsang hebat dan rasa tak berdaya ini benar benar membuatku melayang dalam kenikmatan. Akhirnya orgasme yang sudah kunanti sejak tadi kudapatkan juga. Tubuhku mengejang hebat, kedua kakiku melejang lejang, pinggangku melengkung dan aku melenguh lenguh keenakan, “Ngggghhhh…. Nggghhh… aduuuuh Rezaaa.. ooooohhh….”. Cairan cintaku membanjir, membuat selangkanganku terasa amat nikmat. Aku ingin memeluk Reza, tapi kedua pergelangan tanganku yang terentang ini tak bisa kugerakkan, kedua pergelangan tanganku tertahan dengan erat.

 

Walaupun agak sebal, tapi perasaan tak berdaya ini malah menambah nikmat yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku tersentak sentak. “Oohhh.. Elizaa… memekmu ini enaaaaak…..”, Reza mengerang panjang. Nikmat ini makin hebat rasanya ketika penis Reza berkedut keras dan spermanya yang hangat itu menyembur dengan deras membasahi liang vaginaku. “Ngghhhh… oooohhh…”, aku sendiri kembali melenguh keenakan, vaginaku berdenyut denyut dan kini aku terkulai lemas. Tenagaku sudah hampir habis rasanya, entah apa aku kuat melalui semua ini.

 

Nafasku tersengal sengal serasa hampir putus. Keadaan Reza sendiri tak lebih baik, keringat di tubuhnya membanjir deras dan bercampur dengan keringatku membasahi tubuhku. Nafas Reza masih terdengar memburu, tapi Reza masih ingin mencumbuiku, ia kembali memagut bibirku dengan mesra. Aku memejamkan mataku dan dengan penuh penyerahan kubiarkan Reza mencumbuiku sepuas hatinya. Air ludah Reza terus mengalir ke mulutku, dan aku tanpa merasa jijik terus menelannya supaya aku tidak tersedak.

 

“Gantian Rez!”, gerutu Wahyu yang sudah kelihatan tak sabar menanti gilirannya. Reza yang baru sadar kalau masih ada Wahyu, Anton dan Kahar yang menanti gilirannya, mencabut penisnya dari jepitan liang vaginaku, tapi ia menyempatkan diri untuk merangsekkan kepalanya ke selangkanganku. Dan aku segera dibuat Reza terbeliak dan melenguh keenakan ketika Reza mencucup bibir vaginaku kuat kuat. “Ngghhh.. aduh Reeezz….”, aku terus melenguh dan menggeliat sampai akhirnya Reza berhenti menyedot vaginaku.

 

Reza lalu dengan mulut yang agak menggembung, mendekati wajahku. Aku tahu apa maunya, kuterima ciuman Reza dengan senang hati, dan campuran segala macam cairan yang mengalir dari mulut Reza itu kutelan semuanya. Setelah cairan itu habis, aku masih saja memagut bibir Reza. “Mppphh…”, aku merintih tertahan ketika Wahyu melesakkan penisnya ke dalam liang vaginaku. “Ooohh.. memang enaaak…”, Wahyu meracau penuh kenikmatan merasakan jepitan otot vaginaku pada batang penisnya.

 

Anton sudah mencucup putting payudaraku yang kiri, sedangkan pergelangan tangan kiriku dicengkeram oleh Syamsul. Hendra menggantikan Syamsul untuk mencengkeram pergelangan kaki kiriku. Kini Wahyu mulai memompa liang vaginaku, dan aku merintih keenakan. Batang penis Wahyu ini hampir sama ukurannya dengan milik Reza, dan mendatangkan kenikmatan yang hampir sama pula. Aku terus menikmati sodokan penis Wahyu dalam liang vaginaku, sambil terus berpagut mesra dengan Reza.

 

Kedua payudaraku masih terus dipermainkan Anton dan Kahar. Perasaan terangsang hebat yang melanda sekujur tubuhku ini membuatku ingin menggeliat sekuatnya. Tapi tentu saja hal itu tak bisa kulakukan karena kedua pergelangan tangan dan kakiku dalam keadaan tercengkeram erat, dan aku hanya bisa memejamkan mataku menikmati semua ini. Kini perasaan tak berdaya yang kurasakan ini makin menambah sensasi kenikmatan yang menderaku.

 

Reza melepaskan pagutannya pada bibirku, dan ketika aku membuka mata, kulihat penis Reza yang masih belepotan sperma itu sudah berada di depan mulutku. Langsung saja aku melahap penis itu, dan aku mengulum dengan sepenuh hati. Kubersihkan seluruh batang penis itu dari sisa sperma, kujilati memutar dan kusedot sampai bersih. Pemiliknya sudah melenguh lenguh keenakan, “Sudah Elizaaa.. ampuuun…. enaknyaaaa….”. Aku melepaskan kulumanku ketika Reza menjerit minta ampun dan Reza langsung ambruk, tubuhnya bergetar getar merasakan sisa kenikmatan tadi.

 

Aku kembali tersenyum geli, dan kini aku menikmati genjotan Wahyu yang amat gencar ini. Tiba tiba aku mendapati Kahar menempelkan penisnya ke mulutku. Aku memandangnya heran, dan Kahar berkata, “Sekalian pemanasan, Eliza. Dioral ya..”. Gayanya itu seperti memerintah budaknya saja, membuatku sedikit sebal. Tapi aku membuka mulutku juga, dan Kahar langsung menjejalkan penisnya yang hanya basah oleh cairan bening.

 

Hal ini menunjukkan ia sudah amat terangsang hingga tubuhnya secara alami mengeluarkan cairan yang melumuri penisnya. Aku kini menjilati dan menyedot cairan yang tak terlalu banyak itu, sekaligus mencoba ketahanan Kahar ini. “Oooohh…. Oooooh….”, Kahar melenguh keenakan, bahkan ia menggerak gerakkan pinggulnya hingga penisnya menyapu seluruh rongga mulutku. Aku terus mengoralnya, dan vaginaku rasanya berdenyut kembali setelah cukup lama dipompa Wahyu.

 

Darso mencucup puting payudaraku yang kanan, sedangkan Rangga mencengkeram pergelangan tangan kananku. Reza yang baru saja ambruk merayap dan menggantikan Rangga mencengkeram pergelangan kaki kananku. Sementara itu Wahyu sudah mengerang ngerang. “Aaaah… Elizaaaa..”, erang Wahyu dengan penuh kenikmatan, ia menyodokkan penisnya dalam dalam, seolah ingin menyemprot bagian terdalam dari liang vaginaku dengan spermanya.

 

Mungkin denyutan otot vaginaku membuat Wahyu terangsang hebat dan tak kuat berlama lama menggagahiku. Kahar menarik penisnya dari kuluman mulutku, mempersilakan Wahyu untuk mendapatkan servis oral dariku. Bersamaan ketika Wahyu menjejalkan penisnya ke dalam mulutku, Kahar juga mengoyak liang vaginaku dengan penisnya. “Nggghhh..”, aku terhenyak dan melenguh, dan yang menguatirkanku, kini aku mulai merasakan sedikit sakit pada liang vaginaku.

 

Aku cepat cepat membersihkan sisa sperma dari penis Wahyu, yang kemudian langsung ambruk dan bertukar tempat dengan Anton. Untungnya Anton yang langsung menjejalkan penisnya ke dalam mulutku ini berkata, “Eliza, aku keluarin di mulutmu ya.. sudah gak nahan nih dari tadi liat pemandangan di selangkanganmu sana..”. Aku segera mengoral penis Anton dengan sisa sisa tenagaku, sementara kurasakan selangkanganku didera rasa sakit yang bercampur nikmat.

 

Beberapa menit aku melayani dua penis ini, akhirnya mereka berdua mulai berkelojotan. Aku berharap mereka segera ejakulasi, karena mulutku sudah sangat capai rasanya, dan vaginaku entah kenapa mulai terasa pedih. “Huuuungghhh… huoooooohhh”, beberapa saat kemudian baik Anton maupun Kahar melolong lolong, dan dengan bersamaan mereka berdua menyemprotkan spemma mereka berdua diiringi erangan panjang yang merupakan ekspresi kenikmatan mereka.

 

Tiba tiba Kahar mencucup bibir liang vaginaku, hingga aku terlonjak lonjak antara geli dan terangsang hebat. Cairan yang menggenangi liang vaginaku rasanya disedot habis oleh Kahar, dan Anton dengan penisnya yang sudah kubersihkan itu sudah terkulai lemas. Aku sudah sangat lemas, dan ketika Kahar memagut bibirku aku hampir saja terlambat menelan semua cairan itu, dan hampir saja aku tersedak.

 

Setelah Kahar selesai melolohiku dengan campuran sperma, cairan cintaku dan air ludahnya dia sendiri, ia tergeletak lemas, mereka semua juga melepaskan semua cengkeraman mereka padaku, dan kedua puting payudaraku yang basah tak karuan oleh air ludah mereka semua juga terbebas. Kami semua tergeletak lemas, tenaga sudah terkuras habis. Aku berusaha memulihkan nafasku yang tersengal sengal ini.

 

Melihat mereka kondisinya sudah kelelahan semua, aku makin yakin ronde ke dua ini sudah berakhir. Tapi rupanya aku terlalu cepat senang. Tiba tiba kudengar deru sepeda motor, dan ketika aku menoleh ke arah suara itu, bukan hanya satu, aku melihat tiga sepeda motor sekaligus, yang memasuki rumah kosong ini. Ketiga pengendaranya masih mengenakan seragam putih abu abu, seragam SMA. Satu di antara mereka adalah yang tadi siang bersama dengan Rudi saat membawaku ke sini.

 

Aku tak tahu sekarang ini jam berapa, tapi yang jelas sinar matahari sudah tak kelihatan lagi. Sembilan anak SMP yang tadi itu agak menjauh dariku, seolah olah hendak mempertontonkan tubuhku pada ketiga anak SMA yang kelihatannya senior mereka itu. “Wow.. amoy ini memang special Man”, kata salah seorang dari mereka, disambung yang satu lagi, “Gila Maman, hebat juga lu bisa dapat amoy kayak gini! Gak nyesel gue ke sini ikut elo Man! “.

 

“Boleh lah kita menikmati dia sebentar sebelum nanti malam beraksi di lapangan! Toh sepeda motor kita sudah selesai distel, tinggal tarik pedal gas saja”, kata yang dipanggil Maman itu, yang tadi bersama Rudi itu. Aku menggeleng gelengkan kepalaku kuat kuat, “Jangan.. aku sudah sangat capai, ampun…”. Aku memohon mohon, dan melihat mereka terus saja melepaskan baju mereka, aku makin panik, air mataku mulai membasahi mataku. Aku tahu ini hal yang tak mungkin, tapi aku terus mencoba memohon supaya mereka tak jadi ikut memperkosaku.

 

“Tolonglah, Maman, kita sama sama SMA, kalian jangan begini”, aku mengeluh. “Nggak, kita nggak sama. Kami anak STM… hahahaha”, jawab Maman sambil tertawa terbahak bahak. “Oh iya, ini Joko, dan ini Dimas”, Maman mengenalkan kedua rekannya, dan aku tak bisa berkata apa apa lagi, toh para bajingan ini sudah sangat menginginkan tubuhku. Mereka bertiga mendekatiku dengan pandangan bak serigala yang melihat daging mentah, mereka sudah seperti kerasukan.

 

Aku tercekat melihat ukuran penis mereka ini. Ketiga penis itu nyaris sama panjang, dan paling tidak 18 cm. sedangkan diameternya tak ada yang lebih kecil dari 4 cm. Aku menangis ngeri, dan kembali aku mencoba memohon pada mereka, “Tolong, aku sudah..”. Man langsung memotong, “Sudah kepingin main sama kami bertiga? Tenang saja, amoy cantik. Hahahaha, kami akan memuaskanmu sampai kamu nggak bisa bangun lagi”.

 

Aku berusaha bangkit untuk menjauh dari mereka, tapi aku makin ketakutan ketika aku mendapati kenyataan bahwa aku tak mampu berdiri. Rupanya gangbang tadi itu benar benar menghancurkanku, selain rasa sakit pada vaginaku, kedua kakiku juga serasa tak bertenaga sama sekali. Maka tanpa perlawanan sedikitpun, Maman sudah berhasil memeluk tubuhku, dan beberapa saat kemudian penisnya sudah membelah liang vaginaku.

 

“Ooooh… sakiiiit…”, aku mengerang kesakitan, tubuhku mengejang didera rasa sakit yang amat sangat ini. Tak ada rasa nikmat sedikitpun. Aku sudah berusaha untuk tak merasa diperkosa, paling tidak aku tak akan menderita luka batin. Tapi ketika Maman mulai memompa liang vaginaku, aku terus mengerang bahkan akhirnya aku menjerit kesakitan. Air mataku mengalir karena aku tak kuat menahan siksaan ini.

 

Bukannya kasihan, Maman malah menggenjotku dengan gencar. Ia hanya memandangku sebagai pemuas nafsunya saja, dan ini membuatku sakit hati. Lalu Maman sempat berhenti sejenak, dan pelukannya pada tubuhku makin erat. Ia membawaku berdiri dengan penisnya yang masih tertancap di liang vaginaku, dan walaupun rasanya sakit sekali karena penis itu makin dalam membelah liang vaginaku, aku terpaksa harus memeluk lehernya karena aku tak ingin jatuh terbanting ke lantai yang cuma beralas tikar ini.

 

Sekitar lima menit Maman menggenjotku dalam posisi ini, rupanya Maman sendiri kelelahan dan ia menurunkan tubuhku, penisnya sempat terlepas dari liang vaginaku. Aku sudah kesakitan sampai kepalaku rasanya mau pecah. Keadaanku sudah setengah sadar ketika kurasakan liang vaginaku kembali menelan penis Maman, dan beberapa genjotan keras diiringi erangan Maman, mengakhiri perkosaan Maman terhadap diriku.

 

Sperma Maman menyemprot liang vaginaku dengan deras, dan Maman langsung menarik penisnya. Aku sudah tak bisa mengerang lagi, tubuhku rasanya lumpuh, tak ada tenaga untuk menggeliat ataupun mengejang, walaupun kurasakan sakit yang amat sangat ketika lagi lagi liang vaginaku harus menelan sebatang penis, entah milik Joko atau milik Dimas. Tubuhku tersentak sentak mengikuti irama pemilik penis yang menggagahiku tanpa perlawanan sedikitpun.

 

Beberapa menit kemudian, aku kembali merasakan semburan sperma hangat di liang vaginaku. Ini sedikit mengurangi rasa sakitku, tapi penderitaanku kembali datang ketika penis yang ketiga ganti membelah liang vaginaku. Tapi bahkan aku tak sanggup menggenggamkan tanganku, padahal aku didera rasa sakit yang amat sangat. Tubuhku terus tersentak mengikuti irama sodokan pemerkosaku, sampai akhirnya semburan cairan sperma yang hangat kembali membasahi liang vaginaku.

 

Aku tak tahu harus berapa lama lagi aku menerima siksaan ini, liang vaginaku serasa jebol setelah menelan 20 batang penis secara marathon. Setelah jeda sekitar setengah jam, aku melihat sembilan anak SMP yang tadi tergeletak lemas semua itu kini sudah mengerumuniku. Aku menangis ketakutan, tak berani membayangkan aku harus melayani mereka bersembilan itu lagi.

 

Tapi tak ada yang mendekati selangkanganku, semua hanya megerumuniku sampai ke pinggang. Dan, mereka semua beronani bersama sama, mengocok penis mereka sendiri. Aku merasa udara di sini semakin pengap karena bau keringat mereka semua. Dan mereka terus beronani sambil tertawa tawa, sedangkan aku tahu aku akan segera menerima bukake. Setelah sekitar 5 menit, kulihat ketiga anak STM itu juga ikut berdiri dan beronani.

 

Tiba tiba aku mulai merasakan semprotan sperma mereka mulai menghujani tubuhku. Kedua mataku terkena semprotan juga hingga aku terpaksa menutup mataku. Beberapa saat kemudian, kedua telingaku, rambutku, kedua pipiku, leherku, kedua payudaraku dan perutku, kurasakan semuanya tersemprot cairan sperma. Aku seperti sedang mandi sperma saja. Lengkap sudah, 12 semprotan sperma pada tubuhku.

 

Entah siapa yang melakukan, tapi gumpalan sperma yang tadi menghujani tubuhku ini diratakan ke permukaan kulitku. Kemudian kurasakan pahaku diolesi sperma, mungkin yang menempel di telapak tangan yang meratakan cairan itu. Wajahku benar benar basah rata oleh sperma, demikian juga leherku, payudaraku, dan perutku. Pahaku sendiri terasa agak lengket di bagian depan, dan aku tak tahu keadaan rambutku, tapi pasti juga menyedihkan. Aku benar benar merasa terhina, dan aku menangis tanpa suara.

 

“Eliza.. kapan kapan kalo kangen kami, temui saja kami di sini. Kami juga senang kok main sama kamu… Hahahaha.. “, kudengar suara Maman, dan deru sepeda motor yang baru dinyalakan membuatku sedikit banyak merasa lega, gangbang ini sudah berakhir, dan mereka telah melepaskanku. Setelah mereka semua pergi, aku membuang genangan sperma yang membasahi mataku, aku mengelap dengan jari tanganku, maka aku bisa membuka mataku.

 

Air mataku masih mengalir, selain merasa sakit secara fisik, aku juga merasa sangat terhina dengan semprotan sperma pada sekujur tubuhku ini. Perlahan aku mencoba bangkit dari tikar yang menjadi saksi penderitaanku ini, tapi ketika aku berdiri, kedua kakiku terasa gemetaran, vaginaku pun terasa amat sakit, membuatku langsung roboh. Aku harus beristirahat barang sebentar untuk memulihkan kondisiku.

 

Tiba tiba aku mendengar suara hujan, makin lama makin deras. Aku tahu aku tak boleh beristirahat di tengah ruangan ini dalam keadaan telanjang bulat dan tubuh penuh sperma seperti ini, karena bisa saja ada orang yang masuk ke rumah kosong ini untuk berteduh. Aku memaksakan diri untuk merangkak ke sudut ruangan rumah kosong ini, di mana mereka tadi melempar lemparkan bajuku. Tubuhku rasanya remuk semua, tapi aku harus segera menutupi tubuhku.

 

Akhirnya aku sampai ke tempat itu, dan kulihat bajuku masih lengkap. Aku tak perduli dengan keadaan tubuhku yang basah oleh sperma ini, kupakai baju dan rok seragamku. Kancing baju seragamku sudah tak ada semua, tapi aku tak terlalu panik, karena aku masih bisa menutupi tubuhku dengan tas sekolahku. Sedangkan bra dan celana dalamku yang sudah tak bisa kupakai lagi karena sudah robek dan putus, kumasukkan ke dalam tas sekolahku.

 

Setelah kurang lebih satu jam aku berdiam diri sambil menangis, aku menguatkan diriku untuk berdiri. Masih terasa sekali sakit pada vaginaku, kedua kakiku juga masih gemetar, tapi kini aku sudah mampu berjalan walaupun tertatih tatih. Aku perlahan terus melangkahkan kaki keluar, dan untungnya aku tahu kemana aku harus mencari mobilku. Setelah aku terus berusaha berjalan kurang lebih 5 menit di bawah guyuran hujan barulah aku sampai ke mobilku.

 

Untung saja tak ada yang melihatku selama aku mengarah ke mobilku ini. Aku cepat cepat mengeluarkan kunci mobil dari tas sekolahku, memencet tombol pembuka, dan aku segera masuk ke mobilku. Bajuku sudah basah kuyup tak karuan, untungnya jok tempat duduk mobilku ini terlapis kulit, jadi aku tak kuatir merusak bagian dalamnya. Tepat ketika aku menutup pintu, kudengar handphoneku berbunyi menunjukkan SMS yang masuk.

 

Aku mengunci pintu mobilku dan kuambil handphone yang tadi kuletakkan di jok sebelah itu. ada 9 missed call dari 2 nomer, mamaku dan Jenny. 2 SMS yang masuk juga satu dari mamaku, satu lagi dari Jenny. Aku masih terus menangis ketika aku membaca SMS yang dari mamaku, “Eliza, kamu ada di mana? Ini mama, papa dan koko harus pergi ke vila, soalnya koko mau pakai vila buat liburan minggu depan. Besok malam baru pulang, kamu kalau mau makan di luar, mama titipin uang di meja kamu ya”.

 

Kemudian kulanjutkan membaca SMS dari Jenny, “El, thanks ya udah nolongin aku balikin buku itu ke Sherly. Besok senin aku traktir kamu yah waktu istirahat ^^”. Aku membayangkan, rasa sakit yang kudapat hari ini sama sekali tak sepadan dengan traktiran dari Jenny. Tapi aku tahu, ini sama sekali bukan kesalahan Jenny. Aku masih tak tahu, apa ini gara gara kecantikanku atau karena kebodohanku tadi yang menolong Johan itu. Apakah ini yang harus kudapat setelah berbuat baik?

 

Aku menangis dengan kesal, dan kunyalakan mesin mobilku. Aku melihat jam di mobilku, sudah jam 21:30. Entah sudah berapa lama tadi aku digangbang di rumah kosong itu. Ketika aku baru menjalankan mobil melewati rumah Sherly, kulihat Vera dan cie Monika yang tadi diseret ke kamar mandi oleh orang yang kira kira pembantu di kosnya Sherly itu, berjalan menyeberang dengan om omAku menghentikan mobilku memberikan mereka kesempatan menyeberang, dan aku tertegun sejenak melihat om om Chinese itu membimbing Vera dan cie Monika masuk ke pintu belakang dengan mendorong pantatnya.

Ketika mereka semua sudah masuk ke mobil, aku segera menjalankan mobilku, aku ingin cepat cepat pulang. Dalam hati aku membayangkan, kehidupan seks dari Vera, cie Monika dan aku sendiri benar benar tak karuan. Tapi mungkin perbedaannya terletak pada situasinya. Vera ataupun cie Monika terlihat enjoy saat tadi masuk ke mobil. Aku tak tahu apa mereka memang suka, tapi tadi jelas sekali mereka tak terlihat terpaksa.

 

Sedangkan aku, setiap aku terlibat hubungan seks, semuanya berawal dari pemerkosaan terhadap diriku. Aku makin kesal, tapi aku tahu sebaiknya aku berkonsentrasi mengendarai mobilku. Setengah jam aku menyetir, air mataku sudah berhenti membasahi pipiku ketika aku sampai di depan rumah. Aku memencet remote pagar, lalu aku memarkirkan mobilku ke garasi. Setelah diam sejenak, aku memasukkan handphoneku ke dalam tas sekolahku, lalu kubawa tas itu turun.

 

Begitu aku turun dari mobil, dari belakang kurasakan dua tangan merayap ke payudaraku, yang ternyata tangan Wawan, lalu ia meremasi kedua payudaraku dengan lembut. Aku tak bisa memberikan perlawanan, aku terlalu lemas untuk itu. Dan kepasrahanku diartikan lain oleh Wawan yang terus membimbingku ke kamarnya. “Hmmm.. non Eliza habis pesta ya? Sekarang pesta sama saya ya”, kata Wawan yang menghirup rambutku yang pasti bau sperma itu.

 

Suwito yang sedang tidur tiduran langsung berdiri dan ikut mencumbuiku. Tak lama kemudian aku sudah dibaringkan ke ranjang mereka, mereka tak memperdulikan keadaanku yang basah kuyup. Baju seragamku yang tak berkancing sama sekali ini dengan mudah sudah dilepas oleh Suwito, sedangkan rok seragamku dilucuti oleh Wawan. “Wow.. nona kita sudah siap nih!”, seru Wawan yang amat bernafsu melihat tubuhku sudah tersaji polos. “Banyak pejunya nih, abis pesta sama berapa orang non Eliza?”, tanya Suwito. Wawan sudah mulai menjilati vaginaku, sedangkan Suwito mulai melumat bibirku.

 

Aku hanya diam saja, tapi perlahan air mataku mengalir, dan aku mulai menangis sesenggukan. Mereka berdua tertegun dan menghentikan aksi mereka. “Non.. kenapa non”, tanya Suwito dengan kuatir. Aku makin sesenggukan, dan mereka membiarkanku sampai aku lebih tenang. “Tolong biarkan aku istirahat… aku sudah capai…”, kataku pelan di sela isak tangisku. Aku beruntung, mereka ini masih memandangku sebagai majikan mereka, dan tak memandangku sebagai sekedar budak seks mereka belaka.

 

“Non, kami antar non ke atas ya”, kata Wawan. Kemudian Wawan menggendong tubuhku menuju kamarku, dan aku hanya pasrah, tanganku terjuntai ke bawah, tak ada kekuatan untuk sekadar melingkarkan tanganku ke leher Wawan, sungguhpun ini membuatku sedikit tersiksa karena kepalaku juga terjuntai dan mendatangkan sedikit rasa sakit di leherku. Tapi aku diam saja, dan kini aku sudah sampai di kamarku.

 

Wawan terus membawaku ke kamar mandi, kemudian ia mendudukkanku di pangkuannya. Suwito yang mengikuti kami menyalakan shower di kamar mandiku, kemudian setelah ia merasakan air shower sudah pas hangatnya, Suwito mulai memandikanku. Ia menyiram tubuhku perlahan, hingga aku mulai merasa nyaman. Dengan lembut Suwito berkata, “Non Eliza, tahan nafas ya, mukanya non mau saya bersihkan”. Aku berkata lemah, “Pakai sabun itu ya..”, kataku sambil menunjuk sabun cuci mukaku di wastafel.

 

Suwito membilas mukaku dengan sabun itu sampai bersih dari sperma yang lengket lengket di sekujur wajahku dan telingaku. “Non Eliza, saya keramasin sekalian ya”, kata Suwito. Aku mengangguk perlahan, dan Suwito segera membasahi rambutku, kemudian mengeramasi rambutku dengan kelembutan yang tak pernah aku bayangkan bisa dilakukan oleh orang seperti dia. Aku merasa seakan tubuhku kembali segar, tapi aku tak beranjak dari pangkuan Wawan. Aku merasa senang dimanja seperti ini.

 

Setelah Suwito selesai mengeramasiku dan membersihkan seluruh bagian kepala dan leherku dari bekas lumuran sperma itu, ia segera mengeringkan rambutku dengan handukku. Ia menyeka rambutku dengan lembut sambil berkata, “Non, ini gimana saya nggak ngerti, takutnya ngerusak rambut non Eliza yang indah ini”. Aku tersenyum kecil, kemudian meraih handuk itu dan mengeringkan rambutku sendiri.

 

Wawan dan Suwito menungguku dengan sabar. Setelah aku selesai, Suwito menggantungkan handukku di gantungan pintu, kemudian ia melanjutkan memandikanku. Kali ini Wawan mengangkatku berdiri, dan merentangkan kedua tanganku. Aku diam saja dengan senang, membiarkan mereka memanjakanku. Suwito membilas kedua payudaraku dengan sabun mandiku, ia melakukan dengan lembut. Tak ada rangsangan yang dilakukannya, dan aku merasa sangat nyaman.

 

Lalu Suwito melanjutkan ke punggung, kedua tanganku, perut, pinggang, kedua pantat, paha dan betisku. Kini aku sudah merasa tubuhku sudah bersih semuanya kecuali bagian vaginaku. Tiba tiba Suwito berjongkok dan mencucup bibir vaginaku, dan menyedot sekuat kuatnya. “Ngghhh.. aduuuh…”, aku melenguh, kali ini aku merasa keenakan dan sedikit menggeliat.

 

Beberapa kali Suwito menyedot vaginaku kuat kuat, seolah ingin mengeluarkan semua sisa sperma dan cairan cintaku yang masih ada di dalam liang vaginaku. Nafasku sedikit tersengal sengal ketika Suwito selesai menyedot vaginaku. Kemudian ia mengorek liang vaginaku dan menyemprot dengan air hangat, hingga aku mendesah keenakan. Ketika Suwito hendak menyabuni liang vaginaku, aku langsung menghentikannya. “Pakai sabun di botol kuning itu saja, Suwito”, kataku.

 

“Baik non”, kata Suwito, dan ia mengambil botol itu, mengeluarkan isinya di telapak tangannya, lalu membasuh liang vaginaku dengan cairan itu. Memang aku merasa sakit, mungkin karena vaginaku terlalu banyak menelan penis waktu aku digangbang tadi, tapi aku juga merasa sangat nyaman dan keenakan, entah apa aku masih bisa orgasme. Untungnya Suwito cepat juga membersihkan liang vaginaku, dan kini aku sudah merasa sangat nyaman.

 

Wawan melepaskan kedua pergelangan tanganku yang terentang sejak tadi, dan Suwito mematikan air shower, lalu menghanduki tubuhku sampai cukup kering. Lalu mereka membimbingku ke ranjang, dan membaringkanku dengan perlahan, menggeraikan rambutku ke belakang bantalku. Aku sungguh merasa nyaman dengan perlakuan mereka ini, ingin aku membayar mereka dengan memperbolehkan mereka menggumuliku sepuas puasnya, tapi aku tahu aku sudah terlalu capai untuk melakukan hal itu.

 

Lalu mereka menyelimuti tubuhku, menyalakan AC kamarku dan mematikan lampu. “Selamat tidur non Eliza”, kata Suwito, diikuti Wawan yang juga mengucapkan kata kata yang sama. “Terima kasih.. kalian baik sekali..”, kataku dengan terharu. Mereka keluar dari kamarku. Aku menutup mataku, berusaha memejamkan mataku. Ketika aku sudah hampir tertidur, Wawan dan Suwito masuk lagi ke kamarku, membuatku bertanya tanya. “Kalian kenapa?”, tanyaku mulai was was.

 

“Oh, non, kami sudah mandi, dan ingin menemani non tidur. Tapi kami nggak akan macam macam kok, kami cuma mau mijitin non. Non kelihatannya capai sekali”, kata Wawan. Suwito sendiri sudah membuka laci bajuku, mengambil bra dan celana dalam. Aku tersenyum dan mengangguk senang, kemudian membiarkan mereka memakaikan bra dan celana dalam untukku. Wawan membuka lemari bajuku, dan bertanya, “Non Eliza mau pakai baju tidur yang ini?”. Ia menunjukkan baju tidur satin kesukaanku, dan lagi lagi aku mengangguk senang sambil tersenyum.

 

Kini aku sudah memakai baju tidurku, tentu saja mereka yang memakaikan. Mereka sendiri sudah mandi dan masih berbau sabun mandi, maka aku membiarkan mereka naik ke ranjangku. Kini aku sudah terbaring lagi di ranjangku, dan Suwito kembali menggeraikan rambutku ke belakang bantal, hingga aku berbaring dengan nyaman. Wawan duduk di sebelah kananku, dan Suwito duduk di sebelah kiriku. Mereka mulai memijat lembut kedua tanganku, rasanya enak sekali. Aku makin mengantuk, dan akhirnya ketika mereka sudah memijat betisku, aku tertidur pulas.

 

—ooOoo—

 

Pagi hari aku terbangun dengan Suwito dan Wawan yang masih tertidur di sampingku. Aku berusaha mengingat mengapa mereka seberani ini tidur di ranjangku. Ketika aku sudah sadar dan ingat semuanya, aku tersenyum kecil. “Hai.. bangun kalian”, kataku pelan. Wawan dan Suwito terbangun, dan mereka segera turun dari ranjangku. “Pagi non”, kata Wawan dan Suwito. “Pagi juga”, kataku membalas sapaan mereka. Ketika mereka hendak keluar kamar, aku berkata, “Wawan.. Suwito.. terima kasih”.

 

Aku tersenyum kepada mereka dengan tulus, dan mereka juga tersenyum padaku lalu keluar dari kamarku. Aku memutuskan hari ini aku tidak ikut latihan balet dan beristirahat seharian di rumah. Setelah makan pagi, aku kembali tertidur sampai siang, dan aku dibangunkan Sulikah untuk makan siang. Aku turun ke bawah, dan sambil menikmati makan siangku di ruang keluarga, aku melihat siaran berita di TV, dan membuatku tertegun.

 

“… kebut kebutan itu menewaskan 3 anak STM yang sepeda motornya saling bersenggolan. Dari kartu pelajar mereka, identitas mereka adalah Maman, Joko dan Dimas. Sementara itu belasan anak SMP yang menonton terluka dan harus dibawa ke rumah sakit karena terhantam sepeda motor. Banyak yang menderita patah tulang…”

 

Aku melihat di TV, dan aku mengenali ketiga sepeda motor yang hancur itu. Itu memang milik Maman, Joko dan Dimas, para bajingan yang memperkosaku kemarin. Selain itu aku melihat wajah Kahar di TV, sedang dimintai keterangan di kantor polisi. Perasaanku campur aduk, antara ngeri, juga benci melihat mereka. Kini melihat kejadian ini, aku berkata dalam hati, “Kalian layak menerima ini semua, ini pasti balasan untuk kalian karena sudah memperkosaku dengan kejam”.

 

“Kok nggak dimakan non”, tanya Suwito membuyarkan lamunanku. Ia duduk di sebelah kiriku, dan Wawan menyusul duduk di sebelah kananku. Aku meletakkan makananku di meja, dan duduk diam sambil tersenyum senang. “Non Eliza lagi senang ya? Kok senyum senyum sendiri?”, tanya Suwito. Aku mengangguk kecil. “Kalo gitu boleh dong kami..”, Wawan berkata sambil meremas payudaraku yang sebelah kanan dengan pelan, dan Suwito juga ikut ikutan meremas payudaraku yang sebelah kiri dengan lembut.

 

Aku lagi lagi mengangguk, dan tak lama kemudian mereka sudah melucuti pakaianku. Di ruang keluargaku ini, aku menyerahkan tubuhku pada mereka berdua dengan sepenuh hati, toh tak ada siapa siapa di rumahku selain kami berempat sampai nanti papa mama dan kokoku yang diantarkan pak Arifin pulang dari vila. Selain itu aku merasa bisa membalas rasa terima kasihku kemarin pada mereka berdua dengan cara seperti ini…

 

 

Tinggalkan komentar